Melissa memang selalu berkorban demi sang kakak. Namun, dia tidak rela bila harus menggantikan sang kakak untuk menikahi Erlangga--anak majikan dari orang tuanya. Sayang, Melissa tidak punya pilihan. Kakaknya hilang begitu saja tanpa kabar dan Erlangga mengancam akan memenjarkan orang tua Melissa bila dia tidak mau menikahinya. Lantas, bagaimana nasib Melissa? Apakah dia bisa bertahan dalam pernikahan sebagai seorang 'pengganti' yang akan pergi saat sang kakak kembali nanti?
view more“Melissa! Ikut ibu sekarang!”
Perintah sang Ibu sontak menghentikan percakapan Melissa dengan sang kekasih. Terlebih, Melissa menemukan sang ibu berdiri di ambang pintu menatap dengan pandangan yang sulit untuk diartikan.Meski tidak mengerti situasi yang terjadi, gegas Melissa berjalan mengikuti ibunya–meninggalkan kekasihnya seorang diri di ruang resepsi pernikahan.
Ada sesuatu yang tak beres!Ibunya sangat menantikan pernikahan kakak kembar Melissa–anak kesayangannya–yang akan menikah dengan ahli waris keluarga kaya di Ibu Kota. Tapi, mengapa wajahnya sekarang begitu muram?“Ibu, ada apa?” tanya Melissa begitu keduanya tiba di ruang rias pengantin. “Kakakmu kabur.”“Apa?!” teriak Melissa terkejut. Dia berharap Ibunya sedang mengerjainya. Namun, begitu diperhatikannya ruang rias yang baru dia masuki, Melissa sadar bahwa sang kakak memang tidak ada di sana.“Dia benar-benar mempermalukan keluarga kita,” ucap Ibu Melissa dengan emosi.
“Lalu apakah keluarga Erlangga tahu?” tanya Melissa perlahan.
“Justru, mereka yang memberitahu pihak kita.”“Bu–bukankah Marissa sangat mencintai Erlangga? Dia bahkan tidak meninggalkan calon suaminya itu saat tak bisa berjalan lagi semenjak kecelakaan. Terlebih, dokter mengatakan Erlangga memiliki kesempatan untuk berjalan lagi ….” lirih Melissa panik menatap Ibunya berharap perempuan itu memiliki jawaban.Sayangnya, dia melihat sang Ibu justru menggeleng–pertanda tidak tahu juga alasan masuk akal dari kepergian mendadak kakak kembar Melissa.Sontak, tubuh Melissa melemas.“Entahlah. Yang jelas, keluarga Erlangga akan sangat malu di depan kolega mereka. Dan keluarga kita akan dihujat selamanya. Kita ini cuma pekerja untuk keluarga Erlangga, tetapi lancang sekali mempermainkan keluarga mereka.”Ibunya tampak memejamkan mata dan memijat keningnya–pusing. “Lalu, sekarang bagaimana, Bu?” tanya Melissa.Wanita paruh baya itu lantas menatap Melissa dari atas sampai bawah, lalu raut wajahnya berubah menjadi sedih untuk alasan yang tak Melissa ketahui.“Bu…?” tanya Melissa mulai gelisah.“Kau harus menggantikan Melissa,” ucap Ibunya.“Apa? Aku tidak mau, Bu. Ini namanya penipuan! Kita justru akan lebih menyakiti Erlangga dan keluarganya."“Ini permintaan keluarga Erlangga, Melissa.”Deg!
“Bagaimana mungkin? Tidak masuk akal! Setidaknya, kita cari dulu Kakak, Bu!”“Melissa, hanya kau yang bisa menyelamatkan keluarga kita dan keluarga Erlangga,” mohon wanita paruh baya itu dengan nada memelas.
Tubuh Melissa sontak bergetar hebat.
Seumur hidupnya, Melissa selalu mengikuti “kemauan” sang Ibu–berbeda dengan kakaknya yang selalu dibebaskan baik dari pendidikan ataupun jalan hidup. Tapi, apakah dia tidak bisa memilih calon suaminya?
