Keesokan harinya, rumah Ahmad terlihat benar-benar sibuk. Sebelum mereka berangkat ke gedung, semua anggota keluarga disuruh sarapan pagi dulu. “Ya, iyalah. Nunggu di sana kapan kita makan. Bisa-bisa 2 jam kita menunggu acara penting,” ketus Bude Wati.Sedangkan keluarga dari Hanum belum terlihat. Mungkin mereka sedang dalam perjalanan ke rumah Hanum.“Pak Karmin, saya minta tolong ya. Nanti antar saya ke rumah ibu mertua,” ucap Nazar.“Siap Tuan, apa perlu saya menjemput nanti?” Tanya Pak Karmin. “Boleh, karena takut acaranya lama,” ucap Nazar.“Sarapan dulu Tuan, Nyonya,” ucap Mbok Minah.“Baik Mbok,” ucap Nazar.Zahra belum terlihat turun dari lantai atas. Maklum Zahra ingin terlihat berbeda di saat pernikahan adiknya. Baju kebaya yang pakainya, memang satu warna dengan keluarga dari ibunya. Cuma beda model dan bahan, begitu pula dengan Nazar. Dia mengenakan batik yang satu warna dengan Zahra.Model batik yang sangat terlihat elegan. Semua orang pasti tahu, dengan harga batik ya
Zahra langsung menatap ke arah adiknya. Tampak Zia terus menatap ke arah kalung yang di pakai oleh Zahra.“Seandainya aku memakai kalung itu, mungkin aku akan kelihatan bertambah cantik,” gumam Zia.Zahra langsung mendekati ke arah adiknya, tapi Zia malah membuang mukanya ke samping. “Adik kakak, cantik sekali,” Zahra langsung memuji kecantikan adiknya.“Iya dong, Masa sih di hari spesialku. Aku kelihatan burik, tentu tidak dong,” suara Zia terdengar sinis.“Memangnya pernikahan Kak Zahra, yang nikah serba dadakan. Apalagi suaminya seorang pemulung,” cibir Zahra lagi.Zahra langsung terdiam, karena sudah tahu, pasti Zia akan bersikap ketus. Walaupun Zahra memuji habis-habisan penampilan Zia.“Mbak, kita sudah selesai. Ayo kita turun ke bawah,” ucap salah seorang tim MUA.“Minggir Mbak! Aku tidak mau riasanku berantakan, gara-gara bersentuhan dengan kak Zahra,” ketus Zia.Zahra menghela nafasnya dalam-dalam.” Padahal apa sih hubungannya? Bahkan aku berdiri tidak menghalangi jalan.”De
Nazar dan Zahra langsung menoleh ke arah sumber suara. Ternyata Budi datang, lalu memberikan ponsel. “Ini ketinggalan tuan,” ucap Budi.“Oh, terima kasih,” Nazar langsung memasukkan ponselnya ke dalam saku celana. Budi langsung berlalu dari hadapan Nazar. Sedangkan Zahra terlihat heran, karena setahu Zahra. Fajar sudah membawa ponselnya. “Oh, jadi ini ya menantunya Pak Ahmad. Dengar-dengar menantunya itu seorang pemulung ya,” ucap salah seorang kolega bisnis Ahmad.“Iya, kan waktu menikah juga, anak sulungnya itu secara sederhana. Tidak ada pesta seperti adiknya.”“Benar, Aku benar-benar tidak menyangka. Ternyata Bu Hanum itu seleranya sangat rendah. Kalau aku sih ogah punya menantu seorang pemulung.”“gengsi dong punya menantu seorang pemulung. Masa sih seorang pengusaha setara Pak Ahmad punya menantu seorang pemulung.”“Ya, mungkin karena terpaksa. Anak sulungnya kan belum menikah, usianya hampir mendekati 30 tahun. Daripada jadi perawan tua, yang mending dinikahkan saja.”“Walau
“Aku ke belakang dulu,” ucap Nazar. Lalu bangkit dari tempat duduknya, sebelum Zahra menjawab.“Hmm, seorang pemulung saja, kok bisa kenal sama tuan Lim ya? Atau cuma cari perhatian saja dari kita?” celetuk salah seorang tamu undangan.“Entahlah aku juga tidak tahu, tapi aku melihat, tuan Lim tadi yang mendekati menantu Pak Ahmad,” tukas temannya.“Yah mungkin untuk sekedar menghargai Pak Ahmad lah. Mana mungkin dong seorang pemulung punya teman pebisnis seperti Tuan Lim,” tukas yang lainnya.Nazar mendengar pembicaraan mereka, tapi terlihat tenang dan santai. Malah Nazar terus berjalan ke belakang gedung.Salah seorang tamu ada yang melihat, Nazar berjalan ke belakang. Kedua tamu itu menatap sinis ke arah Nazar.“Tuh dia ke belakang gedung, mungkin sedang memungut sampah-sampah, kan biasanya sampah acara pesta pernikahan itu banyak. Lumayan kan buat uang jajan.”“Betul, daripada sama orang lain. Lebih baik sama menantu sendiri, Pak Ahmad benar-benar tidak malu, mempunyai menantu seor
