“Mas, sengaja menyuruh Budi datang ke sini. Dia mengantarkan makanan buat anak-anak,” ucap Nazar.“Oh,” Zahra cuma ber oh ria.“Ini pesanannya Tuan,” ucap Budi sambil meletakkan dua kantong plastik besar yang berisi makanan. “Terima kasih, mau makan atau langsung pulang?” Tanya Nazar “Makan dulu lah,” jawab Budi sambil meletakkan ponselnya. Sedangkan Zahra, membawa bekal makanan dari rumah, buat Zahra dan suaminya. “Masih lumayan banyak ya,” ucap Budi sambil menatap ke sekeliling lapangan. “Jam 04.00,” ucap Nazar. “Oke,” Budi mengacungkan jempolnya. Anak-anak begitu terlihat lahap, saat menyantap nasi kotak. Zahra merasa terenyuh melihat anak-anak itu. Penampilan anak-anak itu, tidak jauh berbeda, ada yang bersih ada yang kumal. Tapi entah kenapa, hati Zahra merasa bahagia. “Yang, pulanglah dulu, atau mau aku antar,” ucap Nazar sambil menawarkan diri. “Tapi itu belum selesai Mas,” ucap Zahra.Memang Zahra merasakan tubuhnya merasa lelah. Tapi rasa lelah itu, seakan hilang, s
“Apa ini!” Pekik Zahra ambil menatap layar ponsel.Di aplikasi itu, ada video Zahra. Di mana Zahra dan suaminya sedang memunguti botol-botol bekas, bersama dengan anak-anak. “Kurang ajar! Siapa yang mengambil video ini!” Geram Zahra dalam hati. Layar ponsel itu terus ditatap sama Zahra. Banyak komentar-komentar miring, salah satunya dari Bella. Si sekretaris julid dan sok cantik itu.Satu persatu, cara baca komentar netizen.“Nggak ada kerjaan banget ya, masa liburan jadi seorang pemulung, gengsi dong.”“Iya, liburan bukan dipakai buat jalan-jalan kek. Ini malah membersihkan lapangan, sok cari perhatian.”“Apakah ini buat konten?”“Jangan bikin malu suami dong, Masa sih mungutin botol bekas. Tidak ada uang ya buat beli beras.”“Wah, wah, kamu alih profesi Zahra? Duh sampai segitunya kamu, mana memutihkan botol bekas lagi.”“Nih contoh kayak aku, liburan kayak gini. Aku urus body lah, ke spa, nyalon atau nongkrong di cafe. Sepertinya sedang cari perhatian.”“Cantik-cantik jadi pemu
Zahra langsung menoleh, ternyata teman kerjanya. “ Kenapa Bella sampai dipecatnya?”“Aku nggak tahu,” jawab Zahra sambil mengangkat bahunya.“Apa karena tadi pagi ya?”tanya temannya Zahra. “Sudahlah jangan bahas si Bella lagi. Kamu tahu sendiri kan tadi aku juga tidak melawan. Mungkin ada masalah yang lain,” jawab Zahra.Pagi itu, di kantor Zahra sudah terjadi kehebohan. Dimana Bella langsung dipecat, dan entahlah apa alasannya. Karena setahu para karyawan, tadi pagi Bella habis memarahi Zahra. Padahal berulang kali Bella sudah diperingatkan sama bos, tidak boleh mengusik Zahra lagi. Tapi entahlah apa yang terjadi, la terus saja mengusik Zahra. Zahra melihat Bella dijemput sama seseorang. Sewaktu Zahra sedang berdiri di depan kaca ruangan kerja. Terlihat Bella dipeluk sama laki-laki itu. “Ada kejadian apa di kantor?” Tanya Nazar ketika menjemput istrinya. “Bella tadi dipecat dari perusahaan, seperti biasa gosip pun merebak,” jawab Zahra sambil mengibaskan rambut depannya. “Oh,”
“Lho, kenapa sebesar itu Bu?” Tanya Zia.“Tidak tahu, Bude Wati meminta uang segitu. Katanya untuk beli seragam keluarga, kamu tahu sendiri kan sifat kakak Ayahmu itu,” jawab Hanum.Ahmad menghela nafasnya dalam dalam, memang benar apa yang dikatakan oleh istrinya.Ahmad juga tidak bisa berbuat banyak, melawan Bude Wati, sama saja mengajak perang. Akhirnya bagi mereka lebih baik diam. “Memangnya keluarga dari Ayah siapa aja sih,” tanya Zia.Karena setahu Zia, keluarga ayahnya tidak begitu banyak. Beda dari keluarga ibunya. Ayahnya cuma satu punya satu kakak. Yaitu Pakde Seno, dan bude Wati kakak ipar ayahnya. “Atau mungkin keluarga Bude Wati di ajak ya?” Tanya Zia lagi.“Sudahlah, Kalian juga tahu kan? Sifat Bude kamu itu bagaimana, Ibu tidak mau banyak bicara dengan dia,” jawab Hanum.“Zahra, bagaimana dengan seragam adik-adik ibu?” Tanya Hanum sama Zahra.“Oh, sudah selesai Bu,” jawab Zahra tetap tenang. “Ayah, coba deh bicara sama Pakde Seno, Bude Wati Jangan terlalu ikut campu
