“Baiklah, sekarang ayah dan ibu tenangkan dulu pikiran, beristirahatlah dulu sampai besok pagi. Ayah dan ibu jangan terlalu banyak pikiran.”Zahra mengambil keputusan, untuk menahan kedua orang tuanya bermalam dulu di rumahnya. Ahmad dan Hanum menganggukkan kepalanya, mereka menyetujui usulan dari Zahra.Sedangkan Nazar, tersenyum menyeringai, saat menutup teleponnya. Lalu kembali bergabung dengan Zahra dan kedua orang tuanya. “Maaf tadi saya lama menerima telepon,” ucap Nazar.“Tidak apa-apa Nak Nazar, Maaf, kedatangan kami merepotkan Nak Nazar,” ucap Ahmad.“Justru saya malah senang, ayah dan ibu bisa datang kemari,” tukas Nazar.Setelah itu, Zahra langsung mengantar kedua orang tuanya ke kamar khusus tamu. Hanum kembali berdecak kagum, saat melihat kamar yang begitu mewah. Tempat tidur yang king size, kamar mandi yang berdinding kaca tebal. Tetapi tidak tembus pandang dari luar. Semuanya tertata begitu apik dan rapi. “Ayah, ibu mengira, Zahra dan Nazar tinggal di gubuk. Ternya
“Iya, kami memang sedang ada masalah hutang, dan ini semua, gara-gara permintaan anak Anda yang terlalu mewah!” sergah ayah Dilan dengan wajah emosi. “Ya, betul. Seandainya pernikahan Dilan dan Zia tidak mewah, tentu kami tidak akan terbelit hutang sebesar ini. Makanya waktu itu kami datang, menawarkan solusi. Tapi anak anda tetap keras kepala, dan akhirnya Ya seperti ini,” ucap ibu Dilan dengan wajah keruh.Bahkan terkesan, dua orang tuanya Dilan, tidak menunjukkan sikap ramah dan bersahabat sama kedua orang tua Zia.Ahmad dan Hanum serta pakde Seno, cuma terdiam, karena memang apa yang dikatakan orang tuanya Dilan, benar. Zia terlalu banyak kemauan, sikap egois dan keras kepala itu, tidak pernah hilang dari diri Zia.“Dan……”Ucapan ayah Dilan terhenti, lalu melirik ke arah istrinya, terlihat dia mengangguk kepalanya.“Dan kami juga minta pertanggungjawaban dari keluarga Zia, karena Zia turut andil dari dalam masalah ini. Dia yang menginginkan acara pesta perkawinan yang mewah,” uc
“Lho, kamu di sini toh Dilan?” tanya rekan kerjanya, Dilan langsung menoleh, dirinya sedang berada di belakang kantin kantor. Pikirannya benar-benar sedang tidak baik-baik saja. “Iya, gue cari yang adem,” jawab Dilan, langsung menyesap kopi. Wajahnya kembali memandang ke arah depan, melihat pemandangan yang ada di belakang kantin. Temannya langsung duduk dekat Dilan, dan menepuk bahu Dilan.“Aku tahu masalah kamu sekarang. Kamu terlilit hutang pesta pernikahan kan?” Tanya Adi rekan kerjanya. Dilan mengangguk lesu, karena sejak 2 hari kemarin. Pihak hotel menelepon, juga dari WO. Karena sejumlah uang belum dibayarkan sama Dilan. “Aku tidak bisa bicara apa-apa, juga tidak bisa menasehati kamu. Karena jujur saja, aku tidak bisa membantu banyak. Kamu tahu sendiri kan, tanggungan aku di keluarga banyak,” ucap Adi.“Iya, aku mengerti. Tapi setidaknya, kamu sudah mau menemani aku disini,” ucap Dilan, wajahnya masih terlihat murung. Tiba-tiba dari arah belakang. “ Hai!” Terdengar suara
"Aku lihat dari tadi kamu melamun saja, jangan terlalu banyak pikiran Dilan. bisa-bisa merusak konsentrasi kerjamu," rupanya Adi yang menepuk bahu Dilan. "eh iya," Dilan gugup. "Sebentar lagi, kita bubaran kerja. semoga kamu bisa mendapatkan solusi terbaik," Adi sedikit memberikan saya nasehat. Dilan hanya menganggukkan kepalanya, dan kembali fokus bekerja. "Dilan, Ayah mengira. pernikahan Zia dengan kamu, akan baik-baik saja. Tapi ternyata Zia malah mengalami depresi," ucap Ahmad sambil menatap ke arah Dilan. "Sekarang, kami mau bertanya sama kamu. Apakah hutang itu, semuanya bekas biaya pernikahan kamu dan Zia?" tanya Hanum. Dilan menatap mertuanya. " bukan Bu, sebenarnya itu, hutang orang tuaku. tapi memang untuk biaya pesta pernikahan. Aku pinjam sama re****r. Setiap bulan bayar bunga sebanyak 5 juta rupiah, dengan pokok masih tetap," jawab Dilan. Hanum menutup mulutnya, wajah Ahmad terlihat kaget. Dilan menundukkan kepalanya, sekarang hanya rasa malu yang bersaran
"Ayah, harus bisa mengambil keputusan. karena jujur saja, ini menyangkut Zia. bukannya Ayah ingin mencampuri urusan ke rumah tangga anak. Tapi setelah melihat kondisi Zia, Ayah harus mengambil keputusan," ucap Ahmad. Hanum, Zahra sama Nazar terlihat diam. mungkin sedang mencerna kata-kata Ahmad. "Ibu, serahkan semuanya sama ayah. Yang terpenting saat ini, Ibu ingin Zia sembuh dan kembali seperti semula. walaupun kita tahu sifat Zia itu seperti apa." "Bolehkah Zahra melihat Zia?" tanya Zahra tiba-tiba. "Silakan Nak, mungkin saat ini Zahra sedang tidur," jawab Hanum. Zahra bangkit dari tempat duduknya, diikutin ajar dari belakang. Zahra langsung membuka pintu kamar Zia. rupanya Zia sudah terbangun, dengan posisi bersandar setengah tidur. Zia langsung menoleh ke arah pintu, matanya terlihat berbinar. "Kak Zahra!" pekik Zia sambil berhambur ke arah Zahra. Zia langsung memeluk erat kakaknya. " Maafkan aku Kak, selama ini aku bersalah sama kakak," ucap Zia dengan suara serak. Zahr
"Jadi! aku harus mengh*****i adikmu?" tanya Dilan dengan wajah terkejut."Ya, hitung-hitung kita saling bantu. Adikku dituntut oleh ibu mertuanya untuk segera punya anak. padahal kami tahu, kalau yang bermasalah itu bukan adikku. tapi anaknya sendiri," jawab Alma.Dilan terdiam, pikirannya bimbang. Di satu sisi, dirinya sedang membutuhkan uang. Di satu sisi lagi, dia harus menuruti kemauan Alma."Bagaimana kamu setuju atau tidak?" tanya Alma. Akhirnya......."Baiklah, tapi harus ada perjanjian dulu, aku tidak mau, diakhiri nanti ada sesuatu hal yang tidak diinginkan," ucap Dilan."Tenang saja, menurut kamu mungkin hal ini, tindakan yang sangat bodoh. tapi harus bagaimana lagi, inilah cara yang harus kami lakukan. Suami adikku sudah tahu, dan dia telah menyetujuinya," ucap Alma."Baiklah, aku setuju," ucap Dilan.Mungkin bagi sebagian orang hal ini, tidak aneh. Tapi hal ini, tentunya perbuatan gila. Kadang semua orang bisa melakukan hal apa saja, yang penting keinginan mereka tercapa
Zahra merasa tubuhnya berat, ternyata suaminya sudah berada di atas tubuh Zahra. "Diam sayang," ucap Nazar berbisik lembut. Zahra langsung menatap lembut ke arah suaminya. dirinya tidak bisa menolak keinginan Nazar. kecupan mesra terus mendarat di pipi Zahra. bahkan Zahra merasa kewalahan mendapat serangan mendadak. malam itu, Nazar terlihat bergairah sekali, sentuhan-sentuhan lembut Nazar berikan sama istrinya. Zahra benar-benar merasa puas, suaminya selalu memberikan kenikmatan yang tiada tara. buliran teringat, membasahi tubuh mereka. Zahra sangat menikmati setiap Nazar memberikan sentuhan di area tubuhnya. hingga akhirnya mereka mencapai puncak kenikmatan bersama-sama. "Mas, semalam dari mana?" tanya Zahra sambil menyisir rambutnya yang hitam legam dan panjang. "ada sedikit pekerjaan," jawab Nazar sambil mengancingkan bajunya. "pekerjaan apa Mas? sampai-sampai telepon aku tidak diangkat, begitu pula dengan pesan yang aku kirimkan," tanya Zahra mulai terlih
Zahra langsung menoleh, terlihat rekan kerjanya berlari-lari mendekat. "Barengan," ucap temannya sambil mengikuti langkah Zahra. "aku dengar, si Edi bagian exportir, ngadain acara ulang tahun, katanya sih dirayakan di sebuah kafe."Oh ya," ucap Zahra."kamu mau ikutan?"tanya Sinta."entahlah aku tidak tahu, kamu tahu sendiri kan. aku berangkat dan pulang kerja saja diantar jemput. tapi bagaimana nanti saja," jawab Zahra. "baiklah, kalau memang kamu siap kabar-kabari aku ya," ucap Sinta.Zahra menganggukkan kepalanya, lalu berjalan ke arah ruangan kerja."rasanya sungkan kalau mau minta izin sama Mas Nazar. entahlah aku merasa dia tidak akan mengizinkan aku pergi," gumam Zahra dalam hati.Nazar saat ini memang terlihat agak dingin sikapnya sama Zahra, tapi seorang istri, Zahra harus memahami pekerjaan suaminya. Zahra melihat akhir-akhir ini suaminya sering menerima telepon, lalu bergegas pergi tanpa berpamitan. Zahra kembali fokus bekerja, walaupun pikirannya terus melayang ke