Aleeta Pricilla harus menelan pil pahit atas kehidupan saat Ibu kandungnya sendiri menyuruhnya untuk menjual diri demi ekonomi keluarga. Namun di tengah perjalanan, Aleeta hampir saja tidak selamat dari kecelakaan maut jika bukan karena seorang wanita yang rela mengorbankan nyawanya demi menyelamatkan hidup Aleeta. Rupanya wanita itu adalah calon istri Nicholas Axel Frederick, putra konglomerat dari perusahaan Nordstrom, dan menimbulkan dendam yang mendalam di hati Nicholas pada Aleeta. Hingga suatu kejadian, saat Aleeta membutuhkan pertolongan, Nicholas bersedia membantunya hanya jika Aleeta bersedia menemaninya untuk satu malam. Dan tanpa Aleeta sadari ternyata satu malam itu menjadi awal dari rasa sakit baru yang harus ia jalani.
View MoreAleeta turun di halte bus sembari merapatkan jaket. Ia melangkah lunglai menuju gang kecil yang akan membawanya ke kontrakan yang selama bertahun-tahun ini menjadi tempat tinggalnya. Rasanya lelah luar biasa. Aleeta melangkah pelan, bahkan sesekali berhenti, menatap ujung sepatunya dengan pikiran kosong. Kemudian Aleeta kembali melangkah menuju kontrakannya.
Dalam satu hari ia harus bekerja di dua tempat sekaligus. Mulai dari pagi hingga menjelang pagi lagi. Tubuh Aleeta bahkan sampai terlihat begitu kurus dan pucat dengan lingkaran hitam di bawah matanya yang setiap hari semakin bertambah kentara. Terkadang tubuhnya juga terasa lemah karena kekurangan jam istirahat. Tapi Aleeta tidak boleh mengeluh. Aleeta menarik napas dalam-dalam dan membuka pintu rumah. Belum sempat pintu itu tertutup, dia sudah mendengar seruan yang memekakkan telinganya. “Mana uangku?!” Aleeta mendesah lelah. Ia tidak kaget lagi mendapati Sonya menunggu kepulangannya di balik pintu. Bukan, bukan kepulangannya. Melainkan, uang hasil kerja kerasnya. “Ma, aku capek,” ujarnya pelan sambil merasakan kakinya yang berdenyut karena terlalu banyak berjalan karena bekerja di kafe. Aleeta mencoba untuk mengabaikan Ibunya dan berjalan menuju kamar tidur. Namun, tepat saat kaki Aleeta baru melangkah, Sonya menahan tangannya. “Cepat berikan uangnya sekarang. Setelah itu kamu bisa tidur.” Sonya menarik tas di bahu Aleeta. Mengobrak-abrik seluruh isi tas itu dan menemukan sebuah amplop yang tadi diberikan oleh Thomas, bos di tempat Aleeta bekerja. Sonya segera merobek dan menghitung isinya. Hanya beberapa lembar kertas. “Hanya segini?!” Ya, mungkin Ibunya berharap bisa menemukan segepok uang. “Untuk apa uang sedikit begini?” “Memangnya Mama pikir berapa gajiku menjadi pelayan? Dua puluh juta?” Aleeta bertanya sinis. “Aku sudah bilang, jual saja dirimu!” Bentak Sonya marah. Dia mengambil seluruh uang yang sedikit itu, kemudian membuang amplopnya ke lantai. “Badanmu bagus, pasti banyak yang bersedia membayar mahal untuk itu.” Refleks, telapak tangan Aleeta mengusap lengannya, menahan diri yang sedang merinding. Kata-kata itu sangat menyakitkan. Aleeta terdiam di tengah-tengah ruang tamu yang nyaris kosong melompong. Aleeta menahan isak tangisnya. Sejak dulu, Aleeta memang hanya di anggap sapi perah oleh Ibunya. Ia di paksa untuk bekerja siang malam, menghasilkan uang hanya demi memenuhi kebutuhan Ibunya yang tidak pernah ada habisnya. Bahkan, selama ini, Aleeta tidak pernah mencicipi hasil