“Apa? berikan pada Ibu amplopnya sekarang!”Vanesha berlari dari dapur lebih dulu dari Gema. Sebelum amplopnya berpindah tangan, Vanesha merebutnya dari Desi hingga bagian depannya sedikit saja terbuka.“Kau itu tidak sopan sekali ya! Ngapain kamu ngebongkar tas kakak-mu sendiri?” bentaknya pada Desi, sampai anak kedua Gema merajuk dan ingin menangis.“Vanesha! Cepat berikan amplopnya padaku!”“Kenapa aku harus kasih amplopnya pada Ibu?”“Apa? Itu uangku!”“Darimana ini jadi uangmu, Bu? Aku yang bekerja dan ini adalah upahku.” Dia memegang erat amplopnya dibelakang punggungnya.“Kau? Sekarang kau berani membantahku ya? Apa mentang-mentang karena kau yang bekerja? Padahal aku yang mengurus ayahmu yang sakit-sakitan itu.”“Bu, memangnya apa yang Ibu lakukan? Tidak ada! Aku selalu memberikan uang padamu juga kan? Jadi, kenapa Ibu minta semua gajiku?”“Kalau Ibu masih terus bersikeras untuk meminta semua gajiku, aku tidak akan memberikannya sepeserpun padamu.”‘Dasar anak kurang ajar! Ber
Vanesha mencari Raditya di dalam club. Karena pencahayaannya yang tidak terlalu terang, dia harus melihatnya dengan hati-hati, memicingkan matanya.Ada dimana dia? Itulah yang dipikirkan Vanesha.Hentakan musik yang keras membuat telinganya sakit, ditambah lagi asap rokok yang membuat napasnya sesak.Semakin masuk ke dalam, semakin gelap namun banyak orang dan barisan sofa-sofa yang diduduki.“Anda ada di mana? Saya sudah masuk, tapi tidak melihat anda.” Vanesha terus berbicara dengan Raditya dari ponselnya, “Coba angkat tangan anda dulu, atau, apa anda tidak bisa keluar saja dari sana?”“Hey… kau itu pelayanku, kenapa kau yang jadi memberiku perintah? Hah? Aku sudah melihatmu, sekarang kau hanya jalan sedikit lagi kedepan.” Ya, memang benar Raditya sudah melihat Vanesha yang tampak kebingungan karenanya.Sesuai arahan, Vanesha terus masuk melangkah kedepan, ‘Ada banyak orang di sana. Apa benar tidak apa-apa?’ langkahnya sempat berhenti ketika melihat beberapa pria dan wanita.Yang Va
Tidak bisa! Vanesha tidak bisa berada di sana lagi lebih lama. Rasanya tidak ada harga dirinya jika dia terus di sana, apalagi dengan tawa sindiran dan hinaan dari mereka seolah dirinya adalah sebuah permainan.Rasanya dia ingin menangis. Vanesha berbalik badan, dan ingin pergi.Raditya merasa malu dengan tamparan yang diterimanya, apalagi dari asistennya sendiri.“Hey kau! Mau ke mana kau?!”“Radit! Sudahlah, biarkan saja dia pergi.”“Iya Radit, mungkin dia malu.”Tadinya dia ingin mengejar Vanesha, tapi dibatalkan karena teman-temannya yang menahannya.“Ayo, kita minum dulu, Radit. Lupakan dia, kau bisa memberinya pelajaran besok. Bukankah hari ini kita untuk bersenang-senang?” temannya yang juga artis memberikan sebotol minuman keras ditangan Raditya.Orang itu memberi kode pada para wanita itu mengambil alih dengan merayunya. Tapi, tatapan sinis dan tajam dari Raditya masih mengarah pada Vanesha yang sudah meninggalkan tempat.Hampir saja Vanesha jatuh ketika mengendarai motornya.
Hari berikutnya…“Loh? Kok gak ada uang di dalam tas-ku ya?” Vanesha panik karena tidak menemukan uang gajinya di dalam tas. Padahal sudah dicari-cari kesemua bagian didalam tas, tapi tetap saja tidak ada.Tikar tempatnya tidur, sarung dan bantal yang tipis, semua diperiksa, tidak juga ada.“Akhh…! Kemana? Siapa yang masuk dan mencuri uangku?!” Vanesha sampai lelah karena mencarinya.“Ada apa Vanesh?” Ayah, yang mendengar suara Vanesha, datang untuk menanyakan keadaannya.“Ayah, apa Ayah tahu atau melihat siapa yang masuk ke dalam kamar-ku?”“Tidak Nak. Kenapa? Apa ada yang hilang?”Diamnya Vanesha bisa memberikan jawaban pada ayahnya, “Apa yang hilang? Uang? Coba Ayah bantu mencarinya.” Ayah panik dan ikut membantu padahal dia masih lemah karena sakit-sakitan.“Ayah, biarkan saja. Pasti ada orang yang masuk, apa mungkin… Ibu? Ada di mana sekarang Ibu?”“Tadi, Ibu dan adik-adikmu pergi pagi-pagi sekali.”“Apa? Akhh… sudahlah.” Vanesha duduk lemas dan memegang kepalanya.“Nak?” Ayah ju
“Kenapa kau lama sekali? Hm? Padahal hanya mengambilkan satu barang saja?”“I-itu karena ada banyak pilihan parfume yang saya tidak tahu anda mau yang mana.”‘Aku bisa merasakan gesekan dari dadanya di punggungku.’Tangan Raditya bergerak mengambil satu jenis parfume dengan aroma ‘Woody’, aroma yang hangat dan maskulin dengan sentuhan kayu seperti Cerdarwood atau Vetiver.Sengaja Radit menyemprotkan aroma parfumenya disamping leher Vanesha dan menghirupnya, “Hhmm… apa menurutmu aroma ini cocok untukku?” dia mengendus bau yang menempel dileher Vanesha.“Tu-Tuan, anda menjauh dulu sedikit. Sa-saya tidak bisa bergerak karena anda.. menekan belakang saya.”“Jawab dulu pertanyaanku, apa sulit menjawab, ‘Ya atau tidak’?”“I-iya, i-itu cocok untuk anda. Se-sekarang tolong-“Tapi kenapa rasanya kurang pas ya? Ini terlalu menyengat untuk dipakai di dalam ruangan tertutup nanti.”Tangan Radit berpindah di rak bagian bawah, yang dekat dengan perut Vanesha, “Bagaimana dengan yang ini?” satu jenis
Adegan pun dilanjutkan. Seperti ‘Balas dendam’ pada Vanesha, sentuhan dan gerakan Raditya semakin panas, sampai lawan mainnya menikmati adegan yang hanya untuk keperluan syuting saja.“Vanesha.”“Iya, Pak Hendrik?” Vanesha melihat Hendrik yang muncul dan berdiri di sampingnya.“Ini, simpan obat ini jika nanti diperlukan.”“Ini… apa Pak? Obat untuk siapa?”“Untuk Radit.”“Apa… dia sakit, Pak? Tapi, saya belum pernah melihat obat seperti ini.”“Bukan, bukan untuk itu. Tapi, untuk menambah gairah padanya.”“Hah? Ga-gairah? Maksudnya… apa Pak?”“Mmm, gimana ya mengatakannya.” Hendrik menggaruk kepalanya yang tidak gatal, “Jadi, itu obat kuat.”Vanesha masih belum mengerti dengan jelas, maksud dari ‘Obat Kuat’ itu.“Kalau ada adegan ranjang, dia harus meminum itu sebelum syuting dimulai. Jadi, kau simpan. Kalau habis, beritahu aku agar aku membelinya kembali.”Sekarang, Vanesha yang menggaruk kepalanya saking bingungnya.“Akkhh…. Hhmmph…. Sa… Sayang, pe… pelan-pelan… akhh…”Suasana menjadi
Raditya masih memperhatikan Vanesha yang sangat sibuk di dapur umum.‘Apa yang sedang dia lakukan?’“Radit, kau tidak apa-apa? Aku melihat wajahmu tadi pucat dan pergi. Aku punya obat, kau mau?”Raditya melihat tangan wanita itu yang menempel di lengannya, “Ck, hapalkan saja dialogmu. Aku tidak mau terus mengulang adegan denganmu.” Ujarnya.“Tuan, ini, saya buatkan teh manis hangat untuk anda. Tidak terlalu manis, tapi ini bagus untuk perut anda agar hangat.”‘Rupanya dia sibuk membuatkan ini untukku?’ Raditya mengambil gelas minumannya, wanita itu melihat jari-jari tangan Raditya seperti sengaja menyentuh tangan Vanesha.“Terima kasih. Tumben kau cekatan. Hm… rasanya juga pas.”“Oke! Ayo bersiap untuk adegan selanjutnya!” teriak Sutradara.“Radit, ayo.” Wanita itu mengajak Raditya.“Nih,” hanya itu yang Radit katakan padanya dan memberikan gelas yang bekas dia minum.Vanesha duduk kembali di tempat yang bisa menunggu, sedangkan Hendrik sudah pamit untuk pergi ke tempat lain.Adegan m
Raditya yang sudah mabuk, sampai tidak bisa berdiri lagi. Dia terus mengoceh tak karuan, dan yang lain menganggap itu sudah hal biasa, apalagi sebagian dari mereka juga sama, sudah mabuk.Artis wanita, lawan main Raditya, sedang membopongnya untuk dibawa ke dalam mobil.“Maaf, maafkan saya, Nona. Biar saya saja yang membawa Tuan Raditya bersama saya.” Vanesha menghentikan wanita itu, yang jalannya saja sudah tertatih.“Apa? Enggak usah, biar aku saja.”“Tidak, anda pulang saja sendiri ke tempat anda. Saya yang bertanggung jawab pada Tuan Radit.”Walau sudah mabuk, Raditya masih bisa mendengar suara obrolan mereka, “Minggir!” hanya satu gerakan saja, dia berhasil mendorong wanita itu darinya sampai hampir membuatnya jatuh.“Radit… kenapa kau melakukan ini padaku? Aku ingin menemanimu malam ini.”Asisten wanita itu datang ingin membawa artisnya pulang. Sudah berapa kali sutradara dan kru yang masih setengah sadar agar jangan sembarangan menyentuh Radit yang tidak mau asal disentuh oleh