Nazar dan Zahra langsung menoleh ke arah sumber suara. Ternyata Budi datang, lalu memberikan ponsel. “Ini ketinggalan tuan,” ucap Budi.“Oh, terima kasih,” Nazar langsung memasukkan ponselnya ke dalam saku celana. Budi langsung berlalu dari hadapan Nazar. Sedangkan Zahra terlihat heran, karena setahu Zahra. Fajar sudah membawa ponselnya. “Oh, jadi ini ya menantunya Pak Ahmad. Dengar-dengar menantunya itu seorang pemulung ya,” ucap salah seorang kolega bisnis Ahmad.“Iya, kan waktu menikah juga, anak sulungnya itu secara sederhana. Tidak ada pesta seperti adiknya.”“Benar, Aku benar-benar tidak menyangka. Ternyata Bu Hanum itu seleranya sangat rendah. Kalau aku sih ogah punya menantu seorang pemulung.”“gengsi dong punya menantu seorang pemulung. Masa sih seorang pengusaha setara Pak Ahmad punya menantu seorang pemulung.”“Ya, mungkin karena terpaksa. Anak sulungnya kan belum menikah, usianya hampir mendekati 30 tahun. Daripada jadi perawan tua, yang mending dinikahkan saja.”“Walau
“Aku ke belakang dulu,” ucap Nazar. Lalu bangkit dari tempat duduknya, sebelum Zahra menjawab.“Hmm, seorang pemulung saja, kok bisa kenal sama tuan Lim ya? Atau cuma cari perhatian saja dari kita?” celetuk salah seorang tamu undangan.“Entahlah aku juga tidak tahu, tapi aku melihat, tuan Lim tadi yang mendekati menantu Pak Ahmad,” tukas temannya.“Yah mungkin untuk sekedar menghargai Pak Ahmad lah. Mana mungkin dong seorang pemulung punya teman pebisnis seperti Tuan Lim,” tukas yang lainnya.Nazar mendengar pembicaraan mereka, tapi terlihat tenang dan santai. Malah Nazar terus berjalan ke belakang gedung.Salah seorang tamu ada yang melihat, Nazar berjalan ke belakang. Kedua tamu itu menatap sinis ke arah Nazar.“Tuh dia ke belakang gedung, mungkin sedang memungut sampah-sampah, kan biasanya sampah acara pesta pernikahan itu banyak. Lumayan kan buat uang jajan.”“Betul, daripada sama orang lain. Lebih baik sama menantu sendiri, Pak Ahmad benar-benar tidak malu, mempunyai menantu seor
“Lho, orang tua kamu mana Mas?” Tanya Zia.“Sudah pulang,” jawab Dilan.“Kenapa tidak bareng sama kita?” Tanya Zia heran.“Katanya capek,” jawaban Dilan singkat, membuat Zia heran.Gedung sudah mulai sepi, semua tamu undangan sudah pulang. Begitu pula dengan keluarga besar Ahmad dan Hanum. Tapi sebelum pulang, Hanum sempat berpesan, semua keluarga besar harus berkumpul dulu di ke rumahnya. “Pandai-pandai membawa diri Zia. Kamu harus nurut perintah suami,” pesan Hanum, saat Zia mau berangkat ke rumah Dilan. Zia wajahnya terlihat sedih, tapi entah kenapa, tidak mau memeluk Zahra sedikitpun. “Zia!” Panggil Zahra. Tapi bukannya Zia menoleh, tapi malah membuang mukanya ke samping. Zahra dan Nazar saling berpandangan. “Ada apa dengan Zia ya?” Tanya Zahra dalam hati.“Jalan!” Perintah Dilan sama sopirnya.Zahra dan Nazar dijemput sama Pak Karmin. Ahmad dan Hanum ikut dengan mobil Zahra. Karena mobil mereka dipakai sama saudara Hanum.Sepanjang perjalanan pulang, tidak ada yang berbicar
Zahra dan temannya langsung menoleh. Ternyata rekan kerja Zahra yang lain. “Boleh gabung?” tanya rekan kerja itu. Zahra dan temannya langsung menganggukkan kepalanya. Terlihat mereka bertiga asyik ngobrol. “Jangan dekat-dekat deh, nanti ketularan. Memangnya kalian mau punya suami seorang pemulung?” celetuk salah seorang karyawan yang kebetulan lewat meja Zahra.“Iya, jangan malu-maluin deh. Masa posisi seorang manajer, bersuamikan pemulung. Bagi aku mikir-mikir dulu deh,” tukas temannya.“Ra,” panggil temannya. Zahra langsung menoleh, lalu menggelengkan kepalanya. Zahra tahu, apa maksud tujuan mereka berbicara seperti itu. Temannya Zahra mungkin menyuruh Zahra untuk melawan mereka. “Kita kerja lagi yuk,” ajak teman Zahra Akhirnya mereka bertiga meninggalkan kantin, dan kembali bekerja. Zahra membuka ponselnya, karena pekerjaan sudah selesai dikerjakan. Zahra membuka media sosial. Ternyata adiknya, Zia, sedang pamer pernikahannya. Tampak wajah Zia terlihat bahagia.“Semoga ruma
