Raditya yang sudah mabuk, sampai tidak bisa berdiri lagi. Dia terus mengoceh tak karuan, dan yang lain menganggap itu sudah hal biasa, apalagi sebagian dari mereka juga sama, sudah mabuk.Artis wanita, lawan main Raditya, sedang membopongnya untuk dibawa ke dalam mobil.“Maaf, maafkan saya, Nona. Biar saya saja yang membawa Tuan Raditya bersama saya.” Vanesha menghentikan wanita itu, yang jalannya saja sudah tertatih.“Apa? Enggak usah, biar aku saja.”“Tidak, anda pulang saja sendiri ke tempat anda. Saya yang bertanggung jawab pada Tuan Radit.”Walau sudah mabuk, Raditya masih bisa mendengar suara obrolan mereka, “Minggir!” hanya satu gerakan saja, dia berhasil mendorong wanita itu darinya sampai hampir membuatnya jatuh.“Radit… kenapa kau melakukan ini padaku? Aku ingin menemanimu malam ini.”Asisten wanita itu datang ingin membawa artisnya pulang. Sudah berapa kali sutradara dan kru yang masih setengah sadar agar jangan sembarangan menyentuh Radit yang tidak mau asal disentuh oleh
“Apa yang anda lakukan?”Tangan Raditya yang masih berada dibelakang pungggunya, malah masuk kedalam baju Vanesha, dan membelai kulit punggungnya dengan jari-jarinya. Ekspresi wajahnya yang tersenyum nakal, sengaja menggoda Vanesha.“Kenapa? Kau saja sudah mengambil kesempatan pada tubuhku disaat aku mabuk kan?”“Tidak! Itu, anda sendiri yang menarik saya-“Lalu kenapa aku berbaring, dan kau juga…” Radit melihat lubang dibagian leher yang terlihat bagian dada Vanesha seperti mengintip, “Kau malah menggosokan tubuhmu pada tubuhku. Wah… ternyata kau mesum juga ya.”Karena kesal, Vanesha menggigit daun telinga Raditya, “Akkh..” sampai Raditya pun melepaskan tangannya dan menyentuh daun telinganya yang basah karena air liur Vanesha. Kesempatan, Vanesha segera bangun, turun dari mobil dan menutup pintu mobil lalu berpindah tempat kebagian kemudi untuk mengemudikan mobilnya.‘Sial! Aku tidak menyangka dia malah menggigit telingaku.’“Hey! Apa kau itu anjing? Menggigitku? Kalau telingaku put
“Nah, sudah aku selimuti. Sekarang, anda tidak merasakan panas ataupun terlalu dingin. Hah… anda benar-benar berat sekali.” Vanesha mengusap keringat dikeningnya.“Tuan? Tuan? Saya mau pamit pulang dulu ya. Besok pagi, saya datang lagi. Sampai jumpa, Tuan.”‘Haruskah aku menahannya? Tidak, biarkan sajalah dulu.’*Tok! Tok! Tok!“Bu, Melody, Desi? Tolong bukain pintunya dong.” Vanesha mengetuk pintu rumahnya dengan suara pelan. Sebenarnya, Vanesha berharap, yang membuka pintu bukan ibunya, siapa saja boleh, asalkan bukan Gema.Yang membuka pintu, rupanya Ayah, “Ayah? Ayah yang buka pintu?” Vanesha mencium punggung tangan Ayahnya yang berdiri di depan pintu.“Kamu baru pulang Nak? Ayo, masuk dulu.”“Iya, Yah. Ayah sudah makan kan?”“Jam berapa ini? Tentu saja, Ayah sudah makan. Kamu?”“Iya Ayah, aku juga sudah makan kok. Ayah, tidurlah kembali.”“Iya, Nak. Kau juga. Apa besok kau bekerja juga? Besok, hari Minggu, tidak adakah hari libur?”“Enggak ada, Yah.”“Nak, berapa banyak uangmu y
‘Apa lagi ya yang harus aku kerjakan? Semuanya sudah aku siapkan, termasuk pakaian ganti di dalam tas untuknya.’‘Akh… karena dia masih mandi, aku kebawah saja dan membawa stok pakaiannya. Sambil membuat kopi untuknya juga. Dia suka kopi susu kan?’Vanesha keluar dari kamar Raditya, membawa koper kecil khusus perlengkapan milik Raditya nanti.Vanesha sibuk di dapur untuk membuat kopi. Sambil menunggu air panas mendidih, dia membersihkan bagian rumah yang dilihat berantakan. Tidak ada pembantu tinggal di rumah Raditya. Kalau memerlukan tukang bersih-bersih, dia hanya mencarinya melalui aplikasi online.Kopi sudah dibuat. Karena masih belum selesai juga majikannya bersiap, Vanesha duduk diteras sambil minum kopi buatannya sendiri.Vanesha teringat dengan ucapan kasar dari ibu tirinya. Bahkan tuduhan yang diberikan Gema.‘Akh… sampai kapan aku harus hidup seperti ini?’Vanesha memang sadar kalau mereka memperlakukannya dengan kasar tanpa dianggap sebagai bagian dari keluarganya.‘Aku bis
