Share

Bab 9

Sebuah mobil Bentley berwarna hitam sedang melaju menuju Kompleks Rivera.

Asap yang mengepul menghalangi perasaan pria yang duduk di belakang mobil. Saat asap ini menghilang, ekspresi pria yang dingin itu baru terlihat.

Kening Charles pun bercucuran keringat.

Charles berkata, "Maaf, Pak Julian, saat saya tiba di sana, Nona Chelsea sudah dibawa pergi oleh pria itu. Saya langsung menghubungi Anda, tapi panggilan itu nggak terhubung. Karena hujan petir, telepon rumah juga nggak bisa dipakai."

"Saya sudah mencarikan seorang dokter wanita untuk memeriksa keadaan Nona Chelsea. Suasana hatinya juga sudah menjadi stabil. Tenang saja."

"Pria itu hanya melakukan pelecehan sekali saja pada Nona Chelsea. Foto dan video di ponselnya juga nggak disebar ke luar dan sudah dihapus semuanya."

Dengan suara yang sangat dingin, Julian berseru, "Hanya sekali? Memangnya kamu berharap berapa kali?!"

Charles menyadari bahwa dia sudah salah bicara, dia pun langsung membungkam.

Mobil ini tiba di depan Kompleks Rivera.

Sebelum mobil ini bisa berhenti dengan baik, Julian sudah membuka pintu dan turun dari mobil.

Dia berjalan cepat ke kamar di lantai dua, tetapi dia tidak melihat sosok Chelsea. Kegelisahan pun seketika meluap dalam hatinya.

Dia memanggil nama Chelsea sambil terus mencari di semua tempat.

Saat dia menyadari bahwa pintu kamar mandi terkunci, dia pun mengernyit.

Sekuat apa pun dia mengetuk pintu itu, tidak ada yang menjawabnya. Akhirnya, dia menendang pintu itu hingga terbuka dan melihat Chelsea yang sedang berbaring di dalam bak mandi, dengan air bercampur darah menutupi separuh wajahnya.

Julian melangkah maju dan mengangkat tubuh Chelsea. Dia pun melihat luka yang mengerikan di pergelangan tangan kirinya Chelsea yang masih terus mengeluarkan darah.

Untung saja, Chelsea dibawa ke rumah sakit dan menerima pengobatan tepat pada waktunya. Setelah menerima transfusi darah sebanyak 1200 ml, nyawanya baru terselamatkan.

Pada pukul dua dini hari, Chelsea yang siuman melihat Julian yang menjaganya di samping ranjangnya.

"Sudah bangun, ya?" tanya pria itu dengan suara serak.

Sambil berlinang air mata, Chelsea berkata, "Kak Julian, aku sudah nggak bersih lagi. Aku benar-benar nggak ingin hidup lagi. Biarkanlah aku pergi saja!"

Melihat Chelsea begitu tertekan, Julian teringat akan pemandangan Chelsea terendam dalam genangan darah.

Kata dokter, jika Chelsea ditemukan lima menit kemudian, dia akan mengalami kondisi syok akibat pendarahan, sehingga nyawanya akan terancam.

Julian berpikir, jika dia tidak pergi mengejar Winnie, dia tidak akan meninggalkan Chelsea sendirian dan Chelsea tidak akan dilecehkan oleh pria lain.

Rasa bersalah yang kuat menyelimuti dirinya, sehingga Julian hanya bisa mengurut keningnya.

Chelsea mengangkat lengannya yang dibungkus dengan kain kasa sambil berkata dengan suara sengau, "Kak Julian, biarkan saja aku mati! Kalaupun kondisi kesehatanku pulih, hatiku sudah nggak bisa pulih lagi! Setiap aku melihat luka yang mengerikan itu, aku akan teringat akan segalanya yang terjadi malam ini. Pria itu juga akan menyebarkan rumor bahwa aku wanita kotor. Aku nggak tahan ...."

Julian menahan lengan Chelsea sambil berkata, "Chelsea, orang itu nggak akan bisa mengucapkan apa pun lagi, dia juga nggak akan muncul di hadapanmu lagi."

Chelsea menggeleng dan berkata, "Aku sudah kotor. Harapan terbesarku dalam seumur hidupku adalah menikah denganmu. Meskipun aku terkena penyakit ginjal karena menyelamatkanmu, aku tetap berharap untuk bisa menikah denganmu satu hari nanti. Sekarang, harapan itu sudah pupus. Aku terlalu kotor. Kalaupun kamu bercerai dengan Winnie, aku juga sudah nggak berhak untuk menikah denganmu. Aku ingin mati saja ...."

Melihat penyelamat hidupnya begitu menderita, Julian mengerutkan bibirnya.

Setelah sekian lama, dia baru berkata, "Aku akan bercerai dengan Winnie dan menikahimu."

Dengan tatapan penuh harapan, Chelsea bertanya, "Serius?"

"Serius," jawab Julian.

Kemudian, Julian membujuk Chelsea untuk tidur sebelum meninggalkan tempat ini.

Begitu pintu ruangan ini ditutup, Chelsea yang berada di atas ranjang langsung membuka matanya dan tersenyum dengan sinis. "Winnie, dasar wanita jalang! Berani sekali kamu merebut priaku! Dasar nggak tahu diri!"

Di sisi lainnya, sekitar pukul empat subuh, Winnie baru terlelap.

Namun, karena beban pikirannya, dia hanya tidur selama dua jam.

Saat dia bangun, dia melihat pria yang duduk di kursi bambu di samping jendela.

Mendengar suara gerakan, Julian menoleh dan bertanya dengan kasar, "Sudah bangun?"

