Ucapan Erlangga membuat Melissa tercekat.
“Ka–kalian mengasingkannya?” tanya Melissa–ada hampa dalam suaranya.
“Itu harus dilakukan,” balas Erlangga tak acuh.
“Kalian semua keterlaluan,” ucap Melissa memaki Erlangga dan semua orang yang bersekongkol untuk mengasingkan Rio.
Melissa lantas melirik sopir mobil.
“Paman, bolehkah aku pinjam ponselmu?” mohon perempuan itu sambil menengadahkan tangannya pada pria paruh baya itu.
“Baik, nona…” ucap pria itu lalu merogoh ponselnya dan memberikannya pada Melissa.
Melissa lantas menekan sederet angka yang sudah dia hafal di luar kepala dan menempelkan ponsel ke telinga.
Namun sayang, telepon tak kunjung tersambung.
Melissa terlihat mulai frustasi dengan semuanya.
Dia ingin sekali berteriak dan memarahi orang-orang di sekelilingnya, tapi dia tahu itu perbuatan bodoh.Melissa akhirnya mematikan ponselnya lalu memilih untuk menenangkan dirinya sambil memikirkan penjelasan apa yang akan dia berikan pada Rio nanti.
Dia menyandarkan kepalanya sambil menengadah menatap langit-langit mobil. Tanpa ia sadari, sejak tadi Erlangga mengawasi semua gerak-geriknya.“Aku yang akan menjelaskan semuanya pada Rio,” ucap Erlangga memecah keheningan.
Melissa menolehkan kepalanya dan menatap Erlangga dengan bingung lalu kemudian muncul satu pertanyaan dalam benaknya.
‘Apakah kita akan menjalani pernikahan ini dengan sungguh-sungguh atau hanya sebuah kebohongan?’
Seolah Erlangga dapat membaca pikiran perempuan itu, tiba-tiba dia menatap Melissa dengan dalam.
“Walaupun menikah bukan atas nama cinta dan kita tidak menginginkan pernikahan ini, tapi pernikahan tetaplah pernikahan. Ini adalah hal sakral untukku dan bukan sebuah permainan. Kita menikah di hadapan Tuhan, dan kita berdua bersumpah sehidup semati, Melissa. Jika kamu bertanya seperti apa kita akan menjalani pernikahan ini, maka jawabannya adalah sebuah pernikahan yang sesungguhnya,” jawab Erlangga penuh penekanan.
Mendengar penjelasan itu, Melissa menelan ludahnya kasar.
Dia mengetahui bahwa Erlangga tidak mungkin jatuh cinta dengan dirinya. Tapi, mengapa dia bersikeras ingin menjalani pernikahan ini sungguh-sungguh?
“Tapi, yang kau sematkan dalam janji pernikahan adalah Marrisa–bukan aku,” balas Melissa tak mau menerima begitu saja ucapan Erlangga.
“Itu hanya sebuah nama, Melissa. Yang terpenting adalah siapa yang ikut berjanji denganku di hadapan Tuhan,” balas Erlangga cepat.
“Erlangga, apa kau sangat frustasi karena ditinggal oleh kakakku? Kau ingin membalasnya?”
Erlangga sontak menyeringai mendengar ucapan Melissa.
“Dia tak akan kuizinkan untuk mengganggu pikiranku lagi. Cukup sudah dia memorak-porandakan semua rencana kami. Sejak pernikahan ini telah resmi, aku sudah meninggalkannya jauh di belakangku. Mengapa kau tidak melakukan hal yang sama denganku, meninggalkan masa lalumu di belakang juga?”
Melissa mendengus mendengar ucapan Erlangga. Dia seketika menyadari betapa egoisnya Erlangga–sama seperti kakak kembarnya.
“Kita berbeda, Erlangga. Posisinya kau ditinggalkan oleh Marrisa. Aku tahu hatimu sudah mati untuk wanita selain dirinya. Jadi, dengan siapa pun kau menikah, itu tidak akan menjadi masalah karena kau tidak mungkin jatuh cinta dengan pengantinmu itu. Sedangkan aku … aku tidak ditinggalkan oleh Rio dan kami mencintai satu sama lain,” ucap Melissa tenang.
