Semua para pelayan langsung menundukkan kepalanya, saat melihat Zahra digendong dari lantai atas.Entah apa maunya Nazar, sampai menggendong istrinya dari lantai atas. lalu berjalan menuju ruang makan.“Turunkan aku Mas!” Bisik Zahra sambil menyembunyikan wajahnya di leher meja. Terlihat wajahnya merona menahan malu. “Tuan Nazar dan istrinya, terlihat sangat romantis,” gumam mbok Minah.Zahra langsung di dudukan di atas kursi makan. Zahra benar-benar malu, mendapat perlakuan seperti ini. Para pelayan langsung membalikkan badan, dan berjalan ke arah dapur. “Mas, jangan seperti itu dong. Aku benar-benar malu,” ucap Zahra sambil membalikkan piring makan Nazar.Nazar terdiam, malah menyuruh Zahra mengambilkan lauk yang ada di atas meja.“Yang, tolong ambilkan ayam itu,” ucap Nazar.Zahra langsung mengambilkan sepotong ayam goreng. “ Mas kenapa sih, para penghuni rumah tidak disuruh makan bareng sama kita. Rasanya asik lho kalau makan banyak orang,” ucap Zahra.“Mbok Minah!” Nazar lang
Ternyata kedua adiknya Hanum datang, mereka terlambat datang ke acara pertemuan keluarga itu. Hanum mempunyai tiga orang adik, sedangkan yang dua orang baru datang. Adik yang satunya dari tadi cuma dia, tidak berbicara sedikitpun. Rupanya malas mendengar ocehan dari Bude Wati. “Duh, kenapa sih datang terlambat. Padahal dari tadi kami sudah datang lho,” ucap Bude Wati dengan nada bicara sedikit sinis.“Maaf Mbak Wati, beginilah kalau orang kecil, kami selalu dikejar-kejar cari uang untuk makan,” ucap adik Hanum yang kedua, sambil merendah. “Pasti,” tukas Bude Wati.Keluarga besar Hanum cuma terdiam, tempat mereka memang pendiam, tidak seperti keluarga dari Ahmad. “Jadi begini…..” Pakde Seno langsung berbicara sebagai orang tertua. Semua menyimak baik-baik, apa yang sedang disampaikan oleh Pakde Seno. “Jadi kita datang ke gedung tidak boleh terlambat, sebagai keluarga besar tentunya. Kita harus mendukung sepenuhnya acara pernikahan keponakan kita,” ucap Pakde Seno menutup pembicara
Ternyata suaminya bulek Rina baru datang dari sawah. Terlihat pakaiannya yang kotor, juga peralatan cangkul yang lainnya. “Eh ada tamu rupanya,” ucap pakle Tomo.“Iya paman,” Zahra langsung bangkit dari tempat duduk dan meraih tangan pakle Tomo. Nazar juga melakukan yang hal yang sama.“Maaf saya masih kotor, saya ke belakang dulu,” Pak Lek Tomo langsung berpamitan.Zahra langsung menganggukan kepalanya. “Ayolah sekarang bule, nanti di sana kan bule yang tahu, untuk ukuran baju,” ajak Zahra lagi. Bulek Rina merasa tidak enak juga kalau menolak ajakan keponakannya. “Sebentar, Bule pamit dulu ya sama Pak Le kamu,” ucap bule Rina sambil bangkit dari tempat duduknya.Zahra menatap ke sekeliling rumah adik ibunya. Yang terlihat sederhana, tapi rapi dan bersih. Zahra dulu selalu datang ke rumah ini, dan merasa betah. Sampai-sampai Zahra enggan diajak pulang sama orang tuanya. Tapi beda dengan Zia, yang tidak betah tinggal di rumah ini. Kadang mulut Zia lemes.“Ayo sekarang kita berang
“Sudah selesai?” Tanya Nazar dari ambang pintu. “Sudah Mas,” jawab Zahra sambil menatap ke arah suaminya. Matanya tak lepas dari baju yang dipakai sama Nazar.“Terima kasih Tuan, sudah datang kembali kesini,” ucap si pemilik toko dengan gaya kemayuNazar cuma mengangkat alisnya, lalu kembali keluar dari butik. Diikuti Zahra dan bulenya.“Mampir dulu sebentar ke toko roti,” ucap Nazar saat dalam perjalanan pulang. Zahra terdiam, karena hatinya masih bertanya-tanya. Kenapa baju suaminya bisa ganti, sedangkan tadi pakai memakai baju yang berbeda. Tadinya Zahra berniat, ingin bertanya tentang aktivitas aktivitas yang ada di media sosial itu.Tapi diurungkan niatnya, karena tidak sopan rasanya membahas di depan orang tua. Mobil berhenti di depan toko kue yang kemarin. Nazar langsung mengajak Zahra sama bule Rina.“Kalian saja yang turun,” Bulek Rina menolak, karena merasa sungkan. “Turun dulu Bulek, pilihkan makanan buat Pak Lek nanti. Saya tidak tahu kesukaan Pak Lek itu apa,” ucap N
