“Sayang!!!”
Melissa segera bangkit dari tempat tidur.
Gadis itu segera berlari dan memeluk Rio dengan erat–seolah sudah bertahun-tahun tak bertemu dengan pria itu dan mencari kekuatan di sana.“Whoaa! Ada apa denganmu, Melissa?” tanya Rio yang kewalahan berusaha menopang tubuhnya karena pelukan tiba-tiba Melissa.
Diraihnya tubuh Melissa lalu ia mengusap kepala gadis itu dengan sayang.
“Ke mana, kamu kemarin?” tanya Melissa masih di dalam pelukan Rio.
Tring!
Baru saja Melissa ingin membicarakan hubungan mereka, tapi sebuah nada panggilan menyita perhatiannya.
Perempuan itu lantas merogoh tasnya untuk mengambil kembali ponselnya.
“Halo?”
“Lisa, kamu di mana? Apa kamu sudah melihat blog kepenulisan?”
“Belum, kenapa?” Melissa mengerutkan keningnya tidak mengerti kenapa temannya yang ada di seberang sana terdengar panik dan cemas. Bahkan, ada sedikit amarahdalam nada bicaranya.
“Ck! Lihatlah sekarang! Dan nikmatilah kebodohanmu itu! Sudah kuucapkan berulang kali jangan pernah mempercayai siapa pun, kau benar-benar keras kepala!” omel sang penelpon yang merupakan editor Melissa dalam menulis naskah novelnya.
Lisa sedikit gemetaran saat tangannya bergerak-gerak di layar ponselnya, lalu ... seperti dunianya runtuh tepat di atas kepalanya!
Dunia Melissa benar-benar akan hancur saat detik ini juga.
“Pla—plagiat?”
*****
Kesabaran Melissa sepertinya sedang diuji habis-habisan. Tapi, bukankah wajar untuk mengeluh lelah?Lama Melissa mengetuk pintu “tersangka” yang membuat harinya kacau.Dia pikir hatinya akan lega ketika pintu itu terbuka.
Sayangnya, itu membuat Melissa semakin marah. Gegas, gadis itu melangkah menuju ke dalam ruangan meski sang pemilik ruangan menangkap basah dirinya yang menerobos privasinya.
Amarah yang semakin memuncak membuat Melissa masa bodoh dengan kesalahan yang telah dia lakukan.Yang jelas, saat ini kecerobohan Melissa mungkin salah satu cara Tuhan, untuk mengetahui pengkhianatan yang telah dia lakukan.
Gadis yang lebih dari separuh umur Melissa sudah dianggap sebagai sahabat. Separuh jiwa yang tidak akan pernah menyakiti Melissa.Tapi, itu dulu.“Apa yang kau lakukan?” Suara Shinta terdengar dingin. Tampaknya, ia marah karena Melissa telah sembarangan membuka laptop pribadinya. Wanita melirik tajam pada layar yang masih terbuka, menampilkan tulisan-tulisan yang telah terangkai menjadi sebuah cerita tak tuntas.Tapi, Melissa sama sekali tidak peduli. Tatapan tajam dari matanya dibalas dengan cara yang sama. Bahkan, mungkin terlihat lebih menakutkan lagi.Shinta mendekat dengan langkah cepat. Dalam kurun waktu beberapa detik, ia sudah berada tepat di hadapan Melissa.“Kau membacanya?” ujarnya tertahan.
Bola matanya bergerak tak mau diam. Ada gurat ketakutan di sana.
