Hanum dan Ahmad tidak bisa melarang Zia untuk ikut ke rumah sakit. “Awas, tiba di sana jangan buat keributan. Dan jangan bikin malu kami,” ucap Hanum wanti-wanti. “Tenang saja,” sahut Zia polos.“Itulah akibatnya, kalau tidak meminjamkan kalung sama adiknya sendiri. Tuhan langsung membalasnya,” cetus Zia.“Kamu ngomong apa sih Zia? Kakak kamu sedang sakit saat ini, kalau kamu memang mau ngomong macam-macam. Sudah jangan ikut,” ucap Hanum, dan langsung melarang Zia.“Ish, Orang cuma mau sedikit mengingatkan kok,” tukas Zia kesal.Hanum yang duduk di samping suaminya. Wajahnya terlihat kesal, bagaimana tidak, Zia kalau bicara selalu saja asal. Tidak peduli orang lain merasa sakit hati atau tidak. Tiba di rumah sakit, Ahmad langsung menuju lobby. Dan bertanya sama petugas di sana. “Oh, pak Ahmad sama Bu Hanum ya? Silakan naik lift khusus tamu, biar kami antar Pak,” jawab resepsionis sambil tersenyum ramah. Ahmad langsung heran, karena merasa mendapat perlakuan istimewa di rumah saki
Seorang pria yang berbadan besar, berdiri di ambang pintu Nazar langsung mendapatkan kedua alisnya. Pria itu langsung balik badan dan pergi. “Ayo kita pulang Ayah,” tiba-tiba Hanum mengajak suaminya pulang. “Lho, kenapa?” Tanya Zahra heran. “Ayahmu masih banyak pekerjaan, syukurlah kalau kamu sudah bisa pulang,” ucap Hanum sambil mengusap pucuk kepala Zahra. “Terima kasih Ayah, ibu. Sudah mau menengok Zahra ke sini,” ucap Nazar sambil tersenyum ramah. Zia langsung berjalan paling depan, tanpa berpamitan sedikitpun sama Nazar dan Zahra. Hanum cuma bisa menggelengkan kepalanya, dengan tingkah Zia yang minim adab.“Mas telepon ayah?” Tanya Zahra setelah mereka pulang. “Iya, setidaknya doa orang tua dibutuhkan,” jawab Nazar.Zahra langsung tersenyum, ternyata suaminya lebih mengerti dengan hal-hal yang tidak terpikir sama Zahra. “Ingat jaga kesehatan, tinggal semalam di rumah sakit. Rasanya bagaikan setahun,” lanjut Nazar.Zahra langsung terkekeh, melihat wajah suaminya. Jam 04.
“Bagaimana masalah pinjamanku?” Tanya Dilan. “Tenang saja, yang penting kamu mengikuti kemauanku,” jawab wanita itu. “Oke, Aku butuh uang untuk biaya pernikahanku, aku benar-benar dipusingkan dengan hal ini,” ucap Dilan.“Bagiku, masalah uang itu kecil. Asalkan kau benar-benar mau membantuku. Uang akan mudah Kau dapatkan.”“Benarkah?” Tanya Dilan dengan wajah kegirangan. “Buat apa aku bohong, aku sudah bilang dari tadi kan. Kamu bisa bantu aku, dalam sekali jentikan jari. Uang ada di tanganmu. Bagaimana kamu setuju dengan syarat yang diberikan?” Tanya wanita itu. “Baiklah, tapi apa syarat yang kamu berikan?” Tanya Dilan. “Tenang, aku rasa tidak berat. Dan hal yang gampang, nanti aku kasih tahu lewat pesan yang aku kirimkan,” ucap wanita itu. “Baiklah, tapi bisakah aku meminta sebagian dulu?” Tanya Dilan. “Bisa saja, tapi bikin dulu hitam di atas putih,” ucap wanita itu. Dilan terdiam, sejujurnya sejatinya sedikit ragu. Apakah menerima tawaran wanita itu atau tidak. Dilan berpi
“Lho, itu kan kakak ipar kamu Zia?” Tanya temen dia saat melihat Nazar, sedang mengorek-ngorek sampah. “Ah bukan, memangnya mana sih?” Jawab Zia, pura-pura tidak melihat kakak iparnya. “Itu lho, yang sedang ngorek-ngorek sampah,” jawab temannya sambil menunjuk ke arah Nazar.“Ah bukan, itu mungkin mirip,” jawab Zia.“Mataku masih normal Zia!,” ucap temannya yang merasa kesal. “Mana mungkin aku bohong,” lanjut temannya lagi. “Lho, memangnya aku mengatakan bohong? Tidak kan,” tukas Zia.“Sudah biarkan saja, mau kakak iparnya Zia, mau orang lain. Bukan urusan kita,” ucap temannya yang satu lagi. “Maksud aku nggak gitu sih, Aku cuma ngasih tahu Zia. Kalau ada kakak iparnya tadi,” tukas temannya.Saat Nazar keluar dari mobil. Zia bersama kedua temannya, juga melintas di jalan itu. Sedangkan Nazar, langsung mengorek-ngorek tong sampah, di tangannya ada karung kecil. Untuk mengumpulkan barang-barang rongsokan.“Mata kamu teliti juga ya, sampai bisa melihat orang itu kakak iparnya Zia,”
