“Lho, kenapa sebesar itu Bu?” Tanya Zia.“Tidak tahu, Bude Wati meminta uang segitu. Katanya untuk beli seragam keluarga, kamu tahu sendiri kan sifat kakak Ayahmu itu,” jawab Hanum.Ahmad menghela nafasnya dalam dalam, memang benar apa yang dikatakan oleh istrinya.Ahmad juga tidak bisa berbuat banyak, melawan Bude Wati, sama saja mengajak perang. Akhirnya bagi mereka lebih baik diam. “Memangnya keluarga dari Ayah siapa aja sih,” tanya Zia.Karena setahu Zia, keluarga ayahnya tidak begitu banyak. Beda dari keluarga ibunya. Ayahnya cuma satu punya satu kakak. Yaitu Pakde Seno, dan bude Wati kakak ipar ayahnya. “Atau mungkin keluarga Bude Wati di ajak ya?” Tanya Zia lagi.“Sudahlah, Kalian juga tahu kan? Sifat Bude kamu itu bagaimana, Ibu tidak mau banyak bicara dengan dia,” jawab Hanum.“Zahra, bagaimana dengan seragam adik-adik ibu?” Tanya Hanum sama Zahra.“Oh, sudah selesai Bu,” jawab Zahra tetap tenang. “Ayah, coba deh bicara sama Pakde Seno, Bude Wati Jangan terlalu ikut campu
“Mas!” Panggil Zahra, Nazar menoleh ke arah istrinya.“Iya.”“Memangnya kamu punya uang?”“Punya.”“Uang dari mana Mas?”“Tabungan.”“Memangnya, jadi pemulung itu uangnya banyak?”“Kamu ragu?”“Nggak.”“Terus?”“Ya, sedikit aneh saja.”“Nggak usah aneh, aku menabung dari kecil.”“Hasil memunguti rongsokan?”.“Ya iya lah,” jawab Nazar.“Sebenarnya sih aku keberatan, kamu bantu orang tuaku sampai ratusan juta. Maksudku bukan bantu tapi ngasih,” ucap Zahra. “Keluarga istriku, keluargaku juga,” ucapan Nazar seketik membuat Zahra tersentak. Karena selama ini, Nazar tidak pernah memberitahukan di mana keluarganya. “Mas, terus kedua orang tuamu ke mana sih?” Tanya Zahra. “Meninggal dunia,” Jawab Nazar dengan ekspresi wajah yang sulit diartikan. “Kamu tidak punya adik?” Tanya Zahra lagi. Tapi telepon Nazar berdering, Nazar langsung mengangkat telepon itu.Lagi-lagi Zahra tidak mendapat jawaban yang diinginkannya. “Aku ada pekerjaan, mungkin malam pulangnya. Tidak usah menunggu aku, kal
“Iya, itulah biaya pesta pernikahanku. Aku tadinya kasbon sampai 500 juta. Tapi kata bagian accounting aku tidak di-acc,” jawab Dilan sambil mempermainkan gelasnya. “Ya pasti lah, mereka tidak menyetujuinya. Kecuali kalau ada yang sakit, berapa ratus juta pun perusahaan akan memberikan. Lah… ini kamu cuma buat pesta,” tukas temannya Dilan.“Jack, kamu punya tabungan nggak? Aku pinjam dulu deh sebagian, setelah bubar pesta pernikahan, aku ganti deh,” ujung-ujungnya Dilan meminjam sama si Jack. “Nggak tahu deh, karena keuanganku dipegang sama istri. Istriku juga kerja, biasanya gajiku langsung dipindahkan ke rekeningnya. Sorry bukannya aku tidak mau bantu, tapi memang keuanganku dipegang sama istri.”Dilan langsung terlihat kebingungan, kerutan keningnya berlipat-lipat. “ Ke mana lagi aku harus pinjam uang, uang 100 juta, tidak cukup untuk biaya catering juga.” Ucap Dilan dalam hati. Setelah pulang kerja, Dilan langsung berbicara sama kedua orang tuanya. “Bagaimana pinjamanmu Dilan?
