"Apa yang sedang kamu pikirkan?"
Tubuh Zahra berjengit ketika mendengar suara baritone itu tepat di telinganya.
Dia langsung menoleh dan menemukan Nazar telah berada di belakangnya, dengan tubuh yang sudah lebih segar dan harum sabun, juga pakaian santai yang berbeda.
"Oh, ini ...." Zahra menunjuk sebuah foto di mana keheranan kembali menghantuinya. "Katanya Mas hanya karyawan, kenapa bisa foto sama mereka?"
"Waktu itu disuruh ikut." Nazar menjawab dengan singkat. "Perutku sudah lapar, ayo kita makan." Setelahnya, dia langsung menarik tangan Zahra menuju tempat makan.
"Silakan tuan," pelayan itu kembali membungkuk badannya hormat.
"Silakan nyonya Al Ghazali." salah seorang pelayan menarik kursi yang ada di samping Nazar.
Zahra yang belum terbiasa diperlakukan bak ratu masih melongo mendapati perlakuan istimewa seperti ini.
Satu orang pelayan membalikkan piring, tapi ketika tangan pelayan hendak mengambil makanan. Nazar langsung menahan tangan pelayan itu.
"Biarkan istri saya yang melayani," ucap Nazar sambil melihat ke arah Zahra.
Kemudian, dengan tangan gemetar dan jantung yang berdetak lebih cepat ... Zahra melayani sang suami. Dia mengambilkan lauk-pauk yang ada di meja makan untuk ditaruh di piring sang suami.
Lalu, ketika Zahra baru akan menyendok untuk dirinya sendiri, Nazar lebih dulu melakukan hal yang sama seperti yang tadi istrinya lakukan.
"Makan yang banyak. Sedari tadi aku lihat, belum ada makanan yang masuk ke perutmu." Lelaki itu berkata dengan penuh perhatian, membuat wajah Zahra memerah seperti tomat.
Perlakuan Nazar yang begitu perhatian nyatanya tak berhenti sampai sana. Usai makan, Nazar kembali mengajaknya ke kamar.
Lelaki itu berjalan menuju walk in closet, dan kembali ke arah Zahra dengan membawa sebuah kotak yang tampak seperti kotak perhiasan.
"Apa itu, Mas?" tanya Zahra.
"Buka saja. Ini buatmu." Nazar menyerahkan kotak beludru merah itu ke arah Zahra.
Dengan ragu-ragu, Zahra membukanya dan memelotot begitu menemukan isi kotak tersebut benar-benar sebuah perhiasan.
Tidak hanya satu, tetapi satu set lengkap dengan kilauan yang begitu menyilaukan mata.
"I-ini ... Perhiasan ini--" Saking terkejutnya Zahra, dia bahkan kesulitan untuk bertanya, dari mana sang suami yang katanya hanya pemulung, juga merangkap penjaga rumah ini bisa memiliki perhiasan seperti ini?
Sebab, meski bukan penggemar perhiasan, Zahra tahu jika perhiasan ini bukanlah perhiasan murah.
"Pakailah." Nazar kemudian mengambil sebuah gelang, dan memakaikannya dengan lembut di pergelangan tangan sang istri.
Perlakuan lembut Nazar padanya benar-benar membuat Zahra begitu terhanyut. Tubuhnya bahkan seakan tidak punya tulang, beruntung dia sedikit bersandar pada ujung ranjangnya yang cukup tinggi.
"Semua yang ada di kamar ini adalah milikmu," tambah Nazar, menunjuk ke segala penjuru kamar. "Coba kamu buka semua lemari itu ... Semua barang-barang itu sudah disiapkan untukmu."
Saking terkejutnya Zahra, dia sampai tidak bisa berkata-kata selain menganggukkan kepalanya.
Nazar tersenyum, kemudian lelaki itu membelai lembut kepala Zahra. Wajah Zahra terlihat memerah bak kepiting rebus, jarak wajah keduanya hanya hanya beberapa inci saja, sampai napas hangat Nazar terasa di pipi Zahra menimbulkan gelayar aneh di sekujur tubuhnya.
Dengan lembut, gadis itu kemudian dipimpin Nazar untuk berbaring di ranjang king size mereka.
‘Apakah, dia akan meminta haknya malam ini?’ Zahra menahan napas sejenak.
"Tidurlah dulu. Aku ada sedikit pekerjaan."
Hanya itu, yah, hanya itu saja yang Nazar ucapkan setelah membuat khayalan Zahra terbang setinggi langit dan berakhir kecewa. ‘Malunya aku, apa yang aku harapkan?’ batin Zahra langsung menarik selimut dan menyembunyikan tubuhnya.
Dan, tentu saja ... Selepas Nazar pergi, mata Zahra tidak kunjung bisa terpejam. Semakin banyak kejanggalan yang dia temukan di diri sang suami, tetapi dia bingung bagaimana bertanya hal tersebut pada sang suami yang terus mengelak belum lagi sikap malu-malu bak abg yang baru saja dia lakukan. Sungguh ingin Zahra menggali lubang sedalam-dalamnya dan mengubur diri.
“Argh, sial, aku tidak bisa tidur!” Zahra menendang selimut lalu gegas bangkit berdiri.
Dia keluar kamar lalu menyusuri lorong yang remang. “Nazar.” Zahra memanggil, tapi tidak ada sambutan. “Pekerjaan apa yang sedang dia lakukan sebenarnya?” Wanita itu menuruni anak tangga, terus mencari keberadaan sang suami … hingga samar mendengar suara bariton di luar rumah.
“Kamu yakin tentang itu?”
Suara Nazar tertangkap pendengaran Zahra, wanita itu mempercepat langkah untuk bisa sampai ke pintu.
“Saya yakin, Tuan.” Entah suara siapa kali ini yang terdengar.
“Ayo pergi untuk melihat!”
Namun, baru saja Zahra sampai di pintu depan, derum mobil berbunyi dan terlihat meninggalkan pekarangan rumah mewah itu.
“Mas Nazar!” teriak Zahra untuk kesekian kali memanggil sang suami. “Argh! Apa yang sebenarnya terjadi dengan semua keanehan ini. Apa yang mereka bicarakan?” Zahra berbicara sendiri tanpa ada yang menjawab. Kepalanya berdenyut nyeri, terlalu lelah untuk memikirkan hal lain, hingga akhirnya menyerah dan memutuskan kembali ke kamar.
Saat bangun pagi, Zahra melebarkan mata terkejut melihat tangan suaminya, berada di pinggang. Zahra menoleh ke arah wajah sang suami. Wajah tampan itu terlihat begitu nyenyak tertidur. “Pukul berapa dia pulang semalam?” tanya Zahra.
Niatnya, Zahra akan menginterogasi suaminya saat di pagi hari, perihal kepergiannya semalam. Sayang, kini melihat sang suami kelelahan…dia jadi tidak tega membangunkan semuanya. Kemudian Zahra bergegas ke dapur, sambil menunggu sang suami, dia berencana membuat sarapan. Meskipun kemampuannya memasak tidak terlalu memuaskan. Zahra ingin sedikit membuat kejutan.
Tiba di dapur, para pelayan terlihat sedang sibuk. Salah seorang pelayan menoleh ke arah Zahra.
“Selamat pagi Nyonya Al,” pelayan itu langsung membukukan badannya diikuti oleh pelayan lain.
“Apa yang kalian lakukan? Mengapa kalian hormat seperti itu?”
Para pelayan itu hanya terdiam saling pandang kemudian berpencar kembali mengerjakan tugas masing-masing. Tanpa berkomentar, sungguh Zahra diabaikan begitu saja.
Zahra memijat kening lalu menghela napas. “Saya mau membuat sarapan pagi buat—” ucap Zahra sambil berjalan.
“Tidak usah Nyonya, nanti saya ditegur Tuan—” sambar salah seorang karyawan sambil menundukkan kepalanya.
Zahra kembali terkejut. ‘Kenapa mereka melarang aku?’ Zahra berdecak, dia menyilangkan tangan bersedekap menatap tajam pelayan yang melarang dia memasak.
“Aku sudah memikirkan banyak kejadian janggal. Jangan membodohiku lagi. Katakan siapa sebenarnya suamiku, aku diberi kamar paling mewah, dan apa rumah ini benar milik suamiku?”