“Lho, orang tua kamu mana Mas?” Tanya Zia.“Sudah pulang,” jawab Dilan.“Kenapa tidak bareng sama kita?” Tanya Zia heran.“Katanya capek,” jawaban Dilan singkat, membuat Zia heran.Gedung sudah mulai sepi, semua tamu undangan sudah pulang. Begitu pula dengan keluarga besar Ahmad dan Hanum. Tapi sebelum pulang, Hanum sempat berpesan, semua keluarga besar harus berkumpul dulu di ke rumahnya. “Pandai-pandai membawa diri Zia. Kamu harus nurut perintah suami,” pesan Hanum, saat Zia mau berangkat ke rumah Dilan. Zia wajahnya terlihat sedih, tapi entah kenapa, tidak mau memeluk Zahra sedikitpun. “Zia!” Panggil Zahra. Tapi bukannya Zia menoleh, tapi malah membuang mukanya ke samping. Zahra dan Nazar saling berpandangan. “Ada apa dengan Zia ya?” Tanya Zahra dalam hati.“Jalan!” Perintah Dilan sama sopirnya.Zahra dan Nazar dijemput sama Pak Karmin. Ahmad dan Hanum ikut dengan mobil Zahra. Karena mobil mereka dipakai sama saudara Hanum.Sepanjang perjalanan pulang, tidak ada yang berbicar
Zahra dan temannya langsung menoleh. Ternyata rekan kerja Zahra yang lain. “Boleh gabung?” tanya rekan kerja itu. Zahra dan temannya langsung menganggukkan kepalanya. Terlihat mereka bertiga asyik ngobrol. “Jangan dekat-dekat deh, nanti ketularan. Memangnya kalian mau punya suami seorang pemulung?” celetuk salah seorang karyawan yang kebetulan lewat meja Zahra.“Iya, jangan malu-maluin deh. Masa posisi seorang manajer, bersuamikan pemulung. Bagi aku mikir-mikir dulu deh,” tukas temannya.“Ra,” panggil temannya. Zahra langsung menoleh, lalu menggelengkan kepalanya. Zahra tahu, apa maksud tujuan mereka berbicara seperti itu. Temannya Zahra mungkin menyuruh Zahra untuk melawan mereka. “Kita kerja lagi yuk,” ajak teman Zahra Akhirnya mereka bertiga meninggalkan kantin, dan kembali bekerja. Zahra membuka ponselnya, karena pekerjaan sudah selesai dikerjakan. Zahra membuka media sosial. Ternyata adiknya, Zia, sedang pamer pernikahannya. Tampak wajah Zia terlihat bahagia.“Semoga ruma
“Nyonya, ini bahan masakan buat nanti. Apa ini tidak terlalu kurang Nyonya? Atau mau minum tambahan yang lainnya?” Mbok Minah.“Tidak, cukup itu saja,” jawab Zahra.“Mbok, orang kaya kok tumben ya makanya sederhana,” bisik salah seorang asisten rumah. “Sutt,” Mbok Minah meletakkan telunjuknya di bibir, sambil melirik ke arah Zahra. Asisten itu buru-buru menundukkan kepalanya, karena takut ketahuan sama Zahra. “Nyonya, maaf kenapa menu yang disediakan sederhana sekali?” tanya Mbok Minah memberanikan diri. Zahra menatap ke arah Mbok Minah, lalu menjawab dengan senyuman manis di bibir. “ Lah, orang tuaku dari kehilangan biasa Mbok, yang disebut orang kaya, yang punya rumah ini nih.”Mbok Minah langsung tersenyum. “ Tapi seleranya kok sama, dulu pemilik rumah ini, makanannya sederhana. Dan jujur saja, saya sempat sedih, Nyonya mengajak kami makan bersama,” ucapan buat Minah membuat Zahra menaikkan kedua alisnya.“Memangnya kenapa Mbok? Di rumah orang tuaku juga begitu, saat kami makan
