Share

07. Menyembunyikan Makanan

Sayangnya, sang ayah mendadak berbicara, “Sudah, biarkan saja Vanesh, Ayah tidak apa-apa.”

“Tapi Yah, Ayah kan lagi sakit, jalan aja gak kuat. Bu, Melody dan Desi kan masih muda, hanya untuk mengambilkan air minum untuk Ayah, apa susahnya? Juga gak pakai waktu lama.”

Prang!

Kesal, Gema melempar gelas kosong yang ada didekatnya. Takut kena pecahan kaca, Vanesha dan Ayah menjauh, “Apa susahnya? Mereka lagi mau ujian! Kau mau adik-adikmu tinggal kelas?! Lagipula, ayah kamu belum mati kan?”

“Bu--"

“Ssh…. Sshh… sudah, sudah, biarkan saja, Vanesha. Sekarang, Ayah mau ke kamar saja.”

Vanesha menuntun Ayahnya untuk kembali ke kamar. Wajah judes dan angkuhnya Gema, terang-terangan ditunjukan pada mereka berdua.

Dia meletakan ayahnya di pembaringan, “Ayah sudah makan?”

“Tadi… Ayah sudah makan roti.” Ragu-ragu menjawabnya.

“Apa? Roti? Kalau makan nasi?”

Bayu mengangkat wajahnya, dan menggelengkan kepala.

“Hah? Jam segini Ayah belum makan?” Vanesha berdiri ingin keluar dari kamar, “Vanesha, biarkan saja. Ayah juga masih belum lapar kok.”

“Bu, kenapa Ayah masih belum makan? Padahal sudah lewat jam makan malam?”

“Jangankan ayahmu, kami saja belum makan, kenapa kau marah-marah?”

“Kenapa belum makan Bu?” dia melihat ada beberapa potong pizza diatas meja, ditengah-tengah kedua adik tirinya yang katanya sedang belajar, padahal sibuk dengan ponselnya.

“Memangnya siapa yang masakin? Kaunya aja baru pulang sekarang.” Jawabnya tanpa merasa bersalah.

“Ya ampun Bu, kenapa gak Ibu saja yang masak?” Vanesha mengusap wajahnya, rasanya sudah marah ditambah lagi capek.

“Apa? Enak sekali kau menyuruhku masak untuk ayahmu?”

“Bu, tapi dia kan suamimu, Bu.”

“Tapi dia Bapakmu kan? Dianya saja sakit-sakitan, gak kasih uang, gak bantu, untuk apa?”

“Ck…” habis energinya marah-marah terus, “Kalau tidak bisa masak lauk, masak nasi kan bisa, dan lauknya dibeli diwarung. Tapi masih sempatnya beli pizza yang harganya lebih mahal.” Ucapnya sambil berjalan menuju dapur.

“Apa yang kau katakan? Hey! Dasar anak tidak tahu sopan santun kamu ya!” Gema mengejarnya kedapur.

Vanesha mengecek kulkas, mencari bahan yang bisa diolah untuk dimakan.

Untunglah masih ada dua butir telur. Diambilnya dan hampir terjatuh dari tangannya ketika Gema menarik rambutnya dari belakang, “Kau bilang apa tadi? Hah?!”

“Akh… lepaskan aku Bu, aku ingin masak.”

“Apa? Telur itu, jangan kau masak sekarang karena itu buat sarapan adik-adikmu! Letakan itu lagi kedalam kulkas.”

“Bu, masih ada tempe dan tahu.”

“Tidak! Itu buat adik-adikmu, letakan itu sekarang!”

Karena rasanya sakit rambutnya yang ditarik, Vanesha pun mengalah.

“Hmph! Udah gak ngasih uang belanja, seenaknya pakai telur.” Dia melepaskan tangannya dari kepala Vanesha tapi masih mengomel.

Uang belanja? Bahkan semuanya, Vanesha yang beli dengan uangnya sendiri. Tapi, percuma jika Vanesha mengatakan itu.

Tidak bisa memakai telur, dia pun hanya menggoreng tahu dan tempe saja. Merebus sayur pakchoy yang mana tidak disukai ibu dan saudari tirinya.

Untungnya mereka bertiga sudah makan, jadi mereka tidak berteriak minta makan.

Ada dua piring, satu untuknya dan satunya lagi untuk ayahnya. Dua piring itu dibawanya ke kamar, untuk makan bersama. Vanesha tahu, ibu tirinya menatap tajam padanya ketika melewatinya, tapi dia tidak mau perduli.

“Ayah, makan dulu ya, habis itu minum obatnya.”

Bayu melihat kedua piringnya yang lauk sederhana, “Maafkan Ayah ya Vanesh. Karena Ayah yang sakit-sakitan begini, Ayah jadi tidak bisa mencari uang untuk memenuhi nafkah kamu dan lainnya.”

“Jangan katakan itu, Yah. Aku juga sudah dewasa, dan bisa mencari pekerjaan. Tidak ada yang bisa disalahkan dari orang yang sedang sakit. Asal Ayah sehat saja, aku sudah senang.” Vanesha mulai menyantap makanannya, lalu Bayu pun ikut makan.

“Ayah malu.” Suara Ayah bergetar menahan tangis.

Mulut Vanesha mengunyah dan melihat wajah ayahnya yang penuh penyesalan. Sebenarnya dia juga ingin menangis, tapi berusaha keras untuk menahannya agar Ayahnya tidak semakin sedih.

“Ayah, mulai besok, aku akan bekerja pagi-pagi sekali. Ayah harus janji sama aku, agar bisa menjaga diri. Makan kalau waktunya makan, dan minum obat kalau sudah waktunya juga. Kalau Ayah sakit sementara aku bekerja, aku jadi tidak tenang disana. Aku mau, Ayah sehat dan panjang umur, karena hanya Ayah saja yang Vanesha punya Yah.”

Akhirnya tidak bisa menahannya lagi, air pertamanya sudah mengalir di pipi.

Sang ayah juga melihatnya.

Bibir pria tua itu bergetar. Dia juga menangis, dan mengusap wajahnya. Mereka berdua, sama-sama menangis sambil makan.

Sesuatu yang tak akan pernah Vanesha lupakan selamanya.

Hari berikutnya, jam enam pagi, Vanesha sudah bersiap untuk berangkat bekerja dengan motornya.

Tadi, ia sudah menyiapkan sarapan untuk orang yang ditingalkan di rumah.

Agar ibu tirinya tidak menghabiskan jatah makanan untuk ayahnya, sengaja Vanesha menyembunyikan makanan untuk ayahnya di kamarnya.

“Ayah, aku akan pergi. Simpan makanan ini, dan kalau sudah lapar, makanlah. Nanti malam, aku akan bawa makanan lagi. Jangan tahu ibu ya.”

“Iya Nak, hati-hati dijalan, jangan mengebut bawa motor. Kamu sering sekali mengebut dijalan.”

Vanesha mencium punggung tangan ayahnya untuk berpamitan.

Ayahnya mengantarnya sampai didepan pintu saja, demi melihat puterinya pergi.

Satu jam kemudian, Vanesha akhirnya sudah tiba di tempat kerjanya.

Namun, ia terkejut kala menyadari sesuatu.

“Apa? Ini 'kan… rumah? Kenapa aku disuruh datang ke sini?" lirihnya tanpa sadar, "Katanya langsung ke tempat kerja?”

“Permisi, Anda siapa dan mau bertemu dengan siapa?”

Dua security mendadak menahan Vanesha yang masih berdiri di depan gerbang.

Sebab, tindakan gadis itu sungguh mencurigakan!

Tentu saja, Vanesha terkesiap. "A--aku..."

Sementara itu...

Tak peduli dengan kepanikan Vanesha yang tengah dihadang securitynya, Raditya tampak berbicara dengan Hendrik lewat saluran telepon. “Iya aku sudah lihat gadis aneh itu!" ucapnya sembari tersenyum santai di dekat jendela..

Entah mengapa, Raditya suka melihat berbagai macam reaksi Vanesha yang benar-benar polos dan menghibur.

Sesuatu yang tak pernah dia dapatkan selama ini dari ....

Tunggu!

Raditya tertegun. Kenapa dia mendadak aneh dengan dirinya sendiri?

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Diandra Firansyah
kasihan bgt smp nyembunyiin makanan. itu knp sm si Adit?
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status