"Aku lihat dari tadi kamu melamun saja, jangan terlalu banyak pikiran Dilan. bisa-bisa merusak konsentrasi kerjamu," rupanya Adi yang menepuk bahu Dilan. "eh iya," Dilan gugup. "Sebentar lagi, kita bubaran kerja. semoga kamu bisa mendapatkan solusi terbaik," Adi sedikit memberikan saya nasehat. Dilan hanya menganggukkan kepalanya, dan kembali fokus bekerja. "Dilan, Ayah mengira. pernikahan Zia dengan kamu, akan baik-baik saja. Tapi ternyata Zia malah mengalami depresi," ucap Ahmad sambil menatap ke arah Dilan. "Sekarang, kami mau bertanya sama kamu. Apakah hutang itu, semuanya bekas biaya pernikahan kamu dan Zia?" tanya Hanum. Dilan menatap mertuanya. " bukan Bu, sebenarnya itu, hutang orang tuaku. tapi memang untuk biaya pesta pernikahan. Aku pinjam sama re****r. Setiap bulan bayar bunga sebanyak 5 juta rupiah, dengan pokok masih tetap," jawab Dilan. Hanum menutup mulutnya, wajah Ahmad terlihat kaget. Dilan menundukkan kepalanya, sekarang hanya rasa malu yang bersaran
"Ayah, harus bisa mengambil keputusan. karena jujur saja, ini menyangkut Zia. bukannya Ayah ingin mencampuri urusan ke rumah tangga anak. Tapi setelah melihat kondisi Zia, Ayah harus mengambil keputusan," ucap Ahmad. Hanum, Zahra sama Nazar terlihat diam. mungkin sedang mencerna kata-kata Ahmad. "Ibu, serahkan semuanya sama ayah. Yang terpenting saat ini, Ibu ingin Zia sembuh dan kembali seperti semula. walaupun kita tahu sifat Zia itu seperti apa." "Bolehkah Zahra melihat Zia?" tanya Zahra tiba-tiba. "Silakan Nak, mungkin saat ini Zahra sedang tidur," jawab Hanum. Zahra bangkit dari tempat duduknya, diikutin ajar dari belakang. Zahra langsung membuka pintu kamar Zia. rupanya Zia sudah terbangun, dengan posisi bersandar setengah tidur. Zia langsung menoleh ke arah pintu, matanya terlihat berbinar. "Kak Zahra!" pekik Zia sambil berhambur ke arah Zahra. Zia langsung memeluk erat kakaknya. " Maafkan aku Kak, selama ini aku bersalah sama kakak," ucap Zia dengan suara serak. Zahr
"Jadi! aku harus mengh*****i adikmu?" tanya Dilan dengan wajah terkejut."Ya, hitung-hitung kita saling bantu. Adikku dituntut oleh ibu mertuanya untuk segera punya anak. padahal kami tahu, kalau yang bermasalah itu bukan adikku. tapi anaknya sendiri," jawab Alma.Dilan terdiam, pikirannya bimbang. Di satu sisi, dirinya sedang membutuhkan uang. Di satu sisi lagi, dia harus menuruti kemauan Alma."Bagaimana kamu setuju atau tidak?" tanya Alma. Akhirnya......."Baiklah, tapi harus ada perjanjian dulu, aku tidak mau, diakhiri nanti ada sesuatu hal yang tidak diinginkan," ucap Dilan."Tenang saja, menurut kamu mungkin hal ini, tindakan yang sangat bodoh. tapi harus bagaimana lagi, inilah cara yang harus kami lakukan. Suami adikku sudah tahu, dan dia telah menyetujuinya," ucap Alma."Baiklah, aku setuju," ucap Dilan.Mungkin bagi sebagian orang hal ini, tidak aneh. Tapi hal ini, tentunya perbuatan gila. Kadang semua orang bisa melakukan hal apa saja, yang penting keinginan mereka tercapa
Zahra merasa tubuhnya berat, ternyata suaminya sudah berada di atas tubuh Zahra. "Diam sayang," ucap Nazar berbisik lembut. Zahra langsung menatap lembut ke arah suaminya. dirinya tidak bisa menolak keinginan Nazar. kecupan mesra terus mendarat di pipi Zahra. bahkan Zahra merasa kewalahan mendapat serangan mendadak. malam itu, Nazar terlihat bergairah sekali, sentuhan-sentuhan lembut Nazar berikan sama istrinya. Zahra benar-benar merasa puas, suaminya selalu memberikan kenikmatan yang tiada tara. buliran teringat, membasahi tubuh mereka. Zahra sangat menikmati setiap Nazar memberikan sentuhan di area tubuhnya. hingga akhirnya mereka mencapai puncak kenikmatan bersama-sama. "Mas, semalam dari mana?" tanya Zahra sambil menyisir rambutnya yang hitam legam dan panjang. "ada sedikit pekerjaan," jawab Nazar sambil mengancingkan bajunya. "pekerjaan apa Mas? sampai-sampai telepon aku tidak diangkat, begitu pula dengan pesan yang aku kirimkan," tanya Zahra mulai terlih