“Ada apa? Kenapa Raditya marah berteriak begitu?”“Itu, asistennya kayaknya buat dia marah deh.”“Tapi asistennya menangis. Apa Raditya terlalu berlebihan memarahinya?” para kru dan tim saling mengobrol diam-diam dibelakang Raditya. Mereka tidak tahu apa yang terjadi, hanya menilainya sembarangan.“Ayah saya…. Hiks… hiks… Ayah saya pingsan, Tuan. Saya… saya mohon.”“Ayahmu pingsan?”“Raditya! Sekarang kita akan mulai syutingnya!” teriak sutradara jauh dibelakang Radit.Hendrik juga baru datang, “Ada apa, Bang?” tanyanya pada sutradara.“Entahlah, tapi sepertinya dia sedang memarahi asistennya.”“Apa?”“Hendrik, cepat panggilkan dia agar kembali syuting.”“Baik, Bang. Tunggu sebentar.” Hendrik pun menyusul untuk memanggilnya.Tim dan kru kembali bergibah bersama sutradara, menyebarkan dugaan dari mereka.“Raditya, ada apa? Apa kau memarahi Vanesha lagi?”“Apa? Kau asal tuduh saja ya.”“Kalau begitu, ayo, sekarang kau mulai syuting-“Batalkan.” Tapi Raditya masih melihat wajah Vanesha.
“Ayah!”Disaat Bayu sedang meratapi nasib, puterinya muncul, masuk ke dalam ruangannya.“Vanes?” dia heran, kenapa puterinya yang padahal sedang sibuk bekerja, datang menemuinya.“Ayah…” Vanesha memeluk ayahnya yang duduk bersandar diranjang pasien. Vanesha menangis, takut kalau kehilangan ayahnya.“Vanesh, jangan menangis lagi. Ayah tidak apa-apa sekarang, Nak.” Bayu mengusap punggung puterinya. Walau di suruh berhenti menangis, tapi Vanesha masih saja menangis.“Ayah.. kenapa Ayah bisa pingsan? Apa yang terjadi, Ayah?” tanyanya, tapi suaranya masih diiringi tangisan kecil.“Ayah hanya ingin makan tadinya. Tapi, karena gak ada lauk, Ayah berinisiatif menggoreng telur. Rupanya karena lantai dibawah kulkas ada airnya, jadi, Ayah terpeleset. Ketika Ayah sudah bangun, Ayah sudah ada di sini.” Agar Vanesha tidak semakin khawatir, Bayu tertawa kecil, “Uhuk.. uhuk..”“Ayah! Kita ke rumah sakit saja ya. Biar di sana Ayah diperiksa dan dirawat.”“Jangan Nak. Sayang uangnya. Begini saja Ayah s
“Terima kasih Pak Hendrik, sudah mau menemani dan mengantarkan ayah saya pulang ke rumah. Saya juga, minta maaf karena tetangga saya yang menanyakan hal yang tidak perlu. Anda, pasti tidak nyaman dan terganggu.”“Tidak apa-apa, Vanesha. Itu adalah sifat manusiawi untuk saling menolong. Kau juga, bukan orang lain kan?”Vanesha sangat senang dengan ucapan dari Hendrik, “Saya… jujur saja, saya lebih senang jika mengobrol dan bertemu dengan anda. Berbeda dengan… ah, maafkan saya, Pak.”Tawa kecil dari bibir Hendrik, “Ya, aku tahu siapa yang kamu maksud. Raditya memang orang yang seperti itu, tapi, kalau kalian sudah akrab, kalian akan semakin dekat.”Sementara mereka berdua sedang berbicara di dalam mobil, Raditya sudah mengawasi mereka dari jauh. Dengan wajah kesal, marah, bahkan dia tidak tahu kalau dirinya juga sedang cemburu.Raditya sangat marah, apalagi ketika melihat Vanesha begitu tertawa lepas dan senang berduaan dengan Hendrik.“Oh, sepertinya dia akan kemari dan pasti akan mara
