Share

04. Kartu Nama

"Hah...."

Vanesha menghela napas. Ia akhirnya bisa mendaratkan tubuhnya di tempat tidur beralaskan tikar tipis.

Tak apa, yang penting dia bisa berbaring dan tidur.

Namun ketika sedang merogoh sakunya, kartu nama yang diberikan padanya, menyelip di jari.

“Oh iya, ini kartu nama dari pria tadi. Hendrik Syahputra. Nomor teleponnya juga ada.” Beberapa detik dia mengamati kartu nama itu.

‘Kalau kamu tertarik, kamu bisa menghubungi nomor ini. Yang jelas, untuk bayarannya, pasti jauh lebih memuaskan daripada kerjaanmu yang sebelumnya.’

Ingatan Vanesha kembali ke saat itu.

Ia sadar, kalau  benar-benar membutuhkan banyak uang untuk kebutuhan di rumah.

Bukan hanya untuk dirinya sendiri saja, tapi ibu tiri dan saudara tirinya juga.

Apalagi, uang yang Hendrik berikan padanya, tidak bisa dikembalikan karena diambil Gema.

Satu hal yang disyukuri, bensin motornya penuh.

“Apa sebaiknya aku terima saja pekerjaan itu? Gak apa-apa kan kalau kita mendengar penjelasan dari dia?”

Lama berpikir, tubuhnya bergeser ke kiri dan kanan untuk mencari jawaban yang pasti, hingga akhirnya Vanesha memutuskan sesuatu.

“Oke! Besok, aku harus menemui orang baik itu. Tapi ... bagaimana kalau dia menyuruhku untuk menggantikan uangnya?" Vanesha terdiam.

Namun, ia menguatkan diri. Mungkin jika Vanesha mengatakan yang sebenarnya, mereka mengerti?

Tak lama, Vanesha pun tertidur dan bagun pagi-pagi sekali.

Ia memang harus bangun lebih dulu untuk menyiapkan semuanya untuk kebutuhan adik tiri dan ibu tirinya.

Kalau tidak, ibu tirinya berteriak atau lebih parah menyiramkannya air lagi seperti biasa hanya untuk membangunkannya.

“Hhhhmmmmppphh…” Vanesha meregangkan kedua tangan ke atas.

Dilihatnya sebentar sekitar kamarnya yang sangat kecil dengan keranjang-keranjang pakaian yang berisi pakaian yang berantakan.

Kamar, tapi lebih cocok dikatakan itu adalah gudang.

“Mari kita lihat, apa yang ada di dapur. Kalau tidak ada apa-apa disana untuk bisa dimasak, apa yang harus aku lakukan?” Vanesha berjalan menuju dapur dan memeriksa kulkasnya, menyemangati diri sendiri.

Sayangnya, tidak ada apapun di sana.

Bahkan sekadar cabe dan bawang saja, tidak ada!

"Ck, apa mereka pikir aku punya banyak uang yang bisa menyediakan semua keinginan mereka?” celotehnya kecil memegang pinggang.

Rasanya, ia ingin melewati tugas ini.

Tapi kalau tidak masak, sang ayah juga tidak bisa makan. Bagaimana ini?

“Ngapain kamu berdiri saja di sana?”

Vanesha sontak tersadar ketika mendengar suara Gema yang menyibakan horden pembatas dapur.

“Bu, ini, gak ada apa-apa di sini, jadi aku gak bisa masak.”

“Gak ada alasan! Kalau gak ada, ya beli dong! Males banget sih?!” intipnya sebentar melihat kulkas.

“Tapi aku gak punya uangnya sekarang. Tadi malam kan Ibu sudah ambil semuanya.”

“Itu masalahmu sendiri. Eh Vanesh! Kalau kau gak masak, bukan hanya aku saja yang gak bisa makan, tapi ayahmu yang penyakitan itu.”

Dia tahu itu, dan sebenarnya itulah yang paling dia pikirkan.

“Bu, tolong berikan aku uang kemarin, atau tidak setengahnya saja. Aku akan ke pasar dan membeli yang dibutuhkan. Nanti, kalau aku sudah bekerja, aku akan menggantinya lagi. Bu, kalau aku tidak bekerja, Ibu dan adik-adik, siapa yang akan memenuhi kebutuhan kalian?” ucapnya ragu.

Masuk akal, pikir Gema yang mata duitan.

“Oke.” Wanita itu mengeluarkan selembar 20 ribu rupiah dari kantong dasternya yang memiliki bagian sobek, “Nih, ambil uang ini dan pergi kewarung, belanja!”

Vanesha mengernyitkan keningnya ketika melihat selembar uang itu, “Bu, ini mana cukup. Kita tidak punya apa-apa, bahkan buat beli beras-

“Bodo amat! Gak mau tahu, harus cukup!” setelah mengatakan itu, dia pun pergi meninggalkan Vanesha yang masih bingung bagaimana caranya membagi-bagikan uang. Digaruk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal itu, ‘Haruskah aku pergi saja dari sini bersama Ayah?’

Ragu, ia mulai menghubungi orang itu....

***

“Kenapa aku harus ikut bertemu dengan wanita aneh itu sih?”

Di sisi lain, Raditya mengomel karena dibawa paksa oleh Manajernya untuk menemui seseorang.

“Karena ini akan berhubungan denganmu, Radit,” jawab Hendrik, sembari memeriksa ponselnya dan jadwal untuk aktornya.

“Apa? Jangan bilang, tentang wanita itu?”

Hendrik hanya melihat sekilas pada Raditya sebagai jawabannya.

“Hah… jadi, apa benar dia akan menjadi asistenku?” Radit menutup wajahnya dengan telapak tangannya.

“Ya, semoga saja. Dan kalaupun dia menjadi asistenmu, aku berharap dia bisa bertahan lama padamu.”

“Yah, itu jika dia mampu kan?”

Hendrik menghela napas.

Diabaikannya aktor bimbingannya itu sejenak dan mengambil ponsel.

[Sebentar lagi kami akan tiba.]

Ya, Hendrik mengirim pesan pada Vanesha, orang yang menghubunginya sejak pagi tadi dan membuat janji temu meski Raditya terus mengoceh.

Saat ini, fokusnya hanya satu. Memastikan Vanesha menerima tawarannya.

Dengan begini, 2 pulau terlampaui dalam sekali dayung.

Raditya akan mendapat asisten baru dan juga Hendrik dapat memastikan reputasi Raditya "terjaga".

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Diandra Firansyah
lanjut kk. semoga raditya gk jahil2 amat
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status