Winnie mengiakan pertanyaan itu.

Kedua orang ini berjarak tidak jauh, sehingga Winnie bisa melihat kumis pria yang sudah menghilang semalaman itu mulai tumbuh, membuatnya terlihat sangat lelah.

Winnie tahu bahwa Julian ingin mengucapkan sesuatu padanya, jadi dia pun menunggu pria itu untuk bersuara.

Julian mengurut keningnya dengan jari tangannya yang panjang, lalu menatap Winnie dan berkata, "Winnie, ayo bercerai."

Winnie mengangkat kepalanya dan membalas tatapan pria itu.

Dia pun mengerti bahwa semalam, Chelsea pasti sudah melakukan trik yang bukan hanya membujuk Julian untuk memaafkannya atas provokasinya dengan mengirim foto itu, tetapi juga berhasil menghasut Julian untuk bercerai dengan Winnie lebih awal.

Chelsea mungkin memancing simpati pria itu, mungkin menjual dirinya atau sengaja melukai dirinya sendiri.

Cara apa pun yang Chelsea gunakan, Winnie sudah tidak peduli lagi.

Selama tiga tahun pernikahan ini, Winnie benar-benar kelelahan.

Dia tahu bahwa sudah saatnya untuk melepas.

Tanpa menunjukkan perasaan apa pun, dia berkata dengan pelan, "Baiklah."

Julian sudah sering sekali mengungkit tentang perceraian, tetapi Winnie selalu menolak.

Namun, kali ini, Winnie malah langsung setuju dengan semudah ini.

Hanya saja, berbeda dari bayangannya, Julian tidak merasa santai atau senang. Dia malah merasa tidak nyaman.

Julian mengerutkan bibirnya dan berkata, "Nanti, Charles akan membawakan surat cerai itu kemari. Kalau nggak ada masalah, kamu bisa tanda tangan. Kemudian, kita akan pergi ke pengadilan."

"Baik," jawab Winnie.

Entah mengapa, Julian merasa kesal. "Sebaiknya kita selesaikan semuanya hari ini."

"Baik," jawab Winnie lagi dengan pelan.

Julian ingin melihat keengganan dari wajah wanita ini, tetapi dia tidak mendapatkan apa pun.

Dia tidak mengerti mengapa dia merasa tidak senang. Bukankah ini hal yang dia inginkan selama ini?

Dia pun menyembunyikan ketidaksenangan di tatapannya dan meninggalkan tempat ini.

Secara bersamaan, ponselnya Winnie berdering.

Winnie terdiam sejenak, lalu mengambil ponsel di samping bantalnya. Setelah membuka kunci layar dengan sidik jarinya, dia melihat foto yang dikirimkan oleh Chelsea.

Dalam foto tersebut, Chelsea sedang bersandar dalam pelukan pria itu. Mata dan bibirnya merah dan bengkak, sedangkan bagian leher dan dadanya penuh akan bekas merah.

Winnie pun merasa bahwa tebakannya benar. Tadi, dia menyetujui usul Julian secepat itu supaya dia tidak mempermalukan dirinya sendiri.

Julian sudah kotor, jadi Winnie pun tidak menginginkan pria itu lagi.

Sekitar dua jam kemudian, Charles membawakan surat cerai pada Winnie.

Berdasarkan perjanjian pranikah mereka, saat mereka bercerai, Winnie akan meninggalkan Julian tanpa membawa apa pun. Namun, sekarang, di surat cerai itu, Julian malah memberikan banyak kompensasi untuk Winnie.

Julian memberikan Winnie beberapa rumah dan apartemen di Luna Bay, yang harganya melebihi satu triliun.

Namun, Winnie tahu bahwa Julian bertindak seperti ini bukan karena Julian menyukainya, melainkan karena ingin membiarkan Winnie menandatangani surat cerai ini dan merelakan posisinya pada Chelsea secepat mungkin.

Winnie menatap Charles dan berkata, "Aku nggak mau apa-apa. Ganti saja."

Charles menatapnya dengan tatapan terkejut. Sebelum dia sempat mengucapkan apa pun, Winnie sudah naik ke lantai atas.

Dia pun menghubungi Julian. "Pak Julian."

"Kenapa? Dia lagi-lagi nggak mau tanda tangan, ya?" tanya Julian yang sedang duduk di balik meja kerjanya sambil menarik dasinya. Dia sudah menduga bahwa hal ini akan terjadi. Bagaimanapun, selama tiga tahun terakhir, setiap kali dia mengungkit tentang perceraian, Winnie tidak pernah setuju.

"Bukan, tapi Nyonya nggak mau apa-apa," jawab Charles.

"Apa?" Gerakan Julian seketika terhenti. "Dia hanya sengaja jual mahal. Kalau begitu, siapkan surat cerai sesuai yang dia inginkan, lalu suruh dia tanda tangan. Pada jam satu siang, pergi ke pengadilan."

Karena tidak melibatkan pembagian harta, Charles menyiapkan surat cerai yang sudah direvisi dengan sangat cepat.

Dia membawakannya pada Winnie. Winnie hanya membacanya sekilas, lalu menandatanganinya tanpa ragu-ragu.

Saat Charles menerima surat cerai itu, dia merasa agak linglung. Bagaimanapun, selama tiga tahun ini, Julian sudah sering sekali mengajukan perceraian pada Winnie, tetapi Winnie tidak pernah setuju.

Kali ini, Julian masih merasa bahwa Winnie sengaja jual mahal dengannya, begitu pula dengan Charles.

Tak disangka, Winnie malah menyetujui semuanya secepat ini.

"Kapan aku harus pergi ke pengadilan?" tanya Winnie.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status