“Maafkan aku, Aleeta. Aku tidak bisa membantumu.”
Seketika bahu Aleeta merosot lesu saat mendengar jawaban dari Thomas—Bos di Cafe tempat ia bekerja. Di jam makan siangnya ini, Aleeta menyempatkan diri untuk menemui Thomas di ruangan kerja pria itu. Ia sudah mengatakan alasannya kepada Thomas untuk apa ia sampai harus meminjam uang, tapi ternyata Thomas tidak bisa membantu Aleeta. “Kamu pasti berpikir kalau aku ini pelit,” imbuh Thomas. “Nggak, Thom. Sungguh aku nggak berpikiran seperti itu,” sahut Aleeta sembari menggeleng. Thomas hanya bisa terkekeh kecil. “Berpikiran seperti itu juga tidak masalah, Aleeta. Orang-orang pasti berpikir kalau Cafeku ini ramai, dan untung yang aku dapatkan pasti juga lumayan. Tapi kenyataannya tidak seperti itu.” Aleeta hanya terdiam menatap pria yang selama beberapa tahun ini menjadi Bosnya. “Aku punya banyak sekali tanggungan yang harus aku bayar setiap bulannya. Termasuk tempat ini, tempat tinggalku. Gaji kalian. Dan percayalah, aku rela menghemat kebutuhan hidupku demi memberikan gaji yang layak kepada kalian. Bagiku yang terpenting itu adalah bagaimana Cafe ini bisa tetap berjalan, dan bagaimana cara aku bisa menggaji karyawanku dengan baik.” Aleeta menunduk. Ia paham sekali dengan apa yang dikatakan oleh Thomas. Ia tidak boleh egois dan memaksa Thomas untuk membantunya. Lagipula delapan ratus juta memang angka yang cukup besar. Meski Cafe milik Thomas ini selalu ramai pengunjung, tapi seharusnya Aleeta tidak perlu tahu seberapa persen keuntungan yang di dapatkan oleh Thomas. Yang pasti selama Aleeta bekerja di sini dan Thomas menggajinya dengan layak itu sudah lebih dari cukup. Thomas punya kebutuhannya sendiri, dan Aleeta paham akan hal itu. “Sekali lagi maafkan aku, Aleeta. Maaf karena aku tidak bisa membantumu,” imbuh Thomas. Aleeta menggeleng. “Seharusnya aku yang meminta maaf, Thom. Bukan kamu. Maaf karena aku sudah lancang dan mengganggumu.” “Hei, kamu tidak lancang, Aleeta. Aku tahu kamu sedang berusaha. Justru aku yang harus meminta maaf karena aku tidak bisa membantumu.” Tidak. Seharusnya Aleeta lah yang harus meminta maaf. Hari ini Aleeta sudah melibatkan dua orang sekaligus ke dalam urusan yang seharusnya menjadi tanggung jawab Aleeta sendiri, bukan orang lain. Lalu sekarang, kemana Aleeta harus mencari uang sebesar delapan ratus juta? Apa ia jujur saja ke wanita glamor itu kalau ia tidak bisa mencari uang sebanyak delapan ratus juta? Tapi bagaimana kalau wanita itu benar-benar memasukkan Aleeta ke dalam penjara? Apa Aleeta terima saja, toh di penjara nanti ia justru bisa bebas dari gangguan Sonya. Argh, Aleeta benar-benar merasa frustrasi. *** Jam sudah menunjuk di angka sepuluh malam, dan Aleeta belum juga berhasil mendapatkan sejumlah uang untuk mengganti rugi sebuah tas yang di rusak oleh Ibunya. Seharian ini Aleeta sudah berusaha mati-matian untuk memikirkan bagaimana cara ia mendapatkan uang? Ia benar-benar merasa begitu lelah dan ingin menyerah. “Aku duluan, ya,” pamit Aleeta kepada Mira dan Johan yang juga sudah bersiap untuk