Baik Zahra maupun Nazar sebetulnya mendengar komentar nyinyir Zia. Namun, mereka tidak ingin merusak suasana, sehingga memilih untuk tidak menghiraukan dan kembali fokus pada tujuan utama mereka.“Terima kasih Nak, sudah meluangkan waktu untuk kami,” ucap Ayah Zahra setelah mereka duduk.Sikap sinis Zia masih terlihat, malah tidak menyapa kakak iparnya sedikitpun. Adik Zahra itu asik dengan ponsel di tangannya. Ternyata yang dilakukan oleh Zia adalah mengambil foto, lalu mengupload di semua media sosial. Bahwa dirinya sedang makan di sebuah restoran yang mewah. “Teman-temanku pasti memujiku, mereka pasti iri karena aku bisa makan di restoran semewah ini,” ucap Zia dalam hati, terlihat dari sikap sombongnya.“Sama-sama Ayah, ibu maaf kami baru ada waktu sekarang,” Nazar malah yang menjawabnya.“Yang namanya seorang pemulung, pasti tidak ada waktu lah. Ngurusin barang rongsokan juga kan tidak ada habisnya,” sindir Zia sinis.Mata Zahra langsung melotot ke arah adiknya, tapi di bawah m
Bab 13.“Ya gratis, apa aku harus ulang jawabanku?” Jawab Nazar sambil balik nanya, ekspresi wajahnya terlihat berubah menjadi dinginZia masih melongo, karena kaget mendengar ucapan kakak iparnya. “Mas Nazar! Kamu jangan bercanda deh, Dari mana kamu mendapatkan uang mas, kamu kan hanya seorang pemulung,” ejek Zia dengan suara cukup keras. Lalu tertawa sini ke arah kakak iparnya.Sedangkan Dilan, terlihat mengusap-usap tengkuk lehernya. Mungkin untuk menutupi rasa malunya. Zahra benar-benar jengkel dengan tingkah adiknya. Tapi di bawah meja, tangan Nazar terus menggenggam telapak tangan Zahra. Sebagai kode, agar Zahra tetap tenang.“Zia, kamu tenang Nak, duduklah,” Ayah Zahra menenangkan anak bungsunya. Beberapa pengunjung restoran, melihat ke arah meja mereka. Mungkin ada yang merasa terganggu dengan suara gaduh dari meja yang diisi oleh keluarga Zahra.Sambil mendengus kesal, Zia lalu duduk di samping Dilan. Bibirnya cemberut dan kedua tangannya bersedekap di dada.Ayahnya Zahra
“Ada apa sih dengan mereka berdua?” Tanya Zia dengan raut wajah kesal. Dilan terlihat mengangkat bahu, sedangkan kedua orang tuanya Zahra yang mengangkat kedua alisnya. Toh makanan sudah di bayar oleh menantunya.“Kita pulang Bu, urusan kita sudah selesai sama Zahra dan suaminya,” Ayah Zahra langsung mengajak istrinya pulang. Zia wajahnya terlihat cemberut, mungkin masih betah berlama-lama di restoran mewah ini. “Ayo Zia! Ngapain kita lama-lama di restoran ini!” Ucapan Ayah Zahra naik satu oktaf, mungkin karena kesal dengan sikap anak bungsunya. Ayah Zahra malu dengan sikap Zia semenjak datang ke restoran ini“Sebentar lagi Ayah,” Zia benar-benar keras kepala, tidak mau mengikuti perintah ayahnya.“Ayo Zia!” Akhirnya suara keras keluar dari mulut Ibu Zahra, karena merasa dipermalukan oleh anaknya. Terdengar suara dering telepon, semua menoleh ke arah telepon, ternyata ponselnya Dilan memanggil si pemiliknya.Dilan melihat ponselnya, lalu bergerak sedikit menjauh. Zia menautkan ked
Zahra tidak tahu, kenapa rekan kerjanya itu memberikan kode seperti tadi. Zahra benar-benar tidak mengerti. Rekan kerjanya itu asisten Bos Zahra."Eh Ra, kenapa tadi pak Randi? Kok mengedipkan matanya sebelah sama kamu?" Tanya teman kerja Zahra yang sikapnya selalu baik."Enggak tahu," jawab Zahra sambil mengangkat bahunya kembali. Karena memang tidak tahu, dan harus menjawab apa."Ra, aku merasa aneh deh," ucap teman Zahra, meja kerja mereka bersebelahan. Matanya tak lepas- lepas menatap terus ke arah perhiasan yang melekat di tubuh Zahra."Maksudnya?" Tanya Zahra heran."Entahlah, tapi aku merasa suami kamu itu aneh, kamu merasa aneh atau tidak?" Jawab temannya Zahra sambil balik nanya."Duh sorry deh, jangan bahas suami aku dulu, banyak pekerjaan yang harus aku kerjakan," jawab Zahra. Memang Zahra benar-benar malas kalau ada yang bertanya tentang suaminya. Zahra lalu kembali fokus, dengan pekerjaan yang ada di meja kerjanya. Sedangkan temannya malah mengangkat bahu sambil matanya
“Siapa Bik?” Tanya Zia sambil menatap intens ke arah art nya.“Kedua orang tuanya Mas Dilan, Non,” jawab bibik.Zia menautkan kedua alisnya, karena tidak biasanya calon mertua datang sore hari. Atau setidaknya memberikan kabar terlebih dahulu. “Ada apa dengan orang tua mas Dilan ya?” Tanya Zia dalam hati. “ Ya sudah bik ke belakang saja,” Zia langsung menyuruh art-nya untuk kembali ke belakang.Zia ia langsung bangkit dari tempat, lalu berjalan ke arah ruang tamu. Terlihat kedua calon mertuanya sudah duduk di kursi ruang tamu.Ibunya Dilan langsung menyapa calon menantunya. “ Assalamualaikum Zia.”“Waalaikumsalam,” jawab Zia sambil tersenyum, selalu mencium punggung tangan kedua calon mertuanya. Zia langsung duduk berseberangan.“Tumben ayah dan ibu datang kemari, ada apa ya?” Zia. Zia memang sudah biasa memanggil kedua orangtuanya Dilan dengan panggilan ayah dan ibu.“Ayah dan Ibu Zia ada?” Ibunya Dilan.Zia tambah heran, kenapa kedua orang tuanya Dilan, ingin bertemu langsung deng
“Atau kita apa, Zia?” Tanya Ibu Zahra.“Iya, cepat katakan!” Ucap Ayah Zahra.“Bagaimana kalau kita pinjam sama Kak Zahra?” Jawab Zia.“Apa!!!” Pekik kedua orang tua Zahra.“Kita pinjam sama kak Zahra, Dia mungkin banyak tabungan. Nikahnya kemarin secara sederhana kan, jadi kita pinjamkan uang saja sama kak Zahra. Dan untuk bayarnya kita limpahkan saja sama orang tuanya Mas Dilan,” ucap Zahra terlihat santai.“Apa kamu tidak salah bicara Zia, Masa sih harus pinjam ke kakak kamu. Kamu tahu sendiri kan suami Zahra seorang pemulung,” ujar ibu Zahra.“Siapa tahu Kak Zahra punya tabungan,”sambar Zia dengan wajah kesal.“Tapi, tetap saja Ayah tidak setuju. Hanya demi sebuah pesta pernikahan mewah. Kita harus pinjam sana sini, untuk menutupi rasa malu mereka,” ucap ayah Zahra cepat.Wajah Zia langsung ditekuk, hatinya benar-benar kesal. “ Masa sih pesta pernikahan asal-asalan, mau ditaruh di mana mukaku ini,” rutuk Zia dalam hati.“Pokoknya hari ini harus dibicarakan dengan baik-baik. Ayah t
“Mas!” Teriak Zahra memanggil suaminya. Entah kenapa malam ini Zahra begitu ketakutan. Mungkin Zahra takut suaminya meninggalkan dirinya, seperti malam-malam kemarin.Wajah Zahra tampak pucat, tubuhnya terasa gemetar. Keringat dingin membanjiri tubuh Zahra. “Ya Allah, Mas Nazar. Kamu ke mana sih?” Tanya Zahra dalam hati, aja Zahra tampak cemas dan panik.Clek…..”Pintu kamar terbuka, tampak Nazar masuk ke dalam kamar. Sontak Zahra berteriak sambil berhambur ke pelukan suaminya.“Mas!!!” Teriak Zahra lalu menangis tersedu-sedu. Nazar langsung menautkan kedua alisnya. Tangannya masih terangkat di udara. Zahra terus menangis sambil memeluk Nazar.“Mas! Jangan tinggalkan Aku. Tolong jangan tinggalkan aku Mas!” Ucap Zahra dalam Isak tangisnya.Nazar lalu mengelus punggung Zahra, rupanya Nazar mengerti apa yang terjadi dengan istrinya.“Tidak sayang, Maaf tadi aku keluar dari kamar,” ucap Nazar sambil mengangkat tubuh Zahra, lalu menggendongnya ke atas tempat tidur.Tubuh Zahra lalu dibar
“Apa sih Bu? Rasanya dari kemarin ibu teriak-teriak deh sama Zia,” sambar Zia.Wajah Zia langsung terlihat kesal. Zia tidak terima teguran dari ibunya. “Bisa nggak kamu? Bersikap sedikit sopan sama kakakmu dan kakak ipar kamu,” ucap ibu Zahra.Zia malah mendengus kesal, lalu berjalan dan duduk di samping Ibunya.“Kalian mau makan apa?” Tanya Ibu Zahra sama Zahra dan menantunya.“Terima kasih Bu, jangan repot-repot. Saya ke sini mengunjungi ayah dan ibu, karena kangen lagi nih,” seloroh Zahra.Ayah dan Ibu Zahra langsung tersenyum. “ Kalau bisa seminggu sekali nengok kami ya, jangan mentang-mentang sudah punya suami lupa deh sama kita,” ucap Ayah Zahra sambil terkekeh.Suasana kembali hening, wajah dia masih terlihat cemberut. Tangannya asyik bermain ponsel.“Zahra, sekalian saja, ada yang ingin Ayah bicarakan,” ucap Ayah Zahra tiba-tiba.“Oh ya? Mengenai apa sih, Yah?” Tanya Zahra penasaran.“Lah memangnya kalau dibahas, Kak Zahra mau bantu gitu? Apalagi suaminya seorang pemulung,” s