“Mas!” Panggil Zahra, Nazar menoleh ke arah istrinya.“Iya.”“Memangnya kamu punya uang?”“Punya.”“Uang dari mana Mas?”“Tabungan.”“Memangnya, jadi pemulung itu uangnya banyak?”“Kamu ragu?”“Nggak.”“Terus?”“Ya, sedikit aneh saja.”“Nggak usah aneh, aku menabung dari kecil.”“Hasil memunguti rongsokan?”.“Ya iya lah,” jawab Nazar.“Sebenarnya sih aku keberatan, kamu bantu orang tuaku sampai ratusan juta. Maksudku bukan bantu tapi ngasih,” ucap Zahra. “Keluarga istriku, keluargaku juga,” ucapan Nazar seketik membuat Zahra tersentak. Karena selama ini, Nazar tidak pernah memberitahukan di mana keluarganya. “Mas, terus kedua orang tuamu ke mana sih?” Tanya Zahra. “Meninggal dunia,” Jawab Nazar dengan ekspresi wajah yang sulit diartikan. “Kamu tidak punya adik?” Tanya Zahra lagi. Tapi telepon Nazar berdering, Nazar langsung mengangkat telepon itu.Lagi-lagi Zahra tidak mendapat jawaban yang diinginkannya. “Aku ada pekerjaan, mungkin malam pulangnya. Tidak usah menunggu aku, kal
“Iya, itulah biaya pesta pernikahanku. Aku tadinya kasbon sampai 500 juta. Tapi kata bagian accounting aku tidak di-acc,” jawab Dilan sambil mempermainkan gelasnya. “Ya pasti lah, mereka tidak menyetujuinya. Kecuali kalau ada yang sakit, berapa ratus juta pun perusahaan akan memberikan. Lah… ini kamu cuma buat pesta,” tukas temannya Dilan.“Jack, kamu punya tabungan nggak? Aku pinjam dulu deh sebagian, setelah bubar pesta pernikahan, aku ganti deh,” ujung-ujungnya Dilan meminjam sama si Jack. “Nggak tahu deh, karena keuanganku dipegang sama istri. Istriku juga kerja, biasanya gajiku langsung dipindahkan ke rekeningnya. Sorry bukannya aku tidak mau bantu, tapi memang keuanganku dipegang sama istri.”Dilan langsung terlihat kebingungan, kerutan keningnya berlipat-lipat. “ Ke mana lagi aku harus pinjam uang, uang 100 juta, tidak cukup untuk biaya catering juga.” Ucap Dilan dalam hati. Setelah pulang kerja, Dilan langsung berbicara sama kedua orang tuanya. “Bagaimana pinjamanmu Dilan?
“Jadi, uang itu aku belikan untuk seluruh keluargaku juga. Karena keluargaku, adalah keluargamu,” ucap Bude Wati tegas.“Mbak ini kenapa sih, itu kan saudara Bude. Sedangkan kakakku, Pakde Seno kan. Kenapa harus dibelikan seragam segala,” ucap Ahmad dengan wajah kecewa. “Hei! Dia itu bukan orang lain. Nanti dipesta pernikahannya Zia. Sudah pasti mereka datang dan memberikan amplop. Sengaja aku membelikan mereka seragam, dan seragam itu, sebagai simbol, kalau mereka itu adalah saudara kita,” ucap Bude Wati tidak mau kalah.Ahmad dan Hanum, cuma bisa menghela nafasnya dalam-dalam. Benar apa yang dikatakan Ahmad, melawan Bude Wati, berarti menyulut peperangan. “Ada apa ini?” Tanya Zia yang baru muncul dari ambang pintu. “Masalah seragam,” jawab Hanum.“Memang kenapa lagi dengan seragam? Bude sih, sok tahu. Itu kan saudara Bude bukan saudara kita, kenapa sih harus dibelikan,” ucap Zia kesal.“Jaga mulut kamu Zia! Mereka itu keluarga kita. Jadi saat mereka datang, kita tahu kalau itu sa
Zia langsung membanting pintu, rupanya Zia kesal. Karena tidak dapat respon apapun dari ibunya. “Kak Zahra! Awas kamu ya! Aku juga bisa seperti Kak Zahra. Mas Dilan seorang manajer, mana mungkin tidak bisa memberikan barang mewah buat aku,” geram Zia.“Ayah, tadi aku lihat di media sosial. Zahra sedang membantu memunguti botol bekas,” Hanum berbicara sama suaminya. “Ya tidak apa-apa Bu, Itu kan hal positif. Waktu itu kan hari merah, mungkin Zahra ngisi waktu. Sudahlah tidak perlu kita bahas. Toh Zahra selama ini tidak memusingkan kita kan,” ucap Ahmad.Hanum mengganggukan kepalanya, benar apa yang dikatakan sama suami. Tak terasa, hari pernikahan Zia semakin dekat. Kesibukan mulai terlihat di rumah Hanum, rencananya Hanum akan mengadakan acara siraman terlebih dahulu. Sedangkan Zahra, mengambil cuti selama 2 hari, untuk membantu orang tuanya. Demikian pula dengan Nazar. Zahra dan Nazar, sudah mempersiapkan baju untuk menghadiri acara siraman adiknya. Hari ini, acara siraman dimu