Perdebatan antara Zahra dan Zia semakin pelik. Sepasang saudara itu saling adu argumen.
Zahra yang sudah frustrasi pada kekolotan orang tuanya untuk memegang teguh tradisi 'menikah tanpa dilangkah' pun berteriak, dengan linangan air mata.
“Aku tahu, aku sudah tidak muda lagi, sudah tidak menarik lagi. Apa yang bisa aku harap sekarang?”
Orang tua dan adiknya terdiam. Namun, tiba-tiba sebuah suara dalam lelaki terdengar membela.
“Siapa bilang? Yang bilang begitu pasti orang buta.”
Suara lelaki itu begitu tegas dan dalam, tetapi sekaligus terasa hangat. Sontak, seluruh sorot mata keluarga itu menghadap si empunya suara.
“K-kamu—” Zahra bahkan tidak sanggup melanjutkan kalimatnya.
Rupanya, dialah Nazar yang telah kembali bergabung bersama mereka di ruang tamu.
Seluruh mata itu lantas terbelalak ketika melihat Nazar yang kini telah berganti pakaian. Sebuah kemeja putih berlengan panjang yang dia gulung hingga siku, disertai celana panjang slim fit berwarna biru tua begitu serasi di tubuhnya yang tegap.
Wajah tampan, rahang tegas, alis yang tebal disertai sorot mata tajam yang dimiliki lelaki itu kini sungguh terpancar. Tidak ada lagi sisa-sisa debu ataupun kulit kusam.
Zia saja sampai tidak berkedip. “Halah, meskipun dia tampan, tetap saja dia seorang pemulung!” ungkap Zia yang langsung membuat rahang kedua orang tuanya kembali rapat.
Mendengar cemoohan Zia, Zahra langsung melirik sinis sang adik. “Bilang saja, kalau kamu juga terpesona sama Mas Nazar, kan?!”
Terpancing emosi, Zia berdiri. Raut wajahnya terlihat begitu tersinggung. Namun, sebelum keributan semakin pecah, ayah Zahra lebih dulu mencegah.
“Sudah, sudah. Ayah sudah memutuskan.” Ayah Zahra berbicara, kali ini dengan nada lebih tegas dan langsung membuat fokus seluruh orang tertuju padanya. “Seminggu lagi, pernikahan akan digelar.”
Zahra kembali memelotot. “Apa? Seminggu?”
Ayah Zahra tampak tidak ingin dibantah. Dia kemudian menunjuk Nazar dan berkata, “Kamu, cukup siapkan mahar semampumu!”
Seminggu kemudian, rumah mewah Zahra terlihat ramai. Di ruang tamunya yang luas pun telah rapi dihias, meski hanya hiasan sederhana.
Para tetangga yang telah memenuhi tempat akad nikah itu berbondong-bondong datang memenuhi undangan pernikahan dadakan Zahra.
Bisik-bisik yang sarat akan kenegatifan itu ramai terdengar silih berganti keluar dari mulut para tetangga.
“Apa Zahra hamil, ya?”
“Kalau hamil rasanya tidak mungkin, entahlah kalau sudah di-‘anu’.”
Mendengar fitnah itu, raut wajah Ibu Zahra terlihat memerah, marah. Namun, ibu Zahra menahan amukannya.
Karena, meski belum sepenuhnya menyetujui pernikahan Zahra dengan Nazar, rasanya dia tidak ingin hari pernikahan anaknya diwarnai drama.
Akad nikah telah selesai. Kini saatnya Nazar memakaikan cincin ke jari manis Zahra.
“Tapi, apa yang dilihat Zahra selain gantengnya, ya? Dengar-dengar, dia pemulung!”
Desas-desus kembali terdengar ramai.
“Kalau dia pemulung... Jangan-jangan cincin kawinnya imitasi, ya?”
Pandangan para tetangga julid itu berbondong-bondong menyoroti cincin berwarna silver dengan satu permata berkilau yang kini telah terpasang di jari Zahra.
“Tidak salah lagi! Lagian, mana mungkin pemulung sanggup kasih perhiasan asli?”
Rupanya, desas-desus itu sampai juga di telinga Zahra. Wajah sang pengantin wanita yang memang sedari tadi tidak terlalu banyak tersenyum itu semakin datar.
Nazar langsung menoleh ke arah sang istri. Dia mendekatkan kepalanya ke arah telinga Zahra dan berkata, “Jangan khawatir. Cincin itu asli. Bawa saja ke toko perhiasan jika tidak percaya.”
Mata Zahra langsung mendelik, karena ternyata tertangkap basah sama suaminya. “Aku… aku tidak peduli dengan ucapan nyinyiran tetangga!”
Zahra sudah tidak peduli dengan omongan orang lain. Yang penting sekarang bagi dirinya, sudah memenuhi keinginan kedua orang tua dan adiknya. Zahra sudah tidak mau ambil pusing lagi.
“Aku ingin acara ini segera berakhir.” Zahra membatin, dia lelah secara mental dan fisik. Baik dari pernikahan dadakan, maupun dari omongan tetangga yang tidak ada habisnya.
Sampai menjelang sore, Zahra bernafas dengan lega karena perlahan, tamu mulai berkurang.
Diikuti Nazar, mereka berdua turun dari pelaminan.
Namun, langkah Zahra terhenti ketika mendengar suara Nazar yang kini tengah berdiri di hadapan Ayah Zahra.
“Aku berencana langsung membawa pulang Zahra ke rumah.”
Suara setenang itu malah terdengar menggelegar di penghujung acara, di mana kini hanya tinggal keluarga inti saja, yang masih berkumpul di ruangan, yang nampak sepi.
“Nanti kita tinggal di mana?” tanya Zahra seraya membalikkan badannya. Lalu menatap sang suami yang sudah ikut berdiri.
“Ya, tinggal di rumah tentunya, masa di jalanan,” jawab Nazar asal.
Zahra kesal, tetapi dia memilih untuk menghela napas. “Baiklah.”
Entah ke mana sang suami akan membawa, itu urusan nanti. Bahkan jika tempat tinggal yang Nazar katakan tidak nyaman, dia bisa memesan hotel nanti.
Ayah Zahra mengangguk. Meski ada raut belum rela, wali Zahra tetap memberikan izinnya. “Baiklah. Ayah titip Zahra pada kamu, Nazar.” Ayah Zahra berucap dengan suara tertahan. “Jaga dia baik-baik.”
Melihat ayahnya menahan tangis, sontak Zahra ikut terharu. Namun, sayang … dumelan adiknya tiba-tiba terdengar, merusak suasana.
“Baguslah Bu kalau Zahra langsung dibawa pindah! Suaminya itu malu-maluin!” katanya dengan nada sinis. “Masa, menantu Ibu dan Ayah pemulung? Jauh sekali dengan calon suami Zia yang seorang manajer dan punya gaji besar.”
Zahra menghela napas panjang dan hanya melirik ke arah sang suami. Dia takut jika laki-laki itu sakit hati, tapi di luar dugaan suaminya tersenyum ramah.
“Kalau begitu, aku akan mengemasi barang-barang, dan mengganti baju sebentar,” izin Zahra pada sang suami.
Nazar yang hari itu memakai jas rapi—entah pinjaman dari mana, menganggukkan kepala. Kemudian, ketika Zahra melangkah menuju kamar, lelaki itu mengeluarkan ponselnya yang cukup jadul dan menghubungi seseorang.
Zahra sekilas sempat mendengar, kalau Nazar minta dijemput sekarang juga.
Setelah bersiap dan berganti baju, Zahra keluar kamar dengan menarik koper.
"Sudah siap?" Nazar tersenyum melihat wanita yang baru resmi menjadi istrinya itu kembali ke ruang tamu.
Zahra mengamati wajah tampan sang suami.
Jika mengenakan pakaian rapi seperti itu… Siapa yang menyangka jika dia seorang pemulung?
Setidaknya Nazar memang tampan, dan tubuhnya sangat ... 'Oh apa yang sedang aku pikirkan?' Zahra kesal sendiri membayangkan yang tidak-tidak terhadap suaminya.
Tin… tin… tin… terdengar suara klakson mobil dari depan rumah keluarga Zahra.
“Mobil yang menjemput sudah datang,” tukas Nazar pada semua orang. Kemudian, dia membungkukkan badan lalu berbisik ke telinga Zahra. ”Sebenarnya kamu tidak perlu membawa banyak barang, semua keperluanmu sudah tersedia.”
Belum sempat Zahra menanggapi ucapan sang suami, Nazar sudah langsung menyeret koper Zahra keluar rumah.
Zahra mengangkat kedua tangan ke udara tidak bisa berkomentar, lalu mengekori Nazar diikuti kedua orang tua dan adiknya.
Di mana sejak tadi Zia terus saja menatap sinis ke Zahra sang kakak dengan mulut komat-kamit, entah apa yang digumamkan.
Mata orang tua Zahra langsung melebar saat melihat mobil dengan harga puluhan miliar terparkir di halaman rumahnya.
Sorot mata menyipit, penuh kecurigaan bahkan muncul di kedua mata Zia.
“Kamu pinjam mobil siapa?”
“Alah, paling juga mobil sewaan!" Zia kembali berkata nyinyir, padahal sepersekian detik tadi ekspresinya begitu terkejut. "Lagian, gegayaan ... Pemulung saja, sok-sokan sewa mobil mewah! Buang-buang uang, kayak uangnya banyak aja!"Ibu Zahra yang mendengar langsung menegur anak bungsunya. "Huss! Jangan gitu, Zi. Ya, mungkin memang Nazar punya teman yang baik, mau pinjamkan dia mobil?"Wajah Zia langsung memberengut. Nazar tampak ambil pusing dengan omongan keluarga sang istri, lelaki itu masih sibuk meletakkan koper di bagasi mobil. Sementara Zahra pun sudah tidak ingin bereaksi terhadap mulut nyinyir sang adik. Baginya, ada untungnya juga Nazar mengajaknya pindah saat ini juga. Dia tidak perlu pusing meladeni nyinyiran siapa pun tentang suaminya.“Ayah, Ibu Zahra pamit ya.” Mata Zahra langsung berkaca-kaca saat memeluk kedua orang tuanya. Dengan suara tertahan Ayah Zahra berpesan sama anaknya. “Hati-hati ya, Nak. Jaga kesehatan, jangan terlalu sibuk kerja, ingat kamu sudah punya s
"Ayo, kita masuk ke dalam." Alih-alih menjawab rasa penasaran sang istri, Nazar justru menggamit tangan Zahra dan membuat gadis tersebut kehilangan kata-kata."Tapi, Mas," sambil berjalan Zahra memanggil suaminya.Nazar menoleh dengan senyuman tipis tetapi memabukkan, "Kamu akan mendapatkan jawabannya nanti, Zahra."Darah Zahra sampai berdesir, saat melihat senyuman manis di bibir suaminya.Tiba di depan pintu rumah, dengan perlahan ngajar membuka pintu rumah. Wajah Zahra kembali terkejut, kini di hadapannya. Ada 4 orang yang sedang berdiri tegak. "Selamat datang nyonya Al Ghazali," semua pelayan itu mengangguk hormat, Zahra melihat salah satu diantaranya ada yang sudah berumur."Te-terima kasih," ucap Zahra gugup, sedangkan suaminya terlihat biasa-biasa saja, bahkan sepertinya tidak merespon, dengan penyambutan keempat orang itu. Setelah melewati keempat orang itu, Zahra lalu mengikuti suaminya naik ke lantai atas. Dia benar-benar kagum melihat interior rumah ini. Banyak sekali or
"Apa yang sedang kamu pikirkan?"Tubuh Zahra berjengit ketika mendengar suara baritone itu tepat di telinganya.Dia langsung menoleh dan menemukan Nazar telah berada di belakangnya, dengan tubuh yang sudah lebih segar dan harum sabun, juga pakaian santai yang berbeda."Oh, ini ...." Zahra menunjuk sebuah foto di mana keheranan kembali menghantuinya. "Katanya Mas hanya karyawan, kenapa bisa foto sama mereka?""Waktu itu disuruh ikut." Nazar menjawab dengan singkat. "Perutku sudah lapar, ayo kita makan." Setelahnya, dia langsung menarik tangan Zahra menuju tempat makan."Silakan tuan," pelayan itu kembali membungkuk badannya hormat."Silakan nyonya Al Ghazali." salah seorang pelayan menarik kursi yang ada di samping Nazar. Zahra yang belum terbiasa diperlakukan bak ratu masih melongo mendapati perlakuan istimewa seperti ini.Satu orang pelayan membalikkan piring, tapi ketika tangan pelayan hendak mengambil makanan. Nazar langsung menahan tangan pelayan itu."Biarkan istri saya yang mel
Wajah para pelayan terlihat tegang. Apakah pertanyaan itu begitu sulit untuk mereka? Begitu pikir Zahra."Aku menempati rumah ini karena sudah lama kosong dan ditinggalkan pemiliknya." Suara bariton terdengar. Zahra menoleh ke belakang, melihat sang suami sudah terlihat segar dengan rambut basah.“Loh, Mas Nazar? Aku kira masih tidur.”"Kenapa, Sayang?" tanya Nazar dengan mesra. Zahra terdiam bingung sekaligus gugup dengan panggilan sayang yang diucapkan Nazar. Sementara para pelayan mundur selangkah demi menghindari kedatangan tuannya. Mereka menunduk dalam seakan siap disalahkan.Zahra merasa heran melihat reaksi tegang para pelayan, yang sebelumnya tampaknya sulit untuk menjawab pertanyaan. Perasaan was-was itu terbayang di matanya saat Nazar berbicara dengan tegas."Tid— tidak ada apa-apa." Zahra menyembunyikan rasa khawatir di matanya. Dia merasa ada yang aneh, tetapi tidak yakin apa yang sebenarnya terjadi di balik semua ini.Nazar menatap Zahra dengan sorot mata curiga. "Ka
“Sudah aku bilang ada sedikit pekerjaan,” jawab Nazar kembali dengan sikap dinginnya. Zahra kembali menelan kekecewaannya, karena jawaban suaminya tidak sesuai harapan.Bahkan sampai malam tiba, Zahra belum berhasil mengorek identitas suaminya itu. Tapi kekecewaan hati Zahra, tergantikan oleh sikap Nazar yang sudah manis kembali.Mereka bahkan melakukan malam pertama, usai sang suami dengan sejuta pesonanya itu mampu meyakinkan Zahra.Tubuh Nazar yang sedari awal terlihat menggoda, ternyata sesuai dengan kepiawaian pria itu membuat Zahra melambung ke angkasa. Dia yang semula takut merasakan sakit, juga masih ada keraguan sebab sang suami masih menyimpan rahasia, seolah lupa karena perlakuan Nazar yang begitu lembut padanya. Sudah 3 hari, Zahra cuti dari tempat kerjanya. Dan hari ini, Zahra akan pergi ke kantor seperti biasa.“Sudah aku siapkan baju kerja buat kamu Mas. Walaupun kamu cuma pemulung, tidak ada salahnya pakaian kamu bersih,” ucap Zahra saat Nazar baru keluar dari kamar
Zahra yang mendengar semua kalimat itu menoleh ke arah Nazar. Dia yang sudah sangat kesal karena cemoohan karyawan sedari pagi, tiba-tiba menyetujui kalimat pengandaian tersebut.Namun, dia buru-buru mengelak, “Bangun, Zahra! Kamu bukan hidup di negeri dongeng“Sayang, terima kasih sudah datang menjemputku,” ucap Zahra mesraNazar yang sudah merasakan situasi yang sedang terjadi, langsung menyambut mesra ucapan Zahra.Cup….! Malah suara kecupan di bibir terdengar jelas di telinga teman Zahra.Sementara Zahra langsung merah merona setelah mendapat kecupan manis dari suaminya. Zahra tidak menyangka akan diperlakukan seromantis ini. Apalagi di depan umum.“Ayo sayang!” Ajak Nazar sambil menyodorkan lengannya. Zahra menerima uluran tangan suaminya, lalu….. Zahra mendekati temannya.“ Awas tuh mulut jangan terbuka terus, nanti lalat ada yang hinggap lho, lidah kan bukan landasan kapal terbang…,sorry,” ucap Zahra asal, lalu melambaikan tangan ke arah temannya.Mata temannya langsung mendeli
“Ada apa sayang?” Tanya Nazar usai Zahra menerima telepon dari orang tuanya. “Ayah menelpon Mas, beliau mengajak kita bertemu. Katanya sih ada yang harus dibicarakan, untuk pernikahan Zia,” jawab Zahra. “Oh,” jawab sambil menyibakkan selimutnya. Pria itu tidak berkomentar banyak, lebih memilih untuk berjalan menuju kamar mandi. Zahra memperhatikan setiap gerak-gerik suaminya. “Tidak ada yang aneh, seperti biasa dia pulang, dan kembali saat malam,” gumam Zahra dalam hati. Rasa kantuk menyerang Zahra, tapi cacing di perutnya meronta-ronta. Rupanya dia lupa makan, saking kecapean setelah pulang kerja.Waktu menunjukkan pukul 08.00 malam, Zahra bergegas membersihkan diri. Rencananya mau menyiapkan makan malam.“Bagaimana Mas, Ayah mengajak kita bertemu?” Tanya Zahra saat dia dan sang suami sudah berada di ruangan makan.“Tidak masalah,” jawab Nazar.“Tapi…..” Zahra menghentikan ucapannya, terlihat ragu-ragu.“Tapi apa?” Tanya Nazar cepat, matanya menatap ke arah Zahra.“Zia ingin ber
Baik Zahra maupun Nazar sebetulnya mendengar komentar nyinyir Zia. Namun, mereka tidak ingin merusak suasana, sehingga memilih untuk tidak menghiraukan dan kembali fokus pada tujuan utama mereka.“Terima kasih Nak, sudah meluangkan waktu untuk kami,” ucap Ayah Zahra setelah mereka duduk.Sikap sinis Zia masih terlihat, malah tidak menyapa kakak iparnya sedikitpun. Adik Zahra itu asik dengan ponsel di tangannya. Ternyata yang dilakukan oleh Zia adalah mengambil foto, lalu mengupload di semua media sosial. Bahwa dirinya sedang makan di sebuah restoran yang mewah. “Teman-temanku pasti memujiku, mereka pasti iri karena aku bisa makan di restoran semewah ini,” ucap Zia dalam hati, terlihat dari sikap sombongnya.“Sama-sama Ayah, ibu maaf kami baru ada waktu sekarang,” Nazar malah yang menjawabnya.“Yang namanya seorang pemulung, pasti tidak ada waktu lah. Ngurusin barang rongsokan juga kan tidak ada habisnya,” sindir Zia sinis.Mata Zahra langsung melotot ke arah adiknya, tapi di bawah m