kerja kerasnya. Namun, sekalipun Aleeta tidak pernah membayangkan kalau sosok wanita yang ia anggap sebagai Ibu selama ini ternyata tega menyuruhnya untuk menjual diri. Apa masih kurang semua yang sudah Aleeta lakukan pada Ibunya selama ini? Hampir sepuluh tahun Aleeta bekerja, selama itu juga semua uang hasil kerja kerasnya selalu di nikmati oleh Ibunya. Meski Aleeta tahu uang-uang itu hanya untuk Sonya habiskan untuk berfoya-foya, berjudi dengan para geng sosialitanya, dan bersenang-senang dengan pria yang ada di klub judinya. Aleeta tidak pernah mempermasalahkan itu semua. Aleeta selalu diam dan sabar. “Mama pikir aku ini wanita murahan?!” Bentak Aleeta sembari menatap Ibunya dengan mata memerah. “Apa Mama tega melihatku menjadi santapan pria-pria hidung belang?” “Kenapa? Itu namanya kamu memanfaatkan badanmu yang bagus dan indah. Kalau dengan cara seperti itu bisa membuatmu menghasilkan uang, kenapa tidak kamu lakukan, hah?!” Sonya balas membentak. “Ma!” Aleeta menatap marah pada Ibunya. “Aku ini anak Mama. Kenapa Mama sampai hati menyuruhku melakukan hal seperti itu?” Tanya Aleeta dengan suara tercekat. Sekarang, tenggorokannya terasa sakit dan matanya memanas. Dada Aleeta berdegup kencang, seolah-olah menggedor minta untuk keluar. “Dengar, Aleeta. Aku membesarkanmu dengan perjuangan dan air mata. Apa kamu tidak bisa membalas jasa-jasaku itu, hah?!” Sonya semakin membentak marah. Selama ini, Sonya memang menganggap Aleeta adalah investasinya. Jika Aleeta tidak bisa membalas apa yang telah dia berikan, Sonya merasa perjuangannya sangat sia-sia. Sementara itu, Aleeta bertanya-tanya, apakah seorang anak harus membalas jasa atas semua hal yang telah ibunya lakukan karena merawat dan membesarkannya? Apakah hal itu wajib untuk dilakukan seorang anak? Bahkan Aleeta sendiri tidak pernah meminta di lahirkan ke dunia ini? Lalu kenapa kehadirannya selalu saja di salahkan? “Memangnya aku pernah meminta untuk di lahirkan?” Tanya Aleeta pelan. “Apa aku pernah meminta Mama untuk terus mengurusku?” “Kalau aku tidak memilih untuk mengurusmu, mungkin saat ini aku tidak akan hidup susah dan tinggal di kontrakan kecil seperti ini!” Sonya berteriak di telinga Aleeta hingga membuat telinganya berdengung. “Harusnya kamu berterima kasih, Aleeta! Karena berkatku, berkat belas kasihanku, kamu bisa hidup sampai detik ini!” Belas kasihan. Bukan kasih sayang. Kalau dulu bisa memilih, Aleeta lebih ingin di biarkan mati saja. Untuk apa hidup kalau setiap hari tersiksa? Bahkan Ibu yang seharusnya bisa menjadi tempat bersandar, hanya menginginkan uangnya saja. “Ma …” Aleeta ingin balik berteriak, tapi dia tahu semuanya percuma. Aleeta memilih untuk menutup mulutnya rapat-rapat. “Kamu tadi ingin melawan, hah?” Sonya mendekati Aleeta karena sedetik tadi, Sonya melihat kilatan di mata Aleeta. Dengan satu kali gerakan, Sonya mengangkat tangannya dan menarik rambut Aleeta hingga membuat gadis itu merintih kesakitan. “Jangan berani-berani seperti itu!” Jerit Sonya sambil melepas jambakannya. Aleeta mundur beberapa langkah, membuat jarak dengan Ibunya. “Kalau kamu tidak ingin bekerja dan mencarikan aku uang. Lebih baik kamu mati saja sana. Dasar anak tidak berguna!” Sonya melempar tas Aleeta tepat mengenai wajah