Raditya mencium bibir Vanesha. Setiap Vanesha bergerak ingin menghindar, Radit akan semakin dalam menjepitnya dengan ciuman. Ciuman yang diiringi dengan rasa kesal, marah, benci, dan cemburu. Ciuman yang liar sesekali menggigit kulit empuk itu.Radit bahkan menekan Vanesha dengan tubuhnya sampai bagian-bagian vital dan sensitif saling bersentuhan dan bergesekan.Dan karena samar-samar melihat air mata yang keluar dari Vanesha, barulah Radit melepaskan ciumannya.Selain kesulitan bernapas dan rasanya dia lelah, Vanesha yang tadinya berdiri, merosot turun kebawah sampai dia jongkok dan menutup wajah dengan kedua telapak tangannya.Kesadaran Radit muncul. Dan sekarang, dia merasa bersalah pada wanita itu.‘Apa yang aku lakukan?’“Vanesh-“Cukup! Tolong… tolong jangan ganggu saya lagi!” suara yang gemetar, takut tapi tidak bisa menahan pelecehan yang dia rasakan beberapa kali.“A-aku minta maaf.” Raditya juga ikutan jongkok, mengusap rambut Vanesha yang berantakan karena ulahnya.“Jangan
Sudah dua minggu sejak Raditya mengutarakan perasaannya pada Vanesha, dan masih tidak berubah pikiran. Malahan, dia semakin manja dan bergantung pada Vanesha, setiap menit.“Permisi, dengan nona Vanesha?” seorang kurir menghampiri Vanesha yang sedang menunggu Raditya syuting.“I-iya? Itu aku?”“Ini, pesanan makanannya. Semuanya sudah dibayar, tinggal diterima saja.”“Oh iya, terima kasih Pak.” Setelah menerima pesanan yang ternyata isinya makanan, Vanesha melihat Raditya. Pria itu, melambaikan tangan dan tersenyum padanya.Karena disuruh untuk istirahat, Raditya datang dan menghampiri Vanesha, duduk disampingnya, dan menyandarkan kepala dibahunya, “Hah…”“Tuan, makanan ini, apa anda mau langsung memakannya?”“Sudah aku bilang jangan panggil aku ‘Tuan’. Aku kan sudah melarangmu.”“Mana bisa saya melakukan itu. Namanya tidak sopan.”“Kan aku yang suruh. Pokoknya, aku akan marah kalau kau melakukan itu lagi.”“Tapi-“Makanannya sudah datang kan? Tapi, kenapa tidak kau makan? Sampai sudah
Keadaan Sulastri sudah semakin membaik. Dia sekarang berbaring diranjangnya, dan Radtiya juga Vanesha masih disana untuk menjaganya. Raditya mulai bisa menyentuh dan dekat dengan ibunya, padahal sebelumnya belum pernah bisa berdiri dengan jarak yang dekat.Karena ibunya sudah tenang dan tidur, Dokter Ivan mengajak mereka berdua untuk pergi dan membiarkan Sulastri beristirahat sendiri.“Saya terkejut, karena hari ini, nyonya Sulastri lebih ramah dari sebelumnya. Walau sempat tadi dia mengamuk dengan pak Surya. Tapi saya tidak menyangka dia akan luluh dengan anda.” Kata dokter Ivan memberi pujian.“Tentu saja dok. Namanya juga hubungan ibu dan anak, darah itu pasti mengalir dan saling mengenal.” Kata Vanesha.“Sayang sekali, pak Surya sudah pergi karena katanya ada urusan yang harus dia kerjakan.”“Aku tidak perduli!”“Tuan..” Vanesha menegurnya pelan.“Kalau begitu, saya akan meninggalkan kalian dulu, permisi ya.”Sekarang hanya tinggal Vanesha dan Raditya.“Tuan, anda juga harus dioba
Beberapa hari kemudian. Surya merindukan mantan isterinya, Sulastri. Dia pun berniat untuk pergi lagi ke rumah sakit jiwa, padahal sebelumnya dia sudah menemui Sulastri walau mantan isterinya tidak mengetahuinya.“Dimana dokter Ivan?” tanya Surya pada rekan dokter Ivan karena dia tidak menemukan dokter yang biasanya mengurus Sulastri.“Dokter Ivan sedang mengantarkan dua orang untuk menemui pasien.”“Apa? Dua orang? Siapa mereka?”“Maaf Pak, saya tidak tahu. Hanya itu saja pesan dari dokter Ivan.”“Ya sudah, terima kasih.” Tapi, Surya sendiri yang akan pergi menemui Sulastri, juga dia tahu dimana tempatnya.Tap!Langkah kakinya berhenti ketika dekat dengan Sulastri, dan dua orang yang dia kenal, “Raditya?” dia memanggil nama puteranya.“Pak Surya?” tapi Vanesha yang merespon Surya, sedangkan Raditya hanya melihatnya saja.Surya mendekati mereka, disana juga ada dokter Ivan.“Apa yang kau lakukan di sini, Radit?”“Kau sendiri? Kenapa kau datang ke sini?” pertanyaan ketus dari Raditya.
“Mmm… Tuan, apa yang kita lakukan di dapur ini?” Vanesa curiga.‘Apa sebentar lagi dia akan mencumbuku di sini? Selera yang aneh. Tapi… ah, biarkan sajalah. Yang penting hutangku berkurang dan dia tidak marah-marah.’“Buatkan nasi goreng untukku.”“Ya saya akan melakukan selera aneh anda…. Eh? Ma-maksudnya…. Nasi goreng?”‘Maksudnya gaya ‘Nasi goreng’ kah? Ba-bagaimana gaya itu ya?’Cetak!“Auuchh…” Vanesha memegang keningnya yang dijentik pelan oleh Raditya.“Apa yang kau pikirkan? Aku bilang, buatkan aku nasi goreng. Kau sudah banyak makan kan? Apa kau pikir aku tidak lapar?” Raditya berpangku tangan menunggu pergerakan Vanesha.“Nasi goreng… beneran nasi goreng kan? Beras yang sudah jadi nasi, lalu di goreng di penggorengan pakai garam-“Iya! Bawel banget sih. Cepat buatkan aku nasi goreng, dan harus enak. Telurnya dua, yang di mata sapi kan satu, lalu yang di orak-orek satu. Pedasnya sedang, dan jangan terlalu banyak minyak dan garamnya.”Vanesha masih bingung, “Dengar gak?” tanya
Padahal tadinya, suasana sedang hangat dan ramah. Tapi, entah apa yang Andre bisikan padanya, raut wajah Surya jadi murung bercampur kesal. Terasa sekali perubahannya.“Maafkan saya, sepertinya hari ini cukup di sini dulu. Lain waktu, mari kita berkumpul dan mengobrol seperti ini. Vanesha, kau juga harus tetap ikut ya.” Surya berdiri dari kursinya dan tetap berusaha untuk tersenyum ramah pada mereka.“Iya Pak, terima kasih. Tapi, anda belum makan loh.”“Saya bisa makan nanti. Karena ada urusan yang sangat mendesak sekali hari ini. Radity, Ayah pergi dulu. Jaga kesehatanmu.”Tapi Raditya tidak menjawabnya.‘Yah.. paling tidak, Tuan Radity tidak marah.’Buru-buru, Andre dan Surya pergi meninggalkan mereka.“Ya, kalau begitu, aku juga harus pergi.”“Anda mau ke mana, Pak Hendrik?”“Mau pulang menemui calon kakak iparmu. Sebentar lagi kan, kami akan menikah. Oh ya, mungkin selama aku menikah, Vanesha pasti akan semakin banyak kerjaan dan kerepotan. Mohon bantuannya ya. Nanti, kamu akan ak
“Kenapa? Kau tidak mau menikah denganku?”‘Pertanyaan jebakan ini. Kalau jujur sih, enggak mau. Apalagi tempremental anda yang tinggi ini.’“Ah, sudahlah. Kau hanya diam saja, berarti memang tidak mau.” Raditya kembali melihat kedepan lagi.Vanesha tidak mau membahasnya lagi. Pokoknya, dia mau segera sampai di tujuan agar dia bisa lega.“Sekarang, kau tidak mau. Tapi, ketika mengetahui masa laluku, kau pasti semakin tidak mau, dan mungkin kau akan pergi jauh.”“Mm… Tuan? Memangnya.. ada masa lalu apa?”Raditya kembali melihat Vanesha, kau dengar kan tadi, kalau ibuku berada di rumah sakit jiwa.”“Ya saya tauh… ups…” dengan tangan kanannya ia menutup mulutnya.‘Astaga, kenapa aku tidak bisa mengontrol omongan yang keluar dari mulutku sih?“Apa? Kau tahu kalau ibuku ada di rumah sakit jiwa?” caranya melihat Vanesha seperti menangkap basah akan kesalahan Vanesha.“Itu… kan anda bilang tadi. Juga, disana, mulut anda sendiri yang bicara dan kebetulan saya mendengarnya-“Tidak. Dari cara re
