“Lepaskan wanita itu.”
Baik kedua pria yang sedang menyeret Aleeta maupun wanita glamor tadi seketika langsung berhenti melangkah. Mereka menatap Nicholas yang saat ini sudah berdiri di belakang mereka. Tatapannya dingin dan siap untuk membunuh. “Ada apa, tampan? Kenapa tiba-tiba kamu ingin aku melepaskan anak manis ini? Bukankah tadi kamu bilang tidak ingin menolongnya?” Cibir wanita glamor tersebut. “Aku bilang lepaskan!” Nicholas menarik lengan Aleeta secara kasar hingga berhasil terlepas dari genggaman salah satu bodyguard tersebut. “Heh, apa-apaan kamu?! Anak itu milikku. Kembalikan dia padaku!” Teriak wanita glamor itu. Nicholas bisa melihat Aleeta menggeleng dengan tangan yang gemetar. Dan lagi-lagi perasaan itu kembali mengacaukan pikiran Nicholas. Terlebih saat melihat Aleeta meneteskan air matanya lagi. Sial. Selama ini Nicholas memang tidak suka melihat seorang wanita menangis. Nicholas hanya merasa tidak tega melihatnya. Tapi itu hanya berlaku untuk orang-orang yang di cintainya saja. Tidak untuk seorang pembunuh calon istri dan juga anaknya. Seharusnya Nicholas tidak boleh seperti ini. Tapi kenapa justru perasaannya merasakan hal yang sebaliknya? “Kamu ingin kembali kepada mereka?” Tanya Nicholas dingin. Aleeta menggeleng. “Jangan. Aku mohon bantu aku.” “Bagaimana jika aku tidak ingin membantumu?” Nicholas menatap tajam ke arah Aleeta. “Cepat kembalikan anak itu padaku!” Wanita glamor itu hendak menarik Aleeta, tapi untungnya Julian berhasil menahannya. “Lepaskan tanganku! Anak ini punya hutang padaku. Dia tidak bisa membayarnya jadi dia harus ikut denganku.” “Nggak! Aku nggak punya hutang apapun padamu. Aku sudah bilang itu perbuatan Ibuku. Aku sanggup untuk mengganti rugi tasmu. Tapi bukan hari ini!” Teriak Aleeta. “Bisa jelaskan apa maksud kalian?” Tanya Nicholas penasaran. “Dia berjanji akan mengganti rugi tasku yang telah di rusak oleh Ibunya. Dia berjanji akan membawa uang delapan ratus juta malam ini, tapi ternyata anak ini tidak membawakannya sama sekali.” Wanita glamor itu menjelaskan. “Aku kan sudah bilang, hari ini aku belum bisa. Besok akan aku usahakan,” sahut Aleeta. “Ya dan besok kamu akan bilang kalau kamu belum bisa menggantinya, dan akan meminta waktu lagi besoknya, dan besoknya lagi. Begitu?! Aku ini bukan Ibu peri yang bisa dengan mudah mengabulkan permintaanmu, anak manis!” Desis wanita glamor tersebut. Nicholas tersenyum tipis ketika mendengar perdebatan dua wanita beda usia tersebut. Cukup menarik. “Aku setuju dengan ucapanmu, Nyonya. Setiap orang yang berhutang memang tidak pantas untuk di beri kesempatan. Mereka hanya akan membuat kita rugi,” ujarnya sembari melirik Aleeta. “Nich—“ Julian hendak mendekat tapi kembali berhenti saat Nicholas memberi tatapan penuh peringatan ke arahnya. “Nggak itu nggak benar. Aku nggak berhutang padanya. Aku hanya mencoba membantu Ibuku untuk mengganti rugi tas yang sudah di rusak olehnya. Apa salahnya jika aku meminta waktu kalau hari ini aku memang benar-benar belum bisa mendapatkan uang itu?” Aleeta menatap Nicholas. “Itu bukan urusanku,” desis Nicholas tajam. Aleeta menggeleng. Ia pikir Nicholas akan menolongnya tapi ternyata ia salah. “Bagus. Kalau begitu berikan anak ini padaku.” Wanita glamor itu kembali bersuara. “Jangan. Aku mohon tolong aku.” Nicholas sedikit terkejut saat tiba-tiba Aleeta bersujud begitu saja di hadapan kakinya. “Tolong ... Aku berjanji akan melakukan apapun yang kamu minta jika kamu bersedia untuk menolongku.” “Apapun?” Tanya Nicholas sembari menaikkan sebelah alisnya. “Ya, apapun itu. Asalkan kamu bersedia menolongku,” jawab Aleeta yang masih bersujud di hadapan Nicholas. “Baiklah. Aku akan menolongmu,” ujar Nicholas tanpa pikir panjang. “Tapi itu tidak gratis. Ada syarat yang harus kamu penuhi,” sambungnya seraya bersedekap. “Iya. Aku akan melakukan syarat apapun yang akan kamu berikan. Asal kamu menolongku.” Nicholas mengangguk. Ia menganggap itu sebagai bentuk kesepakatan dari Aleeta. Nicholas lalu memanggil Julian. “Berapa uang yang harus di bayar wanita ini tadi?” Tanyanya pada wanita glamor itu. “Delapan ratus juta.” “Dia yang akan mengurus uangnya. Dengan begini masalah selesai dan wanita ini akan ikut denganku.” Kata Nicholas kemudian. “Baiklah. Tidak masalah. Yang terpenting cepat kirim uangnya padaku,” desak wanita glamor itu. “Urus wanita itu, dan satu lagi ... tolong sampaikan maafku ke rekan bisnis kita kalau hari ini aku nggak bisa datang. Ada sesuatu yang perlu aku urus terlebih dahulu,” ujar Nicholas kepada Julian. Julian hanya bisa mendesah. Ia tidak bisa melalukan apapun selain menuruti permintaan Nicholas. Setidaknya Aleeta kini sudah selamat, meski Julian tidak yakin apakah nantinya dia benar-benar akan selamat setelah berada di tangan Nicholas? Julian bisa melihat kebencian yang di pancarkan dari kedua mata Nicholas saat menatap wanita itu. Semoga saja Nicholas tidak melakukan hal aneh, meski Aleeta adalah orang yang di bencinya selama ini. “Ikut aku.” Nicholas langsung menyeret tangan Aleeta keluar dari dalam klub tersebut. “K-kita mau kemana?” Tanya Aleeta. Nicholas tidak menjawab. Ia hanya terus menyeret Aleeta secara kasar, tidak peduli meski wanita itu tersandung dan hampir terjatuh beberapa kali. Aleeta hanya berharap semoga Nicholas tidak akan membunuhnya malam ini. *** Aleeta hanya bisa menelan ludah susah payah saat menyadari kalau ternyata Nicholas mengajaknya pergi ke sebuah hotel. Nicholas terus menyeretnya secara kasar, memasuki sebuah kamar yang tadi pria itu pesan di meja resepsionist. “K-kenapa kita ada di sini?” Aleeta bertanya gugup saat Nicholas melepaskan pergelangan tangannya. Pergelangan tangan itu tampak merah karena Nicholas tadi benar-benar mencengkeramnya dengan begitu kuat. “Tutup pintunya.” Suara dingin tersebut membuat Aleeta yang masih berdiri dengan tatapan kosong terperanjat. Tubuhnya mulai gemetar dan keringat dingin mulai mengalir di punggungnya. Apa yang sebenarnya ingin dilakukan Nicholas? Aleeta tidak bisa berbuat apa-apa selain menuruti perintah tersebut. Tangan Aleeta perlahan menutup pintu kamar dan ia berdiri kaku di dekat pintu. Nicholas bersedekap santai, duduk di sofa sembari menuangkan sebotol Whisky ke dalam gelasnya. Tatapan matanya yang tajam tertuju kepada Aleeta yang masih berdiri dengan tubuh kaku. “Apa kamu ingin tahu syarat apa yang harus kamu lakukan?” Tanya Nicholas sembari menyesap Whisky-nya secara perlahan. Aleeta segera mengangguk cepat. “Ya, katakan padaku. Syarat apa yang harus aku lakukan?” Nicholas tersenyum, meletakkan gelasnya ke atas meja lalu menatap Aleeta. “Temani aku malam ini.” Temani? Aleeta mengerjap bingung. Apa maksud dari ucapan Nicholas? “M-maksudnya a-aku harus menemanimu seperti apa?” Aleeta bertanya gugup. Nicholas kembali tersenyum. “Temani aku tidur malam ini. Dan berikan servis sesuai dengan uang yang sudah aku keluarkan untukmu.”“Temani aku tidur malam ini. Dan berikan servis yang sesuai dengan uang yang sudah aku keluarkan untukmu.”Jantung Aleeta nyaris berhenti berdetak ketika mendengar hal itu. Persyaratan macam apa itu? Ini sama halnya Aleeta keluar dari kandang buaya, lalu kembali terjebak ke dalam kandang harimau.“Maksudmu, aku harus tidur denganmu sebagai syarat dari pertolonganmu tadi, begitu?!” Aleeta menatap Nicholas dengan tatapan marah.“Ya. Bukankah kamu sendiri yang bilang, kalau kamu bersedia melakukan apapun jika aku mau menolongmu? Seharusnya kamu berterima kasih padaku sekarang.”Aleeta menggeleng. Ia memang mengatakan hal itu tadi, tapi itu bukan berarti ia harus tidur bersama dengan Nicholas. “Ini nggak benar,” ujar Aleeta pelan. “Aku memang bersedia melakukan apapun jika kamu mau menolongku. Tapi bukan seperti ini. Aku akan keluar dari sini sekarang.”Aleeta membalikkan tubuh. Ia berniat membuka pintu tapi pintu itu ti
“Buka pakaianmu.” Aleeta memandang Nicholas dengan tatapan kosong. Jujur ia merasa begitu takut. Tatapan Nicholas sangat tidak bersahabat, dan Aleeta cukup sadar diri bahwa ia tak perlu mengharapkan perlakuan baik dari pria itu. Aleeta tahu, Nicholas sangat ingin menyiksanya. Pria itu pasti ingin meluapkan semua kebencian itu pada dirinya malam ini. “Aku bilang buka pakaianmu!” Nicholas mulai membentak marah. Aleeta terkesiap. Dengan tangan gemetar, ia mulai melepaskan satu persatu kancing kemeja navy yang ia kenakan. Rasanya benar-benar sangat menyakitkan saat ia harus merendahkan dirinya sendiri seperti saat ini. Tidak hanya kemejanya saja, setelah Aleeta berhasil melepas kemeja itu dari tubuhnya, ia masih harus membuka celana jeans-nya sendiri. Kini Aleeta hanya berdiri dengan mengenakan bra dan celana dalam di hadapan Nicholas yang menatapnya intens, menilai dan sinis. Sebisa mungkin Aleeta menahan diri untuk tidak
Aleeta melipat kedua tangannya, guna menepis udara dingin yang mengenai kulit tangannya. Ia berjalan menyusuri jalanan. Setiap langkahnya terasa begitu menyakitkan. Sungguh sangat menyakitkan. Penampilannya juga terlihat begitu mengenaskan. Rambut acak-acakannya ia biarkan begitu saja menutupi wajahnya. Setelah Nicholas puas memperkosanya sepanjang malam dengan cara yang tidak mampu Aleeta bayangkan, pria itu melempar uang ke wajahnya, lalu mengusir layaknya ia adalah seekor binatang.Apa Aleeta menangis? Tidak. Ia tidak menangis. Sudah tidak ada lagi air mata yang tersisa untuk ia keluarkan. Semuanya telah habis bersama dengan penyiksaan menyakitkan yang ia rasakan sepanjang malam. Aleeta tidak peduli dengan tatapan orang-orang, ia terus berjalan semakin cepat menuju gang kontrakannya berada. Sudah pukul empat pagi, dengan rasa dingin yang terus menusuk tubuhnya dan harga diri yang telah hancur, Aleeta melangkah menahan sakit di antara pahanya.
Aleeta mengerang ketika merasakan sakit yang menyerang kepalanya. Selesai membersihkan diri tadi Aleeta langsung berbaring di tempat tidur. Ia berharap bisa memejamkan mata barang sebentar saja. Ia merasa begitu lelah. Tapi kenyataannya Aleeta tidak bisa memejamkan kedua matanya. Ia tetap terjaga di keheningan dalam kamarnya.Aleeta memutuskan untuk bangun ketika melihat jam menunjuk di angka tujuh pagi. Setiap langkah yang ia lakukan, rasa nyeri kembali menghujam di antara kedua pahanya. Ketika ia hendak melangkah keluar kamar tiba-tiba saja sakit kepala itu kembali menghantamnya. Aleeta berpegangan di ganggang pintu kamarnya. Seluruh tubuhnya terasa begitu panas, seperti orang yang sedang mengalami demam.Jika boleh memilih, tentu saja dengan senang hati Aleeta akan lebih memilih untuk kembali berbaring di atas ranjang agar sakit yang ia rasakan bisa segera mereda. Tapi kenyataan hidup kembali membuatnya tersadar. Ia tidak boleh manja. Ia harus pergi bekerja,
“Aleeta, hari ini kamu bertugas melayani tamu di ruang VIP.”Eric bersedekap menatap Aleeta yang baru saja keluar dari ruang ganti.“Apakah itu perintah dari Miko? Kenapa Miko nggak menyuruhku secara langsung saja?” Aleeta menatap Eric dengan kening berkerut.“Miko sedang tidak ada di tempat ini. Di sedang keluar. Sudahlah, lakukan saja. Hari ini kita sedang kekurangan pelayan di ruang VIP,” ujar Eric selaku orang kepercayaan Miko. Jujur saja selama bekerja di Orion, Aleeta tidak begitu akrab dengan yang namanya Eric. Selama ini Aleeta hanya melakukan tugas yang di perintahkan Miko saja, dan baru kali ini Aleeta mendapat tugas dari Eric.“Baiklah,” jawab Aleeta. Demi menghormati posisi Eric yang jelas lebih tinggi dari pada posisi Aleeta di tempat kerjanya tersebut, ia pun melakukannya.Ia lalu berjalan menaiki rangkaian anak tangga dan menuju meja bar yang ada di lantai VIP. “Aleeta, antar ini ke meja ya
“Aku nggak pernah merasa, kalau aku pernah berubah menjadi malaikat.” Lukas memicing ke arah Nicholas. Tidak percaya dengan apa yang di ucapkan saudaranya tersebut. Lukas menatapnya tajam, sedangkan Nicholas langsung membalas tatapannya dengan tak kalah tajam. Lagipula, untuk apa Nicholas peduli kepada Aleeta? Meski ke empat pria yang ada di sana memperkosa wanita itu, Nicholas tidak akan peduli. Mungkin hal itu akan membuat Aleeta menderita dan Nicholas menyukainya. Apapun yang bisa membuat Aleeta menderita, Nicholas akan menyukainya. “Kamu punya saudara perempuan. Adikmu, Nich. Apa kamu hanya akan diam saja saat melihat adikmu di perlakukan seperti itu?!” Berengsek! Ucapan Lukas berhasil mengingatkannya pada adik perempuannya. Nicholas beranjak dari tempat duduk dan berjalan dengan langkah marah. Memangnya kenapa ia harus peduli? Bahkan, kalau Aleeta di bunuh di hadapannya pun, Nicholas
“Aku membutuhkanmu sekarang. Aku mohon.” Nicholas segera menindih tubuh Aleeta lalu mengecup bibirnya. Aleeta yang sudah berada di bawah pengaruh obat pun membalasnya. Bahkan lebih menuntut di banding Nicholas yang hanya memancing saja. Lenguhan Aleeta terdengar saat Nicholas meremas dadanya yang begitu padat. Nicholas segera menyentak kemeja putih Aleeta hingga semua kancingnya terbuka. Pria itu menurunkan bra Aleeta ke bawah, lalu segera melahap puncak yang telah mengeras tersebut. Aleeta memejamkan mata, merintih. Kedua tangannya terkulai lemah di atas kepalanya dan Nicholas menyadari itu. Ia lalu melepas cengkeraman tangannya pada pergelangan tangan Aleeta. Kemudian melepaskan seluruh pakaian Aleeta. Dan juga pakaiannya. Nicholas tidak menyangka kalau dirinya akan sebuas ini. Tetapi hasratnya terasa menggebu melihat Aleeta yang kini terbaring dengan tubuh merona tanpa penghalang apapun. Nicholas terus merutuk dan me
Aleeta menatap Sonya yang hanya membalasnya dengan tatapan datar. Aleeta tahu, seharusnya ia tak perlu menceritakan soal dirinya yang di pecat kepada Ibunya. Memangnya apa yang Aleeta harapkan? Ibunya akan memedulikannya? Atau menyemangatinya? Itu adalah suatu hal yang mustahil. “Bagus kalau begitu.” Komentar Sonya dengan nada datar. Sudah Aleeta duga kalau Ibunya akan berkata seperti itu. Tapi tetap saja, ada rasa sakit yang menusuk ulu hatinya. “Dari dulu aku memang tidak suka melihatmu bekerja sebagai pelayan. Lebih baik kamu jual saja dirimu. Sudah terbukti, kan? Dengan cara itu kamu bisa menghasilkan uang yang lebih banyak,” sambung Sonya santai. Menyimpan seluruh uang Aleeta ke dalam tasnya. “Ma ... Apa Mama nggak bisa hidup dengan sedikit berhemat?” Tanya Aleeta dengan nada pelan. Sonya mendengus sembari menatap sengit pada putrinya. “Apa kamu tidak tahu kalau biaya kebutuhan sekarang itu sangat m
“Apa kamu sudah paham?” Tanya Nicholas.Sudah hampir satu jam lamanya, Nicholas mengajari Aleeta tentang bagaimana cara menggunakan smartphone-nya. Pria itu mengajari dengan sangat sabar dan detail, tidak ada yang terlewat satupun. Hanya saja mungkin karena Aleeta baru pertama kali menggunakan smartphone jadinya wanita itu masih terlihat sedikit bingung.Sementara itu, Aleeta yang duduk di sebelah Nicholas hanya diam, tidak menggubris sedikitpun ucapan pria itu. Aleeta hanya terus mengamati layar ponsel yang di pegang Nicholas itu dengan serius. Lalu tiba-tiba Aleeta menunduk, menjatuhkan kepalanya ke bahu Nicholas.“Aleeta ...,” Nicholas menoleh. “Kamu tidur?” Aleeta menggeleng pelan. “Aku nggak tidur. Tenang saja.”“Aku kira kamu ketiduran,” sahut Nicholas.Aleeta lalu mengangkat kepalanya. Memutar posisi kemudian duduk bersila menghadap Nicholas. Dan karena malam ini ia hanya mengenakan gaun tidur pendek, jadi ia harus menarik selimut agar bisa menutupi bagian kaki dan pahanya yan
“Akhirnya kamu pulang juga. Aku sudah menunggumu sejak tadi.” Nicholas yang melihat keberadaan Aleeta langsung cepat-cepat menyembunyikan tangannya di balik punggung. Aleeta tadi belum sempat melihat tangannya, kan? Kalau pun sudah terlanjur melihat semoga saja Aleeta tidak menyadari apa yang saat ini sedang ia bawa. “Nicho, kenapa diam? Bukanya tadi kamu mencariku. Tapi kenapa sekarang hanya diam?” Gerutu Aleeta dengan bibir mengerucut. Nicholas tersenyum. “Kemarilah. Aku punya sesuatu untukmu,” perintahnya pada Aleeta. “Apa?” “Mendekatlah kalau ingin tahu,” ujar Nicholas yang mau tidak mau langsung membuat Aleeta mendekatinya. Nicholas segera merengkuh pinggang Aleeta ketika istrinya itu berdiri di hadapannya. “Nicho, apa yang kamu lakukan? Katanya kamu punya sesuatu untukku. Kenapa jadi memelukku seperti ini?” “Ini ...,” kata Nicholas seraya mengangkat paper bag ponsel yang di bawanya ke hadapan Aleeta. “Aku membelikanmu ponsel.” “P-ponsel?” Aleeta menatap Nichola
“Nona Aleeta, sedang apa Anda di sini?” Aleeta terkejut dan seketika menoleh saat mendengar suara Mary. Ia hanya menggaruk tengkuk, kemudian meringis. Menatap Mary yang berdiri di depan pintu.“Sejak tadi saya mencari-cari, Anda. Ternyata Anda berada di sini,” imbuh Mary.Aleeta langsung berdehem. “Memangnya ada perlu apa kamu mencariku, Mary? Apa Nicho sudah kembali?” Tanyanya.“Tuan belum kembali, Nona. Saya mencari Anda hanya untuk mengatakan kalau sepertinya semur dagingnya sudah matang. Apa saya harus memindahkannya ke wadah, atau di biarkan dulu di atas kompor?”“Ah, itu ... Biarkan di atas kompor saja, Mary. Supaya bumbunya bisa meresap sampai ke dalam dagingnya,” jawab Aleeta. Setelah itu ia kembali sibuk mencari sesuatu di dalam kamar lamanya.Saat Aleeta tengah memasak tadi entah kenapa tiba-tiba ia teringat dengan pil kontrasepsinya. Aleeta baru ingat kalau sejak kembali dari Paris kemarin, ia belum meminu
Begitu sampai di rumah, Nicholas segera menyerahkan kunci mobilnya kepada Steven agar pria itu memindahkan mobilnya ke carport. Sementara Nicholas memasuki rumah bersama Aleeta. “Selamat datang, Tuan dan ... Nona.” Mary yang kebetulan sedang membersihkan ruang tamu terlihat kaget. Hari ini untuk pertama kalinya ia melihat Nicholas dan Aleeta pulang secara bersamaan. Meski Mary ingin sekali bertanya kenapa mereka bisa pulang bersama? Atau mungkin, apakah Nicholas tadi yang menjemput Aleeta? Tapi kemudian Mary sadar. Ia tidak punya hak atas pertanyaan itu. Lagipula, Mary sudah sangat senang bisa melihat Tuan dan Nonanya akur seperti itu. Tanpa harus ia ikut campur ke dalam urusan mereka. “Oh iya, Mary. Apa kamu sudah menyiapkan makan malam untuk kami?” Tanya Nicholas. “Belum, Tuan. Saya tidak tahu kalau Anda dan Nona Aleeta pulang lebih awal hari ini. Kalau begitu saya akan segera menyiapkan makan malam terlebih dahulu.”
“Baiklah kalau begitu,” ujar Nicholas lalu mengeluarkan ponsel.Sonya yang melihat Nicholas mengeluarkan ponselnya pun langsung tersenyum senang. Ia berpikir kalau Nicholas pasti akan mengiriminya uang sekarang. Maka dari itu, Sonya pun juga langsung mengeluarkan ponselnya.“Nomor rekeningku masih sama dengan yang dulu, menantu,” ucap Sonya tanpa malu. Padahal Aleeta yang mendengarnya pun langsung merasa malu. Kenapa ibunya itu selalu mendewakan yang namanya uang? Sejak dulu sampai sekarang yang ibunya pikirkan hanya uang, uang dan uang. Apa tidak ada yang lain?Nicholas menaikkan kedua alisnya. “Apa kamu bilang? Nomor rekening?”Sonya mengangguk. “Ya. Nomor rekeningku masih sama dengan yang dulu.”Nicholas langsung tertawa. “Memangnya siapa yang butuh nomor rekeningmu?”“Bukankah kamu akan mengirimiku uang.” Sonya menatap Nicholas yang masih terus tertawa.“Uang? Ck! Untuk apa aku mengirimu uan
Sonya mengerjap. Merasa kaget dengan kemunculan seseorang yang tiba-tiba saja berdiri di hadapannya, menahan tangannya dan juga ... Melindungi Aleeta dari jangkauannya.Sonya kemudian memicing, menatap sosok pria yang sudah sangat ia kenal tersebut.“Jangan pernah berani kamu sentuh istriku dengan tangan kotormu.” Pria itu mendesis seraya menyentak tangan Sonya dengan kasar.Sonya langsung mengumpat atas perlakuan kasar tersebut. “Sialan! Beraninya kamu!” Teriaknya kesal.Aleeta menatap ibunya yang tampak marah, lalu beralih menatap seseorang yang berdiri di hadapannya. “Nicho.”Nicholas segera menoleh saat Aleeta menyentuh lengannya. “Kamu nggak apa-apa?” Tanyanya lembut.“Aku nggak apa-apa,” jawab Aleeta seraya menggeleng.Nicholas langsung menangkup wajah Aleeta dengan kedua tangannya. Mengamati setiap inci wajah istrinya dengan lekat. Seolah takut jika ada bagian wajah Aleeta yang telah tersentuh oleh t
Sonya terus mengumpat sepanjang perjalanan. Merasakan perutnya yang begitu begah karena ia sudah langsung harus berjalan setelah makan. Sonya menghentikan langkah saat ia melewati minimarket. “Sepertinya akan lebih baik jika aku duduk di sana terlebih dahulu,” ujar Sonya seraya menatap kursi kosong yang ada di depan minimarket.Namun, saat ia hendak melangkahkan kakinya, tanpa sengaja ekor matanya menangkap sekelebatan bayangan sosok Aleeta di depan sana. Sonya bahkan sampai terdiam. Antara percaya dan tidak percaya dengan bayangan tersebut. Apakah itu benar-benar hanya bayangan atau ... Memang Aleeta yang ia lihat?Sonya lalu meluruskan pandangannya ke arah depan. “Apa itu benar-benar Aleeta?” Gumam Sonya dengan mata menyipit. Namun, beberapa detik kemudian mata yang menyipit itu berubah menjadi memelotot. “Benar. Sepertinya itu memang Aleeta,” ujar Sonya seraya terus menatap Aleeta yang tengah memasukkan minumannya ke dalam
“Bagaimana? Kamu sudah menemukannya sekarang?” Sonya memicing pada seorang pria yang baru saja memasuki klub yang biasa ia gunakan sebagai tempat berjudi bersama dengan para geng sosialitanya. Pria berpotongan botak itu hanya tersenyum seraya duduk di sebelah Sonya. “Aku belum—““Apa kamu bilang? Belum?! Bukankah kamu sendiri yang bilang kalau waktu itu pernah melihat keberadaannya di dekat jalan green hill?!” Sonya semakin menatap marah pada pria botak tersebut.Pria botak bernama Roi itu mendesah. “Santailah sedikit, Sayang. Kamu sudah terlalu banyak marah akhir-akhir ini.”“Bagaimana aku tidak marah? Sia-sia aku mengeluarkan uang untukmu dan juga anak buahmu yang tidak berguna itu!” Ketus Sonya.Sejak Sonya memutuskan untuk mencari keberadaan Aleeta. Sejak saat itu juga Sonya rela mengeluarkan uang untuk membayar orang-orang suruhannya agar ia bisa segera menemukan keberadaan Aleeta di pusat kota ini. Sonya sadar
“Sekarang aku tahu bagaimana wajah orang bodoh yang sesungguhnya.” Seharusnya Nicholas marah oleh kalimat yang Lukas katakan. Tapi kali ini, ia tidak marah sama sekali. Nicholas menutup pintu mobilnya dengan santai, lalu berjalan memasuki kantornya.“Sudah kuduga, kamu benar-benar terlihat seperti orang bodoh,” sambung Lukas.“Apa masalahmu sebenarnya? Kenapa kamu bisa ada di sini sepagi ini?” Nicholas mengangkat wajah dan menatap saudara angkatnya.“Aku menunggumu.” “Wah, selama aku nggak ada di sini ternyata kamu sudah berubah menjadi orang yang perhatian, ya,” cibir Nicholas seraya tersenyum di buat-buat.Lukas mendengus. “Kamu terlihat semakin bodoh saat tersenyum seperti itu.”Nicholas langsung terkekeh. “Terima kasih atas pujiannya, Luke.”Mereka lalu masuk ke dalam lift. Dan keluar ketika lift sudah terbuka di lantai tujuan mereka, yaitu ruangan Nicholas.“Apa kamu nggak meras