Share

Bab 3

“Kata Ibu, Zahra bebas memilih calon suami. Dan, inilah orang yang mau menikah dengan Zahra.”

Zahra sudah menduga jika orang tuanya tidak akan langsung menerima. Toh, dia pun demikian.

Hanya saja, Zahra akan terus bersikeras mempertahankan Nazar si pemulung sebagai calon suaminya sebagai bentuk protes.

Dia tidak ingin ditekan oleh siapa pun. Tidak dengan orang tuanya, pun tidak dengan calon yang dipilihkan orang tuanya.

Zahra berpendapat, akan lebih mudah mengontrol Nazar karena dia bisa membuat kesepakatan usai pertemuan ini usai.

Kedua orang tua Zahra saling tatap, kemudian menatap dengan lamat ke arah Nazar. Mereka berdua berbisik-bisik, meski masih terdengar oleh Zahra maupun Nazar.

“Gimana ini, Yah? Masa calon mantu kita dekil banget, bau lagi!”

“Sudahlah, Bu. Mungkin kalau dia sudah mandi akan terlihat lebih bersih. Nanti Ayah akan kasih baju punya Ayah.” Kening ayah Zahra merengut, masih memperhatikan calon mantunya dengan detail. “Coba Ibu perhatikan, dia terlihat tampan, kok.”

Zahra menunggu dengan tidak sabaran. “Jadi, gimana?” tanyanya lagi.

Ayah Zahra berdeham sebelum berkata, “Duduk dulu. Kita bicara baik-baik.”

Setelah mereka semua duduk di ruang tamu, Zia yang baru bergabung kembali terlihat menyemprotkan pewangi ruangan ke segala arah.

“Jadi, kalian sudah lama kenal?” tanya ayah Zahra langsung.

Wajah Zahra terlihat tenang ketika sesi tanya jawab dimulai. Meski sebenarnya, di dalam hati … dia ketar-ketir. Khawatir lelaki yang dibawanya melontarkan hal tidak terduga.

“Kami baru—sudah kenal lama, Pak.”

Zahra hampir menahan napas saat hampir saja Nazar melakukan kesalahan. Beruntung, lelaki itu cepat sadar dan buru-buru meralat kalimatnya.

Pandangan tidak percaya datang dari ibu Zahra yang terdengar tidak puas. “Jawab yang benar, sudah lama atau baru kenal?” katanya serupa mendumal. “Terus nama kamu siapa, tadi?”

Nazar tersenyum, lalu menjawab. “Nama saya Nazar, Bu. Saya seorang pemulung dan sudah lama kenal dengan Zahra.”

Ayah Zahra menganggukkan kepalanya. Namun, wali Zahra itu kembali melancarkan pertanyaan lain.

“Apa kamu benar-benar mencintainya? Atau kamu melihat karena Zahra sebagai seorang pegawai yang mempunyai kedudukan tinggi di perusahaannya? Atau ada alasan lain?”

Dilirik tajam oleh ayahnya, Zahra semakin ketar-ketir. Dia takut, kebohongannya akan terbongkar.

Berbeda dengan Nazar yang justru semakin terlihat tenang. Lelaki itu menoleh ke arah Zahra, seolah meminta persetujuan, tetapi hanya bahu wanita itu yang terangkat sebagai jawaban.

“Saya tidak punya alasan lain, tapi saya berjanji tidak akan pernah menyakiti hatinya.”

Saat berkata demikian, tatapan mata Nazar terpatri ke arah Zahra. Hati wanita itu jadi kebat-kebit, sebab seolah lelaki itu berkata jujur, bukan untuk menyempurnakan sandiwara mereka saja.

“Apa pertanyaannya masih banyak?” Di antara pertanyaan dari kedua orang tua Zahra, Zia yang sedari tadi menyimak sembari menutup hidung angkat bicara. “Karena aku sudah tidak tahan lagi lama-lama di sini. Bau!”

Di ujung kalimatnya, Zia menatap ke arah Nazar.

Ayah Zahra terdengar menghela napas, sebelum kemudian menyudahi sesi interview sang calon mantu.

“Kami masih perlu berdiskusi dengan Zahra. Untuk itu ….” Ayah Zahra menatap Nazar, kemudian berdeham. “Kamu sebaiknya mandi, dan ganti pakaianmu. ART akan mengantar kamu ke kamar tamu.”

Tanpa tersinggung, dan hanya anggukan disertai senyum tipis, Nazar bangkit dari duduknya dan mengikuti ART yang tadi juga menyambutnya dengan kernyitan.

“Gara-gara bau pemulung itu, perutku mual sekali!” lontar Zia, sudah tidak bisa lagi menahan rasa geramnya. “Lagian, kenapa sih Kak Zahra milih calon suami pemulung? Bikin darah tinggi aja!” lanjutnya lagi.

Zahra menatap adiknya dengan tatapan kesal. “Terus aku harus gimana?” protes Zahra dengan suara meninggi. “Suka tidak suka, kalian harus terima! Atau, lebih baik aku tidak usah menikah saja, biar Zia juga tidak jadi menikah dengan calon suaminya!”

Bukan niat hati Zahra berucap kasar, tetapi apa daya, dia tidak punya pilihan lain.

Di satu sisi dia terjebak janji konyol dengan Nazar. Di sisi lain, dia terpojok oleh waktu. Pernikahan Zia sudah tinggal menghitung bulan, sementara tradisi di keluarga mereka adalah pantang sang kakak dilangkah menikah karena khawatir jodohnya semakin jauh.

Padahal, sudah berulang kali Zahra menegaskan keikhlasannya untuk dilangkah karena dia belum memiliki calon, pun masih ingin fokus pada kariernya. Sayang, tradisi tersebut bikin semua rencana Zahra berantakan.

Sementara perdebatan keluarga kecil itu berlangsung, Nazar yang kini telah berganti pakaian dan sudah terlihat lebih segar tengah sibuk dengan telepon di telinganya.

Ekspresi wajah lelaki itu sangat serius, bahkan ada segurat emosi kemarahan di sana.

“Laporkan setiap detailnya, nanti malam kita bertemu.” Lelaki itu berkata dengan nada tegas yang terdengar jauh lebih berwibawa daripada ketika dia berbicara di hadapan Zahra tadi. “Satu lagi, tolong siapkan cincin pernikahan segera. Aku ingin yang terbaik.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status