"Ayo, kita masuk ke dalam."
Alih-alih menjawab rasa penasaran sang istri, Nazar justru menggamit tangan Zahra dan membuat gadis tersebut kehilangan kata-kata.
"Tapi, Mas," sambil berjalan Zahra memanggil suaminya.
Nazar menoleh dengan senyuman tipis tetapi memabukkan, "Kamu akan mendapatkan jawabannya nanti, Zahra."
Darah Zahra sampai berdesir, saat melihat senyuman manis di bibir suaminya.
Tiba di depan pintu rumah, dengan perlahan ngajar membuka pintu rumah. Wajah Zahra kembali terkejut, kini di hadapannya. Ada 4 orang yang sedang berdiri tegak.
"Selamat datang nyonya Al Ghazali," semua pelayan itu mengangguk hormat, Zahra melihat salah satu diantaranya ada yang sudah berumur.
"Te-terima kasih," ucap Zahra gugup, sedangkan suaminya terlihat biasa-biasa saja, bahkan sepertinya tidak merespon, dengan penyambutan keempat orang itu. Setelah melewati keempat orang itu, Zahra lalu mengikuti suaminya naik ke lantai atas.
Dia benar-benar kagum melihat interior rumah ini. Banyak sekali ornamen-ornamen, yang terlihat sangat indah khas Timur Tengah.
Zahra sempat melihat beberapa foto keluarga, yang terpampang di dinding tembok.
"Cantik," gumam Zahra saat foto itu, ada seorang gadis yang wajahnya mirip dengan Nazar. Dia berpikir, mungkin potret keluarga itu adalah keluarga suaminya, meski dia tidak menemukan wajah sang suami di dalam pigura tersebut.
Setelah melewati tangga yang cukup lumayan banyak. Nazar dan Zahra, berhenti di depan sebuah kamar. Nazar langsung membuka pintu. Zahra hampir menutup mulutnya, saat matanya melihat isi kamar yang begitu mewah dan luas.
Saat Zahra sibuk mengamati dekorasi, dia seketika terhenyak ketika menemukan sang suami sudah sibuk menghubungi seseorang melalui ponselnya.
Dilihat dari gestur tubuhnya, pandangan lelaki itu yang begitu serius, anggukan kepala, juga intonasi dingin dan tegas yang keluar dari bibir Nazar ... membuat pertanyaan di benak Nazar semakin mengular.
Zahra masih terdiam sambil berdiri mematung. Kakinya terasa gemetar, pikirannya jadi travelling ke mana-mana. "Siapakah sebenarnya suamiku? Banyak keanehan yang aku dapatkan, siapakah sebenarnya suamiku ini?"
"Sudah jangan melamun saja, ayo duduk sekarang. Apakah kaki kamu tidak pegal?" ajak Nazar usai kegiatan meneleponnya selesai.
Zahra lantas berjalan menuju sofa, matanya terus saja menatap ke sekeliling kamar. Zahra lalu duduk di atas sofa.
"Empuk," gumam Zahra dalam hati. Sedangkan Nazar duduk di samping Zahra. Tangannya masih asik bermain ponsel, dan entah apa yang dilakukannya.
Zahra mendengar suara ketukan pintu, Nazar menoleh ke arah pintu, lalu menyuruh masuk. Ternyata ada dua orang di depan pintu, yang membawa dua koper Zahra. Yang satunya membawa minuman serta camilan lainnya.
"Taruh semuanya di sana," ucap Nazar sambil mengangkat dagunya. Para pelayan pun langsung menganggukkan kepalanya, salah seorang dari pelayan itu, mengganggukan kepalanya, saat meletakkan nampan di atas meja.
"Makanan telah siap, Tuan," ucap pelayan itu.
Nazar menganggukan kepalanya, mengangkat tangannya ke udara. Ketiga pelayan itu langsung mengerti, mereka bergegas meninggalkan kamar Nazar.
"Mas, boleh aku tanya?" Akhirnya Zahra memberanikan diri, rasa penasaran terus saja mengganggu pikirannya.
"Tentu," Nazar langsung meletakkan ponselnya.