Setelah mengucapkan salam, kedua adiknya bulek Rina, langsung diajak masuk ke dalam rumah. Wajah kedua perempuan itu langsung melebat. Saat mendengar cerita dari bulek Rina.“Pokoknya, suaminya Zahra itu baik sekali. Sudah ngasih makanan, ngasih amplop pula. Katanya sih uang sangu,” ucap bule Rina.“Iy, sifat Zahra jauh berbeda sekali dengan adiknya. Waktu kemarin datang saja, biasanya aku ingin buru-buru pulang dari rumah mbak Hanum,” ucap Lili.“Sama Mbak, aku gerah mendengar omongan Mbak Wati. Seakan-akan kita ini dianggap apa gitu,” tukas Rahma.“Mbak juga sebenarnya malu diajak seperti itu. Kapan kita kan orang tidak mampu. Beda sama keluarga Mas Ahmad, tapi kita juga harus menghormati mbak Hanum,” timpal Bude Rina.“Kalian tahu nggak, harga seragam yang dipesan Zahra di butik. Mbak sampai gemetar loh lihat harganya,” ucap bulek Rina sambil terkekeh.“Lah memangnya berapa?” Tanya Lili. “Kalau tidak salah, hampir 50 juta. Untuk keluarga kita semua,” jawab bulek Rina.“Hah! Apa t
“Pagi-pagi sudah bahas seperti itu,” gerutu Nazar sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Lah, benar kan ucapanku. Panjang,hitam dan manis,” Zahra mengulangi perkataannya. “Sudahlah, jangan bikin Mas…..” Nazar tidak melanjutkan lagi ucapannya. Zahra dan Mbok Minah langsung tertawa.“Sudah jangan ketawa terus, cepat ganti bajunya, Yang. Nanti keburu siang kita mungutin botol-botol itu,” Nazar langsung menyuruh Zahra.Karena tampak Zahra masih memakai baju tidur. Rambutnya masih digelung ke atas. “Oke, Mbok maaf. Tolong terusin dulu, ini lauk dimasukkan ke dalam kotak,” ucap Zahra.“Padahal tidak usah repot-repot ya, beli saja biar gampang,” ucap Nazar.“Tidak apa-apa kok Mas, mendingan bekal saja dari rumah. Biar hemat alias bin ngirit,” ucap Zahra sambil berlalu. “Tuan, ternyata istri Tuan benar-benar baik. Mbok senang, Tuan bisa mendapatkan istri sebaik dia,” ucap Mbok Minah sambil menutup kotak bekal.“Iya, itulah yang aku suka dari istriku mbok. Dia itu kadang hemat, Mbo
“Mas, sengaja menyuruh Budi datang ke sini. Dia mengantarkan makanan buat anak-anak,” ucap Nazar.“Oh,” Zahra cuma ber oh ria.“Ini pesanannya Tuan,” ucap Budi sambil meletakkan dua kantong plastik besar yang berisi makanan. “Terima kasih, mau makan atau langsung pulang?” Tanya Nazar “Makan dulu lah,” jawab Budi sambil meletakkan ponselnya. Sedangkan Zahra, membawa bekal makanan dari rumah, buat Zahra dan suaminya. “Masih lumayan banyak ya,” ucap Budi sambil menatap ke sekeliling lapangan. “Jam 04.00,” ucap Nazar. “Oke,” Budi mengacungkan jempolnya. Anak-anak begitu terlihat lahap, saat menyantap nasi kotak. Zahra merasa terenyuh melihat anak-anak itu. Penampilan anak-anak itu, tidak jauh berbeda, ada yang bersih ada yang kumal. Tapi entah kenapa, hati Zahra merasa bahagia. “Yang, pulanglah dulu, atau mau aku antar,” ucap Nazar sambil menawarkan diri. “Tapi itu belum selesai Mas,” ucap Zahra.Memang Zahra merasakan tubuhnya merasa lelah. Tapi rasa lelah itu, seakan hilang, s
“Apa ini!” Pekik Zahra ambil menatap layar ponsel.Di aplikasi itu, ada video Zahra. Di mana Zahra dan suaminya sedang memunguti botol-botol bekas, bersama dengan anak-anak. “Kurang ajar! Siapa yang mengambil video ini!” Geram Zahra dalam hati. Layar ponsel itu terus ditatap sama Zahra. Banyak komentar-komentar miring, salah satunya dari Bella. Si sekretaris julid dan sok cantik itu.Satu persatu, cara baca komentar netizen.“Nggak ada kerjaan banget ya, masa liburan jadi seorang pemulung, gengsi dong.”“Iya, liburan bukan dipakai buat jalan-jalan kek. Ini malah membersihkan lapangan, sok cari perhatian.”“Apakah ini buat konten?”“Jangan bikin malu suami dong, Masa sih mungutin botol bekas. Tidak ada uang ya buat beli beras.”“Wah, wah, kamu alih profesi Zahra? Duh sampai segitunya kamu, mana memutihkan botol bekas lagi.”“Nih contoh kayak aku, liburan kayak gini. Aku urus body lah, ke spa, nyalon atau nongkrong di cafe. Sepertinya sedang cari perhatian.”“Cantik-cantik jadi pemu