Erlangga tertegun mendengar ucapan Melissa.
Gadis itu 100% benar.
Hati Erlangga sudah membeku sejak Marissa pergi meninggalkannya. Kalau Marissa pergi maka itu adalah pilihannya. Bagaimana hati Erlangga selanjutnya, itu adalah tanggung jawab pria itu sendiri.
Erlangga lantas menghela napasnya kasar.
“Kau lebih peka daripada kakakmu,” ucap Erlangga membelot dari topik utama.
Pria itu lalu memalingkan wajahnya. Jelas sekali dia tak ingin melanjutkan perdebatan mereka.
Sejujurnya, ada perasaan bersalah dalam hatinya karena sudah menyeret Melissa sampai sejauh ini.Melihat itu, Melissa juga membuang tatapannya ke arah luar jendela.
Air matanya mengalir begitu saja.
Tidak ada yang memikirkan perasaannya dan Rio sama sekali di sini.Bagaimana dia menjalani hidupnya setelah ini?
******
Rumah Keluarga Erlangga
“Ayo turun,” ucap Erlangga ketika mobil yang ditumpangi mereka berhenti di depan halaman rumah.
Melissa lantas menatap gugup rumah Erlangga.
Belum pernah seumur-umur ia merasakan perasaan seperti ini walaupun sudah sejak kecil dia tinggal di sini.
Melissa kemudian mencengkram gaun yang ia kenakan dengan erat.
Perasaannya sangat tak menentu sekarang. Dia dan Erlangga pasti sudah ditunggu oleh keluarga besar mereka.
Jangan berpikir bahwa mereka akan merayakan hari bahagia ini dengan sebuah makan malam. Mereka pasti akan membicarakan mengenai kacaunya hari ini.Erlangga sudah lebih dulu masuk ke dalam rumah dibantu oleh asistennya yang kini tengah mendorong kursi rodanya.
Melissa menatap Erlangga dengan asing.
Dia tak pernah berhubungan dengan kekasih kakaknya itu sejak dulu dan sekarang dia memiliki sebuah ikatan yang sangat sakral dengan pria itu.
“Kalian sudah datang?” Suara Pak Brata–ayah Erlangga–mengagetkan Melissa.
Perempuan itu kemudian menatap satu per satu orang-orang yang tengah menunggu mereka di ruang tengah.
Tampak kedua orang tuanya yang duduk berdampingan dengan gugup. Lalu, Hanna–Ibu Erlangga diapit kedua putrinya, Aira dan Mia.
“Selamat malam Tuan … Nyonya…,” ucap Melissa dengan kikuk.
“Ke marilah, nak,” ucap Hanna dengan lembut.
Melissa lantas tersenyum sekilas.
Setidaknya, wanita itu masih lembut seperti biasanya.
Sempat Melissa pikir mereka akan berubah sikap padanya dan keluarganya. Melissa akhirnya berjalan menuju tempat kosong di samping ibunya–duduk dengan gugup.“Kita tentu tak menyangka bahwa kejadian seperti ini akan terjadi. Sejujurnya, aku sangat malu dengan kejadian hari ini, tapi syukurlah Melissa bisa membuat semua terlihat normal seolah tak terjadi sesuatu yang aneh,” ucap Brata dengan suara beratnya.
“Maafkan perilaku putri kami, Tuan Brata,” ucap ayah Melissa sambil menundukkan kepalanya.
Melissa menggigit bibir bawahnya menahan diri untuk mencegah ayahnya bertindak seperti itu. Harusnya, Marrisa yang meminta maaf seperti itu. Kalau perlu, gadis itu harusnya berlutut. Bukan ayah mereka!“Iya, maafkan kami nyonya… tuan.” Kini, giliran ibu Melissa yang berbicara.
Melissa memejamkan matanya–tak tahan lagi rasanya melihat kedua orang tuanya harus menanggung semua ini akibat perbuatan Marrisa.
Dia hendak berbicara ketika Erlangga lebih dulu memotongnya.“Sudahlah, semua sudah terjadi. Lagi pula, tak ada masalah besar yang terjadi. Semua berjalan normal. Orang-orang tak tahu apa yang sebenarnya sudah terjadi.”
Santai sekali pria itu menjawab.Melissa lantas menatap Erlangga dengan bengis.
‘Justru, sekarang masalah besar mulai muncul,’ desis Melissa dalam hati.
“Melissa, aku tahu ini pasti sangat berat untukmu tapi terima kasih karena sudah membantu mengatasi semua ini,” ucap Hanna mendadak dengan senyum tulus.
Melissa menjadi tak enak. Tadinya, dia ingin sekali menyuarakan isi hatinya itu. Namun, dia tak bisa menyakiti hati ibu Erlangga.
Dan, dia merasa bahwa semua orang seolah bersekongkol untuk tak membahas mengenai hubungannya dengan Rio. Mereka seolah membutakan mata mereka dengan kenyataan yang ada.“Iya, nyonya,” ucap Melissa akhirnya dengan senyum tipis.
“Baiklah. Mulai sekarang, jangan panggil kami dengan sebutan nyonya dan tuan lagi. Kita adalah besan sekarang,” ucap Pak Brata pada orang tua Melissa–sebelum kembali menatap perempuan itu, “Kau juga, nak. Panggil kami dengan sebutan Ayah dan Ibu.”
“Hore! Kita akhirnya menjadi keluarga!” ucap Mia dengan senang.
Dia dan Melissa sudah bersahabat sejak mereka kecil dan sekarang gadis itu menjadi saudaranya.
“Benar. Mulai sekarang, panggil aku Kakak,” timpal Aira dengan ceria.
“Baik,” balas Melissa dengan senyum lemah lalu menatap kedua orang tuanya dengan pilu.
Ya Tuhan! Dia ingin sekali memaki Marrisa. Di mana otak kakaknya itu sampai tega-teganya meninggalkan keluarga sebaik ini? Kakak kembarnya itu meninggalkan keluarganya dengan setumpuk masalah yang Marrisa sendiri tidak tahu bagaimana cara mengatasinya.Hanya saja, lamunan Melissa berhenti begitu mendengar ucapan Hanna yang mendadak.
“Baiklah, mari kita beristirahat! Melissa, mulai sekarang kau tinggal bersama kami. Barang-barangmu sudah dipindahkan ke kamar Erlangga, ya.”Ucapan Hanna sontak membuat Melissa melongo. ‘Kamar Erlangga?’ Namun, Melissa tidak bisa berbuat apa-apa karena semua bertingkah seperti biasa.“Ah ayo! Mari beristirahat!” ucap Aira mengalihkan kebingungan Melissa.Semua orang tampaknya setuju dengan ucapan Hanna. Setelah drama pernikahan hari ini, mereka semua butuh istirahat yang panjang. Tapi, Melissa tak langsung beristirahat. Ia meminta izin pada Erlangga untuk pergi ke paviliun belakang –rumah keluarga Melissa– untuk mengambil beberapa barang di kamarnya. Lagi pula, dia masih terkejut dengan status kepindahannya ke kamar Erlangga. Akan jadi apa dia bila hanya berduaan saja dengan Erlangga?“Ya, Tuhan!” lirih Melissa yang sudah berganti pakaian menjadi baju rumahan. Gaun pernikahan milik Marrisa sudah dia lipat dengan rapi. Rasanya seperti mimpi ketika ia menatap gaun indah tersebut. Benarkah dia sudah menikah dengan calon suami kakaknya sendiri?Melissa pun berdiam lama di dalam kamarnya tanpa melakukan apa pun. Dia ha