anaknya. Tanpa menoleh ke arah anaknya, Sonya lalu pergi keluar dari rumah seraya membanting pintu dengan kuat. Aleeta hanya mampu berdiri diam. Kepalanya sedikit sakit dan mungkin pipinya tergores resleting tas. Namun, ia tidak melakukan apa-apa. Pikirannya seperti kosong. Sambil mencoba menenangkan diri, Aleeta hanya menatap sejenak pintu yang telah tertutup itu, kemudian berjongkok untuk mengambil tas beserta isinya. Hanya ponsel dan juga uang pecahan kecil yang selama ini menjadi penghuni tas Aleeta. Aleeta lalu menyeret kakinya menuju kamar. Berbaring di kasur kecil yang ada di sana dan mulai memejamkan mata. Kasur itu terasa agak keras dengan aroma sedikit apak. Biasanya, Aleeta tetap merasa nyaman. Namun, kali ini, kasur itu tidak mampu menopang semua beban yang ia tanggung. Tubuhnya tetap terasa sakit dan berat. Aleeta membuka mata, menatap langit-langit yang catnya sudah luntur. Perlahan, pandangannya bertambah kabur. Pikirannya mulai melantur. Ia mulai bertanya-tanya, kenapa harus dirinya yang mengalami hal seperti ini? Apakah ada orang yang mau hidup seperti dirinya? Berulang kali Ibunya menyuruh untuk menjual diri. Apakah Aleeta benar-benar harus melakukan itu supaya Ibunya bisa puas? Apakah Aleeta harus merelakan tubuhnya? Aleeta lalu berbaring miring, memeluk lututnya dan mulai menangis. *** Aleeta merasa kedua matanya baru saja terpejam beberapa saat yang lalu, saat alarm ponselnya berbunyi. Ia segera meraih ponsel jadul itu dan melirik layarnya. Sial, ternyata ini sudah jam delapan! Aleeta dengan cepat bangkit dari tempat tidur. Ia meraih handuk dan masuk ke dalam kamar mandi. Celana jeans berwarna usang, kemeja dan sepatu buluk. Begitulah gaya berpakaian Aleeta setiap harinya. Apa yang di kenakan Aleeta memanglah sangat berbanding terbalik dengan apa yang di kenakan Sonya. Aleeta hanya memiliki barang-barang dan pakaian seadanya. Aleeta jarang, bahkan hampir tidak pernah membeli sesuatu untuk dirinya sendiri. Semua uang hasil kerja kerasnya selalu saja di minta oleh Sonya. Tapi meskipun Aleeta hanya memiliki barang seadanya, Aleeta tidak pernah mengeluh. Lagi pula, memang hanya itu yang ia punya dan Aleeta pun tidak suka berpura-pura kaya. Toh, selama masih bisa dan pantas untuk di gunakan, bagi Aleeta itu sudah lebih dari cukup. Lagi-lagi ponsel Aleeta kembali berbunyi ketika ia hendak melangkah keluar rumah. Dan kali ini panggilan dari Sonya. “Halo.” “Aleeta!” Aleeta mendesah. Telinganya bahkan sampai terasa begitu berdengung akibat teriakan tersebut. Tidak bisakah, sekali saja, Ibunya menyapa dengan cara yang hangat? “Kenapa, Ma? Aku ingin berangkat bekerja,” tanyanya sedikit malas. Setelah kejadian semalam Aleeta berharap setidaknya ia bisa beristirahat, sehari saja dari gangguan Ibunya. Tapi sepertinya hal itu tidak akan pernah terjadi dalam hidup Aleeta. “Ke sini sekarang juga. Jemput aku di dekat Venus.” Sonya memerintah dengan ketus di seberang telepon. “Tapi aku harus bekerja, Ma. Aku bisa terlambat kalau harus ke sana terlebih dahulu.” “Heh, anak kurang ajar! Aku bilang cepat datang ke sini. Aku kehabisan uang, jadi aku tidak memiliki ongkos untuk pulang!” Sonya mulai membentak. Aleeta mendengus. Ia tahu Venus itu adalah salah satu klub yang sering di