Melissa mendengus keras. Satu sudut bibirnya terangkat ke atas, membentuk senyum sinis yang seumur hidup tidak pernah ditunjuk kepada sahabatnya itu. “Kau puas mengolok-olokku, mempermainkan aku?” tanya Melissa langsung.“Apa?!”“Jangan berpura-pura bodoh!” sentak Melissa yang merasa muak melihat raut wajah Shinta yang kini tampak terguncang. Seolah, wanita itu tidak tahu apa yang sedang Melissa bicarakan.“Kau benar-benar ingin terkenal, huh? Sampai kau tega harus mencuri hasil karyaku ini sebagai ide ceritamu, hah?”Teriakan Melissa membuat wajah Shinta mulai memucat. Kerutan kebingungan itu juga perlahan menghilang. “Kau sahabatku, Shinta! Tapi kenapa kau bisa melakukan hal ini padaku? Meski semua orang mengatakan aku bodoh, tapi bagaimana mungkin kau juga mencemooh perasaan tulusku untukmu!”Melissa tidak tahu perasaan apa yang lebih dominan di hatinya sekarang. Marah? Atau kecewa? Satu-satunya orang yang selalu dia percaya, tempat dia menumpahkan keluh kesah justru mengkhianatinya seperti ini.“Tulisan ini ….” Melissa menunjuk layar laptop kasar. “Kita berdua sama-sama tahu kalau penulis tulisan ini adalah aku, bukan?” berang Melissa pada Shinta.Shinta lantas menunduk takut, tetapi tak juga menjawab–membuat Melissa semakin kesal.“Kenapa kau melakukan itu? Apa tidak ada ide lain di kepalamu itu? Kenapa harus aku dan karyaku yang kau jadikan bahan menjatuhkan aku?! Kau paling tahu seberapa pentingnya ini bagiku. Ini suatu hal yang aku perjuangkan sejak lama. Apa saja yang aku lewati dan aku korbankan? Kau tahu semuanya, tapi kamu tega melakukan itu.”“Apa kamu itu masih pantas disebut manusia?” Melissa menyerang lagi. Tapi, tetap Sinta tak mau menjawab.
Dia hanya terdiam dengan kepala menunduk dan bahu bergetar–membuat Melissa mulai merasa bersalah.Mati-matian Melissa menepis segera perasaan itu. Perbuatan Shinta sudah sangat keterlaluan. Ditusuk oleh kawan sendiri rasanya jauh lebih menyakitkan daripada dicurangi lawan. Ratusan cerita yang mereka bagi bersama-sama hampir setiap hari ternyata tidak berharga baginya, ia lebih tergiur pada hasil komersial untuk menambah nominal pada tabungannya.“SHINTA, JAWAB AKU!” Melissa berteriak lagi. Lebih keras dari yang terakhir. Sungguh kesabaran ini telah habis.“Maaf.”Akhirnya, satu kata penuh penyesalan itu keluar. Hampir tak terdengar di telinga. Namun, Shinta masih menundukkan kepala tak berani menatap mata Melissa barang sesaat.“Kerja bagus, Shinta Bachri,” sindir Melissa tajam, “aku harap buku yang kau akui ini kau tulis bisa membuatmu menjadi penulis paling terkenal di seluruh penjuru Indonesia ini dan dunia.”
Tak menunggu lama, Melissa bergegas pergi meninggalkan tempat itu.
Ini adalah akhirnya. Persahabatan ini telah tersudahi demi sisa harga diri yang masih Melissa miliki.Hari-hari yang Melissa lalui sejak malam penuh kekecewaan itu terasa sangat berat. Kehilangan sahabat yang sudah seperti separuh jiwa terasa seperti berjalan hanya dengan satu kaki. Pincang. Melissa sulit melangkah. “Apa kesalahanku?” lirih Melissa sambil menangis. Ada banyak masalah yang dia hadapi dan dia tidak punya tempat untuk mengadu.Tempatnya berbagi cerita–sudah hilang.
Entah mengapa, satu nama terlintas dalam pikiran Melissa.
Dia harus menghubungi Erlangga!***
Tetes-tetes air yang terus mengguyur kota sejak sore tadi menjadikan jalanan yang biasanya ramai tampak lebih lengang.
Perbedaan suhu di luar ruangan mampu membuat kaca jendela besar yang berada di samping Erlangga berembun. Seperti memiliki pikirannya sendiri, telunjuk Erlangga bergerak bebas membuat gambar-gambar tanpa makna di sana. Sekadar membunuh waktu karena bosan menunggu.Suara pintu terbuka diiringi bunyi gerincing bel khas restoran ini membuat Erlangga menoleh ke arah seorang gadis yang baru saja masuk. Tubuhnya sedikit basah–bisa dipastikan dia tidak membawa payung dan memilih berlari menerjang hujan dari tempat parkir.Tapi, Melissa memang berbeda dari gadis kebanyakan. Dia kuat. Baik secara fisik maupun mental.“Apalagi yang terjadi dengan gadismu itu?” tanya Thu–sang pelayan restoran yang sudah akrab dengan Erlangga dan juga Marissa.Tanpa menyadari bahwa yang baru saja masuk bukanlah Marissa, Thu langsung melengos pergi saat Melissa mendekat.
Tampangnya cemberut karena tiap Melissa bergerak–membawa tetesan air yang membasahi lantai, yang bisa mengakibatkan licin bagi pengunjung lain.Melissa menunjuk wajah bersalah yang acuh, lalu duduk dan menggigit satu buah ceker pedas yang Erlangga beli dari luar tanpa permisi.
Wanita itu terlalu bersemangat, hingga bumbu merahnya bercecer ke atas meja dan juga setelan yang digunakan. Thu menatap jijik, sedangkan Erlangga mengernyit melihat kelakuan Melissa yang jauh dari kata feminin.“Dia bukan gadisku, hanya teman.” Suara Erlangga mengecil di akhir kalimat. Pandangan mata Erlangga menyendu begitu sadar Melissa dapat mendengarnya.Benar saja, Melissa mendengus keras sambil mengambil tisu yang di sodorkan Thu.
“Teman?” sinisnya.
“Untuknya, kau adalah teman, tapi untukmu?”
Kata-kata Thu menohok Erlangga dan Melissa. Pria itu masih saja tidak sadar bahwa di hadapannya itu bukanlah Marissa yang ia kenal.Memang, Melissa bukanlah teman bagi Erlangga. Wanita itu hanyalah sebatas Istri Pengganti untuk pria tersebut....
“Ck!” Melissa lantas mendecak kecil dan mengabaikan itu semua. Dia harus fokus pada tujuannya menemui Erlangga.
Ia butuh dukungan pria di depannya ini untuk menghadapi sahabat, ah ralat, bukan sahabat, melainkan penghianat itu.
“Jadi, kenapa kau ingin bertemu?”
Rumah Keluarga Erlangga [09:00 AM]Erlangga sedang berada di ruangan kerjanya dan memeriksa berkas-berkas perusahaan. Ayahnya sudah berangkat ke perusahaan sejak satu jam yang lalu dan sang ibu sedang berada di salah satu butik milik keluarga. Mia sudah berangkat kuliah entah sejak pukul berapa dan Melissa sejak subuh tak terlihat di mana-mana, gadis itu tampaknya sudah berangkat kerja. Dia hanya meninggalkan sebuah notes kecil di atas buku yang semalam Erlangga baca. Isinya mengatakan bahwa ia akan kembali nanti sore. Entahlah, seakan ada yang disembunyikannya. Kemarin, Melissa juga tidak menjawab dengan pasti mengapa ingin bertemu mendadak.Tok Tok Tok!Suara ketukan pintu menghentikan aktivitas Erlangga. Pria itu langsung menutup berkas yang sedang ia periksa. “Masuk,” ucapnya singkat.“Permisi, Tuan Erlangga, Tuan Rio ingin berbicara dengan anda,” ucap seorang pelayan pada Erlangga.“Ya, suruh dia masuk.”Pintu terbuka dan menampakkan Rio yang berjalan masuk ke dalam ruangan E