Ucapan Melissa terpotong saat merasakan pipi kirinya begitu panas akibat terkena tamparan keras sang Ibu. Bahkan, sebulir air mata langsung menetes dari mata kirinya.“Melissa….” ucap Ibu Melissa dengan suara parau, seolah ia sendiri terkejut dengan apa yang baru saja ia lakukan.“Mengapa Ibu begitu tidak adil padaku? Bukankah aku juga anak ibu? Marrisa pergi dan meninggalkan banyak masalah, tapi aku yang harus membereskan semua ini. Lalu sekarang aku dituduh akan mengambil posisinya. Bisakah Ibu memikirkan perasaanku?” ucap Melissa dengan suara bergetar.“Melissa–”“–Kita memang berhutang banyak pada keluarga Erlangga dan hanya pembantu untuk keluarga Erlangga. Namun, kita bukan budak yang harus berkorban sampai akhir hayat. Kenapa kita tidak kabur saja?” potong Melissa, hingga sang Ibu tak bisa melanjutkan perkataannya.“Atau ibu kecewa karena putri yang Ibu agung-agungkan tak bisa bersanding dengan Erlangga? Tapi, Ibu harus ingat Marrisa yang memilih untuk melakukan semua ini. Apak
Aroma kopi yang khas membuat Melissa terbangun dari tidurnya. Gadis itu masih memeluk bantalnya. Ia bahkan menarik selimut hingga menutupi kepalanya. Dia ingin menutup matanya lagi, tetapi tidak bisa. Padahal, lelah rasanya mengingat kemarin ia baru saja memulai sebuah lembaran baru dalam hidupnya. Melissa akhirnya menurunkan selimutnya begitu tersadar bahwa sekarang bukan si lajang Melissa lagi. Dia sekarang memiliki seorang suami.“Ehmm…”Melissa menolehkan kepalanya dan menatap Erlangga yang sedang duduk sambil membaca sebuah koran sambil menyesap secangkir kopi. Oh itu penyebabnya dia mencium aroma kopi yang pekat tadi!“Kenapa? Baru sadar kau sudah menikah?” tanya Erlangga dengan suara tenang.Melissa terkesiap. Meski membenarkan ucapan Erlangga, dia tidak membalas ucapan pria itu. Dia justru bangun lalu duduk dan bersandar pada dashboard ranjang.“Kau masih tidak mau menceraikanku?” tanya Melissa dengan suara seraknya.Erlangga memperhatikan suara Melissa. Bukan tentang kal
“Sayang!!!” Melissa segera bangkit dari tempat tidur. Gadis itu segera berlari dan memeluk Rio dengan erat–seolah sudah bertahun-tahun tak bertemu dengan pria itu dan mencari kekuatan di sana. “Whoaa! Ada apa denganmu, Melissa?” tanya Rio yang kewalahan berusaha menopang tubuhnya karena pelukan tiba-tiba Melissa. Diraihnya tubuh Melissa lalu ia mengusap kepala gadis itu dengan sayang. “Ke mana, kamu kemarin?” tanya Melissa masih di dalam pelukan Rio. Tring! Baru saja Melissa ingin membicarakan hubungan mereka, tapi sebuah nada panggilan menyita perhatiannya. Perempuan itu lantas merogoh tasnya untuk mengambil kembali ponselnya. “Halo?” “Lisa, kamu di mana? Apa kamu sudah melihat blog kepenulisan?” “Belum, kenapa?” Melissa mengerutkan keningnya tidak mengerti kenapa temannya yang ada di seberang sana terdengar panik dan cemas. Bahkan, ada sedikit amarahdalam nada bicaranya. “Ck! Lihatlah sekarang! Dan nikmatilah kebodohanmu itu! Sudah kuucapkan berulang kali jangan pernah