Zahra menoleh ke arah ibunya. “ Yah ada apa Bu?”“Ini rumah kamu?” Tanya Hanum.“Bukan Bu, ini milik majikan Mas Nazar. Mas Nazar dikasih kepercayaan untuk menjaga rumah ini,” jawab Zahra.Zahra langsung menoleh ke arah Nazar, Nazar terlihat santai saja.Wajah Hanum sedikit terkejut, tapi tersenyum kembali. “ Setidaknya anakku mempunyai tempat tinggal yang layak,” gumam Hanum dalam hati. Tak berapa lama kemudian, dua orang pelayan membawakan minuman juga makanan kecil. “Maaf, cuma ini yang bisa kami sediakan,” ucap Nazar.“Terima kasih Nak Nazar, ini sudah cukup,” ucap Ahmad.Hanum matanya masih menatap ke sekeliling ruangan. Hatinya tak henti-henti memuji ornamen-ornamen yang ada di rumah ini.“Tuan,” tiba-tiba Mbok Minah muncul di ruangan itu. Nazar langsung menoleh.” Iya ada apa Mbok?” Tanya Nazar.“Sudah kami siapkan, permisi tuan,” jawab Mbok Mina sambil buru-bulu balik badan. “Ayah, ibu. Sekalian kita makan malam dulu, sudah Zahra siapkan kok,” Zahra langsung mengajak kedua
setelah kejadian itu, Nazar kondisinya semakin membaik. Zia tidak berani lagi menampakan wajahnya di rumah Zahra, barang-barang Zia diantar ke rumah Ahmad sama Pak Karni. "besok ikut sama mas," ucap Nazar setelah makan malam. Zahra mengganggukan kepalanya, karena mulutnya sedang penuh dengan makanan. keesokan harinya Zahra terlihat sangat cantik sekali, Dia memakai gaun dengan perhiasan yang sederhana tapi terlihat Elegan. Nazar berkali-kali mencium pipi istrinya. "ayah sama ibu langsung datang ya mas," ucap Zahra saat mereka sedang dalam perjalanan menuju perusahaan. Ahmad dan Hanum diundang ke acara ulang tahun perusahaan di mana tempat Zahra dulu bekerja. ternyata perusahaan itu milik Nazar. Nazar sengaja mengundang kedua orang tua Zahra ke acara ulang tahun perusahaan itu. "ayah, bukannya perusahaan ini tempat dulu Zahra bekerja ya?" tanya Hanum sedikit heran. "iya, kenapa Kita diundang ke perusahaan ini ya?" Ahmad malah balik bertanya. "aduh Ibu juga kurang paha
Zia benar-benar kesal sekali, karena selalu gagal menjebak Nazar kakak iparnya. Zia ingin memiliki Nazar dan menyingkirkan kakak sendiri. dirinya sudah bercerai dengan Dilan, karena Dilan saat ini benar-benar bangkrut, dan hidup bersama kedua orang tuanya. malah Nazar semakin terlihat lengket sama Zahra. Nazar sering memamerkan kemesraan dengan Zahra, di depan semua penghuni rumah termasuk Zia.bibir Zia selalu tersenyum sinis, melihat kemesraan antara Nazar dan Zahra. Zia semakin iri hati sama kakaknya sendiri. "mas, bolehkan aku bertemu dengan teman-teman?" tanya Zahra meminta izin sama suaminya untuk bertemu dengan Sinta dan Nita. Nazar mengganggukan kepalanya, jari-jari tangannya masih terlihat lincah dia mengetik huruf yang ada di laptop. cup.... Zahra mengecup pipi Nazar dengan mesra.jam 04.00 sore, Zahra sudah nangkring di depan kantor tempat Shinta dan Nita bekerja. rupanya Zahra sengaja menjemput temannya itu ke kantor. rencananya mereka akan pergi ke sebuah restoran sa
Zia langsung berlari naik ke lantai atas, dia masih terisak menangis, Zia benar-benar seorang artis drama Korea. Zahra menghembuskan nafasnya secara kasar, adiknya sudah keterlaluan. sampai-sampai masuk ke dalam kamar pribadinya. "Maafkan Aku," ucap Zahra lalu berjalan dan masuk ke dalam kamar, diikuti Nazar dari belakang. Zahra duduk di atas tempat tidur, air matanya mengalir di pipi, matanya terpejam. hati dia sebenarnya tidak tega memarahi adiknya. tapi harus bagaimana lagi Zia benar-benar keterlaluan. mata Zahra menangkap laci meja riasnya terbuka. Nazar yang baru masuk ke dalam kamar menautkan kedua alisnya melihat Zahra berjalan ke arah meja rias. "yang, ada apa?" tanya Nazar. Zahra tidak menjawab, lalu memeriksa lagi yang sudah terbuka. mata Zahra langsung memeriksa isi laci meja rias itu. tangannya sedang memeriksa barang yang ada di laci meja itu. terdengar suara ketukan pintu kamar. "siapa?" tanya Nazar. "saya tuan," rupanya Mbok Minah yang ada di luar kamar.
