Share

Bab 5

“Alah, paling juga mobil sewaan!" Zia kembali berkata nyinyir, padahal sepersekian detik tadi ekspresinya begitu terkejut. "Lagian, gegayaan ... Pemulung saja, sok-sokan sewa mobil mewah! Buang-buang uang, kayak uangnya banyak aja!"

Ibu Zahra yang mendengar langsung menegur anak bungsunya. "Huss! Jangan gitu, Zi. Ya, mungkin memang Nazar punya teman yang baik, mau pinjamkan dia mobil?"

Wajah Zia langsung memberengut.

Nazar tampak ambil pusing dengan omongan keluarga sang istri, lelaki itu masih sibuk meletakkan koper di bagasi mobil.

Sementara Zahra pun sudah tidak ingin bereaksi terhadap mulut nyinyir sang adik. Baginya, ada untungnya juga Nazar mengajaknya pindah saat ini juga. Dia tidak perlu pusing meladeni nyinyiran siapa pun tentang suaminya.

“Ayah, Ibu Zahra pamit ya.” Mata Zahra langsung berkaca-kaca saat memeluk kedua orang tuanya.

Dengan suara tertahan Ayah Zahra berpesan sama anaknya. “Hati-hati ya, Nak. Jaga kesehatan, jangan terlalu sibuk kerja, ingat kamu sudah punya suami sekarang.” Nasehat sang ayah.

"Jika ada kesulitan, kamu hubungi kami." Sang ibu berkata seraya menghapus air mata yang meleleh.

Zahra menitikkan air mata. "Aku—"

"Alah, Bu, kan Kak Zahra juga kerja, dia bisalah menghidupi suaminya yang pemulung itu," celetuk Zia berkomentar membuat kalimat Zahra tidak jadi terlontar.

Tangan Zia bersedekap lalu menatap sinis kakak iparnya. "Hei, pemulung, jangan cuma andelin uang kakak aku buat makan, cari kerja yang layak dikit, kek—"

"Zia—" Zahra meninggikan suaranya.

Adiknya kali ini sudah sungguh keterlaluan.

"Sudah, tidak apa-apa." Dengan lembut, Nazar justru tersenyum dan menenangkan istrinya. "Ayo kita pergi!" Nazar menarik lembut lengan Zahra.

Zahra menghela napas. Dia menuruti sang suami, tetapi menyempatkan diri berhenti sejenak dan menatap sang adik.

"Lain kali, bersikaplah lebih sopan, Zia. Bagaimana pun dia kakak iparmu sekarang." Kalimat itu diucap dengan kehati-hatian, tidak ingin menambah keruh keadaan.

"Aku tidak apa-apa, biarkan saja," kata Nazar.

Entah terbuat dari apa hati sang suami, mendengar ocehan dan gunjingan merendahkan dia tidak marah.

Akhirnya, mereka berpamitan ... Dengan Zia yang terlihat mengerucutkan bibir lantaran sang ibu menahannya dengan tatapan tajam agar tidak lagi berulah.

Nazar menggandeng tangan Zahra menuju mobil. Zahra sedikit heran, saat melihat sang sopir membungkukkan badannya ke arah Nazar. Lalu membukakan pintu untuk Zahra.

“Silahkan nyonya Al-Ghazali,” ucap sang sopir itu sambil membungkukkan badannya. Tak lama kemudian Nazar ikut masuk dan duduk di samping Zahra.

Sepanjang perjalanan menuju rumahnya ... Zahra terdiam, kadang Zahra menggigit jarinya. Sedangkan Nazar terlihat sibuk dengan ponselnya.

Lagi-lagi Zahra terkejut saat melihat ponsel yang ada di dalam genggaman suaminya.

'Itu ponsel mahal, jangan-jangan dia mencuri?' pikir Zahra karena tidak mungkin seorang pemulung mempunyai benda semahal itu. "Ponselmu?" kata itu lolos begitu saja, Zahra langsung menutup mulut takut sang suami tersinggung.

"Hadiah."

Hanya itu jawaban yang Zahra dapatkan. Keheningan kembali melanda, hanya terdengar kebisingan di jalan raya.

Tak lama kemudian mobil mewah yang membawa Zahra memasuki sebuah komplek perumahan elit.

Satpam perumahan itu tersenyum ramah dan mengangguk hormat. Tak lama kemudian mobil berhenti di sebuah rumah yang megah dan mewah. Rumah berlantai 3, dengan ukuran yang cukup luas. Gerbang rumah pun terbuka secara otomatis.

“Ayo, kita sudah sampai!” Suara lembut Nazar langsung mengagetkan Zahra yang sedang terpana dengan rumah yang ada di depan matanya.

“Mas, kamu bawa aku ke rumah siapa?” Zahra akhirnya memanggil Nazar dengan sebutan 'Mas'. “Jangan-jangan….

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status