Hai Kak, terima kasih sudah mampir. Mohon beri komentar ya Kak.
Tap!Tangan Raditya menyentuh dagu Vanesha, menaikannya agar wajah mereka saling berhadapan, dan mengharuskan Vanesh menatapnya, “Berani sekali kau ya. Aku pikir itu hanya ancaman saja. Tapi, baru hari pertama, kau melakukan ini padaku, apa kau pikir aku-Ddrtdd… drrrttd…Ponsel Vanesha berdering.Seperti mendapat kekuatan, Vanesha bisa bergerak, menurunkan tangan Raditya dan menjauh darinya sembari mengeluarkan ponselnya, “I-iya, Pak Hendrik?” tapi matanya melihat kearah Raditya.“Iya Pak, dia… dia sudah bangun.”Karena ‘Mainannya’ sedang sibuk, Raditya berjalan ke kamar mandi, karena dia tahu apa yang akan Hendrik suruh pada Vanesha.“Dia sedang mandi, Pak. Baik Pak, sebentar lagi kami akan tiba di lokasi.”Setelah selesai berbicara dengan Hendrik, dia mengelus dada karena lega, “Hhuuff…”Sambil menunggu, Vanesha merapikan ranjang, membersihkan kamar yang berantakan dan mencari pakaian yang akan dipakai Raditya.Ada banyak punting rokok dibawah nakas kecil, dan disudut kamar, juga a
“Tunggu! Tunggu dulu, ini… ini ada yang salah. Saya bukan pemainnya.”“Tidak ada waktu lagi, pokoknya anda harus berganti pakaian. Hey! Mana bikininya? Ambil yang warna merah saja!” tim unit dari wardrobe memanggil timnya yang lain.“Tu-Tuan Radit, tolong saya.”Bukannya ditolong atau bantu menjelaskan, Raditya tersenyum jahil membiarkan itu terjadi. Bahkan dia sampai menunggu gadis itu membuka semua pakaiannya. Satu kancing, dua kancing, dan hampir kancing ketiga akan mereka buka. Padahal sudah dua tangan Vanesha menahan pakaiannya, tapi mereka tetap memaksa.“Loh? Ada apa Vanesha?” untunglah Hendrik datang.“Pak… Hendrik…” hampir menangis, suara pelan memanggil nama atasannya.“Mas, dia bukan pemain, dia asistennya Raditya.” Hendrik pun menjelaskan semuanya dan menghalangi mereka yang menyentuhnya.“Apa? asistennya Raditya? Kok gak ada yang kasih tahu ya?”“Saya sudah kasih tahu beberapa kali kok, tapi gak ada yang mau dengar dan percaya.” Ucap Vanesha memasangkan kancingnya lagi.H
Setelah beberapa kali adegan, akhirnya mereka pun istirahat. Vanesha sudah menyiapkan handuk dan minuman yang akan diberikan untuk Raditya. Dari jauh, sudah terlihat kalau Raditya sedang berjalan kearahnya.“Radit, maaf ya, karena aku, adegannya diulang-ulang.” Setengah berlari, Jovanka mengejarnya dan memeluk lengannya.Mungkin karena sudah lelah dan malas, Raditya menarik tangannya dari Jovanka, mengabaikannya dan meminta handuk dari Vanesha.Sambil mengusap tubuhnya yang basah karena air kolam dengan handuk, Raditya duduk. Vanesha dan Jovanka masih berdiri bersampingan dihadapannya.“Mana air minumku?”“Oh iya, ini dia.” Air minum didalam botol yang dingin, diberikan Vanesha, itupun setelah dia membukanya.“Radit, sebagai ganti ruginya, bagaimana kalau kita makan malam berdua? Nanti malam, aku juga bisa menemanimu.” Tangannya mengusap kulit lengan Raditya, dari atas hingga kebawah.Sekali lagi, Radit menepisnya, “Pergilah Jovanka, aku capek dan tidak mau diganggu.”“Aku… aku hanya
“Hhooamm…” Vanesha menguap. Dia masih berada di lokasi syuting. Beberapa kali melihat jam ditangannya, “Sudah jam 1 dini hari, dan mereka masih syuting.”Kepala Vanesha naik dan turun karena mengantuk. Sudah berapa kali mereka pindah lokasi, dan lokasi yang sekarang, adalah kali ke lima.Duduk ditempat yang tidak bisa buat orang yang menunggu, sambil tertidur walau sebentar, tapi tetap waspada bersiap jika majikannya memberinya perintah.“Cut!” sutradara berteriak menghentikan syuting, “Terima kasih buat semuanya, syuting untuk hari ini selesai, besok pagi kita mulai lagi.” Sutradara berdiri, dan pergi meninggalkan artis dan para tim-nya lebih dulu.Raditya memijit leher belakangnya karena dia juga lelah.“Radit….?” Jovanka terkejut karena Raditya menghindari tangannya yang ingin menyentuhnya.Tanpa mengatakan apa-apa, dia pergi kearah Vanesha yang masih tidur dikursinya.‘Hm, aku capek kerja, dan dia di sini enak-enakan tidur ya.’Tok! Tok! Tok!“Hey, bangun!” sengaja, Raditya menget
