Share

Bab 4

Winnie membalas tatapan Julian yang penuh akan godaan dan mengerutkan bibirnya.

Jemma berkata dengan kesal, "Lagi-lagi? Winnie sama sekali nggak pernah memberitahuku apa pun! Jangan fitnah dia! Biar aku tanyakan padamu, kenapa kamu nggak beri tahu aku kalau kaki Winnie terluka? Akhir-akhir ini, jangan-jangan kamu bahkan nggak pulang ke rumah, ya?"

Julian tersenyum dengan nakal dan berkata, "Winnie nggak beri tahu Nenek bagaimana dia bisa terluka, ya?"

Kemudian, dia menerima kain hangat yang diberikan Bibi Selly padanya dan mengelap tangannya.

"Sudahlah, Nenek juga nggak akan percaya. Lagi pula, kalian pasti sepemikiran," kata Julian.

Julian mencondongkan badannya ke depan dan mengambil apel di atas meja, lalu mulai mengupas kulit apel.

Jari tangan pria ini panjang dan bersih, bulu matanya juga panjang, sehingga saat dia menurunkan tatapannya, bulu matanya meninggalkan bayangan di bawah matanya.

Jemma memelototi Julian dan berkata, "Winnie sangat baik hati, dia sangat mencintaimu. Dia adalah tangan kananmu di perusahaan dan merupakan istri yang baik di rumah. Bukankah dia yang membantumu mengurus semua masalahmu? Jangan khianati ketulusannya padamu."

Jemma terus mengomel, sedangkan Julian tidak membantah, dia juga entah mendengarkan ucapan neneknya atau tidak.

Dia mengambil sepotong apel yang sudah dia potong dan menyodorkannya ke mulut neneknya. "Nenek, makanlah apel yang dipotong cucu kandungmu."

Sambil mengunyah apel, Jemma bergumam, "Apakah kamu mendengar ucapanku?"

"Sudah kusimpan dalam hatiku," jawab Julian dengan asal-asalan.

"Kenapa kamu nggak mengambilkan apel untuk Winnie?" tanya Jemma.

Julian pun menatap Winnie dan bertanya, "Mau makan?"

"Nggak," jawab Winnie.

Jemma mengernyit dan berkata, "Mana ada orang yang bertanya seperti itu. Bukannya kamu bisa langsung mengambilkan sepotong untuknya?"

Winnie tahu bahwa Julian tidak akan mengambilkan apel untuknya. Bagaimanapun, mereka hanya berhubungan paling intim di atas ranjang. Biasanya, pria itu sama sekali tidak akan melakukan perilaku yang menunjukkan keakraban mereka.

Pada saat ini, Selly memanggil mereka untuk makan. Winnie pun berdiri dan memapah Jemma ke kursi rodanya sambil berkata, "Ayo makan."

Julian melirik pergelangan kaki Winnie sekilas, lalu berdiri dan mengikuti mereka.

Orang tua Julian sedang berlibur di luar negeri. Sedangkan adiknya kuliah di Universitas Juvana dan memiliki kelas malam, jadi dia belum pulang.

Oleh karena itu, hanya Jemma, Julian dan Winnie yang makan bersama.

Saat mereka sedang makan, Jemma menyuruh Julian untuk mengambilkan makanan, mengupas kulit udang, mengeluarkan duri ikan untuk Winnie. Julian melakukan semuanya dengan sangat patuh.

Setelah mereka selesai makan, Jemma meminta Selly untuk mengambilkan sarang burung walet untuk mereka. Dia menyuruh mereka menghabiskan semuanya dan mendesak mereka untuk kembali ke kamar.

"Sudah ditaruh, belum?" tanya Jemma pada Selly dengan suara rendah.

"Sudah. Tenang saja," jawab Selly.

"Cepat kunci pintunya," kata Jemma.

Selly menganggukkan kepalanya dan pergi ke lantai atas. Tidak lama kemudian, dia kembali lagi.