Rumah Keluarga Erlangga [Malam hari]Melissa datang ketika makan malam sedang berlangsung. Dia melihat ayah dan ibu Erlangga serta Mia adik Erlangga di meja makan. Tak luput, Erlangga yang juga duduk bergabung dengan keluarganya. Melissa baru sadar bahwa Erlangga memiliki wajah yang sangat pucat.“Selamat malam semuanya. Maaf aku terlambat pulang, kafe sangat ramai hari ini,” ucap Melissa berbasa-basi. Ia melirik jam dinding, masih jam setengah tujuh malam.“Ayo sini makan malam dulu, Melissa. Kau pasti lelah berolahraga,” ucap Hanna.Melissa tersenyum lalu duduk bergabung dengan keluarga Erlangga. Dia merasa asing di tengah-tengah keluarga Erlangga tapi kemudian dia merasa nyaman saat ayah dan ibu Erlangga mengajaknya berbicara.“Kau mau makan yang mana? Ibu ambilkan,” ucapkan Hanna dengan lembut. Melissa semakin merasa tak enak. Marissa memang bodoh karena sudah meninggalkan keluarga ini.“Aku ingin ikan. Oh iya, aku membawakan beberapa kue dari kafe tempatku bekerja. Ini baru
“Apa?” pekik Melissa.Namun, Erlangga hanya diam–meninggalkan Melissa yang berdiri membeku di depan kamar mereka. Luar biasa! Gadis itu bertanya bagaimana Erlangga tahu dia menemui Rio? Setelah Rio pergi menemuinya, Erlangga memerintahkan seseorang mengawasi pria itu dan dia mengetahui Rio bertemu istrinya.BLAMMM!Ketika akhirnya bisa mengendalikan diri, Melissa ikut masuk kemudian menutup pintu. Dia berlari kecil mengejar Erlangga yang sedang berjalan menuju ranjang.“Kau menguntitku?” tanya Melissa kesal.“Tidak menguntit sebenarnya. Tadinya, aku pergi ke kafe tempat kerjamu. Aku ingin tahu di mana tempat istriku bekerja, tapi ternyata bosmu bilang kau tidak masuk. Aku hanya menduga kau pergi menemui Rio, tapi kau justru mengatakan semuanya,” ucap Erlangga dengan senyum seringai. Dia memang tersenyum, tetapi itu dilakukan untuk menyembunyikan kekecewaannya. Siang hari saat jam istirahat, ia sangat ingin mengajak istrinya makan siang. Namun, ia kecewa karena istrinya tidak masuk
Melissa memasuki kamarnya dan Erlangga. Tubuhnya lelah bekerja di kantor penerbitan untuk mengurus kasus Sinta. Juga hari ini pelanggan dan pengunjung sangat ramai di cafe milik Raga. Dia ingin segera mandi dan tidur cepat, tapi ada sesuatu yang mengganggu pikirannya sejak tadi. Sejak pagi sampai malam Rio tak menghubunginya sama sekali. Dia yakin Rio tidak mungkin lupa untuk menghubunginya, sesibuk apa pun pekerjaan pria itu, dia pasti selalu menghubungi dirinya.“Kenapa larut sekali baru pulang?”Suara berat Erlangga membuyarkan lamunan Melissa, Melissa mengerjapkan fokus pada pikirannya, ditatapnya Erlangga yang sedang membaca buku di atas ranjang, lama-lama Melissa benar dengan kebiasaan pria itu setiap malam.“Kantor sangat ramai dan banyak kerjaan hari ini. Maaf tidak memberi kabar, apakah ayah dan ibumu menanyakanku?” tanya Melissa sedikit cemas.“Ya, tapi mereka tahu kau pasti sibuk bekerja,” balas Erlangga.“Oh, syukurlah. Besok jadwalmu untuk fisioterapi?” tanya Melissa, dia
