Share

Bab 4

Perdebatan antara Zahra dan Zia semakin pelik. Sepasang saudara itu saling adu argumen.

Zahra yang sudah frustrasi pada kekolotan orang tuanya untuk memegang teguh tradisi 'menikah tanpa dilangkah' pun berteriak, dengan linangan air mata.

“Aku tahu, aku sudah tidak muda lagi, sudah tidak menarik lagi. Apa yang bisa aku harap sekarang?”

Orang tua dan adiknya terdiam. Namun, tiba-tiba sebuah suara dalam lelaki terdengar membela.

“Siapa bilang? Yang bilang begitu pasti orang buta.”

Suara lelaki itu begitu tegas dan dalam, tetapi sekaligus terasa hangat. Sontak, seluruh sorot mata keluarga itu menghadap si empunya suara.

“K-kamu—” Zahra bahkan tidak sanggup melanjutkan kalimatnya.

Rupanya, dialah Nazar yang telah kembali bergabung bersama mereka di ruang tamu.

Seluruh mata itu lantas terbelalak ketika melihat Nazar yang kini telah berganti pakaian. Sebuah kemeja putih berlengan panjang yang dia gulung hingga siku, disertai celana panjang slim fit berwarna biru tua begitu serasi di tubuhnya yang tegap.

Wajah tampan, rahang tegas, alis yang tebal disertai sorot mata tajam yang dimiliki lelaki itu kini sungguh terpancar. Tidak ada lagi sisa-sisa debu ataupun kulit kusam.

Zia saja sampai tidak berkedip. “Halah, meskipun dia tampan, tetap saja dia seorang pemulung!” ungkap Zia yang langsung membuat rahang kedua orang tuanya kembali rapat.

Mendengar cemoohan Zia, Zahra langsung melirik sinis sang adik. “Bilang saja, kalau kamu juga terpesona sama Mas Nazar, kan?!”

Terpancing emosi, Zia berdiri. Raut wajahnya terlihat begitu tersinggung. Namun, sebelum keributan semakin pecah, ayah Zahra lebih dulu mencegah.

“Sudah, sudah. Ayah sudah memutuskan.” Ayah Zahra berbicara, kali ini dengan nada lebih tegas dan langsung membuat fokus seluruh orang tertuju padanya. “Seminggu lagi, pernikahan akan digelar.”

Zahra kembali memelotot. “Apa? Seminggu?”

Ayah Zahra tampak tidak ingin dibantah. Dia kemudian menunjuk Nazar dan berkata, “Kamu, cukup siapkan mahar semampumu!”

Seminggu kemudian, rumah mewah Zahra terlihat ramai. Di ruang tamunya yang luas pun telah rapi dihias, meski hanya hiasan sederhana.

Para tetangga yang telah memenuhi tempat akad nikah itu berbondong-bondong datang memenuhi undangan pernikahan dadakan Zahra.

Bisik-bisik yang sarat akan kenegatifan itu ramai terdengar silih berganti keluar dari mulut para tetangga.

“Apa Zahra hamil, ya?”

“Kalau hamil rasanya tidak mungkin, entahlah kalau sudah di-‘anu’.”

Mendengar fitnah itu, raut wajah Ibu Zahra terlihat memerah, marah. Namun, ibu Zahra menahan amukannya.

Karena, meski belum sepenuhnya menyetujui pernikahan Zahra dengan Nazar, rasanya dia tidak ingin hari pernikahan anaknya diwarnai drama.

Akad nikah telah selesai. Kini saatnya Nazar memakaikan cincin ke jari manis Zahra.

“Tapi, apa yang dilihat Zahra selain gantengnya, ya? Dengar-dengar, dia pemulung!”

Desas-desus kembali terdengar ramai.

“Kalau dia pemulung... Jangan-jangan cincin kawinnya imitasi, ya?”

Pandangan para tetangga julid itu berbondong-bondong menyoroti cincin berwarna silver dengan satu permata berkilau yang kini telah terpasang di jari Zahra.

“Tidak salah lagi! Lagian, mana mungkin pemulung sanggup kasih perhiasan asli?”

Rupanya, desas-desus itu sampai juga di telinga Zahra. Wajah sang pengantin wanita yang memang sedari tadi tidak terlalu banyak tersenyum itu semakin datar.

Nazar langsung menoleh ke arah sang istri. Dia mendekatkan kepalanya ke arah telinga Zahra dan berkata, “Jangan khawatir. Cincin itu asli. Bawa saja ke toko perhiasan jika tidak percaya.”

Mata Zahra langsung mendelik, karena ternyata tertangkap basah sama suaminya. “Aku… aku tidak peduli dengan ucapan nyinyiran tetangga!”

Zahra sudah tidak peduli dengan omongan orang lain. Yang penting sekarang bagi dirinya, sudah memenuhi keinginan kedua orang tua dan adiknya. Zahra sudah tidak mau ambil pusing lagi.

“Aku ingin acara ini segera berakhir.” Zahra membatin, dia lelah secara mental dan fisik. Baik dari pernikahan dadakan, maupun dari omongan tetangga yang tidak ada habisnya.

Sampai menjelang sore, Zahra bernafas dengan lega karena perlahan, tamu mulai berkurang.

Diikuti Nazar, mereka berdua turun dari pelaminan.

Namun, langkah Zahra terhenti ketika mendengar suara Nazar yang kini tengah berdiri di hadapan Ayah Zahra.

“Aku berencana langsung membawa pulang Zahra ke rumah.”

Suara setenang itu malah terdengar menggelegar di penghujung acara, di mana kini hanya tinggal keluarga inti saja, yang masih berkumpul di ruangan, yang nampak sepi.

“Nanti kita tinggal di mana?” tanya Zahra seraya membalikkan badannya. Lalu menatap sang suami yang sudah ikut berdiri.

“Ya, tinggal di rumah tentunya, masa di jalanan,” jawab Nazar asal.

Zahra kesal, tetapi dia memilih untuk menghela napas. “Baiklah.”

Entah ke mana sang suami akan membawa, itu urusan nanti. Bahkan jika tempat tinggal yang Nazar katakan tidak nyaman, dia bisa memesan hotel nanti.

Ayah Zahra mengangguk. Meski ada raut belum rela, wali Zahra tetap memberikan izinnya. “Baiklah. Ayah titip Zahra pada kamu, Nazar.” Ayah Zahra berucap dengan suara tertahan. “Jaga dia baik-baik.”

Melihat ayahnya menahan tangis, sontak Zahra ikut terharu. Namun, sayang … dumelan adiknya tiba-tiba terdengar, merusak suasana.

“Baguslah Bu kalau Zahra langsung dibawa pindah! Suaminya itu malu-maluin!” katanya dengan nada sinis. “Masa, menantu Ibu dan Ayah pemulung? Jauh sekali dengan calon suami Zia yang seorang manajer dan punya gaji besar.”

Zahra menghela napas panjang dan hanya melirik ke arah sang suami. Dia takut jika laki-laki itu sakit hati, tapi di luar dugaan suaminya tersenyum ramah.

“Kalau begitu, aku akan mengemasi barang-barang, dan mengganti baju sebentar,” izin Zahra pada sang suami.

Nazar yang hari itu memakai jas rapi—entah pinjaman dari mana, menganggukkan kepala. Kemudian, ketika Zahra melangkah menuju kamar, lelaki itu mengeluarkan ponselnya yang cukup jadul dan menghubungi seseorang.

Zahra sekilas sempat mendengar, kalau Nazar minta dijemput sekarang juga.

Setelah bersiap dan berganti baju, Zahra keluar kamar dengan menarik koper.

"Sudah siap?" Nazar tersenyum melihat wanita yang baru resmi menjadi istrinya itu kembali ke ruang tamu.

Zahra mengamati wajah tampan sang suami.

Jika mengenakan pakaian rapi seperti itu… Siapa yang menyangka jika dia seorang pemulung?

Setidaknya Nazar memang tampan, dan tubuhnya sangat ... 'Oh apa yang sedang aku pikirkan?' Zahra kesal sendiri membayangkan yang tidak-tidak terhadap suaminya.

Tin… tin… tin… terdengar suara klakson mobil dari depan rumah keluarga Zahra.

“Mobil yang menjemput sudah datang,” tukas Nazar pada semua orang. Kemudian, dia membungkukkan badan lalu berbisik ke telinga Zahra. ”Sebenarnya kamu tidak perlu membawa banyak barang, semua keperluanmu sudah tersedia.”

Belum sempat Zahra menanggapi ucapan sang suami, Nazar sudah langsung menyeret koper Zahra keluar rumah.

Zahra mengangkat kedua tangan ke udara tidak bisa berkomentar, lalu mengekori Nazar diikuti kedua orang tua dan adiknya.

Di mana sejak tadi Zia terus saja menatap sinis ke Zahra sang kakak dengan mulut komat-kamit, entah apa yang digumamkan.

Mata orang tua Zahra langsung melebar saat melihat mobil dengan harga puluhan miliar terparkir di halaman rumahnya.

Sorot mata menyipit, penuh kecurigaan bahkan muncul di kedua mata Zia.

“Kamu pinjam mobil siapa?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status