"Kamu ini sebenarnya siapa Mas?" tanya Zahra, jantungnya berdetak sangat kencang, apalagi tatapan mata Nazar terlihat tajam. Nazar masih memasang wajah dingin.
"Aku? Bukannya kamu sudah tau kalau aku pemulung?" Sahutan santai Nazar tidak membuat Zahra puas.
"Lalu, rumah ini? Pegawai-pegawai yang begitu menghormati Mas?" todong Zahra lagi.
Nazar menatap Zahra dengan lekat. Dia terlihat begitu sabar meladeni pertanyaan sang istri yang begitu ingin tahu. "Tentu saja aku hanya diamanati untuk menjaga rumah ini, Zahra. Katakanlah, aku dibayar untuk mengurus rumah besar ini."
Zahra cuma ber oh ria, dirinya tidak mau banyak bertanya lagi. Apalagi Nazar kembali meraih ponselnya.
Zahra benar-benar asing di kamar ini, walaupun kamar ini menyediakan semua fasilitas.
"Kalau mau mandi, duluan saja. Biar bajumu dirapikan pelayan sini." Nazar bangkit dari tempat duduknya. "Aku masih harus melakukan hal lain." Lelaki itu pun langsung keluar dari kamar.
Zahra menghela nafasnya panjang, suaminya benar-benar penuh dengan misteri. Rasanya aneh kalau cuma seorang pegawai, keempat pelayan rumah tadi sampai membungkukkan badannya.
Beberapa puluh menit kemudian, saat Zahra telah mandi dan berpakaian rapi, pintu kamar kembali terbuka.
Melihat suaminya masih menenteng ponsel di tangan, kembali membuat Zahra terpekur. Namun, Zahra tidak banyak bertanya dan hanya menatap suaminya yang bergegas masuk ke kamar mandi.
Rasa grogi berduaan di kamar dengan Nazar, terlebih pikirannya yang mulai tidak suci lagi karena membayangkan kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi ketika sepasang suami istri berada di kamar membuat Zahra akhirnya memutuskan untuk keluar dari kamar.
Dia memilih untuk duduk di sofa yang terletak di depan kamar mereka. Kening Zahra mengerut ketika melihat kembali foto-foto yang menempel rapi di dinding.
Dengan raut penasarannya, dia melangkah mendekat.
"Loh, Mas Nazar?" gumamnya ketika menemukan sang suami ikut berfoto dengan orang yang dia lihat di ruang tamu tadi. "Katanya Mas Nazar seorang pegawai, tapi kenapa ada di dalam foto itu?"
"Apa yang sedang kamu pikirkan?"Tubuh Zahra berjengit ketika mendengar suara baritone itu tepat di telinganya.Dia langsung menoleh dan menemukan Nazar telah berada di belakangnya, dengan tubuh yang sudah lebih segar dan harum sabun, juga pakaian santai yang berbeda."Oh, ini ...." Zahra menunjuk sebuah foto di mana keheranan kembali menghantuinya. "Katanya Mas hanya karyawan, kenapa bisa foto sama mereka?""Waktu itu disuruh ikut." Nazar menjawab dengan singkat. "Perutku sudah lapar, ayo kita makan." Setelahnya, dia langsung menarik tangan Zahra menuju tempat makan."Silakan tuan," pelayan itu kembali membungkuk badannya hormat."Silakan nyonya Al Ghazali." salah seorang pelayan menarik kursi yang ada di samping Nazar. Zahra yang belum terbiasa diperlakukan bak ratu masih melongo mendapati perlakuan istimewa seperti ini.Satu orang pelayan membalikkan piring, tapi ketika tangan pelayan hendak mengambil makanan. Nazar langsung menahan tangan pelayan itu."Biarkan istri saya yang mel