Raditya malah tersenyum lebar tanpa merasa bersalah. Bahkan, dia masih berusaha untuk menarik tangan Vanesha. Kalau tidak cepat-cepat dia menarik tangannya, pasti dia akan terjatuh lagi disamping Raditya.“Saya akan pulang sekarang! Nanti pagi, saya akan menjemput anda. Jadi-“Bukankah jadwalku jam enam pagi harus sudah berada di lokasi?”“Saya bisa datang kok.”“Hah…” Raditya yang tadinya berbaring, dia bangun dan turun, berjalan menuju jendela kamarnya, “Untuk apa pulang? Kau hanya menghabiskan waktumu di jalan saja sebelum sampai di rumah. Kau lihat kan, sekarang jam berapa?”Vanesha melihat jam di dinding, sudah pukul tiga pagi.Benar juga, tidak mungkin Vanesha bisa datang tepat waktu untuk melakukan pekerjaannya. Apalagi, kalau sudah sampai di rumah, selain mendapatkan omelan dari ibu tiri, dia akan disuruh melakukan tugas rumah yang pasti memakan waktu lama. Jam enam pagi, harus sudah sampai di lokasi syuting.Tapi, bagaimana dengan Ayah? Bagaimana kalau Ayah belum makan dan ti
“Jangan bicara sembarangan kamu, Gema. Vanesha tidak mungkin melakukan pekerjaan seperti itu.” Dengan napas sesak, Bayu membela puterinya.“Bicara sembarangan? Apa kau gak tahu kalau sampai sekarang puteri kesayanganmu itu belum pulang, hah? Apa lagi namanya kalau bukan pelacur?”“Cukup Gema!” Bayu membentak isterinya, padahal tenaganya saja hanya sedikit. Rasa kecewa dan marah memuncak ketika isteri keduanya menghina Vanesha. Bahkan dia tak perduli jikalau dia akan mendapat cacian dan hinaan, atau mungkin siksaan fisik dari Gema. Dia tidak bisa hanya berdiam diri saja.Brakh!Dengan satu kaki, Gema menendang dinding rumah yang lama itu, “Apa? Kau berani membentakku Pak tua??!” Gema menunjuk-nunjuk Bayu dengan ujung jarinya kearah wajah Bayu. Pria itu hanya menggerakan wajahnya untuk menghindari kalau-kalau Gema menamparnya.“Kau itu sudah mau mati ya! Mayat hidup! Kau hanya beban untuk kami. Apa kau pikir anakmu itu gak setres punya ayah penyakitan sepertimu? Hah?!”“Ibu! Aku mau ber
“Oke, kita mulai lagi syutingnya, semuanya kembali pada tempatnya!” sutradara sudah memanggil semua artis-artisnya.”***Tetangga mendengar ada suara mobil yang baru berhenti di depan halaman rumah Vanesha. Saking penasarannya, mereka pun keluar untuk melihat mobil siapa itu.“Vanes?” tetangga yang di ujung, menyapanya.“Bu.” Vanesh hanya mengangguk, tersenyum sebentar, lalu masuk kedalam rumahnya. Dia buru-buru masuk sebelum ada banyak pertanyaan dari mereka. Dia hanya sebentar saja di rumah. Memeriksa ayahnya, mandi dan pergi lagi.‘Ibu gak ada di rumah? Syukurlah. Dia tidak akan menahanku sementara.’“Ayah?” Vanesha memanggil ayahnya sebelum membuka horden kamarnya.“Vanesh?” Bayu, yang tadinya berbaring, tapi bukan tidur, karena mendengar suara puterinya, dia pun bangun dan ingin berdiri, “Ayah, gak usah berdiri, tetap duduk saja.” Kata Vanesha masuk ke dalam kamar.“Vanesha, kamu dari mana saja Nak? Kenapa kamu baru pulang?”“Ayah pasti sangat khawatir ya?”“Tentu saja Ayah khawa
Tak terasa sudah satu bulan Vanesha bekerja sebagai asisten artis dari Raditya. Dan hari ini, adalah hari dia mendapatkan gaji pertamanya.Tok! Tok! Tok!“Masuklah, Vanesha.”Vanesha yang dipanggil Hendrik untuk menemuinya di ruangan pribadinya, masuk setelah mendapat ijin. Rupanya, bukan hanya ada Hendrik saja disana, tapi Raditya juga. Mereka berdua duduk di sofa dan melihat kedatangannya yang membuatnya canggung.“Pak Hendrik memanggil saya ya?”“Iya, Vanesh. Kamu duduk dulu.”“Mmm, permisi, Tuan.” Vanesha harus melewati Raditya, karena kursi yang kosong ada ditengah-tengah dua pria tampan itu.“Nah, ini untukmu, Vanesh.” Diberikan amplop kecil, sedikit tebal.“I-ini, apa ya Pak?” tanyanya tanpa menyentuh.“Jangan pura-pura gak tahu padahal sudah menunggunya dari hari-hari kemarin.” Ucap Raditya.“Saya benar-benar gak tahu kok, Tuan.”“Bohong. Itu gajimu, Katro.”“Tuan, apa anda tidak bisa menyebut nama saya? Atau, apa nama saya terlalu sulit anda panggil?”“Hah? Kau berani berdeba
Sudah dua minggu sejak Raditya mengutarakan perasaannya pada Vanesha, dan masih tidak berubah pikiran. Malahan, dia semakin manja dan bergantung pada Vanesha, setiap menit.“Permisi, dengan nona Vanesha?” seorang kurir menghampiri Vanesha yang sedang menunggu Raditya syuting.“I-iya? Itu aku?”“Ini, pesanan makanannya. Semuanya sudah dibayar, tinggal diterima saja.”“Oh iya, terima kasih Pak.” Setelah menerima pesanan yang ternyata isinya makanan, Vanesha melihat Raditya. Pria itu, melambaikan tangan dan tersenyum padanya.Karena disuruh untuk istirahat, Raditya datang dan menghampiri Vanesha, duduk disampingnya, dan menyandarkan kepala dibahunya, “Hah…”“Tuan, makanan ini, apa anda mau langsung memakannya?”“Sudah aku bilang jangan panggil aku ‘Tuan’. Aku kan sudah melarangmu.”“Mana bisa saya melakukan itu. Namanya tidak sopan.”“Kan aku yang suruh. Pokoknya, aku akan marah kalau kau melakukan itu lagi.”“Tapi-“Makanannya sudah datang kan? Tapi, kenapa tidak kau makan? Sampai sudah
Keadaan Sulastri sudah semakin membaik. Dia sekarang berbaring diranjangnya, dan Radtiya juga Vanesha masih disana untuk menjaganya. Raditya mulai bisa menyentuh dan dekat dengan ibunya, padahal sebelumnya belum pernah bisa berdiri dengan jarak yang dekat.Karena ibunya sudah tenang dan tidur, Dokter Ivan mengajak mereka berdua untuk pergi dan membiarkan Sulastri beristirahat sendiri.“Saya terkejut, karena hari ini, nyonya Sulastri lebih ramah dari sebelumnya. Walau sempat tadi dia mengamuk dengan pak Surya. Tapi saya tidak menyangka dia akan luluh dengan anda.” Kata dokter Ivan memberi pujian.“Tentu saja dok. Namanya juga hubungan ibu dan anak, darah itu pasti mengalir dan saling mengenal.” Kata Vanesha.“Sayang sekali, pak Surya sudah pergi karena katanya ada urusan yang harus dia kerjakan.”“Aku tidak perduli!”“Tuan..” Vanesha menegurnya pelan.“Kalau begitu, saya akan meninggalkan kalian dulu, permisi ya.”Sekarang hanya tinggal Vanesha dan Raditya.“Tuan, anda juga harus dioba
Beberapa hari kemudian. Surya merindukan mantan isterinya, Sulastri. Dia pun berniat untuk pergi lagi ke rumah sakit jiwa, padahal sebelumnya dia sudah menemui Sulastri walau mantan isterinya tidak mengetahuinya.“Dimana dokter Ivan?” tanya Surya pada rekan dokter Ivan karena dia tidak menemukan dokter yang biasanya mengurus Sulastri.“Dokter Ivan sedang mengantarkan dua orang untuk menemui pasien.”“Apa? Dua orang? Siapa mereka?”“Maaf Pak, saya tidak tahu. Hanya itu saja pesan dari dokter Ivan.”“Ya sudah, terima kasih.” Tapi, Surya sendiri yang akan pergi menemui Sulastri, juga dia tahu dimana tempatnya.Tap!Langkah kakinya berhenti ketika dekat dengan Sulastri, dan dua orang yang dia kenal, “Raditya?” dia memanggil nama puteranya.“Pak Surya?” tapi Vanesha yang merespon Surya, sedangkan Raditya hanya melihatnya saja.Surya mendekati mereka, disana juga ada dokter Ivan.“Apa yang kau lakukan di sini, Radit?”“Kau sendiri? Kenapa kau datang ke sini?” pertanyaan ketus dari Raditya.