“Nyonya, ini bahan masakan buat nanti. Apa ini tidak terlalu kurang Nyonya? Atau mau minum tambahan yang lainnya?” Mbok Minah.“Tidak, cukup itu saja,” jawab Zahra.“Mbok, orang kaya kok tumben ya makanya sederhana,” bisik salah seorang asisten rumah. “Sutt,” Mbok Minah meletakkan telunjuknya di bibir, sambil melirik ke arah Zahra. Asisten itu buru-buru menundukkan kepalanya, karena takut ketahuan sama Zahra. “Nyonya, maaf kenapa menu yang disediakan sederhana sekali?” tanya Mbok Minah memberanikan diri. Zahra menatap ke arah Mbok Minah, lalu menjawab dengan senyuman manis di bibir. “ Lah, orang tuaku dari kehilangan biasa Mbok, yang disebut orang kaya, yang punya rumah ini nih.”Mbok Minah langsung tersenyum. “ Tapi seleranya kok sama, dulu pemilik rumah ini, makanannya sederhana. Dan jujur saja, saya sempat sedih, Nyonya mengajak kami makan bersama,” ucapan buat Minah membuat Zahra menaikkan kedua alisnya.“Memangnya kenapa Mbok? Di rumah orang tuaku juga begitu, saat kami makan
Zahra menoleh ke arah ibunya. “ Yah ada apa Bu?”“Ini rumah kamu?” Tanya Hanum.“Bukan Bu, ini milik majikan Mas Nazar. Mas Nazar dikasih kepercayaan untuk menjaga rumah ini,” jawab Zahra.Zahra langsung menoleh ke arah Nazar, Nazar terlihat santai saja.Wajah Hanum sedikit terkejut, tapi tersenyum kembali. “ Setidaknya anakku mempunyai tempat tinggal yang layak,” gumam Hanum dalam hati. Tak berapa lama kemudian, dua orang pelayan membawakan minuman juga makanan kecil. “Maaf, cuma ini yang bisa kami sediakan,” ucap Nazar.“Terima kasih Nak Nazar, ini sudah cukup,” ucap Ahmad.Hanum matanya masih menatap ke sekeliling ruangan. Hatinya tak henti-henti memuji ornamen-ornamen yang ada di rumah ini.“Tuan,” tiba-tiba Mbok Minah muncul di ruangan itu. Nazar langsung menoleh.” Iya ada apa Mbok?” Tanya Nazar.“Sudah kami siapkan, permisi tuan,” jawab Mbok Mina sambil buru-bulu balik badan. “Ayah, ibu. Sekalian kita makan malam dulu, sudah Zahra siapkan kok,” Zahra langsung mengajak kedua
“Zia depresi,” malah Hanum yang menjawab, sedangkan Ahmad matanya menatap ke arah langit-langit rumah. Untuk menahan air matanya tidak keluar. Deg….. jantung Zahra langsung berdetak kencang, karena tidak mengira adiknya akan mengalami depresi. “Lho, Memangnya kenapa dengan Zia?” Tanya Zahra makin penasaran. Karena selama ini mengira, kalau Zia bahagia dengan pernikahannya. Tapi kenyataannya lain, saat mendengar pembicaraan orang tuanya. “Anu Zahra….”“Anu kenapa?” tanya Zahra, terus memaksa orang tuanya agar memberikan jawaban. “Usaha orang tuanya bangkrut, mereka terlibat hutang, belum lagi hutang bekas acara pernikahan Zia dan Dilan,” jawab Ahmad, terus menundukkan kepalanya.Mata Zahra melebar, lalu menutup mulut dengan kedua tangannya. “Kami sengaja datang kemari, ingin mengabarkan hal itu. Ayah dan ibu benar-benar tidak tega melihat adikmu,” ucap Ahmad lagi.Sedangkan di balik tembok, Nazar mengintip sambil menguping pembicaraan antara Zahra dan kedua orang tuanya. “Terus
“Kenapa kamu Zia? Tolong ceritakan sama kami,” pinta Ahmad.“Iya Nak, kalau kamu memang tidak mau cerita. Kami juga tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi sama kamu,” tukas Hanum.Zia bukannya menjawab. Tangisannya semakin keras, pelukannya semakin erat sama Hanum. “Zia, tolong jawab ayah Nak. Ada apa sebenarnya?” Tanya Ahmad, sambil mengelus punggung putrinya. Zia tetap tidak menjawab sedikitpun. Hingga Ahmad menghela nafasnya dalam-dalam. Baru saja mereka merasakan kebahagiaan, dengan menikahnya Zia dan Dilan. Tapi sekarang harus menghadapi kenyataan, kalau Zia pulang dengan kondisi yang memprihatinkan. “”Tidak!!!!” Tiba-tiba Zia langsung menjerit, lalu melepaskan pelukan Hanum.Zia menjerit-jerit sambil memukul kasur. Tubuh Zia terus meronta-ronta. Ahmad dan Hanum kembali panik. “Tolong panggilkan dokter Bu!” Teriak Ahmad sambil menahan tubuh Zia.“Tidak!! Aku tidak bersalah sedikitpun!” Teriak Zia sambil memegang kepalanya. Ahmad terus berusaha menenangkan anak bungsunya.Da