datangi Sonya. Klub itu terletak cukup dekat dengan pusat kota. Jadi memerlukan waktu cukup lama untuk sampai di sana. Dan Aleeta bisa terlambat bekerja jika harus menjemput Sonya lebih dulu. Kali ini, sepertinya Aleeta harus menolak. Kalau ia terlambat bekerja dan gajinya di potong, Sonya pasti akan marah juga. “Aku nggak punya uang untuk pergi ke sana, Ma. Bukanya semalam Mama sudah mengambil semua uangku. Kenapa Mama nggak pulang sendiri saja?” “Dengarkan aku, jika kamu tidak mau menjemputku sekarang. Lihat saja apa yang akan aku lakukan padamu nanti. Apakah kamu ingin aku menghukummu, anak sialan?” “Nggak, Ma,” ujar Aleeta lirih. Ia tidak mau di hukum Ibunya, apalagi sampai membuatnya tidak bisa pergi bekerja. Memangnya apa sih yang bisa Aleeta lakukan? Bukankah seharusnya ia sudah tahu kalau melawan Sonya itu sama saja melakukan hal yang sia-sia. “Kalau begitu jemput aku sekarang, bodoh!” Sonya langsung mematikan panggilannya begitu saja setelah puas berteriak dan memarahi Aleeta. Tidak. Sonya belum puas. Ia nanti pasti masih akan kembali membentak dan memarahi Aleeta meski Aleeta sudah menuruti permintaannya. Taksi yang di tumpangi Aleeta berhenti tepat di seberang Venus. Aleeta terpaksa harus menggunakan taksi seperti yang Sonya perintahkan, yang artinya ia harus mengeluarkan biaya lebih. Aleeta menatap sekeliling, tapi ia sama sekali tak melihat keberadaan Sonya. “Mama ke mana, sih?” Gumam Aleeta. Kedua mata Aleeta memicing saat berhasil menemukan keberadaan Ibunya yang tengah berdiri tak jauh dari Venus. Tidak hanya sendiri, wanita itu rupanya sedang berpelukan dengan seorang pria. Aleeta tidak ingin peduli tentang siapa pria tersebut. Yang jelas ia harus segera memanggil dan mengajak Ibunya pulang, supaya ia bisa segera pergi bekerja. “Mama!” Aleeta berteriak dari seberang jalan. Sialnya jalanan di sana jauh lebih ramai daripada jalanan yang ada di sekitar tempat tinggal Aleeta. Meski belum termasuk pusat kota tapi lalu lintasnya sudah cukup lumayan padat. “Ma—“ Aleeta terkejut saat seseorang menabraknya dari belakang hingga membuat ponsel yang ia genggam terlempar jauh, hampir ke tengah jalanan. “Maaf. Saya buru-buru.” Aleeta menatap pria yang baru saja menabraknya. “Ya nggak apa-apa.” Pria itu tampak menatap Aleeta sekilas, sebelum kemudian mengangguk dan berpamitan. “Sekali lagi saya minta maaf,” ujarnya yang langsung berlalu begitu saja meninggalkan Aleeta. Aleeta tersenyum kemudian mendesah. Ya, ini memang bukanlah masalah baginya. Toh, ponsel jadulnya itu tidak akan mati meski terlempar, jatuh beberapa kali dan membentur aspal jalanan. Ponsel miliknya itu memang terbilang cukup tahan banting selama ini, padahal harganya tidak terlalu mahal. Aleeta merasa sedikit beruntung karena masih memiliki ponsel tersebut. Ia segera bergegas melangkah ke tengah jalan untuk mengambil ponsel, sekaligus menemui ibunya. Aleeta baru saja berjongkok ketika ia mendengar suara klakson mobil yang begitu dekat. Ia segera menoleh dan mengerjap kaget saat melihat sebuah mobil berwarna hitam tengah melaju kencang menuju ke arahnya. “Kalau kamu tidak mau bekerja dan mencarikan aku uang. Lebih baik kamu mati saja sana. Dasar anak tidak berguna!” Tiba-tiba ucapan Sonya semalam tergiang begitu