‘’Jangan ngelamun gitu. Ayo dimakan, nanti keburu dingin udah nggak enak.’’ Alin menepuk bahu Vania yang tengah diam.Terlalu memikirkan Valerie, Vania sampai lupa makanan sudah tersaji.‘’Dia itu masa lalu. Kamu, kan, udah nggak ada perasaan lagi kan, Van, sama dia? Jadi ngapain di pikirin?’’ Lagi-lagi perkataan Alin ada benarnya.Ya. Sudah tidak ada.Dirinya ingin mandiri. Tidak berpangku tangan apalagi mengharapkan bantuan dari siapapun. Bekerja demi Gia. Bangun, kerja, pulang, sudah. Vania juga butuh pengalih rumah tangganya yang entah mau dibawa kemana. Tak ada kejelasan apapun dari Gavi. Hanya menggantung tanpa kata. ‘’Tapi, sebentar. Apa jangan-jangan kamu masih punya perasaan sama Leo, Van?’’ tebak Delia.‘’Apa nggak ada pertanyaan lain? Pengen muntah dengarnya,’’ Vania melirik sebal.Wanita itu memang usil bukan main.Alin sampai mencubit madunya itu walau tidak sakit tapi Delia menjerit.‘’Kalian, kan, udah nggak iparan lagi. Tapi masih saja kamu belain Vania. Aku ini mad
Tanpa permisi Rendi masuk ke ruangan Leo.Direktur Operasional yang tengah sibuk dengan kertas di dalam map juga laptop langsung beralih menatap Vania.‘’Ini calon sekretarismu,’’ Rendi mengedipkan mata pada Leo. ‘’Dia cantik, bukan? Seperti sekretarisku.’’‘’Lucu sekali,’’ Leo menggeleng-geleng atas ocehan Rendi. Sangat tidak profesional.‘’Silakan duduk, Van,’’ ucap Leo kemudian.‘’Terimakasih, Mas. Ah, Pak. Maksud saya.’’ Ini bukan di rumah atau di luar. Vania harus bersikap profesional.
‘’Val…’’‘’Aduh, Mbak. Maafin Ryan, ya. Dia memang begitu. Sama Alia saja kadang cemburu.’’ Valerie harap Vania mau memaklumi kesalahan anaknya.Akan tetapi Vania malah tertawa kecil.‘’Ngapain mbak marah. Mbak cuma mau bilang kalau Ryan itu ngingetin mbak kayak kita kecil dulu. Bedanya Ryan kayak mbak. Kamu kayak Gia.’’Valerie jadi mengenang. Iya, benar juga apa kata Vania.Bedanya posisinya terbalik. Mungkin beginilah jalur takdir. Dulu Vania sering menindas Valerie, kini malah anak Valerie yang menindas anak Vania.
‘’Dokter panggil saya?’’Susah sekali untuk tidak melirik Sandra. Rasanya Lili mau muntah melihat wanita penggoda itu sedang duduk di pangkuan Gavi.Apalagi rekannya itu memiliki reputasi jelek seantero rumah sakit.‘’Kosongkan jadwal saya hari ini.’’‘’Boleh saya tahu alasannya, Dok?’’ tanya Lili sopan.‘’Kami mau ke Bali, Li, dua hari.’’Ada apa dengannya? Lili jadi dibuat bingung. Kemarin Sandra begitu judes tapi kini… lemah dan lembut?
Susah payah Sandra memakai kembali pakaiannya. Mengejar-ngejar Gavi yang terlihat begitu kesal. Entah salahnya di mana, tadi mereka masih mesra bahkan sempat berciuman. Kini Gavi jadi sedingin salju di kutub utara.Sandra ingin menyusul lebih jauh tetapi, Gavi malah masuk ke ruangan pasien. Membuat Sandra urung dan meninggalkan rumah sakit.‘’Aku yang kasih informasi tapi aku yang dicuekin. Nyebelin!’’Brak!Sekuat tenaga membanting pintu mobil pun tak bisa membantu banyak. Apalagi sampai membuat emosi Sandra berkurang.Dirinya pun segera menghubungi seseorang.‘&rsquo
‘’Pak, berkasnya sudah saya letakkan di meja. Besok ada dinas keluar kota dan setelah makan siang jadwal bapak sudah kosong,’’ ucap Vania saat Leo keluar dari ruang rapat.‘’Kalau begitu setelah makan siang kamu juga sudah bebas tugas, Van.’’‘’Maaf, Pak. Saya harus standby sampai jam pulang kantor selesai. Khawatir ada beberapa berkas yang butuh tanda tangan bapak hari ini, jadi bisa langsung saya eksekusi.’’Leo mengangguk lalu masuk ke dalam ruangannya.Sudah beberapa hari bekerja, Vania terlihat sangat terampil dan sudah mulai betah.&n
Mungkin saja Elsa butuh saudaranya untuk bercerita. Kekhawatirannya itu ikut lenyap bersama kaki yang kembali dirinya bawa ke ruangan.Duduk di balik meja membaca adanya file baru untuk Leo. Vania disibukkan dengan banyak berkas.Hari berganti gelap, penerangan digantikan dengan lampu ruangan, karyawan sudah banyak yang pulang, menyisakan dirinya sendiri tak berteman.‘’Van, kenapa belum pulang?’’Deg.Hampir saja terkena serangan jantung. Leo tiba-tiba muncul di depan meja, siapa yang tidak terkejut dibuatnya?‘’Bapak?’’‘’Maaf, aku mengagetkan.’’ Leo merasa tak enak hati membuat Vania terlonjak dari duduknya.‘’Kenapa belum pulang? Ini sudah malam.’’Vania melihat ke luar jendela. Asik bekerja membuatnya lupa waktu. ‘’Ini sudah mau pulang, Pak.’’Kebetulan lem
‘’Jangan lihatin aku kayak gitu. Kamu tuh, Rian, memang nyebelin.’’ Tidak di rumah, tidak di restoran, pun masih saja sama. Sepertinya bahan pertengkaran mereka tak ada habisnya.Padahal duduk sudah berjauhan. Rian di sebelah Valerie dan Gia di sebelah Vania. Ada meja sebagai pemutus jarak di antara mereka. Tetapi anak-anak ini, selalu saja punya cara menghidupkan suasana.‘’Memangnya kenapa? Aku punya mata,’’ balas Rian dengan mata melotot.‘’Aku nggak suka.’’Rian menggeram kesal sekali dengan tingkah Gia. Rian tidak benci tidak pula punya rasa kesal terpendam padanya. Hanya saja, ada rasa yang sulit diungkapkan namun sulit dimengerti olehnya.‘’Huss, kalian ini. Cobalah untuk saling sayang. Rian, anggaplah Gia seperti adikmu. Juga kamu, Gia. Anggap Rian seperti kakak….’’‘’Oma, Gia nggak mau punya kakak angkuh, sombong, nyebelin, banyak gaya kaya dia. Huh!’’‘’Kamu…’’‘’Sudah-sudah.’’ Valerie menengahi. Lagi pula harus segera menghentikan karena makanan sudah datang.‘’Awas kamu,