Rumah Keluarga Erlangga [09:00 AM]Erlangga sedang berada di ruangan kerjanya dan memeriksa berkas-berkas perusahaan. Ayahnya sudah berangkat ke perusahaan sejak satu jam yang lalu dan sang ibu sedang berada di salah satu butik milik keluarga. Mia sudah berangkat kuliah entah sejak pukul berapa dan Melissa sejak subuh tak terlihat di mana-mana, gadis itu tampaknya sudah berangkat kerja. Dia hanya meninggalkan sebuah notes kecil di atas buku yang semalam Erlangga baca. Isinya mengatakan bahwa ia akan kembali nanti sore. Entahlah, seakan ada yang disembunyikannya. Kemarin, Melissa juga tidak menjawab dengan pasti mengapa ingin bertemu mendadak.Tok Tok Tok!Suara ketukan pintu menghentikan aktivitas Erlangga. Pria itu langsung menutup berkas yang sedang ia periksa. “Masuk,” ucapnya singkat.“Permisi, Tuan Erlangga, Tuan Rio ingin berbicara dengan anda,” ucap seorang pelayan pada Erlangga.“Ya, suruh dia masuk.”Pintu terbuka dan menampakkan Rio yang berjalan masuk ke dalam ruangan E
Rumah Keluarga Erlangga [Malam hari]Melissa datang ketika makan malam sedang berlangsung. Dia melihat ayah dan ibu Erlangga serta Mia adik Erlangga di meja makan. Tak luput, Erlangga yang juga duduk bergabung dengan keluarganya. Melissa baru sadar bahwa Erlangga memiliki wajah yang sangat pucat.“Selamat malam semuanya. Maaf aku terlambat pulang, kafe sangat ramai hari ini,” ucap Melissa berbasa-basi. Ia melirik jam dinding, masih jam setengah tujuh malam.“Ayo sini makan malam dulu, Melissa. Kau pasti lelah berolahraga,” ucap Hanna.Melissa tersenyum lalu duduk bergabung dengan keluarga Erlangga. Dia merasa asing di tengah-tengah keluarga Erlangga tapi kemudian dia merasa nyaman saat ayah dan ibu Erlangga mengajaknya berbicara.“Kau mau makan yang mana? Ibu ambilkan,” ucapkan Hanna dengan lembut. Melissa semakin merasa tak enak. Marissa memang bodoh karena sudah meninggalkan keluarga ini.“Aku ingin ikan. Oh iya, aku membawakan beberapa kue dari kafe tempatku bekerja. Ini baru
“Apa?” pekik Melissa.Namun, Erlangga hanya diam–meninggalkan Melissa yang berdiri membeku di depan kamar mereka. Luar biasa! Gadis itu bertanya bagaimana Erlangga tahu dia menemui Rio? Setelah Rio pergi menemuinya, Erlangga memerintahkan seseorang mengawasi pria itu dan dia mengetahui Rio bertemu istrinya.BLAMMM!Ketika akhirnya bisa mengendalikan diri, Melissa ikut masuk kemudian menutup pintu. Dia berlari kecil mengejar Erlangga yang sedang berjalan menuju ranjang.“Kau menguntitku?” tanya Melissa kesal.“Tidak menguntit sebenarnya. Tadinya, aku pergi ke kafe tempat kerjamu. Aku ingin tahu di mana tempat istriku bekerja, tapi ternyata bosmu bilang kau tidak masuk. Aku hanya menduga kau pergi menemui Rio, tapi kau justru mengatakan semuanya,” ucap Erlangga dengan senyum seringai. Dia memang tersenyum, tetapi itu dilakukan untuk menyembunyikan kekecewaannya. Siang hari saat jam istirahat, ia sangat ingin mengajak istrinya makan siang. Namun, ia kecewa karena istrinya tidak masuk
Melissa memasuki kamarnya dan Erlangga. Tubuhnya lelah bekerja di kantor penerbitan untuk mengurus kasus Sinta. Juga hari ini pelanggan dan pengunjung sangat ramai di cafe milik Raga. Dia ingin segera mandi dan tidur cepat, tapi ada sesuatu yang mengganggu pikirannya sejak tadi. Sejak pagi sampai malam Rio tak menghubunginya sama sekali. Dia yakin Rio tidak mungkin lupa untuk menghubunginya, sesibuk apa pun pekerjaan pria itu, dia pasti selalu menghubungi dirinya.