“Saya… saya hanya anda nanti, tidak menyesalinya…?”Raditya tiba-tiba memeluknya. Vanesha kebingungan, dia pikir, dia akan mendapat perlakukan kasar dari bos-nya, ternyata tidak.“Tu-Tuan?” panggilnya dengan lembut.‘Apa dia… sangat sedih ya?’“Aku benci padanya. Dia… dia sudah menyakitiku dan ibuku. Aku… membencinya.” Suaranya memelan, masih menyembunyikan wajahnya dibahu Vanesha.Vanesha kasihan pada Radit. Dia jadi tidak bisa memaksa atau kecewa padanya lagi. Untuk menenangkannya, Vanesha mengusap punggung Radit, “Tuan, tidak apa-apa anda membencinya, tapi… anda yang akan terus sakit hati dan tidak tenang memiliki dendam pada ayah anda. Maaf, saya tahu, rasanya pasti sangat berat memaafkan orang yang sudah menyakiti kita dari dulu.”Raditya tidak mengatakan apa-apa, tapi dia mengeratkan kedua tangannya memeluk Vanesha.“Anda tahu kan? Kalau saya juga memiliki ibu tiri dan saudari tiri. Sudah berapa kali, saya sakit hati dan kecewa padanya. Sering berhutang, kabur, dan menyakitiku b
Vanesha bisa merasakan suasana yang menegangkan diantara Surya dan Raditya. Vanesha berharap, mereka berdua tidak bertengkar hebat dan membuat keributan.Untungnya Surya tidak membahasnya lagi, karena tangan Raditya sudah dikepalkan dan rahangnya mulai mengeras.“Radit, ini.” Surya mengeluarkan map berwarna cokelat yang masih dillitkan talinya, diberikan pada Raditya. Pria muda itu, hanya melihatnya saja, tanpa mau mengambilnya, ‘Apa itu?’ kecuali Vanesha yang penasaran.“Vanesha, tolong kau buka, dan bacakan apa isinya supaya Raditya tahu.”“Iya Pak-“Jangan menyentuhnya!” larangan dari Radity, membuat tangan Vanesha berhenti.“Kenapa, Tuan? Anda kan tidak tahu apa isinya.”“Pokoknya jangan dibuka! Walau aku tidak tahu, tapi aku tidak mau tahu isinya.”“Apa kau takut mengakui kemenanganku, Radity?”“Hmp!”“Aku juga ingin memberitahukan pada Vanesha. Memangnya salah? Vanesha, tolong buka dan bacakan.”“Ta-tapi…” Vanesha ragu dan melihat Raditya yang memancarkan aura bencinya.“Tidak a
Ceklek!Andre terkejut ketika melihat isteri atasannya tiba-tiba saja masuk ke dalam ruang kerjanya.“Nyonya Widya, apa yang anda lakukan di sini?” dirinya sedang sibuk menyelesaikan pekerjaan yang Surya perintahkan.“Andre, dimana suamiku? Kenapa dia tidak ada di ruangannya?”“Ya? Apakah anda baru dari sana?”“Andre, kalau kau tidak tahu, aku tidak akan datang kesini dan menemuimu untuk buang-buang waktu.” Widiya berpangku tangan menatap rendah pada Andre.“Nyonya Widya, saya juga tidak tahu kemana pak Surya. Karena saya pikir, beliau memang masih ada di sana.”“Andre, tidak mungkin kau tidak tahu kemana dia. Cepat katakan!”“Hah… Nyonya Widya, apa anda pikir, kalau Pak surya tidak akan marah dan kecewa pada anda yang seperti ini? Seharian ini, saya diberi banyak pekerjaan dan tidak bisa keluar dari ruangan ini kalau belum menyelesaikannya. Jadi, bagaimana saya bisa tahu beliau ada di mana? Kalau di ruangannya tidak ada?”‘Benar-benar menyebalkan. Mentang-mentang dia adalah isteri da