“Mmm… Tuan, apa yang kita lakukan di dapur ini?” Vanesa curiga.‘Apa sebentar lagi dia akan mencumbuku di sini? Selera yang aneh. Tapi… ah, biarkan sajalah. Yang penting hutangku berkurang dan dia tidak marah-marah.’“Buatkan nasi goreng untukku.”“Ya saya akan melakukan selera aneh anda…. Eh? Ma-maksudnya…. Nasi goreng?”‘Maksudnya gaya ‘Nasi goreng’ kah? Ba-bagaimana gaya itu ya?’Cetak!“Auuchh…” Vanesha memegang keningnya yang dijentik pelan oleh Raditya.“Apa yang kau pikirkan? Aku bilang, buatkan aku nasi goreng. Kau sudah banyak makan kan? Apa kau pikir aku tidak lapar?” Raditya berpangku tangan menunggu pergerakan Vanesha.“Nasi goreng… beneran nasi goreng kan? Beras yang sudah jadi nasi, lalu di goreng di penggorengan pakai garam-“Iya! Bawel banget sih. Cepat buatkan aku nasi goreng, dan harus enak. Telurnya dua, yang di mata sapi kan satu, lalu yang di orak-orek satu. Pedasnya sedang, dan jangan terlalu banyak minyak dan garamnya.”Vanesha masih bingung, “Dengar gak?” tanya
Padahal tadinya, suasana sedang hangat dan ramah. Tapi, entah apa yang Andre bisikan padanya, raut wajah Surya jadi murung bercampur kesal. Terasa sekali perubahannya.“Maafkan saya, sepertinya hari ini cukup di sini dulu. Lain waktu, mari kita berkumpul dan mengobrol seperti ini. Vanesha, kau juga harus tetap ikut ya.” Surya berdiri dari kursinya dan tetap berusaha untuk tersenyum ramah pada mereka.“Iya Pak, terima kasih. Tapi, anda belum makan loh.”“Saya bisa makan nanti. Karena ada urusan yang sangat mendesak sekali hari ini. Radity, Ayah pergi dulu. Jaga kesehatanmu.”Tapi Raditya tidak menjawabnya.‘Yah.. paling tidak, Tuan Radity tidak marah.’Buru-buru, Andre dan Surya pergi meninggalkan mereka.“Ya, kalau begitu, aku juga harus pergi.”“Anda mau ke mana, Pak Hendrik?”“Mau pulang menemui calon kakak iparmu. Sebentar lagi kan, kami akan menikah. Oh ya, mungkin selama aku menikah, Vanesha pasti akan semakin banyak kerjaan dan kerepotan. Mohon bantuannya ya. Nanti, kamu akan ak
“Kenapa? Kau tidak mau menikah denganku?”‘Pertanyaan jebakan ini. Kalau jujur sih, enggak mau. Apalagi tempremental anda yang tinggi ini.’“Ah, sudahlah. Kau hanya diam saja, berarti memang tidak mau.” Raditya kembali melihat kedepan lagi.Vanesha tidak mau membahasnya lagi. Pokoknya, dia mau segera sampai di tujuan agar dia bisa lega.“Sekarang, kau tidak mau. Tapi, ketika mengetahui masa laluku, kau pasti semakin tidak mau, dan mungkin kau akan pergi jauh.”“Mm… Tuan? Memangnya.. ada masa lalu apa?”Raditya kembali melihat Vanesha, kau dengar kan tadi, kalau ibuku berada di rumah sakit jiwa.”“Ya saya tauh… ups…” dengan tangan kanannya ia menutup mulutnya.‘Astaga, kenapa aku tidak bisa mengontrol omongan yang keluar dari mulutku sih?“Apa? Kau tahu kalau ibuku ada di rumah sakit jiwa?” caranya melihat Vanesha seperti menangkap basah akan kesalahan Vanesha.“Itu… kan anda bilang tadi. Juga, disana, mulut anda sendiri yang bicara dan kebetulan saya mendengarnya-“Tidak. Dari cara re
“Saya… saya hanya anda nanti, tidak menyesalinya…?”Raditya tiba-tiba memeluknya. Vanesha kebingungan, dia pikir, dia akan mendapat perlakukan kasar dari bos-nya, ternyata tidak.“Tu-Tuan?” panggilnya dengan lembut.‘Apa dia… sangat sedih ya?’“Aku benci padanya. Dia… dia sudah menyakitiku dan ibuku. Aku… membencinya.” Suaranya memelan, masih menyembunyikan wajahnya dibahu Vanesha.Vanesha kasihan pada Radit. Dia jadi tidak bisa memaksa atau kecewa padanya lagi. Untuk menenangkannya, Vanesha mengusap punggung Radit, “Tuan, tidak apa-apa anda membencinya, tapi… anda yang akan terus sakit hati dan tidak tenang memiliki dendam pada ayah anda. Maaf, saya tahu, rasanya pasti sangat berat memaafkan orang yang sudah menyakiti kita dari dulu.”Raditya tidak mengatakan apa-apa, tapi dia mengeratkan kedua tangannya memeluk Vanesha.“Anda tahu kan? Kalau saya juga memiliki ibu tiri dan saudari tiri. Sudah berapa kali, saya sakit hati dan kecewa padanya. Sering berhutang, kabur, dan menyakitiku b
Vanesha bisa merasakan suasana yang menegangkan diantara Surya dan Raditya. Vanesha berharap, mereka berdua tidak bertengkar hebat dan membuat keributan.Untungnya Surya tidak membahasnya lagi, karena tangan Raditya sudah dikepalkan dan rahangnya mulai mengeras.“Radit, ini.” Surya mengeluarkan map berwarna cokelat yang masih dillitkan talinya, diberikan pada Raditya. Pria muda itu, hanya melihatnya saja, tanpa mau mengambilnya, ‘Apa itu?’ kecuali Vanesha yang penasaran.“Vanesha, tolong kau buka, dan bacakan apa isinya supaya Raditya tahu.”“Iya Pak-“Jangan menyentuhnya!” larangan dari Radity, membuat tangan Vanesha berhenti.“Kenapa, Tuan? Anda kan tidak tahu apa isinya.”“Pokoknya jangan dibuka! Walau aku tidak tahu, tapi aku tidak mau tahu isinya.”“Apa kau takut mengakui kemenanganku, Radity?”“Hmp!”“Aku juga ingin memberitahukan pada Vanesha. Memangnya salah? Vanesha, tolong buka dan bacakan.”“Ta-tapi…” Vanesha ragu dan melihat Raditya yang memancarkan aura bencinya.“Tidak a
Ceklek!Andre terkejut ketika melihat isteri atasannya tiba-tiba saja masuk ke dalam ruang kerjanya.“Nyonya Widya, apa yang anda lakukan di sini?” dirinya sedang sibuk menyelesaikan pekerjaan yang Surya perintahkan.“Andre, dimana suamiku? Kenapa dia tidak ada di ruangannya?”“Ya? Apakah anda baru dari sana?”“Andre, kalau kau tidak tahu, aku tidak akan datang kesini dan menemuimu untuk buang-buang waktu.” Widiya berpangku tangan menatap rendah pada Andre.“Nyonya Widya, saya juga tidak tahu kemana pak Surya. Karena saya pikir, beliau memang masih ada di sana.”“Andre, tidak mungkin kau tidak tahu kemana dia. Cepat katakan!”“Hah… Nyonya Widya, apa anda pikir, kalau Pak surya tidak akan marah dan kecewa pada anda yang seperti ini? Seharian ini, saya diberi banyak pekerjaan dan tidak bisa keluar dari ruangan ini kalau belum menyelesaikannya. Jadi, bagaimana saya bisa tahu beliau ada di mana? Kalau di ruangannya tidak ada?”‘Benar-benar menyebalkan. Mentang-mentang dia adalah isteri da