“Oke, kita mulai lagi syutingnya, semuanya kembali pada tempatnya!” sutradara sudah memanggil semua artis-artisnya.”***Tetangga mendengar ada suara mobil yang baru berhenti di depan halaman rumah Vanesha. Saking penasarannya, mereka pun keluar untuk melihat mobil siapa itu.“Vanes?” tetangga yang di ujung, menyapanya.“Bu.” Vanesh hanya mengangguk, tersenyum sebentar, lalu masuk kedalam rumahnya. Dia buru-buru masuk sebelum ada banyak pertanyaan dari mereka. Dia hanya sebentar saja di rumah. Memeriksa ayahnya, mandi dan pergi lagi.‘Ibu gak ada di rumah? Syukurlah. Dia tidak akan menahanku sementara.’“Ayah?” Vanesha memanggil ayahnya sebelum membuka horden kamarnya.“Vanesh?” Bayu, yang tadinya berbaring, tapi bukan tidur, karena mendengar suara puterinya, dia pun bangun dan ingin berdiri, “Ayah, gak usah berdiri, tetap duduk saja.” Kata Vanesha masuk ke dalam kamar.“Vanesha, kamu dari mana saja Nak? Kenapa kamu baru pulang?”“Ayah pasti sangat khawatir ya?”“Tentu saja Ayah khawa
Tak terasa sudah satu bulan Vanesha bekerja sebagai asisten artis dari Raditya. Dan hari ini, adalah hari dia mendapatkan gaji pertamanya.Tok! Tok! Tok!“Masuklah, Vanesha.”Vanesha yang dipanggil Hendrik untuk menemuinya di ruangan pribadinya, masuk setelah mendapat ijin. Rupanya, bukan hanya ada Hendrik saja disana, tapi Raditya juga. Mereka berdua duduk di sofa dan melihat kedatangannya yang membuatnya canggung.“Pak Hendrik memanggil saya ya?”“Iya, Vanesh. Kamu duduk dulu.”“Mmm, permisi, Tuan.” Vanesha harus melewati Raditya, karena kursi yang kosong ada ditengah-tengah dua pria tampan itu.“Nah, ini untukmu, Vanesh.” Diberikan amplop kecil, sedikit tebal.“I-ini, apa ya Pak?” tanyanya tanpa menyentuh.“Jangan pura-pura gak tahu padahal sudah menunggunya dari hari-hari kemarin.” Ucap Raditya.“Saya benar-benar gak tahu kok, Tuan.”“Bohong. Itu gajimu, Katro.”“Tuan, apa anda tidak bisa menyebut nama saya? Atau, apa nama saya terlalu sulit anda panggil?”“Hah? Kau berani berdeba
“Apa? berikan pada Ibu amplopnya sekarang!”Vanesha berlari dari dapur lebih dulu dari Gema. Sebelum amplopnya berpindah tangan, Vanesha merebutnya dari Desi hingga bagian depannya sedikit saja terbuka.“Kau itu tidak sopan sekali ya! Ngapain kamu ngebongkar tas kakak-mu sendiri?” bentaknya pada Desi, sampai anak kedua Gema merajuk dan ingin menangis.“Vanesha! Cepat berikan amplopnya padaku!”“Kenapa aku harus kasih amplopnya pada Ibu?”“Apa? Itu uangku!”“Darimana ini jadi uangmu, Bu? Aku yang bekerja dan ini adalah upahku.” Dia memegang erat amplopnya dibelakang punggungnya.“Kau? Sekarang kau berani membantahku ya? Apa mentang-mentang karena kau yang bekerja? Padahal aku yang mengurus ayahmu yang sakit-sakitan itu.”“Bu, memangnya apa yang Ibu lakukan? Tidak ada! Aku selalu memberikan uang padamu juga kan? Jadi, kenapa Ibu minta semua gajiku?”“Kalau Ