“Ck! Kau seperti orang bodoh. Kalau orang lain yang melihatnya, mereka akan mengira kau akan kesurupan.”
Kening Vanesha sontak mengernyit karena suara Raditya telah membuyarkan angan-angannya.
“Bagaimana Nona Vanesha? Saya rasa, tawaran ini jauh sangat menguntungkan untukmu kan? Atau, mungkinkah jumlahnya masih kecil?” ucap Hendrik mencegah pertengkaran antara kedua orang itu lagi.
“Mana mungkin dia menolak, Hendrik? Dia terkejut karena belum pernah menerima uang sebanyak itu, kau tidak lihat bagaimana mulutnya tadi? Dalam pikirannya pun, dia bisa menggantikan motor bututnya itu dengan uang sebanyak itu, yah walau masih kurang sih.”
“Radit!” Hendrik memaksa artisnya untuk diam dan jangan membuat emosi Vanesha yang sedang dia usahakan untuk menerima pekerjaan.
Bukan buat beli motor, tapi uang itu bisa dia gunakan untuk mengobati ayahnya, dan memenuhi kebutuhan keluarganya.
Ketika Vanesha masih serius untuk mempertimbangkannya, mulai ada gangguan-gangguan kecil, namun tidak nyaman. Hendrik yang merasakannya, sedangkan Raditya menurunkan wajah dan topinya demi menutupi jati dirinya.
Klik! Klik!
Sial! Gerutu Raditya ketika mendengar suara kamera yang mengambil gambarnya diam-diam.
Belum lagi, ada beberapa pengunjung café, berbisik dengan temannya dan menunjuk padanya, “Dia artis yang ‘Itu’ kan?” tanyanya pada temannya.
‘Jadi seperti ini ya?’ Vanesha juga mulai menyadari dan melihat mereka yang berusaha untuk mendekat dan melihat wajah Raditya walau pelan-pelan.
“Baiklah, Pak. Saya akan menerima pekerjaan tersebut,” ucap Vanesha dengan yakin.
Hendrik tersenyum lebar, “Saya senang sekali mendengarnya.”
“Kapan saya mulai bekerjanya?”
“Besok saja. Saya akan mengirimkan alamat tempat dimana kamu harus datang ya. Nah, karena semua pembahasannya sudah selesai, kami pergi dulu. Tapi, karena kamu sudah menerima pekerjaan ini, tolong jaga rahasia apapun tentang Radit.”
“Iya Pak, saya bisa menjaga rahasia orang, bahkan sampai kematian taruhannya.”
“Waduh, serem amat ya. Aku tidak mau memiliki asisten seorang hantu.”
“Sudah, sudah Radit, ayo kita pergi sekarang. Aku rasa sebentar lagi mereka akan… akh, tidak, mereka sudah tahu. Ayo pergi!”
***
“Hallo Kak, Kak Radit, ya?”
“Kak, boleh foto bareng gak Kak?”
“Kak, minta tanda tangan dong Kak.”
“Kakak ganteng banget loh, aku selalu menonton film dan sinetronnya loh Kak.”
Belum juga mereka keluar dari café, mereka sudah datang begerombol menyerobot untuk lebih dekat dengan Radit. Belum juga dapat ijin atau jawaban, tapi mereka sudah berani mengambil gambar dan video.
Karena merasa iba, Vanesha yang masih duduk ditempatnya, berdiri dan berusaha untuk membantu orang yang akan menjadi bos nya. Kalau tidak karena melihat ekspresi wajah Raditya yang malas berhubungan dengan mereka dan kesulitan, Vanesha tidak mungkin melakukannya.
Disela-sela Raditya yang dihimpit, Vanesha masuk diantara mereka dan menarik tangan Raditya, membawanya keluar dan kabur.
“Hey! Tunggu! Radit!”
“Tunggu Kak!”
Mereka pun dengan cepat mengejarnya.
“Ayo cepat lari!” masih menggenggam tangannya, mereka berlari entah kemana, yang terpenting, bisa menjauh dari fans gilanya.
