Jam empat sore setelah pulang kerja, Zahra kembali mendatangi tempat di mana mobilnya mogok tadi pagi.Tiba di tempat itu, Zahra melihat si pemulung masih duduk di tempat semula. Bahkan mobilnya masih terparkir dengan cantik di pinggir jalan. Bergegas Zahra turun dari taksi onlinenya.“Oh, rupanya datang juga, aku kira sudah lupa dengan janji,” celetuk si pemulung itu ketika Zahra menghampiri.Zahra menahan putaran matanya karena jengkel.“Mana mungkin saya lupa! KTP saya kan dipegang sama Mas!”Si pemulung terlihat menganggukkan kepalanya santai. Dia kemudian berdiri tepat di hadapan Zahra dengan tatapan dingin. “Lalu, bagaimana dengan janjimu untuk menikah denganku?”Zahra lalu menatap wajah si pemulung. Dia melihat lebih detail pahatan wajah tampan yang tertutup oleh debu.Bahkan, pakaian dengan warna lusuh yang sudah bolong di beberapa bagian itu tidak membuat ketampanan si pemulung tertutup sempurna.“Kenapa kamu bengong? Kamu mau mengingkari janji?” tanya si pemulung, mengacaukan pandan
“Kata Ibu, Zahra bebas memilih calon suami. Dan, inilah orang yang mau menikah dengan Zahra.”Zahra sudah menduga jika orang tuanya tidak akan langsung menerima. Toh, dia pun demikian.Hanya saja, Zahra akan terus bersikeras mempertahankan Nazar si pemulung sebagai calon suaminya sebagai bentuk protes.Dia tidak ingin ditekan oleh siapa pun. Tidak dengan orang tuanya, pun tidak dengan calon yang dipilihkan orang tuanya.Zahra berpendapat, akan lebih mudah mengontrol Nazar karena dia bisa membuat kesepakatan usai pertemuan ini usai.Kedua orang tua Zahra saling tatap, kemudian menatap dengan lamat ke arah Nazar. Mereka berdua berbisik-bisik, meski masih terdengar oleh Zahra maupun Nazar.“Gimana ini, Yah? Masa calon mantu kita dekil banget, bau lagi!”“Sudahlah, Bu. Mungkin kalau dia sudah mandi akan terlihat lebih bersih. Nanti Ayah akan kasih baju punya Ayah.” Kening ayah Zahra merengut, masih memperhatikan calon mantunya dengan detail. “Coba Ibu perhatikan, dia terlihat tampan, kok.”Zahra
Perdebatan antara Zahra dan Zia semakin pelik. Sepasangsaudara itu saling adu argumen.Zahra yang sudah frustrasi pada kekolotan orang tuanya untukmemegang teguh tradisi 'menikah tanpa dilangkah' pun berteriak, dengan linanganair mata. “Aku tahu, aku sudah tidak muda lagi, sudah tidak menariklagi. Apa yang bisa aku harap sekarang?”Orang tua dan adiknya terdiam. Namun, tiba-tiba sebuah suaradalam lelaki terdengar membela.“Siapa bilang? Yang bilang begitu pasti orang buta.”Suara lelaki itu begitu tegas dan dalam, tetapi sekaligusterasa hangat. Sontak, seluruh sorot mata keluarga itu menghadap si empunyasuara.“K-kamu—” Zahra bahkan tidak sanggup melanjutkan kalimatnya.Rupanya, dialah Nazar yang telah kembali bergabung bersamamereka di ruang tamu.Seluruh mata itu lantas terbelalak ketika melihat Nazar yangkini telah berganti pakaian. Sebuah kemeja putih berlengan panjang yang diagulung hingga siku, disertai celana panjang slim fit berwarna biru tua begituserasi di tubuhn
“Alah, paling juga mobil sewaan!" Zia kembali berkata nyinyir, padahal sepersekian detik tadi ekspresinya begitu terkejut. "Lagian, gegayaan ... Pemulung saja, sok-sokan sewa mobil mewah! Buang-buang uang, kayak uangnya banyak aja!"Ibu Zahra yang mendengar langsung menegur anak bungsunya. "Huss! Jangan gitu, Zi. Ya, mungkin memang Nazar punya teman yang baik, mau pinjamkan dia mobil?"Wajah Zia langsung memberengut. Nazar tampak ambil pusing dengan omongan keluarga sang istri, lelaki itu masih sibuk meletakkan koper di bagasi mobil. Sementara Zahra pun sudah tidak ingin bereaksi terhadap mulut nyinyir sang adik. Baginya, ada untungnya juga Nazar mengajaknya pindah saat ini juga. Dia tidak perlu pusing meladeni nyinyiran siapa pun tentang suaminya.“Ayah, Ibu Zahra pamit ya.” Mata Zahra langsung berkaca-kaca saat memeluk kedua orang tuanya. Dengan suara tertahan Ayah Zahra berpesan sama anaknya. “Hati-hati ya, Nak. Jaga kesehatan, jangan terlalu sibuk kerja, ingat kamu sudah punya s