Ibunya tahu benar bahwa Melissa memiliki kekasih. Pria itu bahkan hadir bersamanya tadi.“Bu, sekali saja dalam hidup, aku ingin menjalani sesuatu sesuai dengan keinginanku. Aku mencintai Rio,” ucap Melissa sambil menarik napas dalam, “ini sebuah pernikahan. Tidak masalah bahwa aku tidak kuliah demi Marissa. Aku pun tak apa bila mendapatkan semua pakaiannya yang sudah tak ia sukai lagi ataupun bekas dari dirinya. Sekarang, untuk sebuah pernikahan, apa aku juga harus mendapatkan apa yang merupakan miliknya sebelumnya? Ini tidak adil!”
Suara Melissa terdengar bergetar di akhir. Jelas sekali dia menahan tangis.
Sayangnya, sang Ibu tak tersentuh mendengar itu semua. Wanita paruh baya itu justru menatap Melissa semakin tajam.“Lalu, kau mau keluarga kita hancur? Jangan egois, Melissa! Kau harus menikah dengan Erlangga!”
“Tidak mau, Bu!” tegas Melissa lalu hendak pergi meninggalkan ibunya.
Namun, pintu ruang rias terbuka mendadak, sehingga membuat Melissa menghentikan langkahnya.
“Erlangga?” ucap Ibu Melissa dengan terkejut.
Melissa sontak menatap Erlangga yang kini berdiri di ambang pintu.
Tatapannya kemudian beralih pada sosok paruh baya di belakang kursi roda Erlangga. Ibu Erlangga–wanita paling baik di dunia ini bagi Melissa, bahkan melebihi Ibu kandungnya–terlihat memasang ekspresi sedih.Keberanian untuk menolak pernikahan tak masuk akal perlahan lenyap dari dalam diri Melissa. Bagaimana bisa kakak kembarnya itu meninggalkan Erlangga dan keluarganya yang sudah sangat menyayangi dirinya?
“Biarkan aku berbicara dengan Melissa,” ucap Erlangga tenang. Meski demikian, siapa pun dapat merasakan dominasi dari suara bariton pria itu.
Melissa sontak menelan ludahnya dengan susah payah. Kecemasan kini memenuhi dirinya.
Meski pria itu adalah calon iparnya, tetapi Melissa tak pernah dekat dengan Erlangga.Pria itu terlampau dingin dan terkesan tak memiliki empati dalam dirinya. Terlebih, sejak kecelakaan naas beberapa bulan lalu. Hanya Marissa yang terlihat mampu mengendalikan pria itu. Namun, sang kakak justru menghilang….
Melissa berharap sang Ibu tak mengizinkan, namun dia justru melihat wanita paruh baya itu mengangguk–memberi izin. “Baiklah.”
Tak lama, kedua wanita paruh baya itu lantas pergi meninggalkan Erlangga dan Melissa yang kini saling memandang canggung.
“Apa yang ingin kau bicarakan?” tanya Melissa membuka pembicaraan meski hatinya gugup sekali.
“Langsung saja, aku tidak suka bertele-tele. Kakakmu kabur, dia tampaknya tak ingin menjalani pernikahan denganku.”
“Lalu?” tanya Melissa bingung.
“Semua persiapan pernikahan ini sudah disiapkan sejak jauh-jauh hari. Aku tak ingin membuat malu keluargaku dan keluargamu. Aku juga tidak ingin orang-orang mengasihaniku karena ditinggal oleh calon istriku sendiri di hari pernikahanku,” ucap Erlangga masih dengan ketenangannya.
“Lalu, kau ingin aku menggantikan kakakku? Begitu?”
“Ya,” ucapnya datar.
“Kau gila! Aku tak mau! Kalau kau mencintai Marissa, kau harus mencarinya, bukannya mencari penggantinya!”
“Aku tak mau mendengar penolakan, Melissa. Kakakmu pergi atas kemauannya sendiri, bukan kemauan orang lain. Sekalipun aku menemukannya, dia tetap tak ingin menjalani pernikahan ini.”
“Lalu, bagaimana denganku? Aku mencintai kekasihku!” tanya Melissa mulai tersulut emosi.
“Lupakan pria itu. Fokusmu dan aku adalah menjaga nama baik keluarga!” ucap Erlangga setengah membentak. Dia sudah mulai hilang kesabaran.
Hatinya sakit luar biasa karena perlakukan Marissa. Ditambah lagi, harga dirinya yang tak mengizinkan ia dipermalukan di depan banyak orang.
Lalu, Melissa–orang yang berwajah serupa dengan wanita itu–kembali menolaknya?
Meski tidak adil, Erlangga tidak bisa menahan rasa amarah yang muncul dalam diri melihat Melissa.“Kalau kau tidak mau, orang tuamu akan menanggung semua akibat dari perbuatanmu sampai akhir hayat mereka,” tambah Erlangga–sedikit mengancam.
Melissa menatap Erlangga dengan tajam. Namun, air matanya tak bisa ia tahan lagi.
Perkataan Erlangga begitu menghancurkannya. Mengapa semua jadi salah dirinya?
Seolah hidupnya memang tak pernah berarti bahkan untuk dirinya sendiri.
Dia kalah dengan semua ucapan Erlangga, benar bahwa keluarganya memang berhutang segalanya pada keluarga Erlangga. Namun, haruskah pria itu mengungkit semua itu? Jika Erlangga sakit hati pada kakaknya, jangan melimpahkan emosi pada dirinya!“Kau keterlaluan,” ucap Melissa dengan suara bergetar.
“Cepat ganti pakaianmu! Ingat, aku bisa membuat kehidupan kedua orang tuamu seperti di neraka,” ucap Erlangga dengan dingin–sambil memutar kursi roda menuju pintu keluar.
Dia berusaha tak mempedulikan tangisan gadis itu karena sejujurnya hatinya juga menjerit.
“Aku tunggu kau di altar, Melissa.”
Dan apa yang dikatakan oleh seseorang tak dikenal itu masuk ke gendang telinganya. Dikta menyisir semua orang yang ada di sekitarnya saat ini. Matanya tertuju pada salah satu spot di mana sosok itu berada. Ya, dia mendapati sosok yang tak dikenal masuk dikerumunannya. Terlihat seringai senyum puasnya itu terulas di mukanya. Ia menggunakan pakaian serba hitam. Sayangnya, Dikta tak bisa melihat sorot mata yang tertutup oleh bayangan topi yang dikenakannya. Tak hanya dia yang puas, melainkan sosok mereka yang ada disitu pun ikut merayakan kekalahan Dikta. Ya, walaupun sementara mereka sangat yakin itu bisa menjadi peringatan agar Dikta bisa mundur dari jabatannya. Agaknya dalam hati mereka masing-masing silih berganti menghina Dikta. Atau mungkin ada yang menertawakan Dikta juga. Entahlah, pikiran Dikta berkecamuk. Bukan karena masalah diseret tapi siapa lagi yang bermain drama dengannya saat ini. Perlahan namun pasti Dikta meninggalkan kantor utamanya dengan tangan diborgol. Keluar
Dan apa yang dikatakan oleh seseorang tak dikenal itu masuk ke gendang telinganya. Dikta menyisir semua orang yang ada di sekitarnya saat ini. Ia mendapati sosok yang tak dikenal masuk dikerumunan. Terlihat seringai senyum puasnya itu terulas di mukanya. Mereka sangat puas melihat Dikta, yang diseret paksa bak tersangka sesungguhnya. Agaknya Dikta berat sekali melangkahkan kakinya. Hanya saja Dikta tak bisa menangkapnya dengan jelas, karena polisi lebih dulu menyuruh Dikta untuk masuk ke dalam mobilnya. Sepanjang perjalanan Dikta benar-benar pasrah. Bahkan ia tak berbicara sepatah kata apapun. Diam. Dan mengikuti alur mereka inginnya seperti apa. Namun di balik diamnya Dikta, ia terus mengamati sosok itu dari belakang. Mengingat kembali semua yang dikatakan oleh mereka. Harap-harap ada klu yang menyudutkan pada sosok tersangka. Dikta juga masih ingat siapa saja yang ikut andil di dalam sana. Sehingga Dikta bertekad akan kebebasannya akan menelusuri siapa mereka. Apakah benar yang
Tampak nafas pria itu benar-benar tersenggal. Kentara sekali ia sangat kelelahan agaknya. "Ada apa? Minum dulu!" sosor Dikta seiring memberikan segelas air minum. Mengambil dan meneguk airnya dengan rasa tamak. Agaknya ia sangat kelelahan. Baik Sierra maupun Dikta masih menunggu apa yang ingin dikatakan olehnya itu. "Ada apa?" Hosh! Hosh! "Anu, Pak. Itu kantor—" Mata Dikta membulat sempurna mendengarkan hal itu. Kini tatapannya mulai menatap lekat untuk membenarkan rasa jujurnya itu. Sehingga batin Dikta dili seperti sudah dikejar seseorang. Memperhatikan keadaan kamar di manan Sierra berada. Dikta berusaha mencerna kembali 11 "Pak gawat kantor kena sidik oleh pihak terkait dan investor!" sosornya terburu-buru. "Jangan bercanda! Ini tidak lucu!" sanggah Dikta geram. Menelan salivanya kuat-kuat. Sierra hanya bisa menatapnya datar. Karena hal ini sering terjadi. Sierra hanya busa menonton kejadian klasik ini. Ia yakin Dikta pasti terkejut akan apa yang terjadi. Walaupun Sierr
Mengangguk. Ia ingin merangkul Sierra, hanya saja lengannya benar-benar tak kuasa menahan nyeri karena luka itu. Ditambah Dikta dihantam berkali-kali saat melawan Sony yang membuat salah satu tangannya kebas.“DIKTA TANGANMU TERLUKA! PAK CEPAT KE RUMAH SAKIT!”Sang pengawal pun langsung menginjak pedal gasnya begitu saja. Sierra benar-benar panik akan apa yang terjadi. Dikta hanya terkekeh melihat tingkah Sierra yang terlalu berlebihan ini. Padahal lukanya tak seberapa dengan rasa khawatirnya itu.Sesampainya di rumah sakit, malah bukan Dikta yang dilarikan untuk di tangani. Tapi malah Sierra yang dilarikan ke ruang UGD. Dikta memboyong tubuh wanita yang merintih kesakitan itu.“Sus, tolong!”Dengan sigap para perawat itu membawa Sierra berlalu menuju ruang UGD. Dikta hanya bisa menunggunya di depan ruangan dengan harap-harap cemas. Ia tak peduli lagi dengan rasa sakit yang diembannya saat ini.Ya, perjalanan yang cukup terjal dari tempat kejadian membuat Sierra mengalami pendarahan d
Tapi Bella malah menarik paksa pria itu dalam pelukannya. Pelukan yang selama ini ia elu-elukan setiap malam. Jujur saja, Bella sangat merindukan Dikta kala ini. Ya, dia sangat menginginkan Dikta kembali dalam pelukannya. Kembali merajut dunia yang telah lama hilang. Ternyata Bella baru menyadari, jika Diktalah yang berhasil membangun dunianya terasa megah. Atau bisa dikatakan hanya Dikta yang bisa mengerti segala keinginannya. Bukan Noah maupun kedua orangtuanya. Bahkan bisa dikatakan jika Diktalah yang berhasil membuatnya menjadi istri yang layak. Dia berhasil mengagungkan Bella dengan segala perjuangannya yang tulus itu. Dan tak pernah Bella temukan pada Noah hingga saat ini. Andai saja waktu bisa diputar kembali, mungkin Bella takan pernah melakukan itu. Dan mungkin saja anaknya masih hidup sampai saat ini kan?Dikta menepis segala rayuan Bella yang mulai menjalari tubuhnya. Sungguhpun, Dikta jijik dan muak sekali. “Bella! Lepaskan! Kenapa kau mau menjadi jalang seperti ini,
Dari root top bangunan di seberang jalan, tepatnya di seberang kosan Sony, seorang pria mengawasi Sony yang sedang dikepung oleh Dikta dan pengawalnya.Pria itu sudah siap dengan senapan laras panjangnya, bersiap membidik target. Saat itu Dikta menanyai Sony, tapi dia diam ... tidak mau berkata jujur. Setelah dihajarpun Sony ditanya kembali oleh Dikta. “Sekarang!” perintah wanita dari telepon, kepada pria yang menggunakan penutup kepala dengan earpiece di telinganya. Dan ... DOR! Dikta dan ketiga pengawal terkejut, mereka menoleh sekeliling dan mencari sumber suara. Setelah beberapa menit barulah Dikta tahu, seseorang mencoba lari dari rooftop rumah di seberang kostan yang ditinggali oleh Sony. “Di sana! Tangkap!” perintah Dikta menunjuk ke bangunan di seberang kostan, dua pengawal langsung bergerak untuk mengejar penembak Sony. “Urus mayatnya,” titah Dikta pada dua pengawal yang sedari awal memegangi tubuh Sony, dan sekarang dua pengawal itu sedikit gemetar yang mereka
Satu persatu masalah menghampiri Dikta, hampir tak berkesudahan, satu masalah selesai satu lagi muncul. Dia hampir gila, merasa ingin menyerah saat ini karena salah satu dari masalah tersebut adalah Sierra. Istrinya itu adalah kekuatannya, harta yang ia punya satu-satunya. Sedang mengandung buah hati mereka, tapi karena termakan hasutan orang dia lebih memilih pergi meninggalkannya. Dikta tidak tahu harus mencari Sierra ke mana. Ponselnya juga tak aktif, tidak bisa dihubungi sama sekali. Dikta juga tak mendapati istrinya ada di rumah kakeknya. Dia tak tahu apakah ada tempat tinggal Sierra yang lain atau istrinya itu hanya tidur di hotel. Dikta akhirnya membiarkan istrinya itu menenangkan diri dan dia berjanji akan mengurus masalahnya supaya cepat selesai. Pagi ini Dikta pergi ke kantor seperti biasanya, hari ini kakek sudah bilang tidak akan mampir ke kantornya, kakek membantu Dikta mencarikan investor baru untuk perusahaan yang dipimpin oleh Dikta itu, pria itu bersyukur sekali.
Dikta menerima telepon dari kakek Sierra, menyuruhnya untuk segera datang ke rumah orangtua Bella. “Aku ada di apartemen, Kek,” ucap Dikta, dia seketika teringat amanah dari ayah Bella yang merupakan mertuanya dulu. “Kau harus bawa mayatku juga istriku. Tolong kebumikan kami dengan layak. Aku yakin hidupku sudah tak bisa bertahan lebih lama lagi,” ucap ayah Bella sesaat sebelum dia tewas karena peluru yang bersarang di kepalanya. Dikta tak bisa untuk tidak sedih, marah dan kecewa, perasaan itu campur aduk di dalam hatinya sekarang. Karena sudah ditunggu oleh kakek, dia segera turun dan menuju ke rumah Bella lagi. Beberapa menit kemudian Dikta sampai di kediaman orangtua Bella, bunga duka sudah berjejer rapi di depan gerbang rumah, banyak mobil yang juga berderet-deret memenuhi tepi jalan. Dikta memarkirkan mobilnya, agak jauh dari kediaman mantan mertuanya itu. Dia turun kemudian melangkah masuk ke sana, orang-orang sudah datang untuk melawat. Dikta melihat ada Bella di sana y
Dikta terperangah, dia membelakakkan matanya sekarang. Kedua mantan mertuanya itu terkapar, dan malangnya di depan matanya ayah mertuanya dihabisi begitu saja. Dikta yang geram berusaha mengejar siapa penembak yang bersembunyi di gudang tadi. Dikta berlari kencang, melawan rasa sakit kepalanya akibat hantaman tongkat baseball yang mengenai kepalanya. Pria itu kabur, melesat dengan cepat berlari dari arah gudang ke depan. Dari belakang Dikta menyusul berlari kencang, seperti mengenal sosok tersebut, dia mempercepat langkah kemudian menarik jaket hitam yang dikenakan pria yang akan kabur itu. Dikta menarik dengan kedua tangannya hingga pria itu terjerembab. Pria itu menggunakan pakaian serba hitam yakni pakaian serba hitam, sepatu hitam, bertopi hitam, masker hitam dan tak lupa kedua tangannya menggunakan sarung tangan. Dikta menarik masker dan topi pria itu, membuangnya asal, dan ketika semuanya terlepas pria itu tertawa. “Hahaha ... Sudah pas bukan waktunya?” ujar Noah, dia seakan
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments