“Melissa! Ikut ibu sekarang!”
Perintah sang Ibu sontak menghentikan percakapan Melissa dengan sang kekasih. Terlebih, Melissa menemukan sang ibu berdiri di ambang pintu menatap dengan pandangan yang sulit untuk diartikan.Meski tidak mengerti situasi yang terjadi, gegas Melissa berjalan mengikuti ibunya–meninggalkan kekasihnya seorang diri di ruang resepsi pernikahan.
Ada sesuatu yang tak beres!Ibunya sangat menantikan pernikahan kakak kembar Melissa–anak kesayangannya–yang akan menikah dengan ahli waris keluarga kaya di Ibu Kota. Tapi, mengapa wajahnya sekarang begitu muram?“Ibu, ada apa?” tanya Melissa begitu keduanya tiba di ruang rias pengantin. “Kakakmu kabur.”“Apa?!” teriak Melissa terkejut. Dia berharap Ibunya sedang mengerjainya. Namun, begitu diperhatikannya ruang rias yang baru dia masuki, Melissa sadar bahwa sang kakak memang tidak ada di sana.“Dia benar-benar mempermalukan keluarga kita,” ucap Ibu Melissa dengan emosi.
“Lalu apakah keluarga Erlangga tahu?” tanya Melissa perlahan.
“Justru, mereka yang memberitahu pihak kita.”“Bu–bukankah Marissa sangat mencintai Erlangga? Dia bahkan tidak meninggalkan calon suaminya itu saat tak bisa berjalan lagi semenjak kecelakaan. Terlebih, dokter mengatakan Erlangga memiliki kesempatan untuk berjalan lagi ….” lirih Melissa panik menatap Ibunya berharap perempuan itu memiliki jawaban.Sayangnya, dia melihat sang Ibu justru menggeleng–pertanda tidak tahu juga alasan masuk akal dari kepergian mendadak kakak kembar Melissa.Sontak, tubuh Melissa melemas.“Entahlah. Yang jelas, keluarga Erlangga akan sangat malu di depan kolega mereka. Dan keluarga kita akan dihujat selamanya. Kita ini cuma pekerja untuk keluarga Erlangga, tetapi lancang sekali mempermainkan keluarga mereka.”Ibunya tampak memejamkan mata dan memijat keningnya–pusing. “Lalu, sekarang bagaimana, Bu?” tanya Melissa.Wanita paruh baya itu lantas menatap Melissa dari atas sampai bawah, lalu raut wajahnya berubah menjadi sedih untuk alasan yang tak Melissa ketahui.“Bu…?” tanya Melissa mulai gelisah.“Kau harus menggantikan Melissa,” ucap Ibunya.“Apa? Aku tidak mau, Bu. Ini namanya penipuan! Kita justru akan lebih menyakiti Erlangga dan keluarganya."“Ini permintaan keluarga Erlangga, Melissa.”Deg!
“Bagaimana mungkin? Tidak masuk akal! Setidaknya, kita cari dulu Kakak, Bu!”“Melissa, hanya kau yang bisa menyelamatkan keluarga kita dan keluarga Erlangga,” mohon wanita paruh baya itu dengan nada memelas.
Tubuh Melissa sontak bergetar hebat.
Seumur hidupnya, Melissa selalu mengikuti “kemauan” sang Ibu–berbeda dengan kakaknya yang selalu dibebaskan baik dari pendidikan ataupun jalan hidup. Tapi, apakah dia tidak bisa memilih calon suaminya?
Ibunya tahu benar bahwa Melissa memiliki kekasih. Pria itu bahkan hadir bersamanya tadi.“Bu, sekali saja dalam hidup, aku ingin menjalani sesuatu sesuai dengan keinginanku. Aku mencintai Rio,” ucap Melissa sambil menarik napas dalam, “ini sebuah pernikahan. Tidak masalah bahwa aku tidak kuliah demi Marissa. Aku pun tak apa bila mendapatkan semua pakaiannya yang sudah tak ia sukai lagi ataupun bekas dari dirinya. Sekarang, untuk sebuah pernikahan, apa aku juga harus mendapatkan apa yang merupakan miliknya sebelumnya? Ini tidak adil!”
Suara Melissa terdengar bergetar di akhir. Jelas sekali dia menahan tangis.
Sayangnya, sang Ibu tak tersentuh mendengar itu semua. Wanita paruh baya itu justru menatap Melissa semakin tajam.“Lalu, kau mau keluarga kita hancur? Jangan egois, Melissa! Kau harus menikah dengan Erlangga!”
“Tidak mau, Bu!” tegas Melissa lalu hendak pergi meninggalkan ibunya.
Namun, pintu ruang rias terbuka mendadak, sehingga membuat Melissa menghentikan langkahnya.
“Erlangga?” ucap Ibu Melissa dengan terkejut.
Melissa sontak menatap Erlangga yang kini berdiri di ambang pintu.
Tatapannya kemudian beralih pada sosok paruh baya di belakang kursi roda Erlangga. Ibu Erlangga–wanita paling baik di dunia ini bagi Melissa, bahkan melebihi Ibu kandungnya–terlihat memasang ekspresi sedih.Keberanian untuk menolak pernikahan tak masuk akal perlahan lenyap dari dalam diri Melissa. Bagaimana bisa kakak kembarnya itu meninggalkan Erlangga dan keluarganya yang sudah sangat menyayangi dirinya?
“Biarkan aku berbicara dengan Melissa,” ucap Erlangga tenang. Meski demikian, siapa pun dapat merasakan dominasi dari suara bariton pria itu.
Melissa sontak menelan ludahnya dengan susah payah. Kecemasan kini memenuhi dirinya.
Meski pria itu adalah calon iparnya, tetapi Melissa tak pernah dekat dengan Erlangga.Pria itu terlampau dingin dan terkesan tak memiliki empati dalam dirinya. Terlebih, sejak kecelakaan naas beberapa bulan lalu. Hanya Marissa yang terlihat mampu mengendalikan pria itu. Namun, sang kakak justru menghilang….
Melissa berharap sang Ibu tak mengizinkan, namun dia justru melihat wanita paruh baya itu mengangguk–memberi izin. “Baiklah.”
Tak lama, kedua wanita paruh baya itu lantas pergi meninggalkan Erlangga dan Melissa yang kini saling memandang canggung.
“Apa yang ingin kau bicarakan?” tanya Melissa membuka pembicaraan meski hatinya gugup sekali.
“Langsung saja, aku tidak suka bertele-tele. Kakakmu kabur, dia tampaknya tak ingin menjalani pernikahan denganku.”
“Lalu?” tanya Melissa bingung.
“Semua persiapan pernikahan ini sudah disiapkan sejak jauh-jauh hari. Aku tak ingin membuat malu keluargaku dan keluargamu. Aku juga tidak ingin orang-orang mengasihaniku karena ditinggal oleh calon istriku sendiri di hari pernikahanku,” ucap Erlangga masih dengan ketenangannya.
“Lalu, kau ingin aku menggantikan kakakku? Begitu?”
“Ya,” ucapnya datar.
“Kau gila! Aku tak mau! Kalau kau mencintai Marissa, kau harus mencarinya, bukannya mencari penggantinya!”
“Aku tak mau mendengar penolakan, Melissa. Kakakmu pergi atas kemauannya sendiri, bukan kemauan orang lain. Sekalipun aku menemukannya, dia tetap tak ingin menjalani pernikahan ini.”
“Lalu, bagaimana denganku? Aku mencintai kekasihku!” tanya Melissa mulai tersulut emosi.
“Lupakan pria itu. Fokusmu dan aku adalah menjaga nama baik keluarga!” ucap Erlangga setengah membentak. Dia sudah mulai hilang kesabaran.
Hatinya sakit luar biasa karena perlakukan Marissa. Ditambah lagi, harga dirinya yang tak mengizinkan ia dipermalukan di depan banyak orang.
Lalu, Melissa–orang yang berwajah serupa dengan wanita itu–kembali menolaknya?
Meski tidak adil, Erlangga tidak bisa menahan rasa amarah yang muncul dalam diri melihat Melissa.“Kalau kau tidak mau, orang tuamu akan menanggung semua akibat dari perbuatanmu sampai akhir hayat mereka,” tambah Erlangga–sedikit mengancam.
Melissa menatap Erlangga dengan tajam. Namun, air matanya tak bisa ia tahan lagi.
Perkataan Erlangga begitu menghancurkannya. Mengapa semua jadi salah dirinya?
Seolah hidupnya memang tak pernah berarti bahkan untuk dirinya sendiri.
Dia kalah dengan semua ucapan Erlangga, benar bahwa keluarganya memang berhutang segalanya pada keluarga Erlangga. Namun, haruskah pria itu mengungkit semua itu? Jika Erlangga sakit hati pada kakaknya, jangan melimpahkan emosi pada dirinya!“Kau keterlaluan,” ucap Melissa dengan suara bergetar.
“Cepat ganti pakaianmu! Ingat, aku bisa membuat kehidupan kedua orang tuamu seperti di neraka,” ucap Erlangga dengan dingin–sambil memutar kursi roda menuju pintu keluar.
Dia berusaha tak mempedulikan tangisan gadis itu karena sejujurnya hatinya juga menjerit.
“Aku tunggu kau di altar, Melissa.”
Erlangga menatap pintu gedung yang masih tertutup rapat dengan tenang. Dia sedang menerka-nerka apakah Melissa akan datang dan menikah dengannya, atau gadis itu melakukan hal yang sama seperti kakaknya? Tapi, beberapa menit sebelum acara dimulai, ibunya sudah memberitahu bahwa Melissa sedang mengenakan gaun pengantin impian Marissa–gadis yang ia cintai sejak masa kecil. Ketika pintu terbuka lebar dan mempelai wanita berjalan beriringan bersama dengan ayahnya, Erlangga merasakan sakit hati yang luar biasa. Meski Melissa terlihat mirip dengan Marrisa dan orang lain mungkin tidak akan tahu siapa yang kini sedang berjalan ke arahnya, tapi Erlangga bisa membedakannya. ‘Seharusnya, yang berjalan sekarang menuju ke arahku adalah Marissa,’ batin Erlangga perih. Perlahan, langkah Melissa dan ayahnya semakin mendekati altar. Melissa terlihat mengangkat kepalanya dan menatap Erlangga melalui celah kerudung yang ia kenakan. Air mata perempuan itu menggenang di pelupuk mata. Sedih sek
Ucapan Erlangga membuat Melissa tercekat.“Ka–kalian mengasingkannya?” tanya Melissa–ada hampa dalam suaranya.“Itu harus dilakukan,” balas Erlangga tak acuh.“Kalian semua keterlaluan,” ucap Melissa memaki Erlangga dan semua orang yang bersekongkol untuk mengasingkan Rio.Melissa lantas melirik sopir mobil. “Paman, bolehkah aku pinjam ponselmu?” mohon perempuan itu sambil menengadahkan tangannya pada pria paruh baya itu.“Baik, nona…” ucap pria itu lalu merogoh ponselnya dan memberikannya pada Melissa.Melissa lantas menekan sederet angka yang sudah dia hafal di luar kepala dan menempelkan ponsel ke telinga.Namun sayang, telepon tak kunjung tersambung. Melissa terlihat mulai frustasi dengan semuanya. Dia ingin sekali berteriak dan memarahi orang-orang di sekelilingnya, tapi dia tahu itu perbuatan bodoh.Melissa akhirnya mematikan ponselnya lalu memilih untuk menenangkan dirinya sambil memikirkan penjelasan apa yang akan dia berikan pada Rio nanti. Dia menyandarkan kepalanya samb
Ucapan Hanna sontak membuat Melissa melongo. ‘Kamar Erlangga?’ Namun, Melissa tidak bisa berbuat apa-apa karena semua bertingkah seperti biasa.“Ah ayo! Mari beristirahat!” ucap Aira mengalihkan kebingungan Melissa.Semua orang tampaknya setuju dengan ucapan Hanna. Setelah drama pernikahan hari ini, mereka semua butuh istirahat yang panjang. Tapi, Melissa tak langsung beristirahat. Ia meminta izin pada Erlangga untuk pergi ke paviliun belakang –rumah keluarga Melissa– untuk mengambil beberapa barang di kamarnya. Lagi pula, dia masih terkejut dengan status kepindahannya ke kamar Erlangga. Akan jadi apa dia bila hanya berduaan saja dengan Erlangga?“Ya, Tuhan!” lirih Melissa yang sudah berganti pakaian menjadi baju rumahan. Gaun pernikahan milik Marrisa sudah dia lipat dengan rapi. Rasanya seperti mimpi ketika ia menatap gaun indah tersebut. Benarkah dia sudah menikah dengan calon suami kakaknya sendiri?Melissa pun berdiam lama di dalam kamarnya tanpa melakukan apa pun. Dia ha
Ucapan Melissa terpotong saat merasakan pipi kirinya begitu panas akibat terkena tamparan keras sang Ibu. Bahkan, sebulir air mata langsung menetes dari mata kirinya.“Melissa….” ucap Ibu Melissa dengan suara parau, seolah ia sendiri terkejut dengan apa yang baru saja ia lakukan.“Mengapa Ibu begitu tidak adil padaku? Bukankah aku juga anak ibu? Marrisa pergi dan meninggalkan banyak masalah, tapi aku yang harus membereskan semua ini. Lalu sekarang aku dituduh akan mengambil posisinya. Bisakah Ibu memikirkan perasaanku?” ucap Melissa dengan suara bergetar.“Melissa–”“–Kita memang berhutang banyak pada keluarga Erlangga dan hanya pembantu untuk keluarga Erlangga. Namun, kita bukan budak yang harus berkorban sampai akhir hayat. Kenapa kita tidak kabur saja?” potong Melissa, hingga sang Ibu tak bisa melanjutkan perkataannya.“Atau ibu kecewa karena putri yang Ibu agung-agungkan tak bisa bersanding dengan Erlangga? Tapi, Ibu harus ingat Marrisa yang memilih untuk melakukan semua ini. Apak
Aroma kopi yang khas membuat Melissa terbangun dari tidurnya. Gadis itu masih memeluk bantalnya. Ia bahkan menarik selimut hingga menutupi kepalanya. Dia ingin menutup matanya lagi, tetapi tidak bisa. Padahal, lelah rasanya mengingat kemarin ia baru saja memulai sebuah lembaran baru dalam hidupnya. Melissa akhirnya menurunkan selimutnya begitu tersadar bahwa sekarang bukan si lajang Melissa lagi. Dia sekarang memiliki seorang suami.“Ehmm…”Melissa menolehkan kepalanya dan menatap Erlangga yang sedang duduk sambil membaca sebuah koran sambil menyesap secangkir kopi. Oh itu penyebabnya dia mencium aroma kopi yang pekat tadi!“Kenapa? Baru sadar kau sudah menikah?” tanya Erlangga dengan suara tenang.Melissa terkesiap. Meski membenarkan ucapan Erlangga, dia tidak membalas ucapan pria itu. Dia justru bangun lalu duduk dan bersandar pada dashboard ranjang.“Kau masih tidak mau menceraikanku?” tanya Melissa dengan suara seraknya.Erlangga memperhatikan suara Melissa. Bukan tentang kal
“Sayang!!!” Melissa segera bangkit dari tempat tidur. Gadis itu segera berlari dan memeluk Rio dengan erat–seolah sudah bertahun-tahun tak bertemu dengan pria itu dan mencari kekuatan di sana. “Whoaa! Ada apa denganmu, Melissa?” tanya Rio yang kewalahan berusaha menopang tubuhnya karena pelukan tiba-tiba Melissa. Diraihnya tubuh Melissa lalu ia mengusap kepala gadis itu dengan sayang. “Ke mana, kamu kemarin?” tanya Melissa masih di dalam pelukan Rio. Tring! Baru saja Melissa ingin membicarakan hubungan mereka, tapi sebuah nada panggilan menyita perhatiannya. Perempuan itu lantas merogoh tasnya untuk mengambil kembali ponselnya. “Halo?” “Lisa, kamu di mana? Apa kamu sudah melihat blog kepenulisan?” “Belum, kenapa?” Melissa mengerutkan keningnya tidak mengerti kenapa temannya yang ada di seberang sana terdengar panik dan cemas. Bahkan, ada sedikit amarahdalam nada bicaranya. “Ck! Lihatlah sekarang! Dan nikmatilah kebodohanmu itu! Sudah kuucapkan berulang kali jangan pernah
Rumah Keluarga Erlangga [09:00 AM]Erlangga sedang berada di ruangan kerjanya dan memeriksa berkas-berkas perusahaan. Ayahnya sudah berangkat ke perusahaan sejak satu jam yang lalu dan sang ibu sedang berada di salah satu butik milik keluarga. Mia sudah berangkat kuliah entah sejak pukul berapa dan Melissa sejak subuh tak terlihat di mana-mana, gadis itu tampaknya sudah berangkat kerja. Dia hanya meninggalkan sebuah notes kecil di atas buku yang semalam Erlangga baca. Isinya mengatakan bahwa ia akan kembali nanti sore. Entahlah, seakan ada yang disembunyikannya. Kemarin, Melissa juga tidak menjawab dengan pasti mengapa ingin bertemu mendadak.Tok Tok Tok!Suara ketukan pintu menghentikan aktivitas Erlangga. Pria itu langsung menutup berkas yang sedang ia periksa. “Masuk,” ucapnya singkat.“Permisi, Tuan Erlangga, Tuan Rio ingin berbicara dengan anda,” ucap seorang pelayan pada Erlangga.“Ya, suruh dia masuk.”Pintu terbuka dan menampakkan Rio yang berjalan masuk ke dalam ruangan E
Rumah Keluarga Erlangga [Malam hari]Melissa datang ketika makan malam sedang berlangsung. Dia melihat ayah dan ibu Erlangga serta Mia adik Erlangga di meja makan. Tak luput, Erlangga yang juga duduk bergabung dengan keluarganya. Melissa baru sadar bahwa Erlangga memiliki wajah yang sangat pucat.“Selamat malam semuanya. Maaf aku terlambat pulang, kafe sangat ramai hari ini,” ucap Melissa berbasa-basi. Ia melirik jam dinding, masih jam setengah tujuh malam.“Ayo sini makan malam dulu, Melissa. Kau pasti lelah berolahraga,” ucap Hanna.Melissa tersenyum lalu duduk bergabung dengan keluarga Erlangga. Dia merasa asing di tengah-tengah keluarga Erlangga tapi kemudian dia merasa nyaman saat ayah dan ibu Erlangga mengajaknya berbicara.“Kau mau makan yang mana? Ibu ambilkan,” ucapkan Hanna dengan lembut. Melissa semakin merasa tak enak. Marissa memang bodoh karena sudah meninggalkan keluarga ini.“Aku ingin ikan. Oh iya, aku membawakan beberapa kue dari kafe tempatku bekerja. Ini baru
Dan apa yang dikatakan oleh seseorang tak dikenal itu masuk ke gendang telinganya. Dikta menyisir semua orang yang ada di sekitarnya saat ini. Matanya tertuju pada salah satu spot di mana sosok itu berada. Ya, dia mendapati sosok yang tak dikenal masuk dikerumunannya. Terlihat seringai senyum puasnya itu terulas di mukanya. Ia menggunakan pakaian serba hitam. Sayangnya, Dikta tak bisa melihat sorot mata yang tertutup oleh bayangan topi yang dikenakannya. Tak hanya dia yang puas, melainkan sosok mereka yang ada disitu pun ikut merayakan kekalahan Dikta. Ya, walaupun sementara mereka sangat yakin itu bisa menjadi peringatan agar Dikta bisa mundur dari jabatannya. Agaknya dalam hati mereka masing-masing silih berganti menghina Dikta. Atau mungkin ada yang menertawakan Dikta juga. Entahlah, pikiran Dikta berkecamuk. Bukan karena masalah diseret tapi siapa lagi yang bermain drama dengannya saat ini. Perlahan namun pasti Dikta meninggalkan kantor utamanya dengan tangan diborgol. Keluar
Dan apa yang dikatakan oleh seseorang tak dikenal itu masuk ke gendang telinganya. Dikta menyisir semua orang yang ada di sekitarnya saat ini. Ia mendapati sosok yang tak dikenal masuk dikerumunan. Terlihat seringai senyum puasnya itu terulas di mukanya. Mereka sangat puas melihat Dikta, yang diseret paksa bak tersangka sesungguhnya. Agaknya Dikta berat sekali melangkahkan kakinya. Hanya saja Dikta tak bisa menangkapnya dengan jelas, karena polisi lebih dulu menyuruh Dikta untuk masuk ke dalam mobilnya. Sepanjang perjalanan Dikta benar-benar pasrah. Bahkan ia tak berbicara sepatah kata apapun. Diam. Dan mengikuti alur mereka inginnya seperti apa. Namun di balik diamnya Dikta, ia terus mengamati sosok itu dari belakang. Mengingat kembali semua yang dikatakan oleh mereka. Harap-harap ada klu yang menyudutkan pada sosok tersangka. Dikta juga masih ingat siapa saja yang ikut andil di dalam sana. Sehingga Dikta bertekad akan kebebasannya akan menelusuri siapa mereka. Apakah benar yang
Tampak nafas pria itu benar-benar tersenggal. Kentara sekali ia sangat kelelahan agaknya. "Ada apa? Minum dulu!" sosor Dikta seiring memberikan segelas air minum. Mengambil dan meneguk airnya dengan rasa tamak. Agaknya ia sangat kelelahan. Baik Sierra maupun Dikta masih menunggu apa yang ingin dikatakan olehnya itu. "Ada apa?" Hosh! Hosh! "Anu, Pak. Itu kantor—" Mata Dikta membulat sempurna mendengarkan hal itu. Kini tatapannya mulai menatap lekat untuk membenarkan rasa jujurnya itu. Sehingga batin Dikta dili seperti sudah dikejar seseorang. Memperhatikan keadaan kamar di manan Sierra berada. Dikta berusaha mencerna kembali 11 "Pak gawat kantor kena sidik oleh pihak terkait dan investor!" sosornya terburu-buru. "Jangan bercanda! Ini tidak lucu!" sanggah Dikta geram. Menelan salivanya kuat-kuat. Sierra hanya bisa menatapnya datar. Karena hal ini sering terjadi. Sierra hanya busa menonton kejadian klasik ini. Ia yakin Dikta pasti terkejut akan apa yang terjadi. Walaupun Sierr
Mengangguk. Ia ingin merangkul Sierra, hanya saja lengannya benar-benar tak kuasa menahan nyeri karena luka itu. Ditambah Dikta dihantam berkali-kali saat melawan Sony yang membuat salah satu tangannya kebas.“DIKTA TANGANMU TERLUKA! PAK CEPAT KE RUMAH SAKIT!”Sang pengawal pun langsung menginjak pedal gasnya begitu saja. Sierra benar-benar panik akan apa yang terjadi. Dikta hanya terkekeh melihat tingkah Sierra yang terlalu berlebihan ini. Padahal lukanya tak seberapa dengan rasa khawatirnya itu.Sesampainya di rumah sakit, malah bukan Dikta yang dilarikan untuk di tangani. Tapi malah Sierra yang dilarikan ke ruang UGD. Dikta memboyong tubuh wanita yang merintih kesakitan itu.“Sus, tolong!”Dengan sigap para perawat itu membawa Sierra berlalu menuju ruang UGD. Dikta hanya bisa menunggunya di depan ruangan dengan harap-harap cemas. Ia tak peduli lagi dengan rasa sakit yang diembannya saat ini.Ya, perjalanan yang cukup terjal dari tempat kejadian membuat Sierra mengalami pendarahan d
Tapi Bella malah menarik paksa pria itu dalam pelukannya. Pelukan yang selama ini ia elu-elukan setiap malam. Jujur saja, Bella sangat merindukan Dikta kala ini. Ya, dia sangat menginginkan Dikta kembali dalam pelukannya. Kembali merajut dunia yang telah lama hilang. Ternyata Bella baru menyadari, jika Diktalah yang berhasil membangun dunianya terasa megah. Atau bisa dikatakan hanya Dikta yang bisa mengerti segala keinginannya. Bukan Noah maupun kedua orangtuanya. Bahkan bisa dikatakan jika Diktalah yang berhasil membuatnya menjadi istri yang layak. Dia berhasil mengagungkan Bella dengan segala perjuangannya yang tulus itu. Dan tak pernah Bella temukan pada Noah hingga saat ini. Andai saja waktu bisa diputar kembali, mungkin Bella takan pernah melakukan itu. Dan mungkin saja anaknya masih hidup sampai saat ini kan?Dikta menepis segala rayuan Bella yang mulai menjalari tubuhnya. Sungguhpun, Dikta jijik dan muak sekali. “Bella! Lepaskan! Kenapa kau mau menjadi jalang seperti ini,
Dari root top bangunan di seberang jalan, tepatnya di seberang kosan Sony, seorang pria mengawasi Sony yang sedang dikepung oleh Dikta dan pengawalnya.Pria itu sudah siap dengan senapan laras panjangnya, bersiap membidik target. Saat itu Dikta menanyai Sony, tapi dia diam ... tidak mau berkata jujur. Setelah dihajarpun Sony ditanya kembali oleh Dikta. “Sekarang!” perintah wanita dari telepon, kepada pria yang menggunakan penutup kepala dengan earpiece di telinganya. Dan ... DOR! Dikta dan ketiga pengawal terkejut, mereka menoleh sekeliling dan mencari sumber suara. Setelah beberapa menit barulah Dikta tahu, seseorang mencoba lari dari rooftop rumah di seberang kostan yang ditinggali oleh Sony. “Di sana! Tangkap!” perintah Dikta menunjuk ke bangunan di seberang kostan, dua pengawal langsung bergerak untuk mengejar penembak Sony. “Urus mayatnya,” titah Dikta pada dua pengawal yang sedari awal memegangi tubuh Sony, dan sekarang dua pengawal itu sedikit gemetar yang mereka
Satu persatu masalah menghampiri Dikta, hampir tak berkesudahan, satu masalah selesai satu lagi muncul. Dia hampir gila, merasa ingin menyerah saat ini karena salah satu dari masalah tersebut adalah Sierra. Istrinya itu adalah kekuatannya, harta yang ia punya satu-satunya. Sedang mengandung buah hati mereka, tapi karena termakan hasutan orang dia lebih memilih pergi meninggalkannya. Dikta tidak tahu harus mencari Sierra ke mana. Ponselnya juga tak aktif, tidak bisa dihubungi sama sekali. Dikta juga tak mendapati istrinya ada di rumah kakeknya. Dia tak tahu apakah ada tempat tinggal Sierra yang lain atau istrinya itu hanya tidur di hotel. Dikta akhirnya membiarkan istrinya itu menenangkan diri dan dia berjanji akan mengurus masalahnya supaya cepat selesai. Pagi ini Dikta pergi ke kantor seperti biasanya, hari ini kakek sudah bilang tidak akan mampir ke kantornya, kakek membantu Dikta mencarikan investor baru untuk perusahaan yang dipimpin oleh Dikta itu, pria itu bersyukur sekali.
Dikta menerima telepon dari kakek Sierra, menyuruhnya untuk segera datang ke rumah orangtua Bella. “Aku ada di apartemen, Kek,” ucap Dikta, dia seketika teringat amanah dari ayah Bella yang merupakan mertuanya dulu. “Kau harus bawa mayatku juga istriku. Tolong kebumikan kami dengan layak. Aku yakin hidupku sudah tak bisa bertahan lebih lama lagi,” ucap ayah Bella sesaat sebelum dia tewas karena peluru yang bersarang di kepalanya. Dikta tak bisa untuk tidak sedih, marah dan kecewa, perasaan itu campur aduk di dalam hatinya sekarang. Karena sudah ditunggu oleh kakek, dia segera turun dan menuju ke rumah Bella lagi. Beberapa menit kemudian Dikta sampai di kediaman orangtua Bella, bunga duka sudah berjejer rapi di depan gerbang rumah, banyak mobil yang juga berderet-deret memenuhi tepi jalan. Dikta memarkirkan mobilnya, agak jauh dari kediaman mantan mertuanya itu. Dia turun kemudian melangkah masuk ke sana, orang-orang sudah datang untuk melawat. Dikta melihat ada Bella di sana y
Dikta terperangah, dia membelakakkan matanya sekarang. Kedua mantan mertuanya itu terkapar, dan malangnya di depan matanya ayah mertuanya dihabisi begitu saja. Dikta yang geram berusaha mengejar siapa penembak yang bersembunyi di gudang tadi. Dikta berlari kencang, melawan rasa sakit kepalanya akibat hantaman tongkat baseball yang mengenai kepalanya. Pria itu kabur, melesat dengan cepat berlari dari arah gudang ke depan. Dari belakang Dikta menyusul berlari kencang, seperti mengenal sosok tersebut, dia mempercepat langkah kemudian menarik jaket hitam yang dikenakan pria yang akan kabur itu. Dikta menarik dengan kedua tangannya hingga pria itu terjerembab. Pria itu menggunakan pakaian serba hitam yakni pakaian serba hitam, sepatu hitam, bertopi hitam, masker hitam dan tak lupa kedua tangannya menggunakan sarung tangan. Dikta menarik masker dan topi pria itu, membuangnya asal, dan ketika semuanya terlepas pria itu tertawa. “Hahaha ... Sudah pas bukan waktunya?” ujar Noah, dia seakan