Wajah para pelayan terlihat tegang. Apakah pertanyaan itu begitu sulit untuk mereka? Begitu pikir Zahra."Aku menempati rumah ini karena sudah lama kosong dan ditinggalkan pemiliknya." Suara bariton terdengar. Zahra menoleh ke belakang, melihat sang suami sudah terlihat segar dengan rambut basah.“Loh, Mas Nazar? Aku kira masih tidur.”"Kenapa, Sayang?" tanya Nazar dengan mesra. Zahra terdiam bingung sekaligus gugup dengan panggilan sayang yang diucapkan Nazar. Sementara para pelayan mundur selangkah demi menghindari kedatangan tuannya. Mereka menunduk dalam seakan siap disalahkan.Zahra merasa heran melihat reaksi tegang para pelayan, yang sebelumnya tampaknya sulit untuk menjawab pertanyaan. Perasaan was-was itu terbayang di matanya saat Nazar berbicara dengan tegas."Tid— tidak ada apa-apa." Zahra menyembunyikan rasa khawatir di matanya. Dia merasa ada yang aneh, tetapi tidak yakin apa yang sebenarnya terjadi di balik semua ini.Nazar menatap Zahra dengan sorot mata curiga. "Ka
“Sudah aku bilang ada sedikit pekerjaan,” jawab Nazar kembali dengan sikap dinginnya. Zahra kembali menelan kekecewaannya, karena jawaban suaminya tidak sesuai harapan.Bahkan sampai malam tiba, Zahra belum berhasil mengorek identitas suaminya itu. Tapi kekecewaan hati Zahra, tergantikan oleh sikap Nazar yang sudah manis kembali.Mereka bahkan melakukan malam pertama, usai sang suami dengan sejuta pesonanya itu mampu meyakinkan Zahra.Tubuh Nazar yang sedari awal terlihat menggoda, ternyata sesuai dengan kepiawaian pria itu membuat Zahra melambung ke angkasa. Dia yang semula takut merasakan sakit, juga masih ada keraguan sebab sang suami masih menyimpan rahasia, seolah lupa karena perlakuan Nazar yang begitu lembut padanya. Sudah 3 hari, Zahra cuti dari tempat kerjanya. Dan hari ini, Zahra akan pergi ke kantor seperti biasa.“Sudah aku siapkan baju kerja buat kamu Mas. Walaupun kamu cuma pemulung, tidak ada salahnya pakaian kamu bersih,” ucap Zahra saat Nazar baru keluar dari kamar
Zahra yang mendengar semua kalimat itu menoleh ke arah Nazar. Dia yang sudah sangat kesal karena cemoohan karyawan sedari pagi, tiba-tiba menyetujui kalimat pengandaian tersebut.Namun, dia buru-buru mengelak, “Bangun, Zahra! Kamu bukan hidup di negeri dongeng“Sayang, terima kasih sudah datang menjemputku,” ucap Zahra mesraNazar yang sudah merasakan situasi yang sedang terjadi, langsung menyambut mesra ucapan Zahra.Cup….! Malah suara kecupan di bibir terdengar jelas di telinga teman Zahra.Sementara Zahra langsung merah merona setelah mendapat kecupan manis dari suaminya. Zahra tidak menyangka akan diperlakukan seromantis ini. Apalagi di depan umum.“Ayo sayang!” Ajak Nazar sambil menyodorkan lengannya. Zahra menerima uluran tangan suaminya, lalu….. Zahra mendekati temannya.“ Awas tuh mulut jangan terbuka terus, nanti lalat ada yang hinggap lho, lidah kan bukan landasan kapal terbang…,sorry,” ucap Zahra asal, lalu melambaikan tangan ke arah temannya.Mata temannya langsung mendeli
“Ada apa sayang?” Tanya Nazar usai Zahra menerima telepon dari orang tuanya. “Ayah menelpon Mas, beliau mengajak kita bertemu. Katanya sih ada yang harus dibicarakan, untuk pernikahan Zia,” jawab Zahra. “Oh,” jawab sambil menyibakkan selimutnya. Pria itu tidak berkomentar banyak, lebih memilih untuk berjalan menuju kamar mandi. Zahra memperhatikan setiap gerak-gerik suaminya. “Tidak ada yang aneh, seperti biasa dia pulang, dan kembali saat malam,” gumam Zahra dalam hati. Rasa kantuk menyerang Zahra, tapi cacing di perutnya meronta-ronta. Rupanya dia lupa makan, saking kecapean setelah pulang kerja.Waktu menunjukkan pukul 08.00 malam, Zahra bergegas membersihkan diri. Rencananya mau menyiapkan makan malam.“Bagaimana Mas, Ayah mengajak kita bertemu?” Tanya Zahra saat dia dan sang suami sudah berada di ruangan makan.“Tidak masalah,” jawab Nazar.“Tapi…..” Zahra menghentikan ucapannya, terlihat ragu-ragu.“Tapi apa?” Tanya Nazar cepat, matanya menatap ke arah Zahra.“Zia ingin ber