pulang. Hari ini Aleeta terpaksa tidak berangkat bekerja ke tempat Miko, demi pergi menyelesaikan masalah Ibunya. Masalah yang seharian ini berhasil membuat kepalanya terasa ingin pecah. Tidak ada cara lain, Aleeta harus menemui wanita glamor itu dan mengatakan kalau ia belum bisa mengganti rugi tasnya hari ini. Begitu sampai di klub pagi tadi. Aleeta segera bergegas masuk ke dalam, menatap sekeliling, berharap bisa menemukan wanita glamor pagi tadi. Tapi pencahayaan yang minim tersebut benar-benar berhasil membuat Aleeta merasa kesulitan. “Heh, mana uang ganti ruginya?!” Aleeta terkesiap saat merasakan sebuah tangan mencengkeram lengannya kuat. Ternyata wanita itu yang lebih dulu berhasil menemukan Aleeta. “S-sebelumnya aku ingin minta maaf,” jawab Aleeta mencoba memberanikan diri. Apalagi saat ini wanita glamor yang ada di hadapannya tengah di kawal dua orang pria yang tampak seperti bodyguard. “Apa maksudmu?!” Wanita itu bertanya dengan nada tinggi. Aleeta mengambil napas, lalu membuangnya. “Maksudku, aku benar-benar minta maaf karena aku belum bisa mengganti rugi tasmu hari ini.” “Jadi kamu belum membawa uang delapan ratus juta itu sekarang?” Wanita itu memicing ke arah Aleeta. Sementara Aleeta hanya bisa mengangguk. “Bawa anak ini.” Kedua mata Aleeta memelotot ketika wanita itu memerintahkan dua pria tadi untuk menyeretnya. “Hei, lepaskan aku!” “Diam!” Bentak wanita itu. “Kalian ingin membawaku kemana?!” Aleeta terus memberontak saat kedua pria itu terus saja menyeretnya menjauh dari kumpulan orang-orang yang ada di klub tersebut. “Lepaskan aku!” “Aku bilang diam!” Bentak wanita glamor itu sembari melayangkan satu tamparan yang berhasil mengenai pipi kanan Aleeta. Rasanya sungguh menyakitkan. Aleeta tidak tahu harus berbuat apa saat wanita, dan kedua pria ini terus menyeret tubuhnya. Aleeta benar-benar takut. Apa yang akan orang-orang ini lakukan padanya? Kepada siapa Aleeta harus meminta tolong? “Tolong, lepaskan aku. Aku berjanji akan segera mengganti rugi,” pinta Aleeta. Wanita itu berdecih, lalu berhenti tepat di depan Aleeta. “Dengar anak manis, aku punya penawaran khusus untukmu malam ini.” “P-penawaran apa?” Tanya Aleeta bingung. Wanita glamor itu tersenyum, lalu membuka sebuah ruangan dimana di dalamnya sudah ada seorang pria berperut buncit yang sedang menikmati segelas minuman. Ketakutan Aleeta semakin bertambah besar saat pria itu menoleh. Pria itu menatapnya dengan tatapan kurang ajar, menelisik dari ujung kaki hingga ke ujung kepala. “Begini saja, kamu boleh tidak mengganti rugi uang tas yang sudah di rusak oleh Ibumu itu dengan syarat ...” wanita itu mendekat, dan membuat Aleeta semakin merasa ketakutan. “Kamu harus melayani pria yang ada di dalam sana.” Aleeta menggeleng. Sialan! Ia mengumpat setengah mati di dalam hatinya. Kenapa hidupnya terasa begitu menyedihkan? Bukan hanya Ibunya saja, bahkan orang lain pun juga menyuruhnya untuk menjual diri kepada pria berhidung belang. “Nggak sudi! Kamu pikir aku ini wanita macam apa?!” Teriak Aleeta. “Dengarkan aku!” Wanita itu