"Antara kamu menikah dengan pilihanmu sendiri, atau kamu Ayah jodohkan dengan pilihan Ayah! Titik!"Mengingat omongan sang ayah membuat Zahra Fatimah menghela napas.Sebelum berangkat ke kantor pagi itu, Zahra mengalami perdebatan dengan kedua orang tuanya. Karena sang adik berencana untuk segera menikah tanpa melangkahi dirinya, Zahra sekarang dipojokkan dengan ekspektasi untuk segera menikah oleh kedua orang tuanya.Yang jadi masalah, bagaimana mau menikah kalau pacar saja tidak punya? Zahra terlalu sibuk bekerja untuk mementingkan masalah percintaan! Lagi pula, kalau sang adik ingin menikah, kenapa tidak langsung saja? Kenapa malah ikut membebaninya?!Tradisi konyol!Menggerutu dalam hati selagi memegang kemudi, mata Zahra tanpa sengaja menatap sosok seorang pemulung di pinggir jalan.“Oh, ya ampun ....”Kalimat itu terlontar dari bibir Zahra bukan karena kasihan maupun prihatin, tapi ... karena terkejut. Pemulung itu tampan, sangat tampan.Meski wajahnya terlihat kumal oleh debu dan kotor
Jam empat sore setelah pulang kerja, Zahra kembali mendatangi tempat di mana mobilnya mogok tadi pagi.Tiba di tempat itu, Zahra melihat si pemulung masih duduk di tempat semula. Bahkan mobilnya masih terparkir dengan cantik di pinggir jalan. Bergegas Zahra turun dari taksi onlinenya.“Oh, rupanya datang juga, aku kira sudah lupa dengan janji,” celetuk si pemulung itu ketika Zahra menghampiri.Zahra menahan putaran matanya karena jengkel.“Mana mungkin saya lupa! KTP saya kan dipegang sama Mas!”Si pemulung terlihat menganggukkan kepalanya santai. Dia kemudian berdiri tepat di hadapan Zahra dengan tatapan dingin. “Lalu, bagaimana dengan janjimu untuk menikah denganku?”Zahra lalu menatap wajah si pemulung. Dia melihat lebih detail pahatan wajah tampan yang tertutup oleh debu.Bahkan, pakaian dengan warna lusuh yang sudah bolong di beberapa bagian itu tidak membuat ketampanan si pemulung tertutup sempurna.“Kenapa kamu bengong? Kamu mau mengingkari janji?” tanya si pemulung, mengacaukan pandan
“Kata Ibu, Zahra bebas memilih calon suami. Dan, inilah orang yang mau menikah dengan Zahra.”Zahra sudah menduga jika orang tuanya tidak akan langsung menerima. Toh, dia pun demikian.Hanya saja, Zahra akan terus bersikeras mempertahankan Nazar si pemulung sebagai calon suaminya sebagai bentuk protes.Dia tidak ingin ditekan oleh siapa pun. Tidak dengan orang tuanya, pun tidak dengan calon yang dipilihkan orang tuanya.Zahra berpendapat, akan lebih mudah mengontrol Nazar karena dia bisa membuat kesepakatan usai pertemuan ini usai.Kedua orang tua Zahra saling tatap, kemudian menatap dengan lamat ke arah Nazar. Mereka berdua berbisik-bisik, meski masih terdengar oleh Zahra maupun Nazar.“Gimana ini, Yah? Masa calon mantu kita dekil banget, bau lagi!”“Sudahlah, Bu. Mungkin kalau dia sudah mandi akan terlihat lebih bersih. Nanti Ayah akan kasih baju punya Ayah.” Kening ayah Zahra merengut, masih memperhatikan calon mantunya dengan detail. “Coba Ibu perhatikan, dia terlihat tampan, kok.”Zahra
Perdebatan antara Zahra dan Zia semakin pelik. Sepasangsaudara itu saling adu argumen.Zahra yang sudah frustrasi pada kekolotan orang tuanya untukmemegang teguh tradisi 'menikah tanpa dilangkah' pun berteriak, dengan linanganair mata. “Aku tahu, aku sudah tidak muda lagi, sudah tidak menariklagi. Apa yang bisa aku harap sekarang?”Orang tua dan adiknya terdiam. Namun, tiba-tiba sebuah suaradalam lelaki terdengar membela.“Siapa bilang? Yang bilang begitu pasti orang buta.”Suara lelaki itu begitu tegas dan dalam, tetapi sekaligusterasa hangat. Sontak, seluruh sorot mata keluarga itu menghadap si empunyasuara.“K-kamu—” Zahra bahkan tidak sanggup melanjutkan kalimatnya.Rupanya, dialah Nazar yang telah kembali bergabung bersamamereka di ruang tamu.Seluruh mata itu lantas terbelalak ketika melihat Nazar yangkini telah berganti pakaian. Sebuah kemeja putih berlengan panjang yang diagulung hingga siku, disertai celana panjang slim fit berwarna biru tua begituserasi di tubuhn