07:00 AMErlangga duduk di dalam mobil menunggu Melissa yang belum juga menunjukkan batang hidungnya. Gadis itu tidak mungkin membatalkan rencana pagi mereka hari ini, kan? Dia tidak menunjukkan reaksi penolakan yang berlebihan semalam. Erlangga masih senyum-senyum tipis bila mengingat pertengkaran mereka sebelum tidur, menggoda Melissa suatu hiburan baru baginya.Erlangga menolehkan kepalanya ke arah pintu masuk rumahnya, wajahnya berubah santai saat ia melihat Melissa berlarian dari dalam rumah. Kenapa gadis itu tidak bisa berjalan saja?“Maaf sedikit lama!” ucap Melissa saat dia masuk ke dalam mobil.“Apa saja yang kau lakukan sih sampai selama ini?” tanya Erlangga.Melissa mengangkat kotak bekal makanan yang ia bawa lalu membukanya dengan penuh semangat di hadapan wajah Erlangga. “Tadaaaa~ aku membuat sedikit sandwich untuk bekal kita. Kau akan suka dengan sandwich buatanku, tidak ada yang bisa menolak kelezatannya,” ucap Melissa dengan wajah ceria.Erlangga mendengus lalu menatap
Rehabilitasi MedikMelissa duduk sambil menatap Erlangga yang sedang berlatih ditemani terapisnya. Beberapa kali gadis itu memeriksa ponselnya untuk melihat apakah ada balasan dari Rio tetapi hasilnya masih nihil. Melissa sudah beberapa kali mencoba menghubungi Rio tetapi sampai detik ini juga belum juga tersambung.“Ke mana sebenarnya kau ini?” gumam Melissa sambil terus mencoba menghubungi ErlanggaPada percobaan ke sembilan akhirnya panggilannya tersambung. Melissa mulai bersemangat. Panggilannya akhirnya tersambung.“Hallo!” sembur Melissa begitu Erlangga mengangkat panggilannya.“Hallo Melisa,” balas Rio dari seberang.“Rio, kau ini ke mana saja sejak kemarin tak bisa dihubungi,” ucap Melissa dengan cemas.“Maaf ponselku mati, chargernya hilang entah di mana,” ucap Rio.Melissa mengembuskan napas lega saat mendengar jawaban Rio. Setidaknya pria itu baik-baik saja. Dia pikir sesuatu yang buruk mungkin sudah terjadi pada Rio.“Apakah ada sesuatu yang terjadi?” tanya Melissa.“Kenap
Melissa tercekat mendengar jawaban Erlangga. Erlangga pasti sudah benar-benar gila. “Erlangga, jangan menjadi begitu egois,” ucap Melissa. “Aku sudah membuka lembaran baru dalam hidupku, Melissa hanya cerita lama dalam hidupku. Dia tidak akan pernah menjadi sebuah masa depan untukku. Dia mungkin hanya sebuah sejarah dalam hidupku,” ucap Erlangga. “Tapi aku tidak bersedia menjadi masa depanmu,” ucap Melissa penuh penekanan. “Kenapa sulit sekali untukmu membuka sebuah lembaran baru dalam hidupmu?” tanya Erlangga, pria itu menatap tepat ke manik mata Melissa. “Karena aku tidak pernah mendapatkan apa yang memang ditakdirkan untukku, Erlangga. Aku tidak pernah mendapatkan apa yang memang benar-benar aku inginkan. Aku bukan gadis manja yang bisanya hanya meratapi nasib malang dalam hidupku tapi aku benar-benar sudah bosan selalu mendapat sisa,” ucap Melissa. “Jadi aku adalah sisa?” tanya Erlangga dengan senyum miris. “Tidak tepatnya,” ucap Melissa lalu tertawa kecil. “Kau adalah mili
