Share

Bab 3

"Pengkhianat negara, kamu akan mati mengenaskan!"

"Kaisar memang bijaksana! Pengkhianat negara memang harus dihukum mati sekeluarga!"

"Orang yang bersekongkol sama Turkic nggak akan selamat!"

Ammar yang hampir tak sadarkan diri, terbaring di atas kereta dorong sambil menahan berbagai benda yang dilemparkan dari segala penjuru.

Saat pulang dari menang perang, dia adalah pahlawan besar yang melindungi negara dan disambut dengan antusias oleh rakyat. Namun setelah difitnah sebagai pengkhianat sekarang, bukan hanya tidak ada satu pun orang yang membelanya, semua orang justru meneriakinya dan memperlakukannya sebagai penjahat besar sepanjang masa.

Sementara itu, anggota Keluarga Lesmana lainnya menyembunyikan wajah mereka karena malu. Wulan menangis tersedu-sedu, "Benar-benar bencana besar Keluarga Lesmana bisa jadi seperti ini ...."

Farhan, tuan dari keluarga putra kedua, tak kuasa mengeluh, "Semua ini salah Ammar. Kita hidup baik-baik, tapi dia malah milih untuk berkhianat. Lihat saja sekarang, semua keluarga harus menanggung akibatnya."

"Aku ini orang yang paling jaga harga diri, tapi sekarang aku benar-benar malu karena dicaci maki orang. Mau gimana lagi aku hidup setelah ini?"

Sejak terjadinya insiden penyitaan hingga saat ini, semua orang mulai merenungkan masalah ini. Ada sebagian orang yang percaya bahwa Ammar tidak bersalah, tetapi ada juga yang meragukannya. Farhan adalah orang pertama yang berkomentar.

Anggota keluarga lainnya saling memandang dan diam-diam sepakat untuk tidak mengatakan apa pun.

Laksmi tidak mengerti apa yang mereka bicarakan, tetapi dia bisa melihat ketidakpuasan dan penghinaan di mata Farhan. Pada akhirnya, dia hanya menunduk dan terdiam sambil membawa anak-anaknya dan mengikuti dari belakang kereta.

Namun, Maudy tidak sebaik itu. Dia langsung menyergah, "Kalau kamu nggak bisa hidup lagi, kenapa nggak benturkan kepalamu saja sampai mati? Waktu kamu menikmati fasilitas mewah dan tinggal di Keluarga Lesmana, kenapa kamu nggak bilang apa-apa?"

Saat membaca novel ini, Maudy sudah tahu bahwa Keluarga Lesmana hanya terlihat harmonis dari luar. Namun tak disangka, mereka mulai menunjukkan kedok aslinya begitu rumah mereka disita. Daripada mengandalkan orang-orang seperti ini sepanjang perjalanan pengasingannya, Maudy lebih memilih untuk melawan mereka sekarang.

"Kamu ...! Kenapa begitu cara bicaramu sama orang yang lebih tua?" Farhan berani mengeluh karena merasa tidak ada yang berani membantahnya. Namun, dia tidak menyangka Maudy yang tampak lemah lembut ini malah berani melawan!

Saat dia hendak mengatakan sesuatu lagi, Wulan mengetuk tongkatnya dengan kesal. "Diam semuanya! Saat keluarga dalam kesulitan, kita harus bersatu. Kalau ada yang berani bertengkar lagi, nggak akan kuampuni!"

Maudy berasal dari keluarga Adipati, tidak ada gunanya bertengkar dengannya.

....

Di Bukit Panawa di luar kota.

Di bawah terik matahari, sekelompok orang mendorong sebuah gerobak yang bergerak dengan perlahan menjauh dari gerbang kota. Beberapa dari mereka mengenakan pakaian narapidana, sedangkan yang lainnya berpakaian lusuh dan tampak lemas. Dari anggota yang paling tua hingga muda, semuanya adalah anggota Keluarga Lesmana yang diasingkan ke Ningguta.