“Huf… huf…. Hhuf…” karena dirasa sudah jauh, mereka pun berhenti.
“Napasku… hah… hah… rasanya mau… putus.” Ucap Vanesha membungkukkan badannya untuk mengatur napas.
“Baru segitu saja kau sudah kelelahan. Kau harus mulai membiasakannya sekarang, karena bukan hanya kali ini saja kita akan kabur-kaburan seperti ini.” Ucap Raditya yang tidak terlihat capek sedikit pun.
“Hah… iya, aku tahu.”
Ponsel Raditya berdering, “Iya hallo? Kami ada dibelakang café, dekat lapangan bola. Oke, kami akan menunggumu.”
“Apa telepon dari pak Hendrik?”
“Hm!” Radit memasukan ponselnya kedalam saku celananya.
“Hey kau!” tatapan tajam dari Raditya pada Vanesha.
“Iya?”
“Ingat ya, selama kau bekerja denganku, kau harus patuh apapun yang aku suruh, kapanpun. Waktu libur dan jam kerja, juga tidak menentu, tapi pasti ada. Aku tidak suka orang yang lelet.”
“Iya, saya mengerti.”
“Hm, bagus.”
Suara mobil mulai mendekat, mereka tahu, mobil siapa itu. Tidak sampai keluar, Hendrik menggeser pintu mobilnya kesamping dan mengeluarkan wajahnya, “Radit! Ayo masuk!” Hendrik memanggilnya.
Tap!
Satu tepakan tangan dari Raditya dibahu Vanesha, “Aku pergi dulu, sampai jumpa besok! Jangan sampai terlambat!” memakai topinya lagi, dan langsung masuk kedalam mobilnya. Hendrik melambaikan tangan pada Vanesha sebelum mereka berpisah.
“Hah… sekarang aku bingung ada dimana. Motorku masih ada disana. Tak apa, Vanesh, yang terpenting, kau sudah mendapatkan pekerjaan yang baru.” Vanesha mengelus dadanya.
Sementara itu di rumah…
Prang!
“Ayah! Kenapa kau memecahkan gelasnya?! Sengaja ya?”
“Uhuk… uhukk.. tidak Bu, Ayah gak…uhukk…. Uhukk… gak sengaja.” Padahal, Bayu Saputra berjalan dengan langkah lunglai pergi kedapur untuk mengambil air minum, tapi malah diomeli isteri keduanya.
“Tapi kenapa gelasnya pecah? Sudah tahu tua, penyakitan, jalan aja gak becus, masih sempatnya keluar dari kamar. Memangnya mau ngapain sih?”
Bayu Saputra memungut pecahan kaca dengan kedua tangannya, “Ayah haus Bu. Tadi, Ayah minta tolong sama Melody atau Desi, tapi mungkin mereka gak dengar. Sshh…” jarinya berdarah karena salah menyentuh pecahannya.
“Mereka kan lagi fokus belajar, ngapain ganggu? Kan bisa ambil sendiri! Jangan ganggu mereka, ada-ada saja. Coba saja si Vanes di rumah, gak akan ngomel-ngomel akunya.”
Baru aja menyebutkan nama Vanesha, gadis itu sudah pulang dan memasukan motornya sampai diteras rumahnya saja. Mendengar anak tirinya sudah pulang, buru-buru dia kedepan, dan pastinya akan mengomel lagi. Bayu Saputra geleng-geleng kepala, masih posisi yang sama, jongkok karena harus mengumpulkan pecahan gelas yang menyebar.
“Darimana saja sih kau? Tiap hari pulangnya malam, pacaran ya?”
“Enggak Bu, aku habis tanya-tanya pekerjaan.”
“Jadi gimana? Dapat?”
“Iya, dapat Bu. Mulai besok, aku akan bekerja dan berangkatnya pagi.”
“Berapa gajinya?”
Vanesha menutup mulutnya dan berpikir sebentar, ‘Aku tidak boleh bilang padanya kalau gajiku 20 juta.’