Cocoa Cafe, Korean Food.11.30 AMMelissa mendorong kursi roda milik Erlangga memasuki kafe. Melissa mengamati seluruh interior kafe dengan wajah berdecak kagum. Erlangga mendongakkan kepalanya sedikit menatap Melissa, dia tersenyum mengejek melihat decak kagum di wajah gadis itu.“Aku tidak tahu di Seoul ada tempat seperti ini,” ucap Melissa.“Apakah di sini semua makanannya terbuat dari coklat?” tanya Melissa lagi.“Tidak juga. Pemiliknya menyukai coklat tetapi tidak semua makanan di sini terbuat dari coklat tetapi mereka memang miliki menu yang sangat lezat untuk jenis makanan yang menggunakan bahan dari coklat,” ucap Erlangga.“Ini tempat favoritmu?” tanya Melissa.“Ya, aku suka menghabiskan waktu di sini. Selain membaca aku bisa mendengarkan musik dan menonton film. Kadang mereka juga mengadakan bedah buku dengan penulis-penulis terkenal dari dalam dan luar negeri juga dari Seoul,” ucap Erlangga.“Di sini bisa menonton film juga?” tanya Melissa.“Ya, kau suka menonton film?” tanya
Dan apa yang dikatakan oleh seseorang tak dikenal itu masuk ke gendang telinganya. Dikta menyisir semua orang yang ada di sekitarnya saat ini. Matanya tertuju pada salah satu spot di mana sosok itu berada. Ya, dia mendapati sosok yang tak dikenal masuk dikerumunannya. Terlihat seringai senyum puasnya itu terulas di mukanya. Ia menggunakan pakaian serba hitam. Sayangnya, Dikta tak bisa melihat sorot mata yang tertutup oleh bayangan topi yang dikenakannya. Tak hanya dia yang puas, melainkan sosok mereka yang ada disitu pun ikut merayakan kekalahan Dikta. Ya, walaupun sementara mereka sangat yakin itu bisa menjadi peringatan agar Dikta bisa mundur dari jabatannya. Agaknya dalam hati mereka masing-masing silih berganti menghina Dikta. Atau mungkin ada yang menertawakan Dikta juga. Entahlah, pikiran Dikta berkecamuk. Bukan karena masalah diseret tapi siapa lagi yang bermain drama dengannya saat ini. Perlahan namun pasti Dikta meninggalkan kantor utamanya dengan tangan diborgol. Keluar
Dan apa yang dikatakan oleh seseorang tak dikenal itu masuk ke gendang telinganya. Dikta menyisir semua orang yang ada di sekitarnya saat ini. Ia mendapati sosok yang tak dikenal masuk dikerumunan. Terlihat seringai senyum puasnya itu terulas di mukanya. Mereka sangat puas melihat Dikta, yang diseret paksa bak tersangka sesungguhnya. Agaknya Dikta berat sekali melangkahkan kakinya. Hanya saja Dikta tak bisa menangkapnya dengan jelas, karena polisi lebih dulu menyuruh Dikta untuk masuk ke dalam mobilnya. Sepanjang perjalanan Dikta benar-benar pasrah. Bahkan ia tak berbicara sepatah kata apapun. Diam. Dan mengikuti alur mereka inginnya seperti apa. Namun di balik diamnya Dikta, ia terus mengamati sosok itu dari belakang. Mengingat kembali semua yang dikatakan oleh mereka. Harap-harap ada klu yang menyudutkan pada sosok tersangka. Dikta juga masih ingat siapa saja yang ikut andil di dalam sana. Sehingga Dikta bertekad akan kebebasannya akan menelusuri siapa mereka. Apakah benar yang
Tampak nafas pria itu benar-benar tersenggal. Kentara sekali ia sangat kelelahan agaknya. "Ada apa? Minum dulu!" sosor Dikta seiring memberikan segelas air minum. Mengambil dan meneguk airnya dengan rasa tamak. Agaknya ia sangat kelelahan. Baik Sierra maupun Dikta masih menunggu apa yang ingin dikatakan olehnya itu. "Ada apa?" Hosh! Hosh! "Anu, Pak. Itu kantor—" Mata Dikta membulat sempurna mendengarkan hal itu. Kini tatapannya mulai menatap lekat untuk membenarkan rasa jujurnya itu. Sehingga batin Dikta dili seperti sudah dikejar seseorang. Memperhatikan keadaan kamar di manan Sierra berada. Dikta berusaha mencerna kembali 11 "Pak gawat kantor kena sidik oleh pihak terkait dan investor!" sosornya terburu-buru. "Jangan bercanda! Ini tidak lucu!" sanggah Dikta geram. Menelan salivanya kuat-kuat. Sierra hanya bisa menatapnya datar. Karena hal ini sering terjadi. Sierra hanya busa menonton kejadian klasik ini. Ia yakin Dikta pasti terkejut akan apa yang terjadi. Walaupun Sierr