Tempat ini adalah titik pertemuan untuk pengawalan tahanan. Saat ini, tempat itu sudah dipenuhi oleh keluarga dan kerabat yang datang untuk mengucapkan perpisahan. Mereka membawa berbagai bungkusan dengan harapan agar keluarga mereka bisa lebih nyaman dalam melakukan perjalanan.

Para petugas pemerintah juga tidak terlalu peduli terhadap hal ini.

Para tahanan yang diasingkan biasanya berasal dari keluarga kaya atau berpengaruh. Meskipun seluruh keluarga mereka dihukum, tetap saja ada teman dan kerabat yang datang untuk memberikan sesuatu. Ini adalah kesempatan bagi para petugas pemerintah untuk meraup keuntungan.

Banyak juga kerabat wanita Keluarga Lesmana yang datang.

Menantu dari keluarga putra pertama, Eva, dan menantu dari keluarga putra keempat, Siska, juga dikunjungi oleh pihak ibu mereka. Pihak ibu mereka masing-masing mengirimkan makanan dan pakaian.

Kakak laki-laki dari menantu keluarga putra kedua, Dewi, masih menjabat sebagai pejabat di pengadilan untuk saat ini. Meskipun tidak datang secara langsung, dia tetap mengirimkan empat atau lima bungkusan besar. Ini sudah merupakan kehormatan besar bagi Dewi, sampai-sampai Wulan juga merasa hormat melihat hal ini.

Hanya keluarga dari putra ketiga yang tidak dikunjungi seorang pun.

"Hm, nggak masalah kalau cuma Laksmi. Orang tua dan saudara-saudaranya sudah meninggal semua. Tapi gimana dengan menantu kita ini? Bukannya dia putri Adipati? Kenapa nggak ada seorang pun dari keluarganya yang datang mengunjunginya?"

Semua mata tertuju pada Maudy dengan penuh penghinaan. Bahkan Wulan juga turut mengernyitkan alisnya. Tiba-tiba, Eva berseru sambil menutup mulutnya, "Lihat, bukannya itu kereta dari kediaman Adipati?"

'Kereta Adipati sudah datang. Mereka pasti membawa banyak barang,' pikir Wulan dengan ekspresi yang lebih rileks. Namun saat kereta itu berhenti, orang yang duduk di dalamnya hanya membuka sedikit tirai dan berkata dengan munafik.

"Maudy, kamu sudah menikah. Sekarang kamu sudah ikut suami dan nggak ada hubungannya lagi sama keluarga Adipati. Aku berbaik hati. Mengingat kamu ini putri Adipati, aku akan berikan sedikit makanan untukmu. Semoga kamu nggak kembali untuk mengganggu kami lagi kelak."

Setelah berkata demikian, orang itu tertawa sinis dan melempar beberapa roti dari dalam kereta Semua orang tertegun melihat hal itu. Berbagai tatapan simpati, mengejek, dan penghinaan tertuju pada Maudy.

Namun, Maudy sudah siap menghadapi semua ini. Ekspresinya masih tetap tenang seperti sebelumnya. Dia mengenali wanita di dalam kereta ini adalah selir ayahnya yang sering menghasut ayahnya sedari dulu. Sambil tersenyum sinis, dia tiba-tiba bergerak maju dan menarik wanita itu turun dari kereta.

Setelah itu, dia langsung melepas semua perhiasan emas, gelang giok, dan anting-anting rubi dari tubuh wanita itu. Selir itu berteriak, "Maudy jalang! Berani-beraninya kamu merebut barangku?!"

Maudy langsung menamparnya hingga terdiam. "Yang jadi selir itu semuanya adalah wanita jalang. Seharusnya kamu yang pantas disebut wanita jalang. Semua perhiasan ini dibeli dengan maskawin ibuku. Aku cuma mengambilnya kembali."

"Pulang dan beri tahu suamimu. Mulai hari ini, aku putus hubungan dengan keluarga Adipati!" lanjut Maudy.

Dalam hati, selir itu memang sangat menginginkan hal ini. Kelak, semua harta keluarga Adipati akan jatuh ke tangannya. Lihat saja kehidupan siapa yang akan lebih baik ke depannya!