“Jadi, uang itu aku belikan untuk seluruh keluargaku juga. Karena keluargaku, adalah keluargamu,” ucap Bude Wati tegas.“Mbak ini kenapa sih, itu kan saudara Bude. Sedangkan kakakku, Pakde Seno kan. Kenapa harus dibelikan seragam segala,” ucap Ahmad dengan wajah kecewa. “Hei! Dia itu bukan orang lain. Nanti dipesta pernikahannya Zia. Sudah pasti mereka datang dan memberikan amplop. Sengaja aku membelikan mereka seragam, dan seragam itu, sebagai simbol, kalau mereka itu adalah saudara kita,” ucap Bude Wati tidak mau kalah.Ahmad dan Hanum, cuma bisa menghela nafasnya dalam-dalam. Benar apa yang dikatakan Ahmad, melawan Bude Wati, berarti menyulut peperangan. “Ada apa ini?” Tanya Zia yang baru muncul dari ambang pintu. “Masalah seragam,” jawab Hanum.“Memang kenapa lagi dengan seragam? Bude sih, sok tahu. Itu kan saudara Bude bukan saudara kita, kenapa sih harus dibelikan,” ucap Zia kesal.“Jaga mulut kamu Zia! Mereka itu keluarga kita. Jadi saat mereka datang, kita tahu kalau itu sa
Zia langsung membanting pintu, rupanya Zia kesal. Karena tidak dapat respon apapun dari ibunya. “Kak Zahra! Awas kamu ya! Aku juga bisa seperti Kak Zahra. Mas Dilan seorang manajer, mana mungkin tidak bisa memberikan barang mewah buat aku,” geram Zia.“Ayah, tadi aku lihat di media sosial. Zahra sedang membantu memunguti botol bekas,” Hanum berbicara sama suaminya. “Ya tidak apa-apa Bu, Itu kan hal positif. Waktu itu kan hari merah, mungkin Zahra ngisi waktu. Sudahlah tidak perlu kita bahas. Toh Zahra selama ini tidak memusingkan kita kan,” ucap Ahmad.Hanum mengganggukan kepalanya, benar apa yang dikatakan sama suami. Tak terasa, hari pernikahan Zia semakin dekat. Kesibukan mulai terlihat di rumah Hanum, rencananya Hanum akan mengadakan acara siraman terlebih dahulu. Sedangkan Zahra, mengambil cuti selama 2 hari, untuk membantu orang tuanya. Demikian pula dengan Nazar. Zahra dan Nazar, sudah mempersiapkan baju untuk menghadiri acara siraman adiknya. Hari ini, acara siraman dimu
“Aku tidak bermaksud apa-apa, kami selalu sabar kok. Silahkan duluan saja, karena kami bisa menahan perut,” sindir Bulek Rina.“Mbak, sudah saja mengalah. Kasihan Mbak Hanum takut malu,” ucap Rahma.“Biarkan saja, sesekali Bude Wati harus dibeli pelajaran,” tukas Bulek Rina.Bude Wati lalu pergi dari hadapan mereka, sambil menghentakkan kakinya. Wajahnya terlihat cemberut dan bibirnya ngomel-ngomel.“Mas,” panggil Zahra sama suaminya.Nazar langsung menoleh. “ Iya ada apa?” matanya langsung menatap ke arah ponsel.“Kita makan dulu yuk, kasihan tadi kamu belum sempat makan siang,” ajak Zahra.“Sebentar lagi,” terlihat jadi Nazar sedang mengetik.“Ya sudah,” Zahra lalu mendekati bule Rina.“Eh, ini Mas Nazar ya?” tanya seorang ibu-ibu yang kebetulan lewat di depan Nazar.“Eh iya Bu,” jawab Nazar sambil menatap ke arah si Ibu itu.“Kenapa tidak ambil rongsokan lagi?” Tanya ibu sambil menghempaskan bokongnya di atas kursi, dekat Nazar.“saya masih sibuk Bu, di tempat lain masih banyak yan
Keesokan harinya, rumah Ahmad terlihat benar-benar sibuk. Sebelum mereka berangkat ke gedung, semua anggota keluarga disuruh sarapan pagi dulu. “Ya, iyalah. Nunggu di sana kapan kita makan. Bisa-bisa 2 jam kita menunggu acara penting,” ketus Bude Wati.Sedangkan keluarga dari Hanum belum terlihat. Mungkin mereka sedang dalam perjalanan ke rumah Hanum.“Pak Karmin, saya minta tolong ya. Nanti antar saya ke rumah ibu mertua,” ucap Nazar.“Siap Tuan, apa perlu saya menjemput nanti?” Tanya Pak Karmin. “Boleh, karena takut acaranya lama,” ucap Nazar.“Sarapan dulu Tuan, Nyonya,” ucap Mbok Minah.“Baik Mbok,” ucap Nazar.Zahra belum terlihat turun dari lantai atas. Maklum Zahra ingin terlihat berbeda di saat pernikahan adiknya. Baju kebaya yang pakainya, memang satu warna dengan keluarga dari ibunya. Cuma beda model dan bahan, begitu pula dengan Nazar. Dia mengenakan batik yang satu warna dengan Zahra.Model batik yang sangat terlihat elegan. Semua orang pasti tahu, dengan harga batik ya
Zahra langsung menatap ke arah adiknya. Tampak Zia terus menatap ke arah kalung yang di pakai oleh Zahra.“Seandainya aku memakai kalung itu, mungkin aku akan kelihatan bertambah cantik,” gumam Zia.Zahra langsung mendekati ke arah adiknya, tapi Zia malah membuang mukanya ke samping. “Adik kakak, cantik sekali,” Zahra langsung memuji kecantikan adiknya.“Iya dong, Masa sih di hari spesialku. Aku kelihatan burik, tentu tidak dong,” suara Zia terdengar sinis.“Memangnya pernikahan Kak Zahra, yang nikah serba dadakan. Apalagi suaminya seorang pemulung,” cibir Zahra lagi.Zahra langsung terdiam, karena sudah tahu, pasti Zia akan bersikap ketus. Walaupun Zahra memuji habis-habisan penampilan Zia.“Mbak, kita sudah selesai. Ayo kita turun ke bawah,” ucap salah seorang tim MUA.“Minggir Mbak! Aku tidak mau riasanku berantakan, gara-gara bersentuhan dengan kak Zahra,” ketus Zia.Zahra menghela nafasnya dalam-dalam.” Padahal apa sih hubungannya? Bahkan aku berdiri tidak menghalangi jalan.”De