"Iya nyonya, ada apa?" jawab Pak Karim, dengan pandangan mata tetap fokus ke depan."Maaf pak, Memangnya Mas Nazar ke mana sih? saya merasa akhir-akhir ini Mas Nazar berbeda sikapnya," tanya Zahra."maaf Nyonya Saya benar-benar tidak tahu," jawab Pak Karim."Apakah memang bapak benar-benar tidak tahu?" tanya Zahra dengan tatapan menyelidik. "benar nyonya, buat apa saya bohong," jawab Pak Karim. Zahra terdiam, karena benar apa yang dikatakan Pak Karim, mana mungkin seorang sopir pribadi atau tukang kebun, mencampuri urusan pekerjaan suaminya. Zahra langsung turun dari mobil, begitu mobil tiba di depan rumah. rumah sebesar ini, bagi Zahra terasa sepi. walaupun di dalamnya banyak penghuni, tapi ketidakhadiran Nazar saat ini. membuat hati Zahra seolah-olah sepi. Dengan langkah gontai, kaki Zahra menaiki tangga satu persatu. kaki Zahra langsung berhenti, saat melewati sebuah foto yang menempel di dinding. Entah kenapa Zahra ingin memandang foto itu. foto yang terdiri dari 4 orang. pas
"Iya nyonya, ada apa?" jawab Pak Karim, dengan pandangan mata tetap fokus ke depan. "Maaf pak, Memangnya Mas Nazar ke mana sih? saya merasa akhir-akhir ini Mas Nazar berbeda sikapnya," tanya Zahra. "maaf Nyonya Saya benar-benar tidak tahu," jawab Pak Karim. "Apakah memang bapak benar-benar tidak tahu?" tanya Zahra dengan tatapan menyelidik. "benar nyonya, buat apa saya bohong," jawab Pak Karim. Zahra terdiam, karena benar apa yang dikatakan Pak Karim, mana mungkin seorang sopir pribadi atau tukang kebun, mencampuri urusan pekerjaan suaminya. Zahra langsung turun dari mobil, begitu mobil tiba di depan rumah. rumah sebesar ini, bagi Zahra terasa sepi. walaupun di dalamnya banyak penghuni, tapi ketidakhadiran Nazar saat ini. membuat hati Zahra seolah-olah sepi. Dengan langkah gontai, kaki Zahra menaiki tangga satu persatu. kaki Zahra langsung berhenti, saat melewati sebuah foto yang menempel di dinding. Entah kenapa Zahra ingin memandang foto itu. foto yang terdiri da
"Sudah dong ah. kok malah jadi ribut seperti ini ya? bukannya kami mendapatkan solusi. tapi malah menambah-nambah masalah," Hanum berani berbicara sama kakak iparnya. "Kamu yang......""Wati! diam kamu! kita datang ke sini. karena kita merasa kasihan sama Ahmad, bukan untuk membuat keributan," tegur Pakde Seno sama istrinya.semua terdiam, Zia langsung tersenyum sinis ke arah Bude Wati. sedangkan Bude Wati wajahnya langsung ditekuk. "pernikahan kamu sudah tidak sehat Zia. Pakde harap, kamu sudah bisa memikirkan sendiri apa yang kami mau. kekerasan fisik kamu dapatkan dari suamimu sendiri, dan tentunya hal itu lebih mudah. kalau kamu mau menggugat cerai suami kamu, kita sebagai keluarga mendukung saja," ucap Pakde Seno panjang lebar. "Iya pakde, Zia akan menggugat cerai Mas Dilan. Zia sudah tidak tahan dengan keluarganya yang toxis itu," Zia kembali merasa di atas angin. karena seluruh keluarga mendukung dirinya. keesokan harinya."jadi dia akan bercerai Mbak?" tanya Rina. "iya, s
"Kamu! sebagai seorang laki-laki! harus mempunyai harga diri! jangan sampai kamu dikalahkan oleh seorang perempuan!" ucap Ayah Dilan keras. "tapi Dilan tidak mau menuruti kata-kata ayah. rasanya konyol, dengan berkata demikian," Dilan dengan terang-terangan menolak keinginan ayahnya. "kamu masih bodoh Dilan! kita itu hanya berpura-pura, dan hanya untuk menakut-nakuti keluarga si Zia itu?" tegas Ibu Dilan."ah, sudahlah ayah, ibu. Dilan pusing memikirkannya, sekarang Dilan mau istirahat," Dilan langsung masuk ke dalam kamar tidur. "dasar anak bodoh, disuruh berbuat gitu saja tidak mau," omel ibu Dilan."akhhhhh!" jerit Dilan saat duduk di atas tempat tidur. kedua tangannya menyegarkan rambut ke belakang. pikirannya benar-benar kacau saat ini. " Zia Tidak adakah kata maaf darimu? aku masih benar-benar mencintai kamu Zia," ucap Dilan dalam hati pilu.Dilan teringat saat pertama kali bertemu dengan Zia."Dilan," ucap Dilan sambil mengulurkan tangannya."Zia," ternyata Zia menyambut ul