"saudara Fatih, Anda dinyatakan bersalah, Anda dihukum seumur hidup," hakim langsung mengetuk palu, setelah memberikan keputusan buat Fatih. Fatih terdiam saja sambil menundukkan kepalanya, dia tidak mau naik banding atau apapun. dia akan menjalani hukuman ini dengan ikhlas. percuma saja ada pengacara juga, kalau toh akhirnya dia masih tetap dihukum. Nazar dan Zahra bernapas dengan lega, karena Fatih dihukum sesuai keinginan Nazar. Fatih langsung digiring ke mobil tahanan, tidak berniat sedikitpun untuk mendekati Nazar atau Mirna yang datang bersama Pakde Seno. Lukman datang seorang seorang diri, duduk di samping Nazar, matanya terpejam saat mendengar keputusan dari hakim tadi. rasa perih dan lupa di bisa digambarkan dari ekspresi wajahnya. "ya Allah, tolong kuatkan Fatih jaga selalu anakku ya Allah, hanya itulah yang hamba bisa doakan," gumam Lukman dalam hati. Mirna langsung memeluk k Pakde Seno, hatinya merasa sakit, anak kesayangannya divonis seumur hidup di balik jeruji
"dasar pelayan tidak tahu diri! kenapa harus ikut makan bersama di meja makan ini" Zia terus saja ngomel-ngomel di dalam hatinya. Nazar serta yang lainnya terlihat santai menikmati makan malam. bahkan Zahra sesekali bercanda dengan adik iparnya. selesai makan, Naima langsung masuk ke kamarnya. begitu pula dengan Nazar dan Zahra.sedangkan Zia sejak tadi sudah terlebih dahulu naik ke lantai atas, mungkin karena hatinya kesal."besok Mas mau ke kantor polisi, Mas mau lihat keadaan Fatih. katanya persidangan Fatih baru minggu depan digelar," ucap Nazar."baiklah Mas," tapi jawaban Zahra terlihat dingin. Nazar merasa ada yang sedang dipikirkan sama Zahra."Kamu kenapa sih sayang?" tanya Nazar. "mas, aku kan keluar kerja, terus bagaimana dengan hidupku?" tanya Zahra seperti orang kebingungan. Nazar kaget mendengar jawaban istrinya, karena merasa aneh di telinga Nazar. "maksud kamu apa sih sayang? ya tidak apa-apa keluar kerja juga, toh, aku masih bisa menafkahi kamu.""tapi....." waj
"kenapa kak? kok malah membentak aku. Aku kan tanya dia itu siapa," tanya Zia sama Zahra. Zahra rasanya tidak punya muka lagi di depan keluarga suaminya, itu semua karena tingkah Zia yang sangat memalukan itu. "Siapa kamu sebenarnya?" tanya Zia sama Naima dengan tatapan mata menyelidiki.Sari datang sambil membawakan pesanan Naima, siomay yang sudah dikasih bumbu. "non Naima, ini siomaynya," ucap Sari sambil meletakkan piring siomay di depan Naima."terima kasih Bik Sari," ucap Naima."Kak Zahra mau?" tanya Naima, yang tidak menghiraukan pertanyaan Zia."terima kasih," jawab Zahra singkat, Karena hati Zahra masih kesal dengan tingkah Zia.Naima langsung memasukkan potongan siomay ikut dalam mulutnya. Zia menatap Naima dengan tatapan tak suka. "hei! kenapa kamu tidak menjawab pertanyaanku!" Zia membentak Naima, karena merasa jengkel, Naima tidak menjawab pertanyaannya. "Zia! jaga sikap kamu! kamu ingin tahu siapa dia!" malah Zahra yang terlihat emosi. "dia adik mas Nazar, pa