“Iya, Nyonya, itu—”
Wajah para pelayan terlihat tegang. Apakah pertanyaan itu begitu sulit untuk mereka? Begitu pikir Zahra."Aku menempati rumah ini karena sudah lama kosong dan ditinggalkan pemiliknya." Suara bariton terdengar. Zahra menoleh ke belakang, melihat sang suami sudah terlihat segar dengan rambut basah.“Loh, Mas Nazar? Aku kira masih tidur.”"Kenapa, Sayang?" tanya Nazar dengan mesra. Zahra terdiam bingung sekaligus gugup dengan panggilan sayang yang diucapkan Nazar. Sementara para pelayan mundur selangkah demi menghindari kedatangan tuannya. Mereka menunduk dalam seakan siap disalahkan.Zahra merasa heran melihat reaksi tegang para pelayan, yang sebelumnya tampaknya sulit untuk menjawab pertanyaan. Perasaan was-was itu terbayang di matanya saat Nazar berbicara dengan tegas."Tid— tidak ada apa-apa." Zahra menyembunyikan rasa khawatir di matanya. Dia merasa ada yang aneh, tetapi tidak yakin apa yang sebenarnya terjadi di balik semua ini.Nazar menatap Zahra dengan sorot mata curiga. "Ka
“Sudah aku bilang ada sedikit pekerjaan,” jawab Nazar kembali dengan sikap dinginnya. Zahra kembali menelan kekecewaannya, karena jawaban suaminya tidak sesuai harapan.Bahkan sampai malam tiba, Zahra belum berhasil mengorek identitas suaminya itu. Tapi kekecewaan hati Zahra, tergantikan oleh sikap Nazar yang sudah manis kembali.Mereka bahkan melakukan malam pertama, usai sang suami dengan sejuta pesonanya itu mampu meyakinkan Zahra.Tubuh Nazar yang sedari awal terlihat menggoda, ternyata sesuai dengan kepiawaian pria itu membuat Zahra melambung ke angkasa. Dia yang semula takut merasakan sakit, juga masih ada keraguan sebab sang suami masih menyimpan rahasia, seolah lupa karena perlakuan Nazar yang begitu lembut padanya. Sudah 3 hari, Zahra cuti dari tempat kerjanya. Dan hari ini, Zahra akan pergi ke kantor seperti biasa.“Sudah aku siapkan baju kerja buat kamu Mas. Walaupun kamu cuma pemulung, tidak ada salahnya pakaian kamu bersih,” ucap Zahra saat Nazar baru keluar dari kamar
Zahra yang mendengar semua kalimat itu menoleh ke arah Nazar. Dia yang sudah sangat kesal karena cemoohan karyawan sedari pagi, tiba-tiba menyetujui kalimat pengandaian tersebut.Namun, dia buru-buru mengelak, “Bangun, Zahra! Kamu bukan hidup di negeri dongeng“Sayang, terima kasih sudah datang menjemputku,” ucap Zahra mesraNazar yang sudah merasakan situasi yang sedang terjadi, langsung menyambut mesra ucapan Zahra.Cup….! Malah suara kecupan di bibir terdengar jelas di telinga teman Zahra.Sementara Zahra langsung merah merona setelah mendapat kecupan manis dari suaminya. Zahra tidak menyangka akan diperlakukan seromantis ini. Apalagi di depan umum.“Ayo sayang!” Ajak Nazar sambil menyodorkan lengannya. Zahra menerima uluran tangan suaminya, lalu….. Zahra mendekati temannya.“ Awas tuh mulut jangan terbuka terus, nanti lalat ada yang hinggap lho, lidah kan bukan landasan kapal terbang…,sorry,” ucap Zahra asal, lalu melambaikan tangan ke arah temannya.Mata temannya langsung mendeli
“Ada apa sayang?” Tanya Nazar usai Zahra menerima telepon dari orang tuanya. “Ayah menelpon Mas, beliau mengajak kita bertemu. Katanya sih ada yang harus dibicarakan, untuk pernikahan Zia,” jawab Zahra. “Oh,” jawab sambil menyibakkan selimutnya. Pria itu tidak berkomentar banyak, lebih memilih untuk berjalan menuju kamar mandi. Zahra memperhatikan setiap gerak-gerik suaminya. “Tidak ada yang aneh, seperti biasa dia pulang, dan kembali saat malam,” gumam Zahra dalam hati. Rasa kantuk menyerang Zahra, tapi cacing di perutnya meronta-ronta. Rupanya dia lupa makan, saking kecapean setelah pulang kerja.Waktu menunjukkan pukul 08.00 malam, Zahra bergegas membersihkan diri. Rencananya mau menyiapkan makan malam.“Bagaimana Mas, Ayah mengajak kita bertemu?” Tanya Zahra saat dia dan sang suami sudah berada di ruangan makan.“Tidak masalah,” jawab Nazar.“Tapi…..” Zahra menghentikan ucapannya, terlihat ragu-ragu.“Tapi apa?” Tanya Nazar cepat, matanya menatap ke arah Zahra.“Zia ingin ber
Baik Zahra maupun Nazar sebetulnya mendengar komentar nyinyir Zia. Namun, mereka tidak ingin merusak suasana, sehingga memilih untuk tidak menghiraukan dan kembali fokus pada tujuan utama mereka.“Terima kasih Nak, sudah meluangkan waktu untuk kami,” ucap Ayah Zahra setelah mereka duduk.Sikap sinis Zia masih terlihat, malah tidak menyapa kakak iparnya sedikitpun. Adik Zahra itu asik dengan ponsel di tangannya. Ternyata yang dilakukan oleh Zia adalah mengambil foto, lalu mengupload di semua media sosial. Bahwa dirinya sedang makan di sebuah restoran yang mewah. “Teman-temanku pasti memujiku, mereka pasti iri karena aku bisa makan di restoran semewah ini,” ucap Zia dalam hati, terlihat dari sikap sombongnya.“Sama-sama Ayah, ibu maaf kami baru ada waktu sekarang,” Nazar malah yang menjawabnya.“Yang namanya seorang pemulung, pasti tidak ada waktu lah. Ngurusin barang rongsokan juga kan tidak ada habisnya,” sindir Zia sinis.Mata Zahra langsung melotot ke arah adiknya, tapi di bawah m
Bab 13.“Ya gratis, apa aku harus ulang jawabanku?” Jawab Nazar sambil balik nanya, ekspresi wajahnya terlihat berubah menjadi dinginZia masih melongo, karena kaget mendengar ucapan kakak iparnya. “Mas Nazar! Kamu jangan bercanda deh, Dari mana kamu mendapatkan uang mas, kamu kan hanya seorang pemulung,” ejek Zia dengan suara cukup keras. Lalu tertawa sini ke arah kakak iparnya.Sedangkan Dilan, terlihat mengusap-usap tengkuk lehernya. Mungkin untuk menutupi rasa malunya. Zahra benar-benar jengkel dengan tingkah adiknya. Tapi di bawah meja, tangan Nazar terus menggenggam telapak tangan Zahra. Sebagai kode, agar Zahra tetap tenang.“Zia, kamu tenang Nak, duduklah,” Ayah Zahra menenangkan anak bungsunya. Beberapa pengunjung restoran, melihat ke arah meja mereka. Mungkin ada yang merasa terganggu dengan suara gaduh dari meja yang diisi oleh keluarga Zahra.Sambil mendengus kesal, Zia lalu duduk di samping Dilan. Bibirnya cemberut dan kedua tangannya bersedekap di dada.Ayahnya Zahra
“Ada apa sih dengan mereka berdua?” Tanya Zia dengan raut wajah kesal. Dilan terlihat mengangkat bahu, sedangkan kedua orang tuanya Zahra yang mengangkat kedua alisnya. Toh makanan sudah di bayar oleh menantunya.“Kita pulang Bu, urusan kita sudah selesai sama Zahra dan suaminya,” Ayah Zahra langsung mengajak istrinya pulang. Zia wajahnya terlihat cemberut, mungkin masih betah berlama-lama di restoran mewah ini. “Ayo Zia! Ngapain kita lama-lama di restoran ini!” Ucapan Ayah Zahra naik satu oktaf, mungkin karena kesal dengan sikap anak bungsunya. Ayah Zahra malu dengan sikap Zia semenjak datang ke restoran ini“Sebentar lagi Ayah,” Zia benar-benar keras kepala, tidak mau mengikuti perintah ayahnya.“Ayo Zia!” Akhirnya suara keras keluar dari mulut Ibu Zahra, karena merasa dipermalukan oleh anaknya. Terdengar suara dering telepon, semua menoleh ke arah telepon, ternyata ponselnya Dilan memanggil si pemiliknya.Dilan melihat ponselnya, lalu bergerak sedikit menjauh. Zia menautkan ked
Zahra tidak tahu, kenapa rekan kerjanya itu memberikan kode seperti tadi. Zahra benar-benar tidak mengerti. Rekan kerjanya itu asisten Bos Zahra."Eh Ra, kenapa tadi pak Randi? Kok mengedipkan matanya sebelah sama kamu?" Tanya teman kerja Zahra yang sikapnya selalu baik."Enggak tahu," jawab Zahra sambil mengangkat bahunya kembali. Karena memang tidak tahu, dan harus menjawab apa."Ra, aku merasa aneh deh," ucap teman Zahra, meja kerja mereka bersebelahan. Matanya tak lepas- lepas menatap terus ke arah perhiasan yang melekat di tubuh Zahra."Maksudnya?" Tanya Zahra heran."Entahlah, tapi aku merasa suami kamu itu aneh, kamu merasa aneh atau tidak?" Jawab temannya Zahra sambil balik nanya."Duh sorry deh, jangan bahas suami aku dulu, banyak pekerjaan yang harus aku kerjakan," jawab Zahra. Memang Zahra benar-benar malas kalau ada yang bertanya tentang suaminya. Zahra lalu kembali fokus, dengan pekerjaan yang ada di meja kerjanya. Sedangkan temannya malah mengangkat bahu sambil matanya