Share

Bab 7

"Apa yang sedang kamu pikirkan?"

Tubuh Zahra berjengit ketika mendengar suara baritone itu tepat di telinganya.

Dia langsung menoleh dan menemukan Nazar telah berada di belakangnya, dengan tubuh yang sudah lebih segar dan harum sabun, juga pakaian santai yang berbeda.

"Oh, ini ...." Zahra menunjuk sebuah foto di mana keheranan kembali menghantuinya. "Katanya Mas hanya karyawan, kenapa bisa foto sama mereka?"

"Waktu itu disuruh ikut." Nazar menjawab dengan singkat. "Perutku sudah lapar, ayo kita makan." Setelahnya, dia langsung menarik tangan Zahra menuju tempat makan.

"Silakan tuan," pelayan itu kembali membungkuk badannya hormat.

"Silakan nyonya Al Ghazali." salah seorang pelayan menarik kursi yang ada di samping Nazar. 

Zahra yang belum terbiasa diperlakukan bak ratu masih melongo mendapati perlakuan istimewa seperti ini.

Satu orang pelayan membalikkan piring, tapi ketika tangan pelayan hendak mengambil makanan. Nazar langsung menahan tangan pelayan itu.

"Biarkan istri saya yang melayani," ucap Nazar sambil melihat ke arah Zahra.

Kemudian, dengan tangan gemetar dan jantung yang berdetak lebih cepat ... Zahra melayani sang suami. Dia mengambilkan lauk-pauk yang ada di meja makan untuk ditaruh di piring sang suami.

Lalu, ketika Zahra baru akan menyendok untuk dirinya sendiri, Nazar lebih dulu melakukan hal yang sama seperti yang tadi istrinya lakukan.

"Makan yang banyak. Sedari tadi aku lihat, belum ada makanan yang masuk ke perutmu." Lelaki itu berkata dengan penuh perhatian, membuat wajah Zahra memerah seperti tomat.

Perlakuan Nazar yang begitu perhatian nyatanya tak berhenti sampai sana. Usai makan, Nazar kembali mengajaknya ke kamar.

Lelaki itu berjalan menuju walk in closet, dan kembali ke arah Zahra dengan membawa sebuah kotak yang tampak seperti kotak perhiasan.

"Apa itu, Mas?" tanya Zahra.

"Buka saja. Ini buatmu." Nazar menyerahkan kotak beludru merah itu ke arah Zahra.

Dengan ragu-ragu, Zahra membukanya dan memelotot begitu menemukan isi kotak tersebut benar-benar sebuah perhiasan.

Tidak hanya satu, tetapi satu set lengkap dengan kilauan yang begitu menyilaukan mata.

"I-ini ... Perhiasan ini--" Saking terkejutnya Zahra, dia bahkan kesulitan untuk bertanya, dari mana sang suami yang katanya hanya pemulung, juga merangkap penjaga rumah ini bisa memiliki perhiasan seperti ini?

Sebab, meski bukan penggemar perhiasan, Zahra tahu jika perhiasan ini bukanlah perhiasan murah. 

"Pakailah." Nazar kemudian mengambil sebuah gelang, dan memakaikannya dengan lembut di pergelangan tangan sang istri.

Perlakuan lembut Nazar padanya benar-benar membuat Zahra begitu terhanyut. Tubuhnya bahkan seakan tidak punya tulang, beruntung dia sedikit bersandar pada ujung ranjangnya yang cukup tinggi.

"Semua yang ada di kamar ini adalah milikmu," tambah Nazar, menunjuk ke segala penjuru kamar. "Coba kamu buka semua lemari itu ... Semua barang-barang itu sudah disiapkan untukmu."

Saking terkejutnya Zahra, dia sampai tidak bisa berkata-kata selain menganggukkan kepalanya.

Nazar tersenyum, kemudian lelaki itu membelai lembut kepala Zahra. Wajah Zahra terlihat memerah bak kepiting rebus, jarak wajah keduanya hanya hanya beberapa inci saja, sampai napas hangat Nazar terasa di pipi Zahra menimbulkan gelayar aneh di sekujur tubuhnya.

Dengan lembut, gadis itu kemudian dipimpin Nazar untuk berbaring di ranjang king size mereka. 