saja di kepala Aleeta. Apakah yang di katakan Sonya itu benar akan terjadi hari ini? Aleeta tidak tahu. Yang ia tahu saat ini kematian itu jelas sudah ada di depan matanya. ‘Mungkin ini sudah saatnya,’ gumam Aleeta seraya memejamkan mata. Ia berharap, ini akan membawanya pada istirahat panjang. Tidak ada lagi Ibu yang membentak, tidak ada lagi hari-hari yang menyusahkan. “AWAS!” Kejadian kecelakaan tadi terjadi dengan begitu cepat. Bahkan Aleeta sendiri hampir tidak ingat bagaimana dan seperti apa kejadiannya. Ia hanya ingat saat mobil hitam tadi mendekat ada seorang wanita yang berteriak, lalu mendorong dirinya. Bunyi rem mobil hitam tadi masih terdengar begitu jelas dalam ingatannya. Aleeta ingat ada sebuah benturan, tapi itu bukan antara dirinya dan mobil hitam tersebut. Aleeta hanya terpental dan membentur aspal jalanan sebelum kemudian ia kehilangan kesadaran. Wanita tadi? Seketika Aleeta langsung tersadar. Ia kembali menatap sekeliling dan menyadari kalau dirinya tengah berada di sebuah kamar rumah sakit. “Aw ....” Aleeta merintih saat hendak beranjak bangun. Kepalanya terasa berdenyut, kakinya terasa kaku, dan tangan kanannya juga terasa sakit. Aleeta terdiam sembari mengusap perban pada kepalanya. Jadi, apakah ia masih hidup?“Apa kamu sudah paham?” Tanya Nicholas.Sudah hampir satu jam lamanya, Nicholas mengajari Aleeta tentang bagaimana cara menggunakan smartphone-nya. Pria itu mengajari dengan sangat sabar dan detail, tidak ada yang terlewat satupun. Hanya saja mungkin karena Aleeta baru pertama kali menggunakan smartphone jadinya wanita itu masih terlihat sedikit bingung.Sementara itu, Aleeta yang duduk di sebelah Nicholas hanya diam, tidak menggubris sedikitpun ucapan pria itu. Aleeta hanya terus mengamati layar ponsel yang di pegang Nicholas itu dengan serius. Lalu tiba-tiba Aleeta menunduk, menjatuhkan kepalanya ke bahu Nicholas.“Aleeta ...,” Nicholas menoleh. “Kamu tidur?” Aleeta menggeleng pelan. “Aku nggak tidur. Tenang saja.”“Aku kira kamu ketiduran,” sahut Nicholas.Aleeta lalu mengangkat kepalanya. Memutar posisi kemudian duduk bersila menghadap Nicholas. Dan karena malam ini ia hanya mengenakan gaun tidur pendek, jadi ia harus menarik selimut agar bisa menutupi bagian kaki dan pahanya yan
“Akhirnya kamu pulang juga. Aku sudah menunggumu sejak tadi.” Nicholas yang melihat keberadaan Aleeta langsung cepat-cepat menyembunyikan tangannya di balik punggung. Aleeta tadi belum sempat melihat tangannya, kan? Kalau pun sudah terlanjur melihat semoga saja Aleeta tidak menyadari apa yang saat ini sedang ia bawa. “Nicho, kenapa diam? Bukanya tadi kamu mencariku. Tapi kenapa sekarang hanya diam?” Gerutu Aleeta dengan bibir mengerucut. Nicholas tersenyum. “Kemarilah. Aku punya sesuatu untukmu,” perintahnya pada Aleeta. “Apa?” “Mendekatlah kalau ingin tahu,” ujar Nicholas yang mau tidak mau langsung membuat Aleeta mendekatinya. Nicholas segera merengkuh pinggang Aleeta ketika istrinya itu berdiri di hadapannya. “Nicho, apa yang kamu lakukan? Katanya kamu punya sesuatu untukku. Kenapa jadi memelukku seperti ini?” “Ini ...,” kata Nicholas seraya mengangkat paper bag ponsel yang di bawanya ke hadapan Aleeta. “Aku membelikanmu ponsel.” “P-ponsel?” Aleeta menatap Nichola