“Alah, paling juga mobil sewaan!" Zia kembali berkata nyinyir, padahal sepersekian detik tadi ekspresinya begitu terkejut. "Lagian, gegayaan ... Pemulung saja, sok-sokan sewa mobil mewah! Buang-buang uang, kayak uangnya banyak aja!"Ibu Zahra yang mendengar langsung menegur anak bungsunya. "Huss! Jangan gitu, Zi. Ya, mungkin memang Nazar punya teman yang baik, mau pinjamkan dia mobil?"Wajah Zia langsung memberengut. Nazar tampak ambil pusing dengan omongan keluarga sang istri, lelaki itu masih sibuk meletakkan koper di bagasi mobil. Sementara Zahra pun sudah tidak ingin bereaksi terhadap mulut nyinyir sang adik. Baginya, ada untungnya juga Nazar mengajaknya pindah saat ini juga. Dia tidak perlu pusing meladeni nyinyiran siapa pun tentang suaminya.“Ayah, Ibu Zahra pamit ya.” Mata Zahra langsung berkaca-kaca saat memeluk kedua orang tuanya. Dengan suara tertahan Ayah Zahra berpesan sama anaknya. “Hati-hati ya, Nak. Jaga kesehatan, jangan terlalu sibuk kerja, ingat kamu sudah punya s
"Ayo, kita masuk ke dalam." Alih-alih menjawab rasa penasaran sang istri, Nazar justru menggamit tangan Zahra dan membuat gadis tersebut kehilangan kata-kata."Tapi, Mas," sambil berjalan Zahra memanggil suaminya.Nazar menoleh dengan senyuman tipis tetapi memabukkan, "Kamu akan mendapatkan jawabannya nanti, Zahra."Darah Zahra sampai berdesir, saat melihat senyuman manis di bibir suaminya.Tiba di depan pintu rumah, dengan perlahan ngajar membuka pintu rumah. Wajah Zahra kembali terkejut, kini di hadapannya. Ada 4 orang yang sedang berdiri tegak. "Selamat datang nyonya Al Ghazali," semua pelayan itu mengangguk hormat, Zahra melihat salah satu diantaranya ada yang sudah berumur."Te-terima kasih," ucap Zahra gugup, sedangkan suaminya terlihat biasa-biasa saja, bahkan sepertinya tidak merespon, dengan penyambutan keempat orang itu. Setelah melewati keempat orang itu, Zahra lalu mengikuti suaminya naik ke lantai atas. Dia benar-benar kagum melihat interior rumah ini. Banyak sekali or
"Apa yang sedang kamu pikirkan?"Tubuh Zahra berjengit ketika mendengar suara baritone itu tepat di telinganya.Dia langsung menoleh dan menemukan Nazar telah berada di belakangnya, dengan tubuh yang sudah lebih segar dan harum sabun, juga pakaian santai yang berbeda."Oh, ini ...." Zahra menunjuk sebuah foto di mana keheranan kembali menghantuinya. "Katanya Mas hanya karyawan, kenapa bisa foto sama mereka?""Waktu itu disuruh ikut." Nazar menjawab dengan singkat. "Perutku sudah lapar, ayo kita makan." Setelahnya, dia langsung menarik tangan Zahra menuju tempat makan."Silakan tuan," pelayan itu kembali membungkuk badannya hormat."Silakan nyonya Al Ghazali." salah seorang pelayan menarik kursi yang ada di samping Nazar. Zahra yang belum terbiasa diperlakukan bak ratu masih melongo mendapati perlakuan istimewa seperti ini.Satu orang pelayan membalikkan piring, tapi ketika tangan pelayan hendak mengambil makanan. Nazar langsung menahan tangan pelayan itu."Biarkan istri saya yang mel
Wajah para pelayan terlihat tegang. Apakah pertanyaan itu begitu sulit untuk mereka? Begitu pikir Zahra."Aku menempati rumah ini karena sudah lama kosong dan ditinggalkan pemiliknya." Suara bariton terdengar. Zahra menoleh ke belakang, melihat sang suami sudah terlihat segar dengan rambut basah.“Loh, Mas Nazar? Aku kira masih tidur.”"Kenapa, Sayang?" tanya Nazar dengan mesra. Zahra terdiam bingung sekaligus gugup dengan panggilan sayang yang diucapkan Nazar. Sementara para pelayan mundur selangkah demi menghindari kedatangan tuannya. Mereka menunduk dalam seakan siap disalahkan.Zahra merasa heran melihat reaksi tegang para pelayan, yang sebelumnya tampaknya sulit untuk menjawab pertanyaan. Perasaan was-was itu terbayang di matanya saat Nazar berbicara dengan tegas."Tid— tidak ada apa-apa." Zahra menyembunyikan rasa khawatir di matanya. Dia merasa ada yang aneh, tetapi tidak yakin apa yang sebenarnya terjadi di balik semua ini.Nazar menatap Zahra dengan sorot mata curiga. "Ka