“Kenapa larut sekali baru pulang?”Suara berat Erlangga membuyarkan lamunan Melissa, Melissa mengerjapkan fokus pada pikirannya, ditatapnya Erlangga yang sedang membaca buku di atas ranjang, lama-lama Melissa benar dengan kebiasaan pria itu setiap malam.“Kantor sangat ramai dan banyak kerjaan hari ini. Maaf tidak memberi kabar, apakah ayah dan ibumu menanyakanku?” tanya Melissa sedikit cemas.“Ya, tapi mereka tahu kau pasti sibuk bekerja,” balas Erlangga.“Oh, syukurlah. Besok jadwalmu untuk fisioterapi?” tanya Melissa, dia
Dan apa yang dikatakan oleh seseorang tak dikenal itu masuk ke gendang telinganya. Dikta menyisir semua orang yang ada di sekitarnya saat ini. Matanya tertuju pada salah satu spot di mana sosok itu berada. Ya, dia mendapati sosok yang tak dikenal masuk dikerumunannya. Terlihat seringai senyum puasnya itu terulas di mukanya. Ia menggunakan pakaian serba hitam. Sayangnya, Dikta tak bisa melihat sorot mata yang tertutup oleh bayangan topi yang dikenakannya. Tak hanya dia yang puas, melainkan sosok mereka yang ada disitu pun ikut merayakan kekalahan Dikta. Ya, walaupun sementara mereka sangat yakin itu bisa menjadi peringatan agar Dikta bisa mundur dari jabatannya. Agaknya dalam hati mereka masing-masing silih berganti menghina Dikta. Atau mungkin ada yang menertawakan Dikta juga. Entahlah, pikiran Dikta berkecamuk. Bukan karena masalah diseret tapi siapa lagi yang bermain drama dengannya saat ini. Perlahan namun pasti Dikta meninggalkan kantor utamanya dengan tangan diborgol. Keluar
Dan apa yang dikatakan oleh seseorang tak dikenal itu masuk ke gendang telinganya. Dikta menyisir semua orang yang ada di sekitarnya saat ini. Ia mendapati sosok yang tak dikenal masuk dikerumunan. Terlihat seringai senyum puasnya itu terulas di mukanya. Mereka sangat puas melihat Dikta, yang diseret paksa bak tersangka sesungguhnya. Agaknya Dikta berat sekali melangkahkan kakinya. Hanya saja Dikta tak bisa menangkapnya dengan jelas, karena polisi lebih dulu menyuruh Dikta untuk masuk ke dalam mobilnya. Sepanjang perjalanan Dikta benar-benar pasrah. Bahkan ia tak berbicara sepatah kata apapun. Diam. Dan mengikuti alur mereka inginnya seperti apa. Namun di balik diamnya Dikta, ia terus mengamati sosok itu dari belakang. Mengingat kembali semua yang dikatakan oleh mereka. Harap-harap ada klu yang menyudutkan pada sosok tersangka. Dikta juga masih ingat siapa saja yang ikut andil di dalam sana. Sehingga Dikta bertekad akan kebebasannya akan menelusuri siapa mereka. Apakah benar yang
Tampak nafas pria itu benar-benar tersenggal. Kentara sekali ia sangat kelelahan agaknya. "Ada apa? Minum dulu!" sosor Dikta seiring memberikan segelas air minum. Mengambil dan meneguk airnya dengan rasa tamak. Agaknya ia sangat kelelahan. Baik Sierra maupun Dikta masih menunggu apa yang ingin dikatakan olehnya itu. "Ada apa?" Hosh! Hosh! "Anu, Pak. Itu kantor—" Mata Dikta membulat sempurna mendengarkan hal itu. Kini tatapannya mulai menatap lekat untuk membenarkan rasa jujurnya itu. Sehingga batin Dikta dili seperti sudah dikejar seseorang. Memperhatikan keadaan kamar di manan Sierra berada. Dikta berusaha mencerna kembali 11 "Pak gawat kantor kena sidik oleh pihak terkait dan investor!" sosornya terburu-buru. "Jangan bercanda! Ini tidak lucu!" sanggah Dikta geram. Menelan salivanya kuat-kuat. Sierra hanya bisa menatapnya datar. Karena hal ini sering terjadi. Sierra hanya busa menonton kejadian klasik ini. Ia yakin Dikta pasti terkejut akan apa yang terjadi. Walaupun Sierr