Mengangguk. Ia ingin merangkul Sierra, hanya saja lengannya benar-benar tak kuasa menahan nyeri karena luka itu. Ditambah Dikta dihantam berkali-kali saat melawan Sony yang membuat salah satu tangannya kebas.“DIKTA TANGANMU TERLUKA! PAK CEPAT KE RUMAH SAKIT!”Sang pengawal pun langsung menginjak pedal gasnya begitu saja. Sierra benar-benar panik akan apa yang terjadi. Dikta hanya terkekeh melihat tingkah Sierra yang terlalu berlebihan ini. Padahal lukanya tak seberapa dengan rasa khawatirnya itu.Sesampainya di rumah sakit, malah bukan Dikta yang dilarikan untuk di tangani. Tapi malah Sierra yang dilarikan ke ruang UGD. Dikta memboyong tubuh wanita yang merintih kesakitan itu.“Sus, tolong!”Dengan sigap para perawat itu membawa Sierra berlalu menuju ruang UGD. Dikta hanya bisa menunggunya di depan ruangan dengan harap-harap cemas. Ia tak peduli lagi dengan rasa sakit yang diembannya saat ini.Ya, perjalanan yang cukup terjal dari tempat kejadian membuat Sierra mengalami pendarahan d
Tapi Bella malah menarik paksa pria itu dalam pelukannya. Pelukan yang selama ini ia elu-elukan setiap malam. Jujur saja, Bella sangat merindukan Dikta kala ini. Ya, dia sangat menginginkan Dikta kembali dalam pelukannya. Kembali merajut dunia yang telah lama hilang. Ternyata Bella baru menyadari, jika Diktalah yang berhasil membangun dunianya terasa megah. Atau bisa dikatakan hanya Dikta yang bisa mengerti segala keinginannya. Bukan Noah maupun kedua orangtuanya. Bahkan bisa dikatakan jika Diktalah yang berhasil membuatnya menjadi istri yang layak. Dia berhasil mengagungkan Bella dengan segala perjuangannya yang tulus itu. Dan tak pernah Bella temukan pada Noah hingga saat ini. Andai saja waktu bisa diputar kembali, mungkin Bella takan pernah melakukan itu. Dan mungkin saja anaknya masih hidup sampai saat ini kan?Dikta menepis segala rayuan Bella yang mulai menjalari tubuhnya. Sungguhpun, Dikta jijik dan muak sekali. “Bella! Lepaskan! Kenapa kau mau menjadi jalang seperti ini,
Dari root top bangunan di seberang jalan, tepatnya di seberang kosan Sony, seorang pria mengawasi Sony yang sedang dikepung oleh Dikta dan pengawalnya.Pria itu sudah siap dengan senapan laras panjangnya, bersiap membidik target. Saat itu Dikta menanyai Sony, tapi dia diam ... tidak mau berkata jujur. Setelah dihajarpun Sony ditanya kembali oleh Dikta. “Sekarang!” perintah wanita dari telepon, kepada pria yang menggunakan penutup kepala dengan earpiece di telinganya. Dan ... DOR! Dikta dan ketiga pengawal terkejut, mereka menoleh sekeliling dan mencari sumber suara. Setelah beberapa menit barulah Dikta tahu, seseorang mencoba lari dari rooftop rumah di seberang kostan yang ditinggali oleh Sony. “Di sana! Tangkap!” perintah Dikta menunjuk ke bangunan di seberang kostan, dua pengawal langsung bergerak untuk mengejar penembak Sony. “Urus mayatnya,” titah Dikta pada dua pengawal yang sedari awal memegangi tubuh Sony, dan sekarang dua pengawal itu sedikit gemetar yang mereka
Satu persatu masalah menghampiri Dikta, hampir tak berkesudahan, satu masalah selesai satu lagi muncul. Dia hampir gila, merasa ingin menyerah saat ini karena salah satu dari masalah tersebut adalah Sierra. Istrinya itu adalah kekuatannya, harta yang ia punya satu-satunya. Sedang mengandung buah hati mereka, tapi karena termakan hasutan orang dia lebih memilih pergi meninggalkannya. Dikta tidak tahu harus mencari Sierra ke mana. Ponselnya juga tak aktif, tidak bisa dihubungi sama sekali. Dikta juga tak mendapati istrinya ada di rumah kakeknya. Dia tak tahu apakah ada tempat tinggal Sierra yang lain atau istrinya itu hanya tidur di hotel. Dikta akhirnya membiarkan istrinya itu menenangkan diri dan dia berjanji akan mengurus masalahnya supaya cepat selesai. Pagi ini Dikta pergi ke kantor seperti biasanya, hari ini kakek sudah bilang tidak akan mampir ke kantornya, kakek membantu Dikta mencarikan investor baru untuk perusahaan yang dipimpin oleh Dikta itu, pria itu bersyukur sekali.
Dikta menerima telepon dari kakek Sierra, menyuruhnya untuk segera datang ke rumah orangtua Bella. “Aku ada di apartemen, Kek,” ucap Dikta, dia seketika teringat amanah dari ayah Bella yang merupakan mertuanya dulu. “Kau harus bawa mayatku juga istriku. Tolong kebumikan kami dengan layak. Aku yakin hidupku sudah tak bisa bertahan lebih lama lagi,” ucap ayah Bella sesaat sebelum dia tewas karena peluru yang bersarang di kepalanya. Dikta tak bisa untuk tidak sedih, marah dan kecewa, perasaan itu campur aduk di dalam hatinya sekarang. Karena sudah ditunggu oleh kakek, dia segera turun dan menuju ke rumah Bella lagi. Beberapa menit kemudian Dikta sampai di kediaman orangtua Bella, bunga duka sudah berjejer rapi di depan gerbang rumah, banyak mobil yang juga berderet-deret memenuhi tepi jalan. Dikta memarkirkan mobilnya, agak jauh dari kediaman mantan mertuanya itu. Dia turun kemudian melangkah masuk ke sana, orang-orang sudah datang untuk melawat. Dikta melihat ada Bella di sana y
Dikta terperangah, dia membelakakkan matanya sekarang. Kedua mantan mertuanya itu terkapar, dan malangnya di depan matanya ayah mertuanya dihabisi begitu saja. Dikta yang geram berusaha mengejar siapa penembak yang bersembunyi di gudang tadi. Dikta berlari kencang, melawan rasa sakit kepalanya akibat hantaman tongkat baseball yang mengenai kepalanya. Pria itu kabur, melesat dengan cepat berlari dari arah gudang ke depan. Dari belakang Dikta menyusul berlari kencang, seperti mengenal sosok tersebut, dia mempercepat langkah kemudian menarik jaket hitam yang dikenakan pria yang akan kabur itu. Dikta menarik dengan kedua tangannya hingga pria itu terjerembab. Pria itu menggunakan pakaian serba hitam yakni pakaian serba hitam, sepatu hitam, bertopi hitam, masker hitam dan tak lupa kedua tangannya menggunakan sarung tangan. Dikta menarik masker dan topi pria itu, membuangnya asal, dan ketika semuanya terlepas pria itu tertawa. “Hahaha ... Sudah pas bukan waktunya?” ujar Noah, dia seakan