Mbok Minah langsung menoleh ke arah sumber suara, ternyata Naima sudah berdiri di Mbok Minah. Naima langsung memeluk Mbok Minah, sepertinya anak itu setiap ketemu selalu memeluk asisten rumah yang sudah lama mengabdi di keluarganya. "nduk, sepertinya sedang mendapat kebahagiaannya?" tebak Mbok Minah, karena melihat wajah Naima berbinar. "ah si mbok bisa saja bicara," jawab Naima lalu melepaskan pelukannya, lalu menyalami Sari dan Nani. "Mbok bikin apa sih? harum banget?" tanya Naima sambil menatap penggorengan. "ini, Sari dan Ani pingin makan camilan yang manis-manis," jawab Mbok Minah "semanis diriku ya?" seloroh Naima. "tentu," sahut mbok Minah. Naima dan Nazar selalu bersikap sopan terhadap orang yang lebih tua. meskipun mereka hanya seorang pelayan di rumahnya. tapi kedua orang tua Naima selalu mendidik adab dan sopan. begitu pula dengan Nazar, selalu menghormati orang-orang yang lebih tua usianya. walaupun kadang beda pendapat dan beda pemahaman. "Mas Nazar
Mata Nazar langsung melebar saat melihat penampilan adik iparnya. Nazar buru-buru membuang mukanya ke samping. bagi Nazar itu pemandangan sangat memuakan sekali. Zia terlihat berjalan lenggak-lenggok mendekati mereka berdua. Zahra menata penampilan adiknya sampai tidak berkedip. "hai kak Zahra," sapa Zia sambil melambaikan tangannya. Nazar dan Zahra malah saling melempar pandangan, mereka benar-benar heran melihat penampilan Zia seperti itu. "kok bengong sih kak Zahra? bagaimana penampilanku Kak?" tanya Zia sambil memutar badan. "ba__bagus," jawab Zahra terbata-bata."tentu dong, Aku sengaja datang ke sini tanpa memberitahu kak Zahra sama Mas Nazar," ucap Zia yang langsung berdiri di samping Nazar.tangan Zia langsung melingkar di lengan Nazar tanpa rasa malu sedikitpun. Zahra risih melihat pemandangan seperti itu." apa yang sebenarnya Zia inginkan?" tanya Zahra dalam hati."kak, bagaimana kalau aku tinggal di sini. aku bantu kakak merawat Mas Nazar, aku merasa kasihan sekali
"Maafkan aku Naima, bilang aku lancang mengeluarkan isi hatiku. jujur saja, Aku sudah lama menyimpan rasa ini. tapi aku takut mengungkapkan semuanya."wajah Budi terlihat serius, sedangkan Naima menundukkan kepalanya, hatinya berdebar kencang. entah perasaan apa yang sedang dirasakan Naima saat ini. "Apakah kamu menerima cintaku?" tanya Budi. Naima mengangkat kepalanya, manik bola matanya terlihat menatap ke arah Budi. Naima tersenyum manis."aku tidak mau berangan-angan tapi terlalu jauh. Mas Budi sudah memberikan perhatian yang lebih terhadapku, aku sudah merasakan apa yang buat Budi rasakan," ucap Naima.hati Budi langsung berbunga-bunga, yang tadinya masih kuncup, sekarang bunga-bunga Cinta sudah mulai bermekaran di dalam hatinya. saat Budi meraih jemari tangan lentik Naima. tiba-tiba Naima menjauhkan jari tangannya. "belum halal Mas, kalau sudah halal mau dipegang apapun bebas," ucap Naima sambil terkikik.Budi buru-buru menarik tangannya, merasa malu dengan ucapan Naima."ka