"Kamu ... kamu gila!" Melihat sikap Maudy yang begitu angkuh, selir itu marah besar dan melarikan diri dengan menyedihkan. Meski demikian, tujuannya memang telah tercapai.

"Maudy, ke depannya hidupmu akan menyedihkan kalau nggak ada keluarga ibu yang mendukungmu," celetuk menantu keluarga putra keempat, Siska.

Tadinya dia mengira keluarga Adipati datang untuk mengantarkan makanan. Tak disangka ternyata ... cih!

Wulan akhirnya tidak mampu menahan diri lagi. Dia juga melemparkan tatapan dingin kepada Maudy.

Eva merasa bersalah. Seandainya dia tidak berteriak, semua orang tidak akan memusatkan perhatian pada Maudy. Dia menghampiri Maudy dan berkata dengan terbata-bata, "Maudy, maafkan aku ...."

Sebelum sempat menyelesaikan perkataannya, putra pertama, Hidayat, memelototi Eva dengan muram dan berkata, "Jangan buat malu lagi! Cepat kemari untuk bantu bawa barang! Keluarga ibumu cuma bawakan barang sedikit. Sia-sia sekali aku menikahimu."

Eva tersenyum getir, lalu meringkukkan tubuhnya sambil berjalan menghampiri suaminya. Rani menatap Maudy dengan iba, tetapi tidak berani menghiburnya. Dia berlari kecil untuk membantu ibunya membawakan barang.

Di sisi lain, Laksmi menggosokkan tangannya dan memungut roti-roti itu dari lantai. Setelah itu, dia menatap Maudy dengan hati-hati dan berkata, "Maudy, jangan ... sedih ...."

Hati Maudy terasa hangat. Mertuanya ini memang mengalami tidak cerdas, tetapi hatinya sangat baik.

"Ibu, aku nggak apa-apa. Ayo kita periksa luka Ammar."

Ammar dibawa ke istana dan menjalani hukuman cambuk. Cambukan ini bukan hanya mengenai bokong, tetapi juga mengenai tulang belakang yang bisa melumpuhkan seseorang. Sekarang, Ammar bahkan tidak bisa bergerak sedikit pun dan hanya bisa berbaring di atas kereta dorong.

Maudy pun tidak berpura-pura lagi. Dia langsung mengeluarkan sebotol obat luka dari ruang ajaibnya dan menaburkannya pada luka-luka Ammar. Ammar langsung membuka matanya.

'Wah, ternyata pria ini waspada sekali!' batin Maudy.

"Sayang, jangan khawatir. Aku cuma mau obati lukamu."

Melihat orang yang menyentuhnya adalah Maudy, Ammar mulai tenang. Dia juga mendengar percakapan Maudy dengan anggota keluarga Adipati tadi, sehingga matanya memancarkan sedikit rasa bersalah.

"Maaf sudah membuatmu terlibat masalah seperti ini," ucap Ammar.

Masalah? Jangan berpikir seperti itu. Maudy memang sudah lama ingin menyingkirkan keluarga itu. Namun, Maudy tidak ingin bicara terlalu banyak saat ini. Dia sedang serius memeriksa luka-luka Ammar.

Hanya saja, luka ini lebih parah dari yang dibayangkan Maudy. Tulang belakang di bagian pinggang Ammar telah patah. Jangankan berhubungan badan, apakah Ammar masih bisa berdiri atau tidak saja masih menjadi pertanyaan.

'Dasar Kaisar sialan! Apa aku masih bisa hidup bahagia dalam sisa hidupku. Huhuhu .... Masih sempat melarikan diri nggak sekarang?' batin Maudy.

Tatapan Ammar tampak rumit saat bertanya, "Apa aku masih bisa berdiri lagi?"

Wajah Maudy berubah pucat. "Sulit dikatakan."

Jika ada gedung medis di pangkalan, tentu saja Ammar bisa sembuh.

[ Tut .... Sistem telah terhubung dengan Host. Selamat, Host telah mengaktifkan gedung baru, gedung medis. ]

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status