“Hei!!! Kalian bukannya kerja! Tapi malah bergosip! Aku bisa melaporkan kalian!” Bentak Zia.Para pelayan itu langsung menundukkan kepalanya. Tidak ada yang berani memandang ke arah Zia. Hati mereka langsung ketar-ketir.“Ada apa ini?” Tanya si pemilik butik, sambil memandangi mereka satu persatu. “Bilang sama pelayan kamu! Jangan banyak bergosip! Harusnya bekerja dengan benar!” Jawab Zia dengan suara keras. Si pemilik butik, yang sudah tahu dengan sikap Zia. Langsung mengibaskan tangannya ke arah para pegawainya. Sebagai kode, agar mereka segera bekerja kembali. “Aku minta maaf ya,” ucap si pemilik butik sambil menangkupkan kedua tangannya. “Kalau aku tidak melihat kamu, sudah aku pecat para pegawaimu,” ucap Zia.“Memangnya kamu pemilik butik ini? Huh! Dasar wanita sombong!” Geram si pemilik butik dalam hati.Saat Zia dan Dilan sedang berjalan ke arah luar pintu. “Selamat sore tuan,” ucap salah seorang pelayan dengan ramah. Zia dan Dilan terkejut, saat melihat Zahra dan Nazar s
Zahra langsung menoleh ke arah ke arah adiknya.“Apa?” Tanya Zahra. “Itu baju siapa?” Tanya Zia.Zahra langsung menaukan kedua alisnya. “ Pakai baju akulah.”“Boleh Zia lihat?” Zia lagi.Zahra sudah tahu dari gelagat Zia, langsung mengedipkan matanya sama Nazar, rupanya Zia ingin meminta salah satu baju yang ada di dalam paper bag itu. “Yu sayang,” ajak Nazar sambil merangkul bahu istrinya. “Sorry, kakak jalan duluan ya,” ucap Zahra sambil jalan mendekati mobil dan langsung masuk ke dalam mobil. Wajah Zia langsung berubah kesal. Kedatangannya ke butik hanya untuk fitting baju pengantin. Sedangkan kakaknya habis ngeborong baju-baju yang ada di butik itu. Zia gagal meminta baju dari kakaknya, padahal tadi sengaja, menunggu kakaknya keluar dari butik. Zia hampir tidak percaya, 10 kantong belanjaan yang berisi baju-baju dari butik itu. “Aneh, baju-baju di butik itu kan mahal, Kak Zahra sampai membeli sepuluh potong, sedangkan suaminya hanya seorang pemulung,” Zia terus aja bercelote
Semua para pelayan langsung menundukkan kepalanya, saat melihat Zahra digendong dari lantai atas.Entah apa maunya Nazar, sampai menggendong istrinya dari lantai atas. lalu berjalan menuju ruang makan.“Turunkan aku Mas!” Bisik Zahra sambil menyembunyikan wajahnya di leher meja. Terlihat wajahnya merona menahan malu. “Tuan Nazar dan istrinya, terlihat sangat romantis,” gumam mbok Minah.Zahra langsung di dudukan di atas kursi makan. Zahra benar-benar malu, mendapat perlakuan seperti ini. Para pelayan langsung membalikkan badan, dan berjalan ke arah dapur. “Mas, jangan seperti itu dong. Aku benar-benar malu,” ucap Zahra sambil membalikkan piring makan Nazar.Nazar terdiam, malah menyuruh Zahra mengambilkan lauk yang ada di atas meja.“Yang, tolong ambilkan ayam itu,” ucap Nazar.Zahra langsung mengambilkan sepotong ayam goreng. “ Mas kenapa sih, para penghuni rumah tidak disuruh makan bareng sama kita. Rasanya asik lho kalau makan banyak orang,” ucap Zahra.“Mbok Minah!” Nazar lang
Ternyata kedua adiknya Hanum datang, mereka terlambat datang ke acara pertemuan keluarga itu. Hanum mempunyai tiga orang adik, sedangkan yang dua orang baru datang. Adik yang satunya dari tadi cuma dia, tidak berbicara sedikitpun. Rupanya malas mendengar ocehan dari Bude Wati. “Duh, kenapa sih datang terlambat. Padahal dari tadi kami sudah datang lho,” ucap Bude Wati dengan nada bicara sedikit sinis.“Maaf Mbak Wati, beginilah kalau orang kecil, kami selalu dikejar-kejar cari uang untuk makan,” ucap adik Hanum yang kedua, sambil merendah. “Pasti,” tukas Bude Wati.Keluarga besar Hanum cuma terdiam, tempat mereka memang pendiam, tidak seperti keluarga dari Ahmad. “Jadi begini…..” Pakde Seno langsung berbicara sebagai orang tertua. Semua menyimak baik-baik, apa yang sedang disampaikan oleh Pakde Seno. “Jadi kita datang ke gedung tidak boleh terlambat, sebagai keluarga besar tentunya. Kita harus mendukung sepenuhnya acara pernikahan keponakan kita,” ucap Pakde Seno menutup pembicara