"Ayo, kita masuk ke dalam." Alih-alih menjawab rasa penasaran sang istri, Nazar justru menggamit tangan Zahra dan membuat gadis tersebut kehilangan kata-kata."Tapi, Mas," sambil berjalan Zahra memanggil suaminya.Nazar menoleh dengan senyuman tipis tetapi memabukkan, "Kamu akan mendapatkan jawabannya nanti, Zahra."Darah Zahra sampai berdesir, saat melihat senyuman manis di bibir suaminya.Tiba di depan pintu rumah, dengan perlahan ngajar membuka pintu rumah. Wajah Zahra kembali terkejut, kini di hadapannya. Ada 4 orang yang sedang berdiri tegak. "Selamat datang nyonya Al Ghazali," semua pelayan itu mengangguk hormat, Zahra melihat salah satu diantaranya ada yang sudah berumur."Te-terima kasih," ucap Zahra gugup, sedangkan suaminya terlihat biasa-biasa saja, bahkan sepertinya tidak merespon, dengan penyambutan keempat orang itu. Setelah melewati keempat orang itu, Zahra lalu mengikuti suaminya naik ke lantai atas. Dia benar-benar kagum melihat interior rumah ini. Banyak sekali or
"Apa yang sedang kamu pikirkan?"Tubuh Zahra berjengit ketika mendengar suara baritone itu tepat di telinganya.Dia langsung menoleh dan menemukan Nazar telah berada di belakangnya, dengan tubuh yang sudah lebih segar dan harum sabun, juga pakaian santai yang berbeda."Oh, ini ...." Zahra menunjuk sebuah foto di mana keheranan kembali menghantuinya. "Katanya Mas hanya karyawan, kenapa bisa foto sama mereka?""Waktu itu disuruh ikut." Nazar menjawab dengan singkat. "Perutku sudah lapar, ayo kita makan." Setelahnya, dia langsung menarik tangan Zahra menuju tempat makan."Silakan tuan," pelayan itu kembali membungkuk badannya hormat."Silakan nyonya Al Ghazali." salah seorang pelayan menarik kursi yang ada di samping Nazar. Zahra yang belum terbiasa diperlakukan bak ratu masih melongo mendapati perlakuan istimewa seperti ini.Satu orang pelayan membalikkan piring, tapi ketika tangan pelayan hendak mengambil makanan. Nazar langsung menahan tangan pelayan itu."Biarkan istri saya yang mel
Wajah para pelayan terlihat tegang. Apakah pertanyaan itu begitu sulit untuk mereka? Begitu pikir Zahra."Aku menempati rumah ini karena sudah lama kosong dan ditinggalkan pemiliknya." Suara bariton terdengar. Zahra menoleh ke belakang, melihat sang suami sudah terlihat segar dengan rambut basah.“Loh, Mas Nazar? Aku kira masih tidur.”"Kenapa, Sayang?" tanya Nazar dengan mesra. Zahra terdiam bingung sekaligus gugup dengan panggilan sayang yang diucapkan Nazar. Sementara para pelayan mundur selangkah demi menghindari kedatangan tuannya. Mereka menunduk dalam seakan siap disalahkan.Zahra merasa heran melihat reaksi tegang para pelayan, yang sebelumnya tampaknya sulit untuk menjawab pertanyaan. Perasaan was-was itu terbayang di matanya saat Nazar berbicara dengan tegas."Tid— tidak ada apa-apa." Zahra menyembunyikan rasa khawatir di matanya. Dia merasa ada yang aneh, tetapi tidak yakin apa yang sebenarnya terjadi di balik semua ini.Nazar menatap Zahra dengan sorot mata curiga. "Ka