“Kenapa diam?? Tiba-tiba bisu?”
“Itu… hanya tiga juta saja Bu.”
“Tiga juta? Kenapa sedikit sekali? Apa kerjaannya?”
“Jadi…. Pembantu rumah tangga,” jawabnya berbohong. Tidak mungkin dia mengatakan dia menjadi asisten artis, kan? Walau dia tidak tahu seterkenal apa orang itu, tapi dia khawatir Gema akan macam-macam.
Untuk menghindari pertanyaan selanjutnya, Vanesha pergi ke kamar tempat ayahnya tidur, “Ayah? Bu, Ayah dimana?” tanyanya ketika sudah mencari didalam kamar.
“Di dapur!” jawabnya acuh. Setiap hari, setiap waktu, Gema selalu kasar jika berbicara dengan Vanesha.
“Ayah! Apa yang Ayah lakukan? Kenapa jongkok disana?” dia membantu Ayahnya untuk berdiri, “Ini… apa Yah?” dilihat pecahan kaca ditelapak tangannya.
“Vanesh, kamu sudah pulang Nak?”
“Iya Ayah, kenapa Ayah memegang kaca-kaca ini?”
“Tadi Ayah gak sengaja memecahkan gelas, lalu Ayah memungutnya.”
“Apa? Ayah bisa membiarkannya saja sampai aku datang. Atau, kenapa tidak menyuruh Melody atau Desi?”
“Memangnya kau pikir anak-anakku itu pembantu kayak kamu??”
Deg!
Suara Gema yang sinis benar-benar membuat Vanesha murka!
Sayangnya, sang ayah mendadak berbicara, “Sudah, biarkan saja Vanesh, Ayah tidak apa-apa.”“Tapi Yah, Ayah kan lagi sakit, jalan aja gak kuat. Bu, Melody dan Desi kan masih muda, hanya untuk mengambilkan air minum untuk Ayah, apa susahnya? Juga gak pakai waktu lama.”Prang!Kesal, Gema melempar gelas kosong yang ada didekatnya. Takut kena pecahan kaca, Vanesha dan Ayah menjauh, “Apa susahnya? Mereka lagi mau ujian! Kau mau adik-adikmu tinggal kelas?! Lagipula, ayah kamu belum mati kan?”“Bu--"“Ssh…. Sshh… sudah, sudah, biarkan saja, Vanesha. Sekarang, Ayah mau ke kamar saja.”Vanesha menuntun Ayahnya untuk kembali ke kamar. Wajah judes dan angkuhnya Gema, terang-terangan ditunjukan pada mereka berdua.Dia meletakan ayahnya di pembaringan, “Ayah sudah makan?”“Tadi… Ayah sudah makan roti.” Ragu-ragu menjawabnya.“Apa? Roti? Kalau makan nasi?”Bayu mengangkat wajahnya, dan menggelengkan kepala.“Hah? Jam segini Ayah belum makan?” Vanesha berdiri ingin keluar dari kamar, “Vanesha, biark
Setelah meyakinkan security, dan juga Hendrik yang menghubungi mereka, barulah mereka percaya kalau Vanesha adalah orang yang disuruh untuk menjadi asisten pribadi majikan mereka, Raditya.Tok! Tok! Tok!Karena tidak berani asal masuk, Vanesha mengetuk pintu.Masih belum dibuka, dia melakukan lagi, mengetuk pintu.Jangankan pintunya dibuka, tanda-tanda suara dari dalampun, taka da.‘Apa yang harus aku lakukan? Masuk saja? Bagaimana kalau aku tanyakan saja pada pak Hendrik?’Tidak mau dianggap tidak sopan, Vanesha yang masih berdiri didepan kamar orang yang sudah menjadi atasannya, Vanesha mencoba mengirim pesan pada Hendrik sambil menunggu pintu dibuka.“Katanya disuruh masuk saja? Ini beneran gak apa-apa kan?” Vanesha mendapat balasan pesan dari Hendrik.Dengan bukti percakapannya dari orang terdekat Raditya, Vanesha pun berani masuk.Ceklek!Dia masih berdiri melihat sekitarnya.Deg! Deg! Deg!Vanesha belum pernah masuk kedalam kamar orang lain, apalagi seorang pria.Vanesha berpikir