‘Apakah, dia akan meminta haknya malam ini?’ Zahra menahan napas sejenak.

"Tidurlah dulu. Aku ada sedikit pekerjaan."

Hanya itu, yah, hanya itu saja yang Nazar ucapkan setelah membuat khayalan Zahra terbang setinggi langit dan berakhir kecewa. ‘Malunya aku, apa yang aku harapkan?’ batin Zahra langsung menarik selimut dan menyembunyikan tubuhnya.

Dan, tentu saja ... Selepas Nazar pergi, mata Zahra tidak kunjung bisa terpejam. Semakin banyak kejanggalan yang dia temukan di diri sang suami, tetapi dia bingung bagaimana bertanya hal tersebut pada sang suami yang terus mengelak belum lagi sikap malu-malu bak abg yang baru saja dia lakukan. Sungguh ingin Zahra menggali lubang sedalam-dalamnya dan mengubur diri.

“Argh, sial, aku tidak bisa tidur!” Zahra menendang selimut lalu gegas bangkit berdiri.

Dia keluar kamar lalu menyusuri lorong yang remang. “Nazar.” Zahra memanggil, tapi tidak ada sambutan. “Pekerjaan apa yang sedang dia lakukan sebenarnya?” Wanita itu menuruni anak tangga, terus mencari keberadaan sang suami … hingga samar mendengar suara bariton di luar rumah.

“Kamu yakin tentang itu?”

Suara Nazar tertangkap pendengaran Zahra, wanita itu mempercepat langkah untuk bisa sampai ke pintu.

“Saya yakin, Tuan.” Entah suara siapa kali ini yang terdengar. 

“Ayo pergi untuk melihat!”

Namun, baru saja Zahra sampai di pintu depan, derum mobil berbunyi dan terlihat meninggalkan pekarangan rumah mewah itu.

“Mas Nazar!” teriak Zahra untuk kesekian kali memanggil sang suami. “Argh! Apa yang sebenarnya terjadi dengan semua keanehan ini. Apa yang mereka bicarakan?” Zahra berbicara sendiri tanpa ada yang menjawab. Kepalanya berdenyut nyeri, terlalu lelah untuk memikirkan hal lain, hingga akhirnya menyerah dan memutuskan kembali ke kamar.

Saat bangun pagi, Zahra melebarkan mata terkejut melihat tangan suaminya, berada di pinggang. Zahra menoleh ke arah wajah sang suami. Wajah tampan itu terlihat begitu nyenyak tertidur. “Pukul berapa dia pulang semalam?” tanya Zahra.

Niatnya, Zahra akan menginterogasi suaminya saat di pagi hari, perihal kepergiannya semalam. Sayang, kini melihat sang suami kelelahan…dia jadi tidak tega membangunkan semuanya. Kemudian Zahra bergegas ke dapur, sambil menunggu sang suami, dia berencana membuat sarapan. Meskipun kemampuannya memasak tidak terlalu memuaskan. Zahra ingin sedikit membuat kejutan.

Tiba di dapur, para pelayan terlihat sedang sibuk. Salah seorang pelayan menoleh ke arah Zahra.

“Selamat pagi Nyonya Al,” pelayan itu langsung membukukan badannya diikuti oleh pelayan lain.

“Apa yang kalian lakukan? Mengapa kalian hormat seperti itu?”

Para pelayan itu hanya terdiam saling pandang kemudian berpencar kembali mengerjakan tugas masing-masing. Tanpa berkomentar, sungguh Zahra diabaikan begitu saja.

Zahra memijat kening lalu menghela napas. “Saya mau membuat sarapan pagi buat—” ucap Zahra sambil berjalan.

“Tidak usah Nyonya, nanti saya ditegur Tuan—” sambar salah seorang karyawan sambil menundukkan kepalanya.

Zahra kembali terkejut. ‘Kenapa mereka melarang aku?’ Zahra berdecak, dia menyilangkan tangan bersedekap menatap tajam pelayan yang melarang dia memasak. 

“Aku sudah memikirkan banyak kejadian janggal. Jangan membodohiku lagi. Katakan siapa sebenarnya suamiku, aku diberi kamar paling mewah, dan apa rumah ini benar milik suamiku?” 

“Iya, Nyonya, itu—”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status