Share

Bab 2

Jam empat sore setelah pulang kerja, Zahra kembali mendatangi tempat di mana mobilnya mogok tadi pagi.

Tiba di tempat itu, Zahra melihat si pemulung masih duduk di tempat semula. Bahkan mobilnya masih terparkir dengan cantik di pinggir jalan. Bergegas Zahra turun dari taksi onlinenya.

“Oh, rupanya datang juga, aku kira sudah lupa dengan janji,” celetuk si pemulung itu ketika Zahra menghampiri.

Zahra menahan putaran matanya karena jengkel.

“Mana mungkin saya lupa! KTP saya kan dipegang sama Mas!”

Si pemulung terlihat menganggukkan kepalanya santai. Dia kemudian berdiri tepat di hadapan Zahra dengan tatapan dingin. “Lalu, bagaimana dengan janjimu untuk menikah denganku?”

Zahra lalu menatap wajah si pemulung. Dia melihat lebih detail pahatan wajah tampan yang tertutup oleh debu.

Bahkan, pakaian dengan warna lusuh yang sudah bolong di beberapa bagian itu tidak membuat ketampanan si pemulung tertutup sempurna.

“Kenapa kamu bengong? Kamu mau mengingkari janji?” tanya si pemulung, mengacaukan pandangan Zahra.

Mata Zahra langsung melotot. Andai kata dia tidak memiliki tujuan lain, dia tidak akan sudi menerima ajakan gila pemulung ini!

Tidak punya banyak waktu lagi, Zahra pun akhirnya berkata, “Baiklah, saya siap menjadi istri kamu, tapi dengan catatan kamu harus ikut saya sekarang ke rumah.”

“Oke, siapa takut!” sahut si pemulung enteng, tanpa rasa takut.

Zahra lalu berjalan mendekati mobil, diikuti oleh si pemulung itu. Dia langsung duduk di kursi kemudi, memasukkan kunci dan bersiap menstater mobil.

Tidak lupa, dia mengirimkan sebuah pesan ke orang tuanya, berkata dia akan datang bersama calon suami.

Mobil telah menyala, tetapi pemulung itu masih berdiri di samping Zahra, membuat dia bertambah jengkel.

“Tunggu apa lagi? Cepat naik!” perintah Zahra yang langsung membuat pemulung itu memutar langkah menuju kursi penumpang di sampingnya.

Ketika pintu mobil telah tertutup sempurna, Zahra menahan nafasnya. Bau tidak sedap seketika menguar, tepat setelah pemulung itu duduk di sebelahnya.

Saking menguar aromanya, Zahra sampai ingin memuntahkan isi perutnya, tetapi dia sekuat hati menahan. Dia putuskan untuk memperbesar AC guna mengusir bau yang menguar dari tubuh si pemulung itu.

Selama dalam perjalanan menuju rumah Zahra, mereka tidak terlibat percakapan apa pun.

Pikiran Zahra sendiri kini dipenuhi berbagai hal. Mulai dari memikirkan nasib tragis nan malangnya di pagi ini, perdebatan menolak perjodohan dari orang tuanya, dan berakhir dengan membawa seorang pemulung sebagai calon suami!

Saking sibuknya Zahra dengan pikiran, juga kemudinya … dia sampai-sampai tidak sadar jika Nazar—si pemulung, sedari tadi menatapnya dengan lekat.

Setelah sekitar 15 menit, mobil yang dikemudikan Zahra memasuki sebuah gerbang dengan rumah yang begitu mewah.

Seorang asisten rumah tangga bergegas mendekat, bersiap membukakan pintu mobil untuk majikannya.

“Selamat sore, Non—” Perkataan ART-nya itu tertahan, sebab dia langsung menutup mulut dan hidungnya dengan tangan.

Zahra yang telah keluar dari mobil bergegas menatap ke arah Nazar. Benar saja, si pemulung itu juga sudah keluar dan berdiri tidak jauh dari sang ART.

Wanita itu sadar, ART-nya pun bahkan sudah tidak tahan dengan bau busuk dari Nazar. Namun, dia tidak mengindahkan ketidaknyamanan ART-nya dan langsung mengajak calon suami masuk ke dalam rumah.

“Ayo, orang tua dan adikku sudah menunggu!” Totalitas demi restu, Zahra mengubah panggilan formalnya menjadi lebih santai.

Dari dalam ruang keluarga, ketiga orang keluarga Zahra berjalan menyambut kehadiran dia dan Nazar di ruang tamu.

Seluruh mata tercengang, terlebih sang adik.

“Apa Kak Zahra tidak salah memilih calon suami, Bu?” Meski berbisik-bisik, Zahra bisa membaca gerak bibir sang adik yang keheranan melihat lelaki yang dia bawa ke rumah.

Kedua orang tua Zahra kompak menoleh ke anak bungsunya dengan raut pias, lalu kembali menatap ke arah putri sulung dan calon suaminya.

Namun, sebelum mereka berkomentar … hidung kedua orang tua Zahra mengernyit.

“Ayah, kok seperti bau kentut, ya?” Ibunya Zahra menoleh dengan heran. “Baunya busuk sekali!”

“Entahlah, Bu. Kok, tiba-tiba bisa bau busuk, padahal pengharum ruangan bekerja tiap sepuluh menit.”

Nazar dan Zahra makin dekat berjalan ke arah kedua orang tua juga adiknya. Dan ketika sampai di depan orang tuanya Zahra, Nazar langsung membungkuk hormat.

“Selamat sore, Bu, Pak. Saya Nazar—"

“Huek!” Zia—adik Zahra, langsung membalikkan badan lalu berlari karena isi perutnya bergejolak hebat.

Kedua orang tua Zahra semakin memelotot. Mereka memundurkan kaki beberapa langkah, lalu kompak menatap horror ke arah putrinya.

“Jadi ini calon suami kamu, Zahra?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status