Zahra langsung menoleh, terlihat rekan kerjanya berlari-lari mendekat. "Barengan," ucap temannya sambil mengikuti langkah Zahra. "aku dengar, si Edi bagian exportir, ngadain acara ulang tahun, katanya sih dirayakan di sebuah kafe."Oh ya," ucap Zahra."kamu mau ikutan?"tanya Sinta."entahlah aku tidak tahu, kamu tahu sendiri kan. aku berangkat dan pulang kerja saja diantar jemput. tapi bagaimana nanti saja," jawab Zahra. "baiklah, kalau memang kamu siap kabar-kabari aku ya," ucap Sinta.Zahra menganggukkan kepalanya, lalu berjalan ke arah ruangan kerja."rasanya sungkan kalau mau minta izin sama Mas Nazar. entahlah aku merasa dia tidak akan mengizinkan aku pergi," gumam Zahra dalam hati.Nazar saat ini memang terlihat agak dingin sikapnya sama Zahra, tapi seorang istri, Zahra harus memahami pekerjaan suaminya. Zahra melihat akhir-akhir ini suaminya sering menerima telepon, lalu bergegas pergi tanpa berpamitan. Zahra kembali fokus bekerja, walaupun pikirannya terus melayang ke
"Iya nyonya, ada apa?" jawab Pak Karim, dengan pandangan mata tetap fokus ke depan."Maaf pak, Memangnya Mas Nazar ke mana sih? saya merasa akhir-akhir ini Mas Nazar berbeda sikapnya," tanya Zahra."maaf Nyonya Saya benar-benar tidak tahu," jawab Pak Karim."Apakah memang bapak benar-benar tidak tahu?" tanya Zahra dengan tatapan menyelidik. "benar nyonya, buat apa saya bohong," jawab Pak Karim. Zahra terdiam, karena benar apa yang dikatakan Pak Karim, mana mungkin seorang sopir pribadi atau tukang kebun, mencampuri urusan pekerjaan suaminya. Zahra langsung turun dari mobil, begitu mobil tiba di depan rumah. rumah sebesar ini, bagi Zahra terasa sepi. walaupun di dalamnya banyak penghuni, tapi ketidakhadiran Nazar saat ini. membuat hati Zahra seolah-olah sepi. Dengan langkah gontai, kaki Zahra menaiki tangga satu persatu. kaki Zahra langsung berhenti, saat melewati sebuah foto yang menempel di dinding. Entah kenapa Zahra ingin memandang foto itu. foto yang terdiri dari 4 orang. pas
"Iya nyonya, ada apa?" jawab Pak Karim, dengan pandangan mata tetap fokus ke depan. "Maaf pak, Memangnya Mas Nazar ke mana sih? saya merasa akhir-akhir ini Mas Nazar berbeda sikapnya," tanya Zahra. "maaf Nyonya Saya benar-benar tidak tahu," jawab Pak Karim. "Apakah memang bapak benar-benar tidak tahu?" tanya Zahra dengan tatapan menyelidik. "benar nyonya, buat apa saya bohong," jawab Pak Karim. Zahra terdiam, karena benar apa yang dikatakan Pak Karim, mana mungkin seorang sopir pribadi atau tukang kebun, mencampuri urusan pekerjaan suaminya. Zahra langsung turun dari mobil, begitu mobil tiba di depan rumah. rumah sebesar ini, bagi Zahra terasa sepi. walaupun di dalamnya banyak penghuni, tapi ketidakhadiran Nazar saat ini. membuat hati Zahra seolah-olah sepi. Dengan langkah gontai, kaki Zahra menaiki tangga satu persatu. kaki Zahra langsung berhenti, saat melewati sebuah foto yang menempel di dinding. Entah kenapa Zahra ingin memandang foto itu. foto yang terdiri da
"Sudah dong ah. kok malah jadi ribut seperti ini ya? bukannya kami mendapatkan solusi. tapi malah menambah-nambah masalah," Hanum berani berbicara sama kakak iparnya. "Kamu yang......""Wati! diam kamu! kita datang ke sini. karena kita merasa kasihan sama Ahmad, bukan untuk membuat keributan," tegur Pakde Seno sama istrinya.semua terdiam, Zia langsung tersenyum sinis ke arah Bude Wati. sedangkan Bude Wati wajahnya langsung ditekuk. "pernikahan kamu sudah tidak sehat Zia. Pakde harap, kamu sudah bisa memikirkan sendiri apa yang kami mau. kekerasan fisik kamu dapatkan dari suamimu sendiri, dan tentunya hal itu lebih mudah. kalau kamu mau menggugat cerai suami kamu, kita sebagai keluarga mendukung saja," ucap Pakde Seno panjang lebar. "Iya pakde, Zia akan menggugat cerai Mas Dilan. Zia sudah tidak tahan dengan keluarganya yang toxis itu," Zia kembali merasa di atas angin. karena seluruh keluarga mendukung dirinya. keesokan harinya."jadi dia akan bercerai Mbak?" tanya Rina. "iya, s