"Tenang sayang, aku akan bertanggung jawab," ucap Dilan sambil mengecup pucuk kepala Zia. tubuh mereka hanya terbalut selimut yang ada di penginapan itu. "Mas, benarkah apa yang kamu ucapkan?" tanya Zia, sambil memainkan jarinya di dada Dilan. "Apakah kamu masih ragu?" Dilan kembali bertanya. "tidak Mas, Aku percaya sama kamu," jawab Dilan."aku mau," bisik Dilan dengan lembut.kembali Zia tidak bisa menolak keinginan kekasih itu. "jangan khawatir sayang, Kamu tidak akan hamil kok," bisik Dilan, dan Zia langsung percaya. entah berapa kali, mereka melakukan hal di luar norma agama. Zia dan Dilan kembali mengerang, mendesah dan melenguh. mereka benar-benar sedang mabuk asmara. tapi bagi Dilan itulah saat terindah dengan Zia.drtt......" terdengar ponsel Dilan bergetar.Dilan langsung tersadar dari lamunannya. "Alma," Desi Dilan sambil menggeser tombol hijau itu. terlihat Dilan sedang berbicara dengan Alma, dan akhirnya Dilan keluar dari kamar setelah menyambar kunci mobil dan
Zahra seketika menghentikan langkahnya, matanya tertuju sama sesosok pria yang dikenalnya. "Ra, ayo," ajak Sinta sambil menarik tangan Zahra.tapi Zahra tetap berdiri mematung, matanya terfokus sama sesosok pria yang sedang duduk bersama seorang wanita. usia wanita itu kira-kira 20 tahun, zahra merasa wanita itu lebih muda dari dirinya. "Ra," panggil Sinta kembali, mata Sinta mengikuti tatapan matanya Zahra. "lho, itu kan suami kamu?" bisik Sinta.mereka berdua terdiam, tapi kemudian Sinta berbicara. "sudahlah, Mungkin dia temannya, ayo cepat, cara akan segera dimulai," ucap Sinta.mau tidak mau akhirnya Zahra mengikuti Sinta. ujung mata, Zahra terus memperhatikan suaminya. Nazar terlihat akrab dengan wanita itu. perasaan Zahra tidak bisa dilukiskan lagi, marah cemburu dan sedih bercampur aduk di dalam hatinya. acara ulang tahun temannya, Zahra tidak bisa menikmati. pikirannya tertuju sama Nazar dan wanita itu. Tapi demi Sinta, Zahra harus bisa menahan semuanya. ingin rasanya
"Mas Dilan, kenapa kita harus berpisah seperti ini? sesakit inikah hatiku Mas?" tanya Zia, matanya menatap ke arah foto dengan pandangan nanar. dimana foto dirinya sedang bersanding di pelaminan bersama Dilan. mereka berdua terlihat bahagia, senyuman dari bibir Dilan Dan Zia terlihat begitu bahagia."kenapa ini harus terjadi? apakah aku yang egois Mas? Tapi jujur saja, untuk diajak hidup sederhana, aku tidak bisa Mas. Aku tidak mau dianggap rendah oleh semua orang, gara-gara aku berpenampilan sederhana," gumam Zia lagi.rasa angkuh dan sombong, kembali menyelimuti hati Zia. dirinya memang tidak mau diajak sengsara, Zia berpikir, harta bisa merubah segala-galanya. kita ke Zahra.jam 07.00 malam, Zahra baru terbangun. matanya terlihat sembab, mungkin karena habis menangis. Zahra langsung bergegas membersihkan diri, cacing di dalam perut terus berbunyi, untuk segera minta diisi. "Mbok," panggil Zahra saat di ruang makan, karena melihat Mbok Minah dan dua orang asisten sedang menyiapk
"Tida apa-apa kok pak, saya bisa bawa sendiri," ucap Zahra, langsung membuka pintu mobil. Zahra pun langsung melesat pergi, meninggalkan Pak Karmin yang masih bengong. tiba di kantor, Zahra langsung masuk ke ruang kerja. perutnya yang keroncongan tidak dihiraukan, pagi tadi Zahra sampai tidak sempat sarapan pagi.tiba-tiba pikirannya teringat sama Nazar, sampai pagi tadi Nazar belum juga pulang ke rumah. Zahra lalu menghubungi telepon rumah, dan menanyakan sama Bu Minah, kalau suaminya sudah pulang atau belum. [ Tuan Nazar belum pulang nyonya] jawab Mbok Minah di seberang sana. Zahra langsung menutup teleponnya, entahlah apa yang ada dalam pikiran Zahra saat ini. benar-benar Zahra sedang diuji cinta dan kesetiaannya. pagi ini di rumahnya Ahmad. "Ayah, masih bolehkah saya berbicara sama Mas Dilan?" tanya Zia.Ahmad menatap Putri bungsunya, terlihat kedua alisnya bertautan. "Memangnya ada apa?" tanya Ahmad. "Saya, tidak akan bercerai dengan mas Dilan. saya masih mencintai dia Aya