langsung menjambak rambut Aleeta. “Kamu jangan merasa sok suci, anak manis. Kamu tahu kan apa yang sering di lakukan Ibumu setiap malam. Dan harusnya kamu sebagai anak juga bisa melakukan apa yang di lakukan oleh Ibu sialanmu itu.” “Aku bukan wanita murahan!” Ketus Aleeta. Wanita itu terkekeh. “Kalau begitu berikan aku uang delapan ratus juta itu sekarang.” “Aku sudah bilang, aku belum punya uang itu sekarang. Akan aku usahakan besok,” jawab Aleeta dengan nada pasrah. “Kamu pikir kamu ini siapa? Sampai aku harus memberikan belas kasihanku padamu!” Bentak wanita glamor itu sembari menghempaskan kepala Aleeta. “Tapi bukan aku yang merusak tasmu! Harusnya kamu meminta ganti rugi itu pada Ibuku!” Aleeta balas berteriak. Lagi-lagi wanita itu tertawa. “Bukankah kamu anak yang baik. Apa kamu tidak ingin membayar ganti rugi itu demi Ibumu? Apa kamu tidak kasihan pada Ibumu yang sudah tua itu?” Sialan! Lagi-lagi Aleeta hanya bisa mengumpat dalam hati. Ia harus bisa kabur. Aleeta harus mencari cara agar bisa pergi dari tempat ini sekarang juga. Ia tidak sudi di jual oleh wanita glamor itu. “Bawa dia masuk!” Perintah wanita glamor itu kepada dua bodyguardnya. Saat kedua bodyguard itu hendak membawa Aleeta masuk, Aleeta dengan cepat mengayunkan kakinya dan menendang tepat di pusat tubuh dari kedua pria tersebut. Aleeta berhasil melepaskan tangannya saat kedua pria itu sedang merasakan sakit akibat tendangannya. Ia segera memanfaatkan kesempatan itu untuk berlari, pergi secepat mungkin dari tempat tersebut. “Heh, mau kemana kamu?! Kalian, cepat kejar anak itu!” Gawat. Aleeta harus berlari cepat sebelum kedua pria itu kembali menangkapnya. Tapi saat Aleeta hendak berbelok, tanpa sengaja ia menabrak seseorang yang sedang berjalan berlawanan arah dengan dirinya. Sial! Apa memang hidup Aleeta harus seperti ini? Aleeta mendongak, bersiap untuk kembali berlari saat tiba-tiba ia menyadari jika orang yang baru saja di tabraknya adalah .... “Nicholas.”Nicholas menghentikan mobil tepat saat mobil yang ada di depannya berhenti. Hari ini ia ada janji dengan salah satu rekan bisnis dari perusahaannya. Rekan bisnisnya tersebut mengundang Nicholas datang ke sebuah klub untuk merayakan kerja sama yang sedang di jalani perusahaan mereka. Kali ini Nicholas datang bersama Julian—sepupunya, karena Lukas sedang tidak bisa menemaninya. Saat Nicholas melangkah keluar mobil, tiba-tiba ponselnya berbunyi.“Ma ....”“Kamu sudah pulang ke apartemen?”“Belum, Ma. Aku sedang menghadiri acara yang di buat oleh salah satu rekan bisnisku di perusahaan.”“Ya sudah. Jangan pulang terlalu malam. Dan ingat, jangan sampai pulang dalam keadaan mabuk, Nicholas.”“Iya, Ma.”Nicholas tersenyum tipis saat panggilan dengan Ibunya—Karina terputus. Perlu di akui, sejak kematian Sesilia, hidup Nicholas memang mengalami banyak sekali perubahan.Ia jadi lebih sering pergi ke sebua
“Lepaskan wanita itu.”Baik kedua pria yang sedang menyeret Aleeta maupun wanita glamor tadi seketika langsung berhenti melangkah. Mereka menatap Nicholas yang saat ini sudah berdiri di belakang mereka. Tatapannya dingin dan siap untuk membunuh. “Ada apa, tampan? Kenapa tiba-tiba kamu ingin aku melepaskan anak manis ini? Bukankah tadi kamu bilang tidak ingin menolongnya?” Cibir wanita glamor tersebut.“Aku bilang lepaskan!” Nicholas menarik lengan Aleeta secara kasar hingga berhasil terlepas dari genggaman salah satu bodyguard tersebut.“Heh, apa-apaan kamu?! Anak itu milikku. Kembalikan dia padaku!” Teriak wanita glamor itu.Nicholas bisa melihat Aleeta menggeleng dengan tangan yang gemetar. Dan lagi-lagi perasaan itu kembali mengacaukan pikiran Nicholas. Terlebih saat melihat Aleeta meneteskan air matanya lagi. Sial.Selama ini Nicholas memang tidak suka melihat seorang wanita menangis. Nicholas hanya m
“Temani aku tidur malam ini. Dan berikan servis yang sesuai dengan uang yang sudah aku keluarkan untukmu.”Jantung Aleeta nyaris berhenti berdetak ketika mendengar hal itu. Persyaratan macam apa itu? Ini sama halnya Aleeta keluar dari kandang buaya, lalu kembali terjebak ke dalam kandang harimau.“Maksudmu, aku harus tidur denganmu sebagai syarat dari pertolonganmu tadi, begitu?!” Aleeta menatap Nicholas dengan tatapan marah.“Ya. Bukankah kamu sendiri yang bilang, kalau kamu bersedia melakukan apapun jika aku mau menolongmu? Seharusnya kamu berterima kasih padaku sekarang.”Aleeta menggeleng. Ia memang mengatakan hal itu tadi, tapi itu bukan berarti ia harus tidur bersama dengan Nicholas. “Ini nggak benar,” ujar Aleeta pelan. “Aku memang bersedia melakukan apapun jika kamu mau menolongku. Tapi bukan seperti ini. Aku akan keluar dari sini sekarang.”Aleeta membalikkan tubuh. Ia berniat membuka pintu tapi pintu itu ti
“Buka pakaianmu.” Aleeta memandang Nicholas dengan tatapan kosong. Jujur ia merasa begitu takut. Tatapan Nicholas sangat tidak bersahabat, dan Aleeta cukup sadar diri bahwa ia tak perlu mengharapkan perlakuan baik dari pria itu. Aleeta tahu, Nicholas sangat ingin menyiksanya. Pria itu pasti ingin meluapkan semua kebencian itu pada dirinya malam ini. “Aku bilang buka pakaianmu!” Nicholas mulai membentak marah. Aleeta terkesiap. Dengan tangan gemetar, ia mulai melepaskan satu persatu kancing kemeja navy yang ia kenakan. Rasanya benar-benar sangat menyakitkan saat ia harus merendahkan dirinya sendiri seperti saat ini. Tidak hanya kemejanya saja, setelah Aleeta berhasil melepas kemeja itu dari tubuhnya, ia masih harus membuka celana jeans-nya sendiri. Kini Aleeta hanya berdiri dengan mengenakan bra dan celana dalam di hadapan Nicholas yang menatapnya intens, menilai dan sinis. Sebisa mungkin Aleeta menahan diri untuk tidak
Aleeta turun di halte bus sembari merapatkan jaket. Ia melangkah lunglai menuju gang kecil yang akan membawanya ke kontrakan yang selama bertahun-tahun ini menjadi tempat tinggalnya. Rasanya lelah luar biasa. Aleeta melangkah pelan, bahkan sesekali berhenti, menatap ujung sepatunya dengan pikiran kosong. Kemudian Aleeta kembali melangkah menuju kontrakannya. Dalam satu hari ia harus bekerja di dua tempat sekaligus. Mulai dari pagi hingga menjelang pagi lagi. Tubuh Aleeta bahkan sampai terlihat begitu kurus dan pucat dengan lingkaran hitam di bawah matanya yang setiap hari semakin bertambah kentara. Terkadang tubuhnya juga terasa lemah karena kekurangan jam istirahat. Tapi Aleeta tidak boleh mengeluh. Aleeta menarik napas dalam-dalam dan membuka pintu rumah. Belum sempat pintu itu tertutup, dia sudah mendengar seruan yang memekakkan telinganya. “Mana uangku?!” Aleeta mendesah lelah. Ia tidak kaget lagi mendapati Sonya menunggu kepulangannya di balik pintu. Bukan, bukan kepulangan
“Oh, sudah sadar rupanya?” Suara itu membuyarkan lamunan Aleeta. Ia segera menoleh dan menemukan Sonya yang sedang berdiri di dekat pintu. “Aku kira kamu akan mati dalam kecelakaan tadi?” Lagi-lagi Sonya kembali bersuara. Aleeta memejamkan mata sebelum kemudian ia berkata. “Ya. Jika bisa memilih aku memang lebih baik memilih untuk mati dalam kecelakaan tadi,” desisnya tajam. Sonya memicing. “Lalu kenapa kamu tidak mati saja, heh? Dari pada membuatku repot begini. Kamu tahu berapa banyak waktuku yang terbuang hanya untuk menunggumu di sini?” Aleeta tidak habis pikir. Ia baru saja terbangun beberapa menit yang lalu. Tapi kenapa Sonya sudah tega mengatakan hal seperti itu pada dirinya? Apa tidak ada hal lain yang bisa Ibunya katakan selain mengatakan tentang kematiannya? Apa memang sebegitu tidak berharganya Aleeta di mata Ibunya, hingga wanita itu mengharapkan kematiannya? “Ma ...” Aleeta menatap Sonya. “Kalau Mama ingin aku mati, kenapa Mama nggak membiarkan aku tergeletak di jal
“Tenanglah, Nicholas. Semuanya pasti akan baik-baik saja.” Karina—Ibu Nicholas berusaha menenangkan putranya.Karina tiba di rumah sakit satu jam setelah kecelakaan itu terjadi.“Bagaimana aku bisa tenang, Ma. Di sana ...” Nicholas tak sanggup melanjutkan perkataan.Karina mengangguk, paham dengan apa yang Nicholas rasakan. Ia hanya terus memeluk sembari mengusap lengan putranya sampai tiba-tiba pintu ruang operasi itu terbuka. Nicholas segera berdiri, menghapus air matanya dan menghampiri dokter yang baru saja keluar dari ruang operasi.“Dokter, bagaimana keadaannya, Dok? Bagaimana keadaan calon istri saya?” Tanya Nicholas tak sabaran.Dokter Moses langsung menatap Nicholas dengan tatapan yang tak bisa Nicholas artikan sama sekali. Tidak. Nicholas hanya tidak sanggup menerima jika apa yang akan di katakan oleh Dokter Moses adalah hal yang paling tidak ingin ia dengar sekarang. “Maafkan kami, Tuan Nicholas ...” Nicholas hanya bisa menggeleng saat dokter mengatakan hal tersebut. “Kami
Hari ini sudah genap tiga bulan sejak kecelakaan itu terjadi. Kecelakaan yang membuat seorang wanita yang tidak tahu apa-apa harus rela kehilangan nyawa demi Aleeta. Jujur, jika boleh mengakui sampai detik ini Aleeta juga masih merasa begitu bersalah. Wanita itu begitu baik, seharusnya dia tidak perlu menolongnya. Biarkan saja dirinya yang mati dalam kecelakaan itu. Aleeta mendesah, bagaimanapun juga ia tidak bisa memutar waktu. Memangnya ia siapa? Mungkin saja semua itu memang sudah menjadi takdir dari Tuhan.Tapi keluarga wanita itu ....Aleeta menggeleng. Ia tidak ingin mengingat tentang keluarga wanita itu. Terutama pada pria yang dengan terang-terangan mengatainya seorang pembunuh. Aleeta kembali menggeleng. Aleeta takut. Meski Ibu Nicholas maupun pria satunya yang tidak Aleeta ketahui namanya itu tidak ikut menuduhnya sebagai pembunuh. Tapi tetap saja, Aleeta merasa ketakutan saat mengingat tatapan mematikan yang penuh kebencian dari kedua bola mata Nicholas.Nicholas Axel Fre
“Buka pakaianmu.” Aleeta memandang Nicholas dengan tatapan kosong. Jujur ia merasa begitu takut. Tatapan Nicholas sangat tidak bersahabat, dan Aleeta cukup sadar diri bahwa ia tak perlu mengharapkan perlakuan baik dari pria itu. Aleeta tahu, Nicholas sangat ingin menyiksanya. Pria itu pasti ingin meluapkan semua kebencian itu pada dirinya malam ini. “Aku bilang buka pakaianmu!” Nicholas mulai membentak marah. Aleeta terkesiap. Dengan tangan gemetar, ia mulai melepaskan satu persatu kancing kemeja navy yang ia kenakan. Rasanya benar-benar sangat menyakitkan saat ia harus merendahkan dirinya sendiri seperti saat ini. Tidak hanya kemejanya saja, setelah Aleeta berhasil melepas kemeja itu dari tubuhnya, ia masih harus membuka celana jeans-nya sendiri. Kini Aleeta hanya berdiri dengan mengenakan bra dan celana dalam di hadapan Nicholas yang menatapnya intens, menilai dan sinis. Sebisa mungkin Aleeta menahan diri untuk tidak
“Temani aku tidur malam ini. Dan berikan servis yang sesuai dengan uang yang sudah aku keluarkan untukmu.”Jantung Aleeta nyaris berhenti berdetak ketika mendengar hal itu. Persyaratan macam apa itu? Ini sama halnya Aleeta keluar dari kandang buaya, lalu kembali terjebak ke dalam kandang harimau.“Maksudmu, aku harus tidur denganmu sebagai syarat dari pertolonganmu tadi, begitu?!” Aleeta menatap Nicholas dengan tatapan marah.“Ya. Bukankah kamu sendiri yang bilang, kalau kamu bersedia melakukan apapun jika aku mau menolongmu? Seharusnya kamu berterima kasih padaku sekarang.”Aleeta menggeleng. Ia memang mengatakan hal itu tadi, tapi itu bukan berarti ia harus tidur bersama dengan Nicholas. “Ini nggak benar,” ujar Aleeta pelan. “Aku memang bersedia melakukan apapun jika kamu mau menolongku. Tapi bukan seperti ini. Aku akan keluar dari sini sekarang.”Aleeta membalikkan tubuh. Ia berniat membuka pintu tapi pintu itu ti
“Lepaskan wanita itu.”Baik kedua pria yang sedang menyeret Aleeta maupun wanita glamor tadi seketika langsung berhenti melangkah. Mereka menatap Nicholas yang saat ini sudah berdiri di belakang mereka. Tatapannya dingin dan siap untuk membunuh. “Ada apa, tampan? Kenapa tiba-tiba kamu ingin aku melepaskan anak manis ini? Bukankah tadi kamu bilang tidak ingin menolongnya?” Cibir wanita glamor tersebut.“Aku bilang lepaskan!” Nicholas menarik lengan Aleeta secara kasar hingga berhasil terlepas dari genggaman salah satu bodyguard tersebut.“Heh, apa-apaan kamu?! Anak itu milikku. Kembalikan dia padaku!” Teriak wanita glamor itu.Nicholas bisa melihat Aleeta menggeleng dengan tangan yang gemetar. Dan lagi-lagi perasaan itu kembali mengacaukan pikiran Nicholas. Terlebih saat melihat Aleeta meneteskan air matanya lagi. Sial.Selama ini Nicholas memang tidak suka melihat seorang wanita menangis. Nicholas hanya m
Nicholas menghentikan mobil tepat saat mobil yang ada di depannya berhenti. Hari ini ia ada janji dengan salah satu rekan bisnis dari perusahaannya. Rekan bisnisnya tersebut mengundang Nicholas datang ke sebuah klub untuk merayakan kerja sama yang sedang di jalani perusahaan mereka. Kali ini Nicholas datang bersama Julian—sepupunya, karena Lukas sedang tidak bisa menemaninya. Saat Nicholas melangkah keluar mobil, tiba-tiba ponselnya berbunyi.“Ma ....”“Kamu sudah pulang ke apartemen?”“Belum, Ma. Aku sedang menghadiri acara yang di buat oleh salah satu rekan bisnisku di perusahaan.”“Ya sudah. Jangan pulang terlalu malam. Dan ingat, jangan sampai pulang dalam keadaan mabuk, Nicholas.”“Iya, Ma.”Nicholas tersenyum tipis saat panggilan dengan Ibunya—Karina terputus. Perlu di akui, sejak kematian Sesilia, hidup Nicholas memang mengalami banyak sekali perubahan.Ia jadi lebih sering pergi ke sebua
“Maafkan aku, Aleeta. Aku tidak bisa membantumu.”Seketika bahu Aleeta merosot lesu saat mendengar jawaban dari Thomas—Bos di Cafe tempat ia bekerja. Di jam makan siangnya ini, Aleeta menyempatkan diri untuk menemui Thomas di ruangan kerja pria itu. Ia sudah mengatakan alasannya kepada Thomas untuk apa ia sampai harus meminjam uang, tapi ternyata Thomas tidak bisa membantu Aleeta.“Kamu pasti berpikir kalau aku ini pelit,” imbuh Thomas.“Nggak, Thom. Sungguh aku nggak berpikiran seperti itu,” sahut Aleeta sembari menggeleng.Thomas hanya bisa terkekeh kecil. “Berpikiran seperti itu juga tidak masalah, Aleeta. Orang-orang pasti berpikir kalau Cafeku ini ramai, dan untung yang aku dapatkan pasti juga lumayan. Tapi kenyataannya tidak seperti itu.”Aleeta hanya terdiam menatap pria yang selama beberapa tahun ini menjadi Bosnya.“Aku punya banyak sekali tanggungan yang harus aku bayar setiap bulannya. Termasuk tempat ini, tempat tinggalku. Gaji kalian. Dan percayalah, aku rela menghemat ke
Hari ini sudah genap tiga bulan sejak kecelakaan itu terjadi. Kecelakaan yang membuat seorang wanita yang tidak tahu apa-apa harus rela kehilangan nyawa demi Aleeta. Jujur, jika boleh mengakui sampai detik ini Aleeta juga masih merasa begitu bersalah. Wanita itu begitu baik, seharusnya dia tidak perlu menolongnya. Biarkan saja dirinya yang mati dalam kecelakaan itu. Aleeta mendesah, bagaimanapun juga ia tidak bisa memutar waktu. Memangnya ia siapa? Mungkin saja semua itu memang sudah menjadi takdir dari Tuhan.Tapi keluarga wanita itu ....Aleeta menggeleng. Ia tidak ingin mengingat tentang keluarga wanita itu. Terutama pada pria yang dengan terang-terangan mengatainya seorang pembunuh. Aleeta kembali menggeleng. Aleeta takut. Meski Ibu Nicholas maupun pria satunya yang tidak Aleeta ketahui namanya itu tidak ikut menuduhnya sebagai pembunuh. Tapi tetap saja, Aleeta merasa ketakutan saat mengingat tatapan mematikan yang penuh kebencian dari kedua bola mata Nicholas.Nicholas Axel Fre
“Tenanglah, Nicholas. Semuanya pasti akan baik-baik saja.” Karina—Ibu Nicholas berusaha menenangkan putranya.Karina tiba di rumah sakit satu jam setelah kecelakaan itu terjadi.“Bagaimana aku bisa tenang, Ma. Di sana ...” Nicholas tak sanggup melanjutkan perkataan.Karina mengangguk, paham dengan apa yang Nicholas rasakan. Ia hanya terus memeluk sembari mengusap lengan putranya sampai tiba-tiba pintu ruang operasi itu terbuka. Nicholas segera berdiri, menghapus air matanya dan menghampiri dokter yang baru saja keluar dari ruang operasi.“Dokter, bagaimana keadaannya, Dok? Bagaimana keadaan calon istri saya?” Tanya Nicholas tak sabaran.Dokter Moses langsung menatap Nicholas dengan tatapan yang tak bisa Nicholas artikan sama sekali. Tidak. Nicholas hanya tidak sanggup menerima jika apa yang akan di katakan oleh Dokter Moses adalah hal yang paling tidak ingin ia dengar sekarang. “Maafkan kami, Tuan Nicholas ...” Nicholas hanya bisa menggeleng saat dokter mengatakan hal tersebut. “Kami
“Oh, sudah sadar rupanya?” Suara itu membuyarkan lamunan Aleeta. Ia segera menoleh dan menemukan Sonya yang sedang berdiri di dekat pintu. “Aku kira kamu akan mati dalam kecelakaan tadi?” Lagi-lagi Sonya kembali bersuara. Aleeta memejamkan mata sebelum kemudian ia berkata. “Ya. Jika bisa memilih aku memang lebih baik memilih untuk mati dalam kecelakaan tadi,” desisnya tajam. Sonya memicing. “Lalu kenapa kamu tidak mati saja, heh? Dari pada membuatku repot begini. Kamu tahu berapa banyak waktuku yang terbuang hanya untuk menunggumu di sini?” Aleeta tidak habis pikir. Ia baru saja terbangun beberapa menit yang lalu. Tapi kenapa Sonya sudah tega mengatakan hal seperti itu pada dirinya? Apa tidak ada hal lain yang bisa Ibunya katakan selain mengatakan tentang kematiannya? Apa memang sebegitu tidak berharganya Aleeta di mata Ibunya, hingga wanita itu mengharapkan kematiannya? “Ma ...” Aleeta menatap Sonya. “Kalau Mama ingin aku mati, kenapa Mama nggak membiarkan aku tergeletak di jal
Aleeta turun di halte bus sembari merapatkan jaket. Ia melangkah lunglai menuju gang kecil yang akan membawanya ke kontrakan yang selama bertahun-tahun ini menjadi tempat tinggalnya. Rasanya lelah luar biasa. Aleeta melangkah pelan, bahkan sesekali berhenti, menatap ujung sepatunya dengan pikiran kosong. Kemudian Aleeta kembali melangkah menuju kontrakannya. Dalam satu hari ia harus bekerja di dua tempat sekaligus. Mulai dari pagi hingga menjelang pagi lagi. Tubuh Aleeta bahkan sampai terlihat begitu kurus dan pucat dengan lingkaran hitam di bawah matanya yang setiap hari semakin bertambah kentara. Terkadang tubuhnya juga terasa lemah karena kekurangan jam istirahat. Tapi Aleeta tidak boleh mengeluh. Aleeta menarik napas dalam-dalam dan membuka pintu rumah. Belum sempat pintu itu tertutup, dia sudah mendengar seruan yang memekakkan telinganya. “Mana uangku?!” Aleeta mendesah lelah. Ia tidak kaget lagi mendapati Sonya menunggu kepulangannya di balik pintu. Bukan, bukan kepulangan