Tap!Tangan Raditya menyentuh dagu Vanesha, menaikannya agar wajah mereka saling berhadapan, dan mengharuskan Vanesh menatapnya, “Berani sekali kau ya. Aku pikir itu hanya ancaman saja. Tapi, baru hari pertama, kau melakukan ini padaku, apa kau pikir aku-Ddrtdd… drrrttd…Ponsel Vanesha berdering.Seperti mendapat kekuatan, Vanesha bisa bergerak, menurunkan tangan Raditya dan menjauh darinya sembari mengeluarkan ponselnya, “I-iya, Pak Hendrik?” tapi matanya melihat kearah Raditya.“Iya Pak, dia… dia sudah bangun.”Karena ‘Mainannya’ sedang sibuk, Raditya berjalan ke kamar mandi, karena dia tahu apa yang akan Hendrik suruh pada Vanesha.“Dia sedang mandi, Pak. Baik Pak, sebentar lagi kami akan tiba di lokasi.”Setelah selesai berbicara dengan Hendrik, dia mengelus dada karena lega, “Hhuuff…”Sambil menunggu, Vanesha merapikan ranjang, membersihkan kamar yang berantakan dan mencari pakaian yang akan dipakai Raditya.Ada banyak punting rokok dibawah nakas kecil, dan disudut kamar, juga a
“Tunggu! Tunggu dulu, ini… ini ada yang salah. Saya bukan pemainnya.”“Tidak ada waktu lagi, pokoknya anda harus berganti pakaian. Hey! Mana bikininya? Ambil yang warna merah saja!” tim unit dari wardrobe memanggil timnya yang lain.“Tu-Tuan Radit, tolong saya.”Bukannya ditolong atau bantu menjelaskan, Raditya tersenyum jahil membiarkan itu terjadi. Bahkan dia sampai menunggu gadis itu membuka semua pakaiannya. Satu kancing, dua kancing, dan hampir kancing ketiga akan mereka buka. Padahal sudah dua tangan Vanesha menahan pakaiannya, tapi mereka tetap memaksa.“Loh? Ada apa Vanesha?” untunglah Hendrik datang.“Pak… Hendrik…” hampir menangis, suara pelan memanggil nama atasannya.“Mas, dia bukan pemain, dia asistennya Raditya.” Hendrik pun menjelaskan semuanya dan menghalangi mereka yang menyentuhnya.“Apa? asistennya Raditya? Kok gak ada yang kasih tahu ya?”“Saya sudah kasih tahu beberapa kali kok, tapi gak ada yang mau dengar dan percaya.” Ucap Vanesha memasangkan kancingnya lagi.H
Setelah beberapa kali adegan, akhirnya mereka pun istirahat. Vanesha sudah menyiapkan handuk dan minuman yang akan diberikan untuk Raditya. Dari jauh, sudah terlihat kalau Raditya sedang berjalan kearahnya.“Radit, maaf ya, karena aku, adegannya diulang-ulang.” Setengah berlari, Jovanka mengejarnya dan memeluk lengannya.Mungkin karena sudah lelah dan malas, Raditya menarik tangannya dari Jovanka, mengabaikannya dan meminta handuk dari Vanesha.Sambil mengusap tubuhnya yang basah karena air kolam dengan handuk, Raditya duduk. Vanesha dan Jovanka masih berdiri bersampingan dihadapannya.“Mana air minumku?”“Oh iya, ini dia.” Air minum didalam botol yang dingin, diberikan Vanesha, itupun setelah dia membukanya.“Radit, sebagai ganti ruginya, bagaimana kalau kita makan malam berdua? Nanti malam, aku juga bisa menemanimu.” Tangannya mengusap kulit lengan Raditya, dari atas hingga kebawah.Sekali lagi, Radit menepisnya, “Pergilah Jovanka, aku capek dan tidak mau diganggu.”“Aku… aku hanya
“Hhooamm…” Vanesha menguap. Dia masih berada di lokasi syuting. Beberapa kali melihat jam ditangannya, “Sudah jam 1 dini hari, dan mereka masih syuting.”Kepala Vanesha naik dan turun karena mengantuk. Sudah berapa kali mereka pindah lokasi, dan lokasi yang sekarang, adalah kali ke lima.Duduk ditempat yang tidak bisa buat orang yang menunggu, sambil tertidur walau sebentar, tapi tetap waspada bersiap jika majikannya memberinya perintah.“Cut!” sutradara berteriak menghentikan syuting, “Terima kasih buat semuanya, syuting untuk hari ini selesai, besok pagi kita mulai lagi.” Sutradara berdiri, dan pergi meninggalkan artis dan para tim-nya lebih dulu.Raditya memijit leher belakangnya karena dia juga lelah.“Radit….?” Jovanka terkejut karena Raditya menghindari tangannya yang ingin menyentuhnya.Tanpa mengatakan apa-apa, dia pergi kearah Vanesha yang masih tidur dikursinya.‘Hm, aku capek kerja, dan dia di sini enak-enakan tidur ya.’Tok! Tok! Tok!“Hey, bangun!” sengaja, Raditya menget
Raditya malah tersenyum lebar tanpa merasa bersalah. Bahkan, dia masih berusaha untuk menarik tangan Vanesha. Kalau tidak cepat-cepat dia menarik tangannya, pasti dia akan terjatuh lagi disamping Raditya.“Saya akan pulang sekarang! Nanti pagi, saya akan menjemput anda. Jadi-“Bukankah jadwalku jam enam pagi harus sudah berada di lokasi?”“Saya bisa datang kok.”“Hah…” Raditya yang tadinya berbaring, dia bangun dan turun, berjalan menuju jendela kamarnya, “Untuk apa pulang? Kau hanya menghabiskan waktumu di jalan saja sebelum sampai di rumah. Kau lihat kan, sekarang jam berapa?”Vanesha melihat jam di dinding, sudah pukul tiga pagi.Benar juga, tidak mungkin Vanesha bisa datang tepat waktu untuk melakukan pekerjaannya. Apalagi, kalau sudah sampai di rumah, selain mendapatkan omelan dari ibu tiri, dia akan disuruh melakukan tugas rumah yang pasti memakan waktu lama. Jam enam pagi, harus sudah sampai di lokasi syuting.Tapi, bagaimana dengan Ayah? Bagaimana kalau Ayah belum makan dan ti
“Jangan bicara sembarangan kamu, Gema. Vanesha tidak mungkin melakukan pekerjaan seperti itu.” Dengan napas sesak, Bayu membela puterinya.“Bicara sembarangan? Apa kau gak tahu kalau sampai sekarang puteri kesayanganmu itu belum pulang, hah? Apa lagi namanya kalau bukan pelacur?”“Cukup Gema!” Bayu membentak isterinya, padahal tenaganya saja hanya sedikit. Rasa kecewa dan marah memuncak ketika isteri keduanya menghina Vanesha. Bahkan dia tak perduli jikalau dia akan mendapat cacian dan hinaan, atau mungkin siksaan fisik dari Gema. Dia tidak bisa hanya berdiam diri saja.Brakh!Dengan satu kaki, Gema menendang dinding rumah yang lama itu, “Apa? Kau berani membentakku Pak tua??!” Gema menunjuk-nunjuk Bayu dengan ujung jarinya kearah wajah Bayu. Pria itu hanya menggerakan wajahnya untuk menghindari kalau-kalau Gema menamparnya.“Kau itu sudah mau mati ya! Mayat hidup! Kau hanya beban untuk kami. Apa kau pikir anakmu itu gak setres punya ayah penyakitan sepertimu? Hah?!”“Ibu! Aku mau ber