Zahra dan temannya langsung menoleh. Ternyata rekan kerja Zahra yang lain. “Boleh gabung?” tanya rekan kerja itu. Zahra dan temannya langsung menganggukkan kepalanya. Terlihat mereka bertiga asyik ngobrol. “Jangan dekat-dekat deh, nanti ketularan. Memangnya kalian mau punya suami seorang pemulung?” celetuk salah seorang karyawan yang kebetulan lewat meja Zahra.“Iya, jangan malu-maluin deh. Masa posisi seorang manajer, bersuamikan pemulung. Bagi aku mikir-mikir dulu deh,” tukas temannya.“Ra,” panggil temannya. Zahra langsung menoleh, lalu menggelengkan kepalanya. Zahra tahu, apa maksud tujuan mereka berbicara seperti itu. Temannya Zahra mungkin menyuruh Zahra untuk melawan mereka. “Kita kerja lagi yuk,” ajak teman Zahra Akhirnya mereka bertiga meninggalkan kantin, dan kembali bekerja. Zahra membuka ponselnya, karena pekerjaan sudah selesai dikerjakan. Zahra membuka media sosial. Ternyata adiknya, Zia, sedang pamer pernikahannya. Tampak wajah Zia terlihat bahagia.“Semoga ruma
“Nyonya, ini bahan masakan buat nanti. Apa ini tidak terlalu kurang Nyonya? Atau mau minum tambahan yang lainnya?” Mbok Minah.“Tidak, cukup itu saja,” jawab Zahra.“Mbok, orang kaya kok tumben ya makanya sederhana,” bisik salah seorang asisten rumah. “Sutt,” Mbok Minah meletakkan telunjuknya di bibir, sambil melirik ke arah Zahra. Asisten itu buru-buru menundukkan kepalanya, karena takut ketahuan sama Zahra. “Nyonya, maaf kenapa menu yang disediakan sederhana sekali?” tanya Mbok Minah memberanikan diri. Zahra menatap ke arah Mbok Minah, lalu menjawab dengan senyuman manis di bibir. “ Lah, orang tuaku dari kehilangan biasa Mbok, yang disebut orang kaya, yang punya rumah ini nih.”Mbok Minah langsung tersenyum. “ Tapi seleranya kok sama, dulu pemilik rumah ini, makanannya sederhana. Dan jujur saja, saya sempat sedih, Nyonya mengajak kami makan bersama,” ucapan buat Minah membuat Zahra menaikkan kedua alisnya.“Memangnya kenapa Mbok? Di rumah orang tuaku juga begitu, saat kami makan
Zahra menoleh ke arah ibunya. “ Yah ada apa Bu?”“Ini rumah kamu?” Tanya Hanum.“Bukan Bu, ini milik majikan Mas Nazar. Mas Nazar dikasih kepercayaan untuk menjaga rumah ini,” jawab Zahra.Zahra langsung menoleh ke arah Nazar, Nazar terlihat santai saja.Wajah Hanum sedikit terkejut, tapi tersenyum kembali. “ Setidaknya anakku mempunyai tempat tinggal yang layak,” gumam Hanum dalam hati. Tak berapa lama kemudian, dua orang pelayan membawakan minuman juga makanan kecil. “Maaf, cuma ini yang bisa kami sediakan,” ucap Nazar.“Terima kasih Nak Nazar, ini sudah cukup,” ucap Ahmad.Hanum matanya masih menatap ke sekeliling ruangan. Hatinya tak henti-henti memuji ornamen-ornamen yang ada di rumah ini.“Tuan,” tiba-tiba Mbok Minah muncul di ruangan itu. Nazar langsung menoleh.” Iya ada apa Mbok?” Tanya Nazar.“Sudah kami siapkan, permisi tuan,” jawab Mbok Mina sambil buru-bulu balik badan. “Ayah, ibu. Sekalian kita makan malam dulu, sudah Zahra siapkan kok,” Zahra langsung mengajak kedua
“Zia depresi,” malah Hanum yang menjawab, sedangkan Ahmad matanya menatap ke arah langit-langit rumah. Untuk menahan air matanya tidak keluar. Deg….. jantung Zahra langsung berdetak kencang, karena tidak mengira adiknya akan mengalami depresi. “Lho, Memangnya kenapa dengan Zia?” Tanya Zahra makin penasaran. Karena selama ini mengira, kalau Zia bahagia dengan pernikahannya. Tapi kenyataannya lain, saat mendengar pembicaraan orang tuanya. “Anu Zahra….”“Anu kenapa?” tanya Zahra, terus memaksa orang tuanya agar memberikan jawaban. “Usaha orang tuanya bangkrut, mereka terlibat hutang, belum lagi hutang bekas acara pernikahan Zia dan Dilan,” jawab Ahmad, terus menundukkan kepalanya.Mata Zahra melebar, lalu menutup mulut dengan kedua tangannya. “Kami sengaja datang kemari, ingin mengabarkan hal itu. Ayah dan ibu benar-benar tidak tega melihat adikmu,” ucap Ahmad lagi.Sedangkan di balik tembok, Nazar mengintip sambil menguping pembicaraan antara Zahra dan kedua orang tuanya. “Terus
“Kenapa kamu Zia? Tolong ceritakan sama kami,” pinta Ahmad.“Iya Nak, kalau kamu memang tidak mau cerita. Kami juga tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi sama kamu,” tukas Hanum.Zia bukannya menjawab. Tangisannya semakin keras, pelukannya semakin erat sama Hanum. “Zia, tolong jawab ayah Nak. Ada apa sebenarnya?” Tanya Ahmad, sambil mengelus punggung putrinya. Zia tetap tidak menjawab sedikitpun. Hingga Ahmad menghela nafasnya dalam-dalam. Baru saja mereka merasakan kebahagiaan, dengan menikahnya Zia dan Dilan. Tapi sekarang harus menghadapi kenyataan, kalau Zia pulang dengan kondisi yang memprihatinkan. “”Tidak!!!!” Tiba-tiba Zia langsung menjerit, lalu melepaskan pelukan Hanum.Zia menjerit-jerit sambil memukul kasur. Tubuh Zia terus meronta-ronta. Ahmad dan Hanum kembali panik. “Tolong panggilkan dokter Bu!” Teriak Ahmad sambil menahan tubuh Zia.“Tidak!! Aku tidak bersalah sedikitpun!” Teriak Zia sambil memegang kepalanya. Ahmad terus berusaha menenangkan anak bungsunya.Da
“Baiklah, sekarang ayah dan ibu tenangkan dulu pikiran, beristirahatlah dulu sampai besok pagi. Ayah dan ibu jangan terlalu banyak pikiran.”Zahra mengambil keputusan, untuk menahan kedua orang tuanya bermalam dulu di rumahnya. Ahmad dan Hanum menganggukkan kepalanya, mereka menyetujui usulan dari Zahra.Sedangkan Nazar, tersenyum menyeringai, saat menutup teleponnya. Lalu kembali bergabung dengan Zahra dan kedua orang tuanya. “Maaf tadi saya lama menerima telepon,” ucap Nazar.“Tidak apa-apa Nak Nazar, Maaf, kedatangan kami merepotkan Nak Nazar,” ucap Ahmad.“Justru saya malah senang, ayah dan ibu bisa datang kemari,” tukas Nazar.Setelah itu, Zahra langsung mengantar kedua orang tuanya ke kamar khusus tamu. Hanum kembali berdecak kagum, saat melihat kamar yang begitu mewah. Tempat tidur yang king size, kamar mandi yang berdinding kaca tebal. Tetapi tidak tembus pandang dari luar. Semuanya tertata begitu apik dan rapi. “Ayah, ibu mengira, Zahra dan Nazar tinggal di gubuk. Ternya
“Iya, kami memang sedang ada masalah hutang, dan ini semua, gara-gara permintaan anak Anda yang terlalu mewah!” sergah ayah Dilan dengan wajah emosi. “Ya, betul. Seandainya pernikahan Dilan dan Zia tidak mewah, tentu kami tidak akan terbelit hutang sebesar ini. Makanya waktu itu kami datang, menawarkan solusi. Tapi anak anda tetap keras kepala, dan akhirnya Ya seperti ini,” ucap ibu Dilan dengan wajah keruh.Bahkan terkesan, dua orang tuanya Dilan, tidak menunjukkan sikap ramah dan bersahabat sama kedua orang tua Zia.Ahmad dan Hanum serta pakde Seno, cuma terdiam, karena memang apa yang dikatakan orang tuanya Dilan, benar. Zia terlalu banyak kemauan, sikap egois dan keras kepala itu, tidak pernah hilang dari diri Zia.“Dan……”Ucapan ayah Dilan terhenti, lalu melirik ke arah istrinya, terlihat dia mengangguk kepalanya.“Dan kami juga minta pertanggungjawaban dari keluarga Zia, karena Zia turut andil dari dalam masalah ini. Dia yang menginginkan acara pesta perkawinan yang mewah,” uc
“Lho, kamu di sini toh Dilan?” tanya rekan kerjanya, Dilan langsung menoleh, dirinya sedang berada di belakang kantin kantor. Pikirannya benar-benar sedang tidak baik-baik saja. “Iya, gue cari yang adem,” jawab Dilan, langsung menyesap kopi. Wajahnya kembali memandang ke arah depan, melihat pemandangan yang ada di belakang kantin. Temannya langsung duduk dekat Dilan, dan menepuk bahu Dilan.“Aku tahu masalah kamu sekarang. Kamu terlilit hutang pesta pernikahan kan?” Tanya Adi rekan kerjanya. Dilan mengangguk lesu, karena sejak 2 hari kemarin. Pihak hotel menelepon, juga dari WO. Karena sejumlah uang belum dibayarkan sama Dilan. “Aku tidak bisa bicara apa-apa, juga tidak bisa menasehati kamu. Karena jujur saja, aku tidak bisa membantu banyak. Kamu tahu sendiri kan, tanggungan aku di keluarga banyak,” ucap Adi.“Iya, aku mengerti. Tapi setidaknya, kamu sudah mau menemani aku disini,” ucap Dilan, wajahnya masih terlihat murung. Tiba-tiba dari arah belakang. “ Hai!” Terdengar suara