Ternyata suaminya bulek Rina baru datang dari sawah. Terlihat pakaiannya yang kotor, juga peralatan cangkul yang lainnya. “Eh ada tamu rupanya,” ucap pakle Tomo.“Iya paman,” Zahra langsung bangkit dari tempat duduk dan meraih tangan pakle Tomo. Nazar juga melakukan yang hal yang sama.“Maaf saya masih kotor, saya ke belakang dulu,” Pak Lek Tomo langsung berpamitan.Zahra langsung menganggukan kepalanya. “Ayolah sekarang bule, nanti di sana kan bule yang tahu, untuk ukuran baju,” ajak Zahra lagi. Bulek Rina merasa tidak enak juga kalau menolak ajakan keponakannya. “Sebentar, Bule pamit dulu ya sama Pak Le kamu,” ucap bule Rina sambil bangkit dari tempat duduknya.Zahra menatap ke sekeliling rumah adik ibunya. Yang terlihat sederhana, tapi rapi dan bersih. Zahra dulu selalu datang ke rumah ini, dan merasa betah. Sampai-sampai Zahra enggan diajak pulang sama orang tuanya. Tapi beda dengan Zia, yang tidak betah tinggal di rumah ini. Kadang mulut Zia lemes.“Ayo sekarang kita berang
“Sudah selesai?” Tanya Nazar dari ambang pintu. “Sudah Mas,” jawab Zahra sambil menatap ke arah suaminya. Matanya tak lepas dari baju yang dipakai sama Nazar.“Terima kasih Tuan, sudah datang kembali kesini,” ucap si pemilik toko dengan gaya kemayuNazar cuma mengangkat alisnya, lalu kembali keluar dari butik. Diikuti Zahra dan bulenya.“Mampir dulu sebentar ke toko roti,” ucap Nazar saat dalam perjalanan pulang. Zahra terdiam, karena hatinya masih bertanya-tanya. Kenapa baju suaminya bisa ganti, sedangkan tadi pakai memakai baju yang berbeda. Tadinya Zahra berniat, ingin bertanya tentang aktivitas aktivitas yang ada di media sosial itu.Tapi diurungkan niatnya, karena tidak sopan rasanya membahas di depan orang tua. Mobil berhenti di depan toko kue yang kemarin. Nazar langsung mengajak Zahra sama bule Rina.“Kalian saja yang turun,” Bulek Rina menolak, karena merasa sungkan. “Turun dulu Bulek, pilihkan makanan buat Pak Lek nanti. Saya tidak tahu kesukaan Pak Lek itu apa,” ucap N
Setelah mengucapkan salam, kedua adiknya bulek Rina, langsung diajak masuk ke dalam rumah. Wajah kedua perempuan itu langsung melebat. Saat mendengar cerita dari bulek Rina.“Pokoknya, suaminya Zahra itu baik sekali. Sudah ngasih makanan, ngasih amplop pula. Katanya sih uang sangu,” ucap bule Rina.“Iy, sifat Zahra jauh berbeda sekali dengan adiknya. Waktu kemarin datang saja, biasanya aku ingin buru-buru pulang dari rumah mbak Hanum,” ucap Lili.“Sama Mbak, aku gerah mendengar omongan Mbak Wati. Seakan-akan kita ini dianggap apa gitu,” tukas Rahma.“Mbak juga sebenarnya malu diajak seperti itu. Kapan kita kan orang tidak mampu. Beda sama keluarga Mas Ahmad, tapi kita juga harus menghormati mbak Hanum,” timpal Bude Rina.“Kalian tahu nggak, harga seragam yang dipesan Zahra di butik. Mbak sampai gemetar loh lihat harganya,” ucap bulek Rina sambil terkekeh.“Lah memangnya berapa?” Tanya Lili. “Kalau tidak salah, hampir 50 juta. Untuk keluarga kita semua,” jawab bulek Rina.“Hah! Apa t
“Pagi-pagi sudah bahas seperti itu,” gerutu Nazar sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Lah, benar kan ucapanku. Panjang,hitam dan manis,” Zahra mengulangi perkataannya. “Sudahlah, jangan bikin Mas…..” Nazar tidak melanjutkan lagi ucapannya. Zahra dan Mbok Minah langsung tertawa.“Sudah jangan ketawa terus, cepat ganti bajunya, Yang. Nanti keburu siang kita mungutin botol-botol itu,” Nazar langsung menyuruh Zahra.Karena tampak Zahra masih memakai baju tidur. Rambutnya masih digelung ke atas. “Oke, Mbok maaf. Tolong terusin dulu, ini lauk dimasukkan ke dalam kotak,” ucap Zahra.“Padahal tidak usah repot-repot ya, beli saja biar gampang,” ucap Nazar.“Tidak apa-apa kok Mas, mendingan bekal saja dari rumah. Biar hemat alias bin ngirit,” ucap Zahra sambil berlalu. “Tuan, ternyata istri Tuan benar-benar baik. Mbok senang, Tuan bisa mendapatkan istri sebaik dia,” ucap Mbok Minah sambil menutup kotak bekal.“Iya, itulah yang aku suka dari istriku mbok. Dia itu kadang hemat, Mbo