Dengan tatapan penuh harapan, Jemma bertanya, "Bagaimana?"

Selly berkata dengan penuh semangat, "Kali ini, Nyonya Winnie pasti bisa mengandung cicit Nyonya."

"Cicit apa?" Pada saat ini, Jessica Lowie berjalan masuk. Dia melihat kedua orang yang diam-diam merencanakan sesuatu ini dengan tatapan curiga dan bertanya, "Apa yang sedang kalian katakan?"

Jemma hanya meliriknya sekilas dan berkata, "Bukan apa-apa. Jessica, kamu sudah makan, belum?"

Jessica melihat jas pria di atas sofa dan bertanya, "Kakak pulang, ya?"

"Ya, dia sudah pergi istirahat di lantai atas," jawab Jemma.

Jessica pun hendak naik ke lantai atas sambil berkata, "Kalau begitu, aku mau menanyakan tentang lukanya Kak Chelsea pada Kak Julian."

Jemma tentu saja tidak membiarkan Jessica naik ke lantai atas. "Tunggu sebentar. Luka apa? Ada apa dengan Chelsea? Coba katakan padaku."

Pada saat ini, di lantai atas.

Cahaya lampu lantai dari luar jendela menyinari kamar yang tidak berlampu ini dengan cahaya yang remang-remang.

Julian menahan Winnie di dinding sambil menyentuh pinggang Winnie yang lembut. "Panas sekali, ya?"

"Nggak, kok," jawab Winnie sambil mengangkat kepalanya dan menatap mata pria ini.

Kening Julian sudah bercucuran keringat. Dia berkata dengan nada kesal, "Nenek memang menyayangimu, dia hanya menambahkan sesuatu ke mangkukku. Biar kutebak, sebelumnya, apakah kamu tahu tentang hal ini? Hmm?"

"Aku nggak tahu apa-apa. Julian, jangan salah paham," jawab Winnie.

"Salah paham?" Julian meraih dagu Winnie dengan jari tangannya yang panjang. "Kalau begitu, bagaimana dengan tiga tahun yang lalu? Aku mau membatalkan pernikahan ini, tapi kamu malah memberiku obat bius dan naik ke ranjangku. Kamu bahkan sengaja membiarkan Nenek melihat kalau kita tidur bersama, supaya kamu bisa jadi istriku. Pada saat itu, kamu juga bilang kalau aku salah paham. Winnie, seru ya menggunakan trik yang sama untuk dua kali?"

Meskipun cahaya itu redup, Winnie juga bisa melihat kebencian pria itu padanya.

"Sudah berkali-kali aku menjelaskan padamu, tapi kamu nggak percaya. Kalau begitu, anggap saja aku menjebakmu," kata Winnie sambil mendorong pria itu dengan lelah. "Aku pulang dulu, ya."

Dia pergi membuka pintu, tetapi pintunya sama sekali tidak terbuka.

Dia pun mengernyit dan menoleh sambil berkata, "Pintunya dikunci."

Julian tersenyum sinis sambil berjalan maju, lalu menopang kedua tangannya di samping pintu untuk menjebak Winnie di antaranya. "Bukankah ini yang kamu mau?"

"Bukan ...."

Pria itu tiba-tiba meraih dagunya dan mencium bibirnya, menelan semua kata-kata yang ingin dia ucapkan.

Ujung lidah Julian memisahkan bibir Winnie dan merampas sisa napas dalam mulutnya Winnie. Kedua tangannya memegang pinggang Winnie yang ramping dan membawa Winnie untuk mundur ke belakang.

Winnie hanya merasakan kedua kakinya menjadi lemas. Dia pun hanya bisa melingkarkan lengannya di leher pria ini dan bersandar di tubuh pria ini.

Julian mendorongnya ke atas ranjang yang besar dan berlutut dengan satu kaki di antara pahanya. Julian melepaskan kemeja putihnya dengan satu tangan, menunjukkan dadanya yang bidang, lalu membungkukkan badannya dan meletakkan kedua tangannya di sisi kepala Winnie sambil menatap Winnie lekat-lekat.