Mengangguk. Ia ingin merangkul Sierra, hanya saja lengannya benar-benar tak kuasa menahan nyeri karena luka itu. Ditambah Dikta dihantam berkali-kali saat melawan Sony yang membuat salah satu tangannya kebas.“DIKTA TANGANMU TERLUKA! PAK CEPAT KE RUMAH SAKIT!”Sang pengawal pun langsung menginjak pedal gasnya begitu saja. Sierra benar-benar panik akan apa yang terjadi. Dikta hanya terkekeh melihat tingkah Sierra yang terlalu berlebihan ini. Padahal lukanya tak seberapa dengan rasa khawatirnya itu.Sesampainya di rumah sakit, malah bukan Dikta yang dilarikan untuk di tangani. Tapi malah Sierra yang dilarikan ke ruang UGD. Dikta memboyong tubuh wanita yang merintih kesakitan itu.“Sus, tolong!”Dengan sigap para perawat itu membawa Sierra berlalu menuju ruang UGD. Dikta hanya bisa menunggunya di depan ruangan dengan harap-harap cemas. Ia tak peduli lagi dengan rasa sakit yang diembannya saat ini.Ya, perjalanan yang cukup terjal dari tempat kejadian membuat Sierra mengalami pendarahan d
Tapi Bella malah menarik paksa pria itu dalam pelukannya. Pelukan yang selama ini ia elu-elukan setiap malam. Jujur saja, Bella sangat merindukan Dikta kala ini. Ya, dia sangat menginginkan Dikta kembali dalam pelukannya. Kembali merajut dunia yang telah lama hilang. Ternyata Bella baru menyadari, jika Diktalah yang berhasil membangun dunianya terasa megah. Atau bisa dikatakan hanya Dikta yang bisa mengerti segala keinginannya. Bukan Noah maupun kedua orangtuanya. Bahkan bisa dikatakan jika Diktalah yang berhasil membuatnya menjadi istri yang layak. Dia berhasil mengagungkan Bella dengan segala perjuangannya yang tulus itu. Dan tak pernah Bella temukan pada Noah hingga saat ini. Andai saja waktu bisa diputar kembali, mungkin Bella takan pernah melakukan itu. Dan mungkin saja anaknya masih hidup sampai saat ini kan?Dikta menepis segala rayuan Bella yang mulai menjalari tubuhnya. Sungguhpun, Dikta jijik dan muak sekali. “Bella! Lepaskan! Kenapa kau mau menjadi jalang seperti ini,
Dari root top bangunan di seberang jalan, tepatnya di seberang kosan Sony, seorang pria mengawasi Sony yang sedang dikepung oleh Dikta dan pengawalnya.Pria itu sudah siap dengan senapan laras panjangnya, bersiap membidik target. Saat itu Dikta menanyai Sony, tapi dia diam ... tidak mau berkata jujur. Setelah dihajarpun Sony ditanya kembali oleh Dikta. “Sekarang!” perintah wanita dari telepon, kepada pria yang menggunakan penutup kepala dengan earpiece di telinganya. Dan ... DOR! Dikta dan ketiga pengawal terkejut, mereka menoleh sekeliling dan mencari sumber suara. Setelah beberapa menit barulah Dikta tahu, seseorang mencoba lari dari rooftop rumah di seberang kostan yang ditinggali oleh Sony. “Di sana! Tangkap!” perintah Dikta menunjuk ke bangunan di seberang kostan, dua pengawal langsung bergerak untuk mengejar penembak Sony. “Urus mayatnya,” titah Dikta pada dua pengawal yang sedari awal memegangi tubuh Sony, dan sekarang dua pengawal itu sedikit gemetar yang mereka
Satu persatu masalah menghampiri Dikta, hampir tak berkesudahan, satu masalah selesai satu lagi muncul. Dia hampir gila, merasa ingin menyerah saat ini karena salah satu dari masalah tersebut adalah Sierra. Istrinya itu adalah kekuatannya, harta yang ia punya satu-satunya. Sedang mengandung buah hati mereka, tapi karena termakan hasutan orang dia lebih memilih pergi meninggalkannya. Dikta tidak tahu harus mencari Sierra ke mana. Ponselnya juga tak aktif, tidak bisa dihubungi sama sekali. Dikta juga tak mendapati istrinya ada di rumah kakeknya. Dia tak tahu apakah ada tempat tinggal Sierra yang lain atau istrinya itu hanya tidur di hotel. Dikta akhirnya membiarkan istrinya itu menenangkan diri dan dia berjanji akan mengurus masalahnya supaya cepat selesai. Pagi ini Dikta pergi ke kantor seperti biasanya, hari ini kakek sudah bilang tidak akan mampir ke kantornya, kakek membantu Dikta mencarikan investor baru untuk perusahaan yang dipimpin oleh Dikta itu, pria itu bersyukur sekali.
Dikta menerima telepon dari kakek Sierra, menyuruhnya untuk segera datang ke rumah orangtua Bella. “Aku ada di apartemen, Kek,” ucap Dikta, dia seketika teringat amanah dari ayah Bella yang merupakan mertuanya dulu. “Kau harus bawa mayatku juga istriku. Tolong kebumikan kami dengan layak. Aku yakin hidupku sudah tak bisa bertahan lebih lama lagi,” ucap ayah Bella sesaat sebelum dia tewas karena peluru yang bersarang di kepalanya. Dikta tak bisa untuk tidak sedih, marah dan kecewa, perasaan itu campur aduk di dalam hatinya sekarang. Karena sudah ditunggu oleh kakek, dia segera turun dan menuju ke rumah Bella lagi. Beberapa menit kemudian Dikta sampai di kediaman orangtua Bella, bunga duka sudah berjejer rapi di depan gerbang rumah, banyak mobil yang juga berderet-deret memenuhi tepi jalan. Dikta memarkirkan mobilnya, agak jauh dari kediaman mantan mertuanya itu. Dia turun kemudian melangkah masuk ke sana, orang-orang sudah datang untuk melawat. Dikta melihat ada Bella di sana y
Dikta terperangah, dia membelakakkan matanya sekarang. Kedua mantan mertuanya itu terkapar, dan malangnya di depan matanya ayah mertuanya dihabisi begitu saja. Dikta yang geram berusaha mengejar siapa penembak yang bersembunyi di gudang tadi. Dikta berlari kencang, melawan rasa sakit kepalanya akibat hantaman tongkat baseball yang mengenai kepalanya. Pria itu kabur, melesat dengan cepat berlari dari arah gudang ke depan. Dari belakang Dikta menyusul berlari kencang, seperti mengenal sosok tersebut, dia mempercepat langkah kemudian menarik jaket hitam yang dikenakan pria yang akan kabur itu. Dikta menarik dengan kedua tangannya hingga pria itu terjerembab. Pria itu menggunakan pakaian serba hitam yakni pakaian serba hitam, sepatu hitam, bertopi hitam, masker hitam dan tak lupa kedua tangannya menggunakan sarung tangan. Dikta menarik masker dan topi pria itu, membuangnya asal, dan ketika semuanya terlepas pria itu tertawa. “Hahaha ... Sudah pas bukan waktunya?” ujar Noah, dia seakan