“Bukannya itu, calon ibu mertuamu?” Tanya temannya sambil menunjuk ke arah meja, yang diisi oleh 5 orang ibu-ibu. “Eh iya, ngapain ibu mertua gue ada di restoran ini ya,” jawab Zia.“Kamu tidak mau menyapanya?” Tanya teman Zia.“Ayo kita ke sana,” jawab Zia, lalu mengajak kedua temannya untuk mendekati calon ibu mertua Zia.“Ibu,” panggil Zia, setelah dihadapan ibunya Dilan. Ibunya Dilan langsung terperanjat, wajahnya tampak pucat pasi, karena melihat Zia, sedang berdiri tegak di hadapannya. “He, Zia! Lagi ngapain di sini?” Tanya ibu Dilan gugup.“Ini sama temen aku bu. Mereka berdua mengajak makan di sini,” jawab Zia, lalu meraih punggung tangan Ibu Dilan, dan menciumnya dengan takjim. “Oh.”“Jadi, ini calon menantunya?” Tanya salah seorang ibu-ibu. “Eh, iya,” jawab ibu Dilan masih kelihatan gugup. “ini lho, kami bareng-bareng makan di restoran ini, karena di traktir sama ibu Dilan,” celetuk salah seorang ibu-ibu.Wajah Zia sedikit nampak terkejut. “ Katanya tidak bisa membiay
“Mas,” panggil Zahra.“Iya,” jawab Nazar sambil menoleh ke arah istrinya. “Ada apa sayang?” Tanya Nazar. “Hmmmm, kalau aku nanya sesuatu mau dijawab nggak?” Tanya Zahra. “Mengenai apa?”“Tuh kan, kok wajahnya seperti orang kesal?” Tanya Zahra langsung merasa tidak enak. “Mau tanya apa sih?” Tanya Nazar sambil terkekeh. “Jujur saja mas……”Zahra malah menghentikan bicaranya, selalu menatap ke arah Nazar. Jantungnya berdetak keras, karena takut menyinggung perasaan Nazar. “Bicaralah,” ucap Nazar.“Anak-anak itu…..” Entah kenapa Zahra lidahnya begitu berat untuk bertanya. “Anak-anak yang mana?” Tanya Nazar sambil menoleh ke arah kanan dan kiri. “Ish, bukan itu yang aku tanyakan,” tukas Zahra.“Lalu anak-anak mana?” Tanya Nazar lagi. “Anak-anak yang di gedung itu mas. Kemarin aku melihat, Mas kasih makan sama mereka,” akhirnya Zahra menjawab pertanyaan suaminya. Wajah Nazar langsung berubah, matanya yang bulat itu, menatap tajam ke arah Zahra, seakan-akan siap memangsa musuhnya y
Ahmad mendengar suara ketukan pintu dari arah depan. “ Sebentar Bu, ayah lihat dulu, lagian malam-malam begini Siapa sih yang datang,” Ahmad sedikit menggerutu. Saat membuka pintu, Ahmad menautkan kedua alisnya heran. Karena tidak mengenali kamu yang ada di depan matanya.“Saya mau mengantarkan ini,”ucap pria yang ada di depan Ahmad. “Apa ini?” Tanya Ahmad sambil meneliti bungkusan yang diberikan pria itu. “Saya seorang kurir, Dan tolong tanda tangani ini, sebagai bukti barang itu sudah diterima,” ucap si pria itu sambil memberikan selembar kertas. Ahmad melihat nama si pengirim, ternyata dari Nazar dan Zahra. “Oh, ya sudah. Terima kasih,” ucap Ahmad. “Sama-sama Pak, kalau begitu saya permisi dulu,” ucap pria itu sambil berlalu dari hadapan Ahmad. Ahmad langsung menutup pintu, dan membawa bungkusan itu ke dalam kamarnya. “Siapa ayah?” Tanya Hanum saat melihat suaminya masuk. “Ini ada kurir yang mengantarkan paket, pengirimnya anak kita,” jawab Ahmad sambil memberikan bungkusa
Saat Zia menoleh, ternyata ada sebuah mobil hitam, dan Zia mengenali mobil itu. Dan ingat dengan nomor mobilnya.“Bukannya mobil itu, yang selalu dibawa sama Mas Nazar?” Tanya Zia dalam hati.Saat Zia hendak menurunkan kaca mobil. Lampu hijau sudah menyala, mobil hitam langsung melesat pergi. Tiba-tiba, terlintas dalam pikiran Zia, untuk mengikuti mobil hitam itu. Zia, sedikit menjaga jarak, dengan mobil hitam itu.“Padahal, aku sudah minta izin sama Bos kamu. Agar kamu cuti dulu sampai 1 minggu,” ucap Nazar.“Aku nggak enak sama rekan kerja yang lain. Toh, penyakitku tidak serius-serius amat,” tukas Zahra.Nazar, menghilang nafasnya. Percuma memaksakan kehendaknya, Zahra memang keras kepala. Dan Nazar tidak mau berdebat lagi.“Aku masuk dulu……” tapi ucapan Zahra menggantung. “Romantis itu! Tidak usah diperlihatkan di muka umum! Pamer ya!” Sontak Nazar dan Zahra menoleh ke arah sumber suara. Ternyata Zia sudah berdiri di belakang Zahra.“Eh kak! Dengar ya. Jadi perempuan itu Jan