Winnie juga menatapnya dengan matanya yang jernih.

Winnie mengulurkan tangannya untuk menyentuh tahi lalat di sudut mata pria ini, tetapi pria ini langsung mencengkeram pergelangan tangannya.

Dengan nada kesal, Julian berkata, "Sepertinya kamu sangat menyukai tahi lalat ini, ya."

"Ya, aku sangat menyukainya," jawab Winnie. Bulu matanya bergetar.

Julian mengerutkan bibirnya. Dia sangat tidak menyukai tatapan Winnie seperti ini karena dia selalu merasa bahwa Winnie sedang melihat orang lain melalui dirinya.

Tatapan seperti ini membuatnya merasa sangat frustrasi. Setiap mereka berhubungan intim, Winnie selalu bersikap seperti ini.

Julian mengangkat tangannya dan menutup mata Winnie, lalu mencium bibir Winnie dengan kuat dan bahkan menggigit bibirnya.

Winnie mengerang, suaranya terdengar sangat menggoda. Hanya suara ini saja sudah bisa membangkitkan keinginan pria ini untuk menaklukkannya.

Ada banyak sekali wanita yang mendekati Julian, dari wanita yang polos hingga genit dan gemuk hingga kurus, tetapi hanya Winnie-lah yang memiliki kemampuan untuk membuatnya tidak bisa mengendalikan dirinya seperti ini.

Dia memegang pergelangan kaki Winnie dengan kedua tangannya, tetapi dia seperti teringat akan sesuatu, jadi kekuatannya jauh melemah.

Dia menyentuh betis Winnie yang mulus, lalu memegang lutut Winnie dan membuka kakinya.

Saat Julian hendak melanjutkan ke langkah berikutnya, terdengar suara ketukan pintu yang buru-buru.

Pada saat ini, selain karena khasiat obat itu, dia sendiri juga sama sekali tidak ingin menghiraukan suara ketukan pintu itu. Namun, saat dia hendak melepaskan ikat pinggangnya, suara ketukan pintu itu makin mendesak.

Dengan perasaan yang sangat kesal, dia berseru ke arah pintu, "Siapa itu?"

"Kak! Aku Jessica! Aku buka pintunya, ya! Ada hal penting yang harus aku katakan padamu!" seru Jessica.

Dengan tatapan gelap, Julian berkata, "Kalau ada apa-apa, katakan saja besok!"

Jessica yang berada di luar berkata dengan terisak tangis, "Kak, Kak Chelsea kesakitan. Cepat periksa kondisinya, deh!"

Julian memejamkan matanya sambil menggertakkan giginya, lalu turun dari ranjang dan merapikan pakaiannya.

Mendengar suara itu, Winnie mengerutkan bibirnya dan bangkit untuk duduk di atas ranjang. Dia pun melihat sosok pria itu bersiap-siap untuk pergi.

"Julian, kamu mau pergi ke Chelsea dalam keadaan seperti ini?" tanya Winnie.

Langkah Julian seketika terhenti. Dengan suara yang dingin dan rendah, dia berkata, "Menurutmu, apa yang akan kulakukan pada Chelsea?"

"Kamu sangat baik padanya, jadi mungkin saja dia akan menerkammu!" kata Winnie.

Pada saat ini, terdengar suara kunci diputar dari luar pintu. Pintu kamar ini pun terbuka, menunjukkan Jessica yang sedang berdiri di depan pintu.

Julian menoleh dan menatap Winnie dengan tatapan jijik sambil berkata, "Winnie, kamu kira semua orang sekotor dirimu, ya?"

Kemudian, pria itu langsung pergi tanpa menoleh sama sekali.

Setelah pintu kamar ini dibanting dengan kuat, Winnie menggigit bibirnya.

Saat dia mendengar suara mobil melaju pergi dari lantai bawah, dia pun tahu bahwa Julian sudah terburu-buru untuk pergi menemui kekasihnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status