“Nona Aleeta, sedang apa Anda di sini?” Aleeta terkejut dan seketika menoleh saat mendengar suara Mary. Ia hanya menggaruk tengkuk, kemudian meringis. Menatap Mary yang berdiri di depan pintu.“Sejak tadi saya mencari-cari, Anda. Ternyata Anda berada di sini,” imbuh Mary.Aleeta langsung berdehem. “Memangnya ada perlu apa kamu mencariku, Mary? Apa Nicho sudah kembali?” Tanyanya.“Tuan belum kembali, Nona. Saya mencari Anda hanya untuk mengatakan kalau sepertinya semur dagingnya sudah matang. Apa saya harus memindahkannya ke wadah, atau di biarkan dulu di atas kompor?”“Ah, itu ... Biarkan di atas kompor saja, Mary. Supaya bumbunya bisa meresap sampai ke dalam dagingnya,” jawab Aleeta. Setelah itu ia kembali sibuk mencari sesuatu di dalam kamar lamanya.Saat Aleeta tengah memasak tadi entah kenapa tiba-tiba ia teringat dengan pil kontrasepsinya. Aleeta baru ingat kalau sejak kembali dari Paris kemarin, ia belum meminu
Begitu sampai di rumah, Nicholas segera menyerahkan kunci mobilnya kepada Steven agar pria itu memindahkan mobilnya ke carport. Sementara Nicholas memasuki rumah bersama Aleeta. “Selamat datang, Tuan dan ... Nona.” Mary yang kebetulan sedang membersihkan ruang tamu terlihat kaget. Hari ini untuk pertama kalinya ia melihat Nicholas dan Aleeta pulang secara bersamaan. Meski Mary ingin sekali bertanya kenapa mereka bisa pulang bersama? Atau mungkin, apakah Nicholas tadi yang menjemput Aleeta? Tapi kemudian Mary sadar. Ia tidak punya hak atas pertanyaan itu. Lagipula, Mary sudah sangat senang bisa melihat Tuan dan Nonanya akur seperti itu. Tanpa harus ia ikut campur ke dalam urusan mereka. “Oh iya, Mary. Apa kamu sudah menyiapkan makan malam untuk kami?” Tanya Nicholas. “Belum, Tuan. Saya tidak tahu kalau Anda dan Nona Aleeta pulang lebih awal hari ini. Kalau begitu saya akan segera menyiapkan makan malam terlebih dahulu.”
“Baiklah kalau begitu,” ujar Nicholas lalu mengeluarkan ponsel.Sonya yang melihat Nicholas mengeluarkan ponselnya pun langsung tersenyum senang. Ia berpikir kalau Nicholas pasti akan mengiriminya uang sekarang. Maka dari itu, Sonya pun juga langsung mengeluarkan ponselnya.“Nomor rekeningku masih sama dengan yang dulu, menantu,” ucap Sonya tanpa malu. Padahal Aleeta yang mendengarnya pun langsung merasa malu. Kenapa ibunya itu selalu mendewakan yang namanya uang? Sejak dulu sampai sekarang yang ibunya pikirkan hanya uang, uang dan uang. Apa tidak ada yang lain?Nicholas menaikkan kedua alisnya. “Apa kamu bilang? Nomor rekening?”Sonya mengangguk. “Ya. Nomor rekeningku masih sama dengan yang dulu.”Nicholas langsung tertawa. “Memangnya siapa yang butuh nomor rekeningmu?”“Bukankah kamu akan mengirimiku uang.” Sonya menatap Nicholas yang masih terus tertawa.“Uang? Ck! Untuk apa aku mengirimu uan
Sonya mengerjap. Merasa kaget dengan kemunculan seseorang yang tiba-tiba saja berdiri di hadapannya, menahan tangannya dan juga ... Melindungi Aleeta dari jangkauannya.Sonya kemudian memicing, menatap sosok pria yang sudah sangat ia kenal tersebut.“Jangan pernah berani kamu sentuh istriku dengan tangan kotormu.” Pria itu mendesis seraya menyentak tangan Sonya dengan kasar.Sonya langsung mengumpat atas perlakuan kasar tersebut. “Sialan! Beraninya kamu!” Teriaknya kesal.Aleeta menatap ibunya yang tampak marah, lalu beralih menatap seseorang yang berdiri di hadapannya. “Nicho.”Nicholas segera menoleh saat Aleeta menyentuh lengannya. “Kamu nggak apa-apa?” Tanyanya lembut.“Aku nggak apa-apa,” jawab Aleeta seraya menggeleng.Nicholas langsung menangkup wajah Aleeta dengan kedua tangannya. Mengamati setiap inci wajah istrinya dengan lekat. Seolah takut jika ada bagian wajah Aleeta yang telah tersentuh oleh t
Sonya terus mengumpat sepanjang perjalanan. Merasakan perutnya yang begitu begah karena ia sudah langsung harus berjalan setelah makan. Sonya menghentikan langkah saat ia melewati minimarket. “Sepertinya akan lebih baik jika aku duduk di sana terlebih dahulu,” ujar Sonya seraya menatap kursi kosong yang ada di depan minimarket.Namun, saat ia hendak melangkahkan kakinya, tanpa sengaja ekor matanya menangkap sekelebatan bayangan sosok Aleeta di depan sana. Sonya bahkan sampai terdiam. Antara percaya dan tidak percaya dengan bayangan tersebut. Apakah itu benar-benar hanya bayangan atau ... Memang Aleeta yang ia lihat?Sonya lalu meluruskan pandangannya ke arah depan. “Apa itu benar-benar Aleeta?” Gumam Sonya dengan mata menyipit. Namun, beberapa detik kemudian mata yang menyipit itu berubah menjadi memelotot. “Benar. Sepertinya itu memang Aleeta,” ujar Sonya seraya terus menatap Aleeta yang tengah memasukkan minumannya ke dalam
“Bagaimana? Kamu sudah menemukannya sekarang?” Sonya memicing pada seorang pria yang baru saja memasuki klub yang biasa ia gunakan sebagai tempat berjudi bersama dengan para geng sosialitanya. Pria berpotongan botak itu hanya tersenyum seraya duduk di sebelah Sonya. “Aku belum—““Apa kamu bilang? Belum?! Bukankah kamu sendiri yang bilang kalau waktu itu pernah melihat keberadaannya di dekat jalan green hill?!” Sonya semakin menatap marah pada pria botak tersebut.Pria botak bernama Roi itu mendesah. “Santailah sedikit, Sayang. Kamu sudah terlalu banyak marah akhir-akhir ini.”“Bagaimana aku tidak marah? Sia-sia aku mengeluarkan uang untukmu dan juga anak buahmu yang tidak berguna itu!” Ketus Sonya.Sejak Sonya memutuskan untuk mencari keberadaan Aleeta. Sejak saat itu juga Sonya rela mengeluarkan uang untuk membayar orang-orang suruhannya agar ia bisa segera menemukan keberadaan Aleeta di pusat kota ini. Sonya sadar
“Sekarang aku tahu bagaimana wajah orang bodoh yang sesungguhnya.” Seharusnya Nicholas marah oleh kalimat yang Lukas katakan. Tapi kali ini, ia tidak marah sama sekali. Nicholas menutup pintu mobilnya dengan santai, lalu berjalan memasuki kantornya.“Sudah kuduga, kamu benar-benar terlihat seperti orang bodoh,” sambung Lukas.“Apa masalahmu sebenarnya? Kenapa kamu bisa ada di sini sepagi ini?” Nicholas mengangkat wajah dan menatap saudara angkatnya.“Aku menunggumu.” “Wah, selama aku nggak ada di sini ternyata kamu sudah berubah menjadi orang yang perhatian, ya,” cibir Nicholas seraya tersenyum di buat-buat.Lukas mendengus. “Kamu terlihat semakin bodoh saat tersenyum seperti itu.”Nicholas langsung terkekeh. “Terima kasih atas pujiannya, Luke.”Mereka lalu masuk ke dalam lift. Dan keluar ketika lift sudah terbuka di lantai tujuan mereka, yaitu ruangan Nicholas.“Apa kamu nggak meras
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments