“Lepaskan wanita itu.”
Baik kedua pria yang sedang menyeret Aleeta maupun wanita glamor tadi seketika langsung berhenti melangkah. Mereka menatap Nicholas yang saat ini sudah berdiri di belakang mereka. Tatapannya dingin dan siap untuk membunuh. “Ada apa, tampan? Kenapa tiba-tiba kamu ingin aku melepaskan anak manis ini? Bukankah tadi kamu bilang tidak ingin menolongnya?” Cibir wanita glamor tersebut. “Aku bilang lepaskan!” Nicholas menarik lengan Aleeta secara kasar hingga berhasil terlepas dari genggaman salah satu bodyguard tersebut. “Heh, apa-apaan kamu?! Anak itu milikku. Kembalikan dia padaku!” Teriak wanita glamor itu. Nicholas bisa melihat Aleeta menggeleng dengan tangan yang gemetar. Dan lagi-lagi perasaan itu kembali mengacaukan pikiran Nicholas. Terlebih saat melihat Aleeta meneteskan air matanya lagi. Sial. Selama ini Nicholas memang tidak suka melihat seorang wanita menangis. Nicholas hanya merasa tidak tega melihatnya. Tapi itu hanya berlaku untuk orang-orang yang di cintainya saja. Tidak untuk seorang pembunuh calon istri dan juga anaknya. Seharusnya Nicholas tidak boleh seperti ini. Tapi kenapa justru perasaannya merasakan hal yang sebaliknya? “Kamu ingin kembali kepada mereka?” Tanya Nicholas dingin. Aleeta menggeleng. “Jangan. Aku mohon bantu aku.” “Bagaimana jika aku tidak ingin membantumu?” Nicholas menatap tajam ke arah Aleeta. “Cepat kembalikan anak itu padaku!” Wanita glamor itu hendak menarik Aleeta, tapi untungnya Julian berhasil menahannya. “Lepaskan tanganku! Anak ini punya hutang padaku. Dia tidak bisa membayarnya jadi dia harus ikut denganku.” “Nggak! Aku nggak punya hutang apapun padamu. Aku sudah bilang itu perbuatan Ibuku. Aku sanggup untuk mengganti rugi tasmu. Tapi bukan hari ini!” Teriak Aleeta. “Bisa jelaskan apa maksud kalian?” Tanya Nicholas penasaran. “Dia berjanji akan mengganti rugi tasku yang telah di rusak oleh Ibunya. Dia berjanji akan membawa uang delapan ratus juta malam ini, tapi ternyata anak ini tidak membawakannya sama sekali.” Wanita glamor itu menjelaskan. “Aku kan sudah bilang, hari ini aku belum bisa. Besok akan aku usahakan,” sahut Aleeta. “Ya dan besok kamu akan bilang kalau kamu belum bisa menggantinya, dan akan meminta waktu lagi besoknya, dan besoknya lagi. Begitu?! Aku ini bukan Ibu peri yang bisa dengan mudah mengabulkan permintaanmu, anak manis!” Desis wanita glamor tersebut. Nicholas tersenyum tipis ketika mendengar perdebatan dua wanita beda usia tersebut. Cukup menarik. “Aku setuju dengan ucapanmu, Nyonya. Setiap orang yang berhutang memang tidak pantas untuk di beri kesempatan. Mereka hanya akan membuat kita rugi,” ujarnya sembari melirik Aleeta. “Nich—“ Julian hendak mendekat tapi kembali berhenti saat Nicholas memberi tatapan penuh peringatan ke arahnya. “Nggak itu nggak benar. Aku nggak berhutang padanya. Aku hanya mencoba membantu Ibuku untuk mengganti rugi tas yang sudah di rusak olehnya. Apa salahnya jika aku meminta waktu kalau hari ini aku memang benar-benar belum bisa mendapatkan uang itu?” Aleeta menatap Nicholas. “Itu bukan urusanku,” desis Nicholas tajam. Aleeta menggeleng. Ia pikir Nicholas akan menolongnya tapi ternyata ia salah. “Bagus. Kalau begitu berikan anak ini padaku.” Wanita glamor itu kembali bersuara. “Jangan. Aku mohon tolong aku.” Nicholas sedikit terkejut saat tiba-tiba Aleeta bersujud begitu saja di hadapan kakinya. “Tolong ... Aku berjanji akan melakukan apapun yang kamu minta jika kamu bersedia untuk menolongku.” “Apapun?” Tanya Nicholas sembari menaikkan sebelah alisnya. “Ya, apapun itu. Asalkan kamu bersedia menolongku,” jawab Aleeta yang masih bersujud di hadapan Nicholas. “Baiklah. Aku akan menolongmu,” ujar Nicholas tanpa pikir panjang. “Tapi itu tidak gratis. Ada syarat yang harus kamu penuhi,” sambungnya seraya bersedekap. “Iya. Aku akan melakukan syarat apapun yang akan kamu berikan. Asal kamu menolongku.” Nicholas mengangguk. Ia menganggap itu sebagai bentuk kesepakatan dari Aleeta. Nicholas lalu memanggil Julian. “Berapa uang yang harus di bayar wanita ini tadi?” Tanyanya pada wanita glamor itu. “Delapan ratus juta.” “Dia yang akan mengurus uangnya. Dengan begini masalah selesai dan wanita ini akan ikut denganku.” Kata Nicholas kemudian. “Baiklah. Tidak masalah. Yang terpenting cepat kirim uangnya padaku,” desak wanita glamor itu. “Urus wanita itu, dan satu lagi ... tolong sampaikan maafku ke rekan bisnis kita kalau hari ini aku nggak bisa datang. Ada sesuatu yang perlu aku urus terlebih dahulu,” ujar Nicholas kepada Julian. Julian hanya bisa mendesah. Ia tidak bisa melalukan apapun selain menuruti permintaan Nicholas. Setidaknya Aleeta kini sudah selamat, meski Julian tidak yakin apakah nantinya dia benar-benar akan selamat setelah berada di tangan Nicholas? Julian bisa melihat kebencian yang di pancarkan dari kedua mata Nicholas saat menatap wanita itu. Semoga saja Nicholas tidak melakukan hal aneh, meski Aleeta adalah orang yang di bencinya selama ini. “Ikut aku.” Nicholas langsung menyeret tangan Aleeta keluar dari dalam klub tersebut. “K-kita mau kemana?” Tanya Aleeta. Nicholas tidak menjawab. Ia hanya terus menyeret Aleeta secara kasar, tidak peduli meski wanita itu tersandung dan hampir terjatuh beberapa kali. Aleeta hanya berharap semoga Nicholas tidak akan membunuhnya malam ini. *** Aleeta hanya bisa menelan ludah susah payah saat menyadari kalau ternyata Nicholas mengajaknya pergi ke sebuah hotel. Nicholas terus menyeretnya secara kasar, memasuki sebuah kamar yang tadi pria itu pesan di meja resepsionist. “K-kenapa kita ada di sini?” Aleeta bertanya gugup saat Nicholas melepaskan pergelangan tangannya. Pergelangan tangan itu tampak merah karena Nicholas tadi benar-benar mencengkeramnya dengan begitu kuat. “Tutup pintunya.” Suara dingin tersebut membuat Aleeta yang masih berdiri dengan tatapan kosong terperanjat. Tubuhnya mulai gemetar dan keringat dingin mulai mengalir di punggungnya. Apa yang sebenarnya ingin dilakukan Nicholas? Aleeta tidak bisa berbuat apa-apa selain menuruti perintah tersebut. Tangan Aleeta perlahan menutup pintu kamar dan ia berdiri kaku di dekat pintu. Nicholas bersedekap santai, duduk di sofa sembari menuangkan sebotol Whisky ke dalam gelasnya. Tatapan matanya yang tajam tertuju kepada Aleeta yang masih berdiri dengan tubuh kaku. “Apa kamu ingin tahu syarat apa yang harus kamu lakukan?” Tanya Nicholas sembari menyesap Whisky-nya secara perlahan. Aleeta segera mengangguk cepat. “Ya, katakan padaku. Syarat apa yang harus aku lakukan?” Nicholas tersenyum, meletakkan gelasnya ke atas meja lalu menatap Aleeta. “Temani aku malam ini.” Temani? Aleeta mengerjap bingung. Apa maksud dari ucapan Nicholas? “M-maksudnya a-aku harus menemanimu seperti apa?” Aleeta bertanya gugup. Nicholas kembali tersenyum. “Temani aku tidur malam ini. Dan berikan servis sesuai dengan uang yang sudah aku keluarkan untukmu.”“Temani aku tidur malam ini. Dan berikan servis yang sesuai dengan uang yang sudah aku keluarkan untukmu.”Jantung Aleeta nyaris berhenti berdetak ketika mendengar hal itu. Persyaratan macam apa itu? Ini sama halnya Aleeta keluar dari kandang buaya, lalu kembali terjebak ke dalam kandang harimau.“Maksudmu, aku harus tidur denganmu sebagai syarat dari pertolonganmu tadi, begitu?!” Aleeta menatap Nicholas dengan tatapan marah.“Ya. Bukankah kamu sendiri yang bilang, kalau kamu bersedia melakukan apapun jika aku mau menolongmu? Seharusnya kamu berterima kasih padaku sekarang.”Aleeta menggeleng. Ia memang mengatakan hal itu tadi, tapi itu bukan berarti ia harus tidur bersama dengan Nicholas. “Ini nggak benar,” ujar Aleeta pelan. “Aku memang bersedia melakukan apapun jika kamu mau menolongku. Tapi bukan seperti ini. Aku akan keluar dari sini sekarang.”Aleeta membalikkan tubuh. Ia berniat membuka pintu tapi pintu itu ti
“Buka pakaianmu.” Aleeta memandang Nicholas dengan tatapan kosong. Jujur ia merasa begitu takut. Tatapan Nicholas sangat tidak bersahabat, dan Aleeta cukup sadar diri bahwa ia tak perlu mengharapkan perlakuan baik dari pria itu. Aleeta tahu, Nicholas sangat ingin menyiksanya. Pria itu pasti ingin meluapkan semua kebencian itu pada dirinya malam ini. “Aku bilang buka pakaianmu!” Nicholas mulai membentak marah. Aleeta terkesiap. Dengan tangan gemetar, ia mulai melepaskan satu persatu kancing kemeja navy yang ia kenakan. Rasanya benar-benar sangat menyakitkan saat ia harus merendahkan dirinya sendiri seperti saat ini. Tidak hanya kemejanya saja, setelah Aleeta berhasil melepas kemeja itu dari tubuhnya, ia masih harus membuka celana jeans-nya sendiri. Kini Aleeta hanya berdiri dengan mengenakan bra dan celana dalam di hadapan Nicholas yang menatapnya intens, menilai dan sinis. Sebisa mungkin Aleeta menahan diri untuk tidak
Aleeta melipat kedua tangannya, guna menepis udara dingin yang mengenai kulit tangannya. Ia berjalan menyusuri jalanan. Setiap langkahnya terasa begitu menyakitkan. Sungguh sangat menyakitkan. Penampilannya juga terlihat begitu mengenaskan. Rambut acak-acakannya ia biarkan begitu saja menutupi wajahnya. Setelah Nicholas puas memperkosanya sepanjang malam dengan cara yang tidak mampu Aleeta bayangkan, pria itu melempar uang ke wajahnya, lalu mengusir layaknya ia adalah seekor binatang.Apa Aleeta menangis? Tidak. Ia tidak menangis. Sudah tidak ada lagi air mata yang tersisa untuk ia keluarkan. Semuanya telah habis bersama dengan penyiksaan menyakitkan yang ia rasakan sepanjang malam. Aleeta tidak peduli dengan tatapan orang-orang, ia terus berjalan semakin cepat menuju gang kontrakannya berada. Sudah pukul empat pagi, dengan rasa dingin yang terus menusuk tubuhnya dan harga diri yang telah hancur, Aleeta melangkah menahan sakit di antara pahanya.
Aleeta mengerang ketika merasakan sakit yang menyerang kepalanya. Selesai membersihkan diri tadi Aleeta langsung berbaring di tempat tidur. Ia berharap bisa memejamkan mata barang sebentar saja. Ia merasa begitu lelah. Tapi kenyataannya Aleeta tidak bisa memejamkan kedua matanya. Ia tetap terjaga di keheningan dalam kamarnya.Aleeta memutuskan untuk bangun ketika melihat jam menunjuk di angka tujuh pagi. Setiap langkah yang ia lakukan, rasa nyeri kembali menghujam di antara kedua pahanya. Ketika ia hendak melangkah keluar kamar tiba-tiba saja sakit kepala itu kembali menghantamnya. Aleeta berpegangan di ganggang pintu kamarnya. Seluruh tubuhnya terasa begitu panas, seperti orang yang sedang mengalami demam.Jika boleh memilih, tentu saja dengan senang hati Aleeta akan lebih memilih untuk kembali berbaring di atas ranjang agar sakit yang ia rasakan bisa segera mereda. Tapi kenyataan hidup kembali membuatnya tersadar. Ia tidak boleh manja. Ia harus pergi bekerja,
“Aleeta, hari ini kamu bertugas melayani tamu di ruang VIP.”Eric bersedekap menatap Aleeta yang baru saja keluar dari ruang ganti.“Apakah itu perintah dari Miko? Kenapa Miko nggak menyuruhku secara langsung saja?” Aleeta menatap Eric dengan kening berkerut.“Miko sedang tidak ada di tempat ini. Di sedang keluar. Sudahlah, lakukan saja. Hari ini kita sedang kekurangan pelayan di ruang VIP,” ujar Eric selaku orang kepercayaan Miko. Jujur saja selama bekerja di Orion, Aleeta tidak begitu akrab dengan yang namanya Eric. Selama ini Aleeta hanya melakukan tugas yang di perintahkan Miko saja, dan baru kali ini Aleeta mendapat tugas dari Eric.“Baiklah,” jawab Aleeta. Demi menghormati posisi Eric yang jelas lebih tinggi dari pada posisi Aleeta di tempat kerjanya tersebut, ia pun melakukannya.Ia lalu berjalan menaiki rangkaian anak tangga dan menuju meja bar yang ada di lantai VIP. “Aleeta, antar ini ke meja ya
“Aku nggak pernah merasa, kalau aku pernah berubah menjadi malaikat.” Lukas memicing ke arah Nicholas. Tidak percaya dengan apa yang di ucapkan saudaranya tersebut. Lukas menatapnya tajam, sedangkan Nicholas langsung membalas tatapannya dengan tak kalah tajam. Lagipula, untuk apa Nicholas peduli kepada Aleeta? Meski ke empat pria yang ada di sana memperkosa wanita itu, Nicholas tidak akan peduli. Mungkin hal itu akan membuat Aleeta menderita dan Nicholas menyukainya. Apapun yang bisa membuat Aleeta menderita, Nicholas akan menyukainya. “Kamu punya saudara perempuan. Adikmu, Nich. Apa kamu hanya akan diam saja saat melihat adikmu di perlakukan seperti itu?!” Berengsek! Ucapan Lukas berhasil mengingatkannya pada adik perempuannya. Nicholas beranjak dari tempat duduk dan berjalan dengan langkah marah. Memangnya kenapa ia harus peduli? Bahkan, kalau Aleeta di bunuh di hadapannya pun, Nicholas
“Aku membutuhkanmu sekarang. Aku mohon.” Nicholas segera menindih tubuh Aleeta lalu mengecup bibirnya. Aleeta yang sudah berada di bawah pengaruh obat pun membalasnya. Bahkan lebih menuntut di banding Nicholas yang hanya memancing saja. Lenguhan Aleeta terdengar saat Nicholas meremas dadanya yang begitu padat. Nicholas segera menyentak kemeja putih Aleeta hingga semua kancingnya terbuka. Pria itu menurunkan bra Aleeta ke bawah, lalu segera melahap puncak yang telah mengeras tersebut. Aleeta memejamkan mata, merintih. Kedua tangannya terkulai lemah di atas kepalanya dan Nicholas menyadari itu. Ia lalu melepas cengkeraman tangannya pada pergelangan tangan Aleeta. Kemudian melepaskan seluruh pakaian Aleeta. Dan juga pakaiannya. Nicholas tidak menyangka kalau dirinya akan sebuas ini. Tetapi hasratnya terasa menggebu melihat Aleeta yang kini terbaring dengan tubuh merona tanpa penghalang apapun. Nicholas terus merutuk dan me
Aleeta menatap Sonya yang hanya membalasnya dengan tatapan datar. Aleeta tahu, seharusnya ia tak perlu menceritakan soal dirinya yang di pecat kepada Ibunya. Memangnya apa yang Aleeta harapkan? Ibunya akan memedulikannya? Atau menyemangatinya? Itu adalah suatu hal yang mustahil. “Bagus kalau begitu.” Komentar Sonya dengan nada datar. Sudah Aleeta duga kalau Ibunya akan berkata seperti itu. Tapi tetap saja, ada rasa sakit yang menusuk ulu hatinya. “Dari dulu aku memang tidak suka melihatmu bekerja sebagai pelayan. Lebih baik kamu jual saja dirimu. Sudah terbukti, kan? Dengan cara itu kamu bisa menghasilkan uang yang lebih banyak,” sambung Sonya santai. Menyimpan seluruh uang Aleeta ke dalam tasnya. “Ma ... Apa Mama nggak bisa hidup dengan sedikit berhemat?” Tanya Aleeta dengan nada pelan. Sonya mendengus sembari menatap sengit pada putrinya. “Apa kamu tidak tahu kalau biaya kebutuhan sekarang itu sangat m
“Tuan Nicholas ini ada beberapa berkas yang harus Anda tanda tangani.” Ella—sekretaris Nicholas masuk ke dalam ruangan pria itu sembari membawa beberapa berkas di tangannya. Ella mengernyit ketika Nicholas tak kunjung merespons pembicaraannya. Atasannya itu terlihat sedang melamunkan sesuatu.“Tuan ... Tuan Nicholas ....”“Ya.” Pria itu mengerjap dan langsung menatap Ella. Sementara yang di tatap segera menunduk karena takut kalau ia telah membuat kesalahan.“Maaf, Tuan. Saya hanya ingin meminta tanda tangan—““Mana yang harus aku tanda tangani?” Tanya Nicholas cepat.“Ini, Tuan.” Ella segera mendekat dan memberikan beberapa berkas yang harus Nicholas tanda tangani. Tidak butuh waktu lama, semua berkas itu sudah berhasil tertanda tangani oleh Nicholas.“Ada lagi?”Ella menggeleng. “Tidak ada, Tuan.”Nicholas mengangguk. “Baiklah.” Pria itu hendak melanjutkan kegiatannya. Namun, tiba-tiba ia teringat sesuatu. “Ella, tunggu,” ujarnya ketika melihat Ella hendak keluar dari ruangannya.“
Apa yang kamu rasakan ketika kematian datang menjemputmu? Apakah kamu merasa kesakitan? Apakah kamu merasa takut? Apakah kamu takut jika kamu akan sendiri dalam kegelapan dan kedinginan?Bagi Aleeta semua itu bukanlah apa-apa. Ia sudah hampir pernah mati beberapa kali sebelumnya, meski semuanya selalu gagal. Dan rasanya sama saja. Tidak ada rasa apa-apa. Bahkan ketika ia membuka matanya, ia juga tidak merasakan apa-apa.“Kamu sudah sadar.”Sebuah suara yang terdengar cukup familier terdengar. Meski tubuh Aleeta masih terasa lemah, tapi ia berusaha untuk menoleh. Ia menemukan pria yang selalu bersama Nicholas, berdiri di samping ranjangnya. “Kamu haus?”Aleeta mengangguk, pria itu mendekat, membantunya untuk minum. Aleeta ingin mengucapkan terima kasih atas bantuan itu, tapi suaranya yang terdengar hanya gumaman yang tidak jelas.“Nggak perlu bicara. Dokter akan segera datang.”Aleeta hanya diam
Perbincangan Nicholas dengan Papanya kemarin benar-benar berhasil membuat pikiran Nicholas menjadi kacau. Di satu sisi, Nicholas benar-benar tidak ingin peduli dengan keadaan Aleeta. Namun, di sisi lain ia juga merasa begitu takut.Nicholas masih ingat betul dengan ketakutannya ketika melihat Aleeta yang tak berdaya di depan matanya. Saat tubuh wanita itu berlumuran darah, dan terkulai lemah tidak sadarkan diri. Nicholas benar-benar takut saat itu. Nicholas takut jika ia harus melihat kematian lagi di depan matanya.Pada hari ini, entah mendapat dorongan dari mana, kaki Nicholas melangkah masuk ke dalam rumah sakit dimana Aleeta sedang di rawat. Ia bukanya ingin peduli dengan keadaan Aleeta. Tidak. Ia hanya ingin memastikan bahwa apa yang di katakan Papanya itu tidaklah benar. Tidak ada penyesalan yang harus Nicholas rasakan.“Sebenarnya apa yang kamu inginkan dari semua ini?” Nicholas dan Lukas berdiri menatap ranjang rumah sakit, dimana Aleeta terbaring lemah dan tidak sadarkan di
“Nicholas, apa yang sebenarnya terjadi?” Tanya Karina begitu melihat putranya yang tengah duduk di depan ruang operasi.Tadi Nicholas terpaksa memberitahu kabar tentang kecelakaan Aleeta, karena Emily terus saja menghubunginya. Alhasil, saat ini Mama, Papa dan adiknya menyusul ke rumah sakit untuk mengetahui keadaan Aleeta.“Aku nggak tahu, Ma,” jawab Nicholas pelan.Karina menggeleng. “Jangan bilang kalau kejadian ini kamu yang sengaja melakukannya.”Nicholas segera mendongak, menatap ibunya yang sedang menatap marah padanya. “Demi Tuhan, aku nggak melakukan apapun, Ma.”“Jangan berbohong, Nicholas!” Karina menjerit seraya memegangi dadanya. “Ma, tenanglah.” Emily segera mendudukkan ibunya di kursi tunggu. Sementara Karina mulai menangis.“Mama tahu kamu membenci Aleeta, Nicholas. Sejak awal Mama sudah bilang, supaya kamu jangan menikahinya. Karena pernikahanmu pasti hanya akan membuat Aleeta terluka,” uj
“A-apa yang kamu lakukan di sini?” Aleeta segera beranjak dari tempat duduknya. “Nicholas.”Tubuh Aleeta seketika terasa begitu kaku. Bagaimana bisa Nicholas sampai di tempat ini? Bagaimana bisa pria itu begitu nekat mencarinya hingga ke Cafe Thomas? Aleeta lalu melirik ke arah Mira dan Johan. Mereka berdua tampak begitu kaget dan juga bingung dengan kehadiran Nicholas.“Nicho—““Tutup mulutmu dan ikut aku sekarang!” Nicholas segera mendekati Aleeta, hendak menyeret lengan wanita itu.“Nggak. Aku masih harus bekerja, Nicho.” Aleeta berhasil menghindar.Nicholas tersenyum sinis. “Jadi kamu benar-benar berani melawan perintahku, ya?”“Aku nggak melawanmu,” balas Aleeta cepat. Sementara Mira dan Johan masih diam mematung di tempat mereka.Semua yang terjadi saat ini sangatlah di luar dugaan. Siapa yang tidak mengenal Nicholas Axel Frederick? Mira dan Johan pun juga tahu kalau keluarga pria itu adalah orang ter
“Emily? Tumben sekali kamu datang ke sini?” Nicholas mengernyit ke arah Emily yang baru saja datang ke kantornya. Selama ini, adiknya itu jarang sekali berkunjung jika tidak ada urusan yang penting. Karena Emily sendiripun juga memiliki pekerjaan, sebagai pemilik butik ternama di pusat kota. “Hm.” Wanita berwajah datar itu hanya bergumam seraya mendudukkan dirinya di sofa yang ada di dalam ruangan kerja kakaknya. Menyilangkan kaki, seraya mengamati kuku jarinya yang lentik. Nicholas mendengus. “Kalau nggak ada hal yang penting lebih baik kamu pulang saja. Aku punya banyak—“ “Bagaimana keadaan istrimu, Kak?” Emily menyela cepat. Nicholas menaikkan sebelah alisnya. “Untuk apa kamu menanyakan hal itu?” “Memangnya kenapa? Nggak ada salahnya kan kalau aku ingin tahu keadaan Kakak iparku,” sahut Emily seraya merebahkan punggung di sandaran sofa. “Keadaannya bukanlah urusanmu,” u
Keesokan harinya ketika Nicholas ingin sarapan. Ia melihat Aleeta yang sedang berdiri di bawah rangkaian anak tangga. Nicholas mengernyit. Apa yang di lakukan wanita itu? Apa dia sedang menunggunya?“Kembalikan ponselku.”Nicholas hanya melirik dengan sebelah alis terangkat ketika Aleeta mengatakan hal tersebut.“Kamu nggak dengar, ya. Aku bilang kembalikan ponselku. Aku tahu kamu yang membawa ponselku, kan?” Aleeta mengejar Nicholas yang tidak menanggapi ucapannya. Pria itu justru memilih untuk tetap berjalan ke arah ruang makan.“Nicho kembalikan—““Jangan panggil aku seperti itu!” Ketus Nicholas.Pria itu berhenti secara tiba-tiba hingga membuat Aleeta yang berjalan di belakangnya hampir saja menabraknya. Aleeta langsung bernapas lega karena gerak refleksnya bisa berfungsi cepat kali ini.“Baiklah, Tuan Nicholas. Tolong sekarang juga kembalikan ponselku. Aku tahu kamu yang membawanya,” ujar Aleeta dengan
“Mira, hari ini aku pinjam bajumu terlebih dahulu, ya. Besok janji akan aku kembalikan.” Kata Aleeta ketika ia keluar dari ruang ganti bersama Mira.Pagi tadi Aleeta sempat meminjam ponsel Thomas untuk menghubungi Mira supaya wanita itu membawakan pakaian ganti untuknya. Aleeta tahu jika ukuran bajunya dan Mira hampir sama. Jadi ia memutuskan untuk meminjam saja kepada Mira, daripada ia harus keluar ke jalanan dengan menggunakan pakaian rumah sakit lagi. “Santai saja, Aleeta. Aku masih punya banyak baju di rumah,” bisik Mira seraya terkekeh, dan Aleeta pun juga ikut terkekeh.“Hei, kalian. Cepatlah! Aku ingin segera pulang,” keluh Johan ketika melihat Mira dan Aleeta yang tengah berjalan ke arahnya.“Ck! Sabar kenapa, sih? Aku heran deh, Jo. Jangan-jangan alasan kenapa nggak ada wanita yang ingin jadi kekasihmu itu karena kamu orangnya nggak sabaran,” cibir Mira.Johan mendengus. “Jangan sok tahu!”“Sudah. Jangan ber
Aleeta berjalan keluar dari kamar inap itu seraya mengancing jaket hingga ke leher. Ia lalu menaikkan tudung jaket hingga menutupi kepalanya. Dengan bertelanjang kaki, ia melangkah tergesa dengan kepala tertunduk. Menyusuri koridor rumah sakit untuk mencari jalan keluar. Wanita itu mendesah ketika sudah berhasil keluar dari gedung rumah sakit. Rupanya hari masih sangat pagi. Ia segera berlari menyusuri jalan raya tanpa alas kaki. Aleeta mengenali jalanan ini. Jalan yang searah dengan rumah Nicholas. Aleeta ingat karena kemarin ia lewat jalan ini ketika Nicholas membawanya pulang. Gawat.Jika rumah sakit ini dekat dengan rumah Nicholas, maka pria itu bisa saja menemukannya di sini. Aleeta menggeleng, lalu semakin berlari cepat, tidak berhenti meski hanya sekedar untuk menoleh. Aleeta harus pergi menjauh dari tempat ini.Ia meringis ketika kakinya beberapa kali menginjak kerikil kecil yang ada di pinggir jalan. Aleeta memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jaket. Ia terdiam saat mer