Baik Zahra maupun Nazar sebetulnya mendengar komentar nyinyir Zia. Namun, mereka tidak ingin merusak suasana, sehingga memilih untuk tidak menghiraukan dan kembali fokus pada tujuan utama mereka.“Terima kasih Nak, sudah meluangkan waktu untuk kami,” ucap Ayah Zahra setelah mereka duduk.Sikap sinis Zia masih terlihat, malah tidak menyapa kakak iparnya sedikitpun. Adik Zahra itu asik dengan ponsel di tangannya. Ternyata yang dilakukan oleh Zia adalah mengambil foto, lalu mengupload di semua media sosial. Bahwa dirinya sedang makan di sebuah restoran yang mewah. “Teman-temanku pasti memujiku, mereka pasti iri karena aku bisa makan di restoran semewah ini,” ucap Zia dalam hati, terlihat dari sikap sombongnya.“Sama-sama Ayah, ibu maaf kami baru ada waktu sekarang,” Nazar malah yang menjawabnya.“Yang namanya seorang pemulung, pasti tidak ada waktu lah. Ngurusin barang rongsokan juga kan tidak ada habisnya,” sindir Zia sinis.Mata Zahra langsung melotot ke arah adiknya, tapi di bawah m
Bab 13.“Ya gratis, apa aku harus ulang jawabanku?” Jawab Nazar sambil balik nanya, ekspresi wajahnya terlihat berubah menjadi dinginZia masih melongo, karena kaget mendengar ucapan kakak iparnya. “Mas Nazar! Kamu jangan bercanda deh, Dari mana kamu mendapatkan uang mas, kamu kan hanya seorang pemulung,” ejek Zia dengan suara cukup keras. Lalu tertawa sini ke arah kakak iparnya.Sedangkan Dilan, terlihat mengusap-usap tengkuk lehernya. Mungkin untuk menutupi rasa malunya. Zahra benar-benar jengkel dengan tingkah adiknya. Tapi di bawah meja, tangan Nazar terus menggenggam telapak tangan Zahra. Sebagai kode, agar Zahra tetap tenang.“Zia, kamu tenang Nak, duduklah,” Ayah Zahra menenangkan anak bungsunya. Beberapa pengunjung restoran, melihat ke arah meja mereka. Mungkin ada yang merasa terganggu dengan suara gaduh dari meja yang diisi oleh keluarga Zahra.Sambil mendengus kesal, Zia lalu duduk di samping Dilan. Bibirnya cemberut dan kedua tangannya bersedekap di dada.Ayahnya Zahra
“Ada apa sih dengan mereka berdua?” Tanya Zia dengan raut wajah kesal. Dilan terlihat mengangkat bahu, sedangkan kedua orang tuanya Zahra yang mengangkat kedua alisnya. Toh makanan sudah di bayar oleh menantunya.“Kita pulang Bu, urusan kita sudah selesai sama Zahra dan suaminya,” Ayah Zahra langsung mengajak istrinya pulang. Zia wajahnya terlihat cemberut, mungkin masih betah berlama-lama di restoran mewah ini. “Ayo Zia! Ngapain kita lama-lama di restoran ini!” Ucapan Ayah Zahra naik satu oktaf, mungkin karena kesal dengan sikap anak bungsunya. Ayah Zahra malu dengan sikap Zia semenjak datang ke restoran ini“Sebentar lagi Ayah,” Zia benar-benar keras kepala, tidak mau mengikuti perintah ayahnya.“Ayo Zia!” Akhirnya suara keras keluar dari mulut Ibu Zahra, karena merasa dipermalukan oleh anaknya. Terdengar suara dering telepon, semua menoleh ke arah telepon, ternyata ponselnya Dilan memanggil si pemiliknya.Dilan melihat ponselnya, lalu bergerak sedikit menjauh. Zia menautkan ked