“Sudah aku bilang ada sedikit pekerjaan,” jawab Nazar kembali dengan sikap dinginnya. Zahra kembali menelan kekecewaannya, karena jawaban suaminya tidak sesuai harapan.Bahkan sampai malam tiba, Zahra belum berhasil mengorek identitas suaminya itu. Tapi kekecewaan hati Zahra, tergantikan oleh sikap Nazar yang sudah manis kembali.Mereka bahkan melakukan malam pertama, usai sang suami dengan sejuta pesonanya itu mampu meyakinkan Zahra.Tubuh Nazar yang sedari awal terlihat menggoda, ternyata sesuai dengan kepiawaian pria itu membuat Zahra melambung ke angkasa. Dia yang semula takut merasakan sakit, juga masih ada keraguan sebab sang suami masih menyimpan rahasia, seolah lupa karena perlakuan Nazar yang begitu lembut padanya. Sudah 3 hari, Zahra cuti dari tempat kerjanya. Dan hari ini, Zahra akan pergi ke kantor seperti biasa.“Sudah aku siapkan baju kerja buat kamu Mas. Walaupun kamu cuma pemulung, tidak ada salahnya pakaian kamu bersih,” ucap Zahra saat Nazar baru keluar dari kamar
setelah kejadian itu, Nazar kondisinya semakin membaik. Zia tidak berani lagi menampakan wajahnya di rumah Zahra, barang-barang Zia diantar ke rumah Ahmad sama Pak Karni. "besok ikut sama mas," ucap Nazar setelah makan malam. Zahra mengganggukan kepalanya, karena mulutnya sedang penuh dengan makanan. keesokan harinya Zahra terlihat sangat cantik sekali, Dia memakai gaun dengan perhiasan yang sederhana tapi terlihat Elegan. Nazar berkali-kali mencium pipi istrinya. "ayah sama ibu langsung datang ya mas," ucap Zahra saat mereka sedang dalam perjalanan menuju perusahaan. Ahmad dan Hanum diundang ke acara ulang tahun perusahaan di mana tempat Zahra dulu bekerja. ternyata perusahaan itu milik Nazar. Nazar sengaja mengundang kedua orang tua Zahra ke acara ulang tahun perusahaan itu. "ayah, bukannya perusahaan ini tempat dulu Zahra bekerja ya?" tanya Hanum sedikit heran. "iya, kenapa Kita diundang ke perusahaan ini ya?" Ahmad malah balik bertanya. "aduh Ibu juga kurang paha
Zia benar-benar kesal sekali, karena selalu gagal menjebak Nazar kakak iparnya. Zia ingin memiliki Nazar dan menyingkirkan kakak sendiri. dirinya sudah bercerai dengan Dilan, karena Dilan saat ini benar-benar bangkrut, dan hidup bersama kedua orang tuanya. malah Nazar semakin terlihat lengket sama Zahra. Nazar sering memamerkan kemesraan dengan Zahra, di depan semua penghuni rumah termasuk Zia.bibir Zia selalu tersenyum sinis, melihat kemesraan antara Nazar dan Zahra. Zia semakin iri hati sama kakaknya sendiri. "mas, bolehkan aku bertemu dengan teman-teman?" tanya Zahra meminta izin sama suaminya untuk bertemu dengan Sinta dan Nita. Nazar mengganggukan kepalanya, jari-jari tangannya masih terlihat lincah dia mengetik huruf yang ada di laptop. cup.... Zahra mengecup pipi Nazar dengan mesra.jam 04.00 sore, Zahra sudah nangkring di depan kantor tempat Shinta dan Nita bekerja. rupanya Zahra sengaja menjemput temannya itu ke kantor. rencananya mereka akan pergi ke sebuah restoran sa
Zia langsung berlari naik ke lantai atas, dia masih terisak menangis, Zia benar-benar seorang artis drama Korea. Zahra menghembuskan nafasnya secara kasar, adiknya sudah keterlaluan. sampai-sampai masuk ke dalam kamar pribadinya. "Maafkan Aku," ucap Zahra lalu berjalan dan masuk ke dalam kamar, diikuti Nazar dari belakang. Zahra duduk di atas tempat tidur, air matanya mengalir di pipi, matanya terpejam. hati dia sebenarnya tidak tega memarahi adiknya. tapi harus bagaimana lagi Zia benar-benar keterlaluan. mata Zahra menangkap laci meja riasnya terbuka. Nazar yang baru masuk ke dalam kamar menautkan kedua alisnya melihat Zahra berjalan ke arah meja rias. "yang, ada apa?" tanya Nazar. Zahra tidak menjawab, lalu memeriksa lagi yang sudah terbuka. mata Zahra langsung memeriksa isi laci meja rias itu. tangannya sedang memeriksa barang yang ada di laci meja itu. terdengar suara ketukan pintu kamar. "siapa?" tanya Nazar. "saya tuan," rupanya Mbok Minah yang ada di luar kamar.
"saudara Fatih, Anda dinyatakan bersalah, Anda dihukum seumur hidup," hakim langsung mengetuk palu, setelah memberikan keputusan buat Fatih. Fatih terdiam saja sambil menundukkan kepalanya, dia tidak mau naik banding atau apapun. dia akan menjalani hukuman ini dengan ikhlas. percuma saja ada pengacara juga, kalau toh akhirnya dia masih tetap dihukum. Nazar dan Zahra bernapas dengan lega, karena Fatih dihukum sesuai keinginan Nazar. Fatih langsung digiring ke mobil tahanan, tidak berniat sedikitpun untuk mendekati Nazar atau Mirna yang datang bersama Pakde Seno. Lukman datang seorang seorang diri, duduk di samping Nazar, matanya terpejam saat mendengar keputusan dari hakim tadi. rasa perih dan lupa di bisa digambarkan dari ekspresi wajahnya. "ya Allah, tolong kuatkan Fatih jaga selalu anakku ya Allah, hanya itulah yang hamba bisa doakan," gumam Lukman dalam hati. Mirna langsung memeluk k Pakde Seno, hatinya merasa sakit, anak kesayangannya divonis seumur hidup di balik jeruji
"dasar pelayan tidak tahu diri! kenapa harus ikut makan bersama di meja makan ini" Zia terus saja ngomel-ngomel di dalam hatinya. Nazar serta yang lainnya terlihat santai menikmati makan malam. bahkan Zahra sesekali bercanda dengan adik iparnya. selesai makan, Naima langsung masuk ke kamarnya. begitu pula dengan Nazar dan Zahra.sedangkan Zia sejak tadi sudah terlebih dahulu naik ke lantai atas, mungkin karena hatinya kesal."besok Mas mau ke kantor polisi, Mas mau lihat keadaan Fatih. katanya persidangan Fatih baru minggu depan digelar," ucap Nazar."baiklah Mas," tapi jawaban Zahra terlihat dingin. Nazar merasa ada yang sedang dipikirkan sama Zahra."Kamu kenapa sih sayang?" tanya Nazar. "mas, aku kan keluar kerja, terus bagaimana dengan hidupku?" tanya Zahra seperti orang kebingungan. Nazar kaget mendengar jawaban istrinya, karena merasa aneh di telinga Nazar. "maksud kamu apa sih sayang? ya tidak apa-apa keluar kerja juga, toh, aku masih bisa menafkahi kamu.""tapi....." waj
"kenapa kak? kok malah membentak aku. Aku kan tanya dia itu siapa," tanya Zia sama Zahra. Zahra rasanya tidak punya muka lagi di depan keluarga suaminya, itu semua karena tingkah Zia yang sangat memalukan itu. "Siapa kamu sebenarnya?" tanya Zia sama Naima dengan tatapan mata menyelidiki.Sari datang sambil membawakan pesanan Naima, siomay yang sudah dikasih bumbu. "non Naima, ini siomaynya," ucap Sari sambil meletakkan piring siomay di depan Naima."terima kasih Bik Sari," ucap Naima."Kak Zahra mau?" tanya Naima, yang tidak menghiraukan pertanyaan Zia."terima kasih," jawab Zahra singkat, Karena hati Zahra masih kesal dengan tingkah Zia.Naima langsung memasukkan potongan siomay ikut dalam mulutnya. Zia menatap Naima dengan tatapan tak suka. "hei! kenapa kamu tidak menjawab pertanyaanku!" Zia membentak Naima, karena merasa jengkel, Naima tidak menjawab pertanyaannya. "Zia! jaga sikap kamu! kamu ingin tahu siapa dia!" malah Zahra yang terlihat emosi. "dia adik mas Nazar, pa
Mbok Minah langsung menoleh ke arah sumber suara, ternyata Naima sudah berdiri di Mbok Minah. Naima langsung memeluk Mbok Minah, sepertinya anak itu setiap ketemu selalu memeluk asisten rumah yang sudah lama mengabdi di keluarganya. "nduk, sepertinya sedang mendapat kebahagiaannya?" tebak Mbok Minah, karena melihat wajah Naima berbinar. "ah si mbok bisa saja bicara," jawab Naima lalu melepaskan pelukannya, lalu menyalami Sari dan Nani. "Mbok bikin apa sih? harum banget?" tanya Naima sambil menatap penggorengan. "ini, Sari dan Ani pingin makan camilan yang manis-manis," jawab Mbok Minah "semanis diriku ya?" seloroh Naima. "tentu," sahut mbok Minah. Naima dan Nazar selalu bersikap sopan terhadap orang yang lebih tua. meskipun mereka hanya seorang pelayan di rumahnya. tapi kedua orang tua Naima selalu mendidik adab dan sopan. begitu pula dengan Nazar, selalu menghormati orang-orang yang lebih tua usianya. walaupun kadang beda pendapat dan beda pemahaman. "Mas Nazar
Mata Nazar langsung melebar saat melihat penampilan adik iparnya. Nazar buru-buru membuang mukanya ke samping. bagi Nazar itu pemandangan sangat memuakan sekali. Zia terlihat berjalan lenggak-lenggok mendekati mereka berdua. Zahra menata penampilan adiknya sampai tidak berkedip. "hai kak Zahra," sapa Zia sambil melambaikan tangannya. Nazar dan Zahra malah saling melempar pandangan, mereka benar-benar heran melihat penampilan Zia seperti itu. "kok bengong sih kak Zahra? bagaimana penampilanku Kak?" tanya Zia sambil memutar badan. "ba__bagus," jawab Zahra terbata-bata."tentu dong, Aku sengaja datang ke sini tanpa memberitahu kak Zahra sama Mas Nazar," ucap Zia yang langsung berdiri di samping Nazar.tangan Zia langsung melingkar di lengan Nazar tanpa rasa malu sedikitpun. Zahra risih melihat pemandangan seperti itu." apa yang sebenarnya Zia inginkan?" tanya Zahra dalam hati."kak, bagaimana kalau aku tinggal di sini. aku bantu kakak merawat Mas Nazar, aku merasa kasihan sekali
"Maafkan aku Naima, bilang aku lancang mengeluarkan isi hatiku. jujur saja, Aku sudah lama menyimpan rasa ini. tapi aku takut mengungkapkan semuanya."wajah Budi terlihat serius, sedangkan Naima menundukkan kepalanya, hatinya berdebar kencang. entah perasaan apa yang sedang dirasakan Naima saat ini. "Apakah kamu menerima cintaku?" tanya Budi. Naima mengangkat kepalanya, manik bola matanya terlihat menatap ke arah Budi. Naima tersenyum manis."aku tidak mau berangan-angan tapi terlalu jauh. Mas Budi sudah memberikan perhatian yang lebih terhadapku, aku sudah merasakan apa yang buat Budi rasakan," ucap Naima.hati Budi langsung berbunga-bunga, yang tadinya masih kuncup, sekarang bunga-bunga Cinta sudah mulai bermekaran di dalam hatinya. saat Budi meraih jemari tangan lentik Naima. tiba-tiba Naima menjauhkan jari tangannya. "belum halal Mas, kalau sudah halal mau dipegang apapun bebas," ucap Naima sambil terkikik.Budi buru-buru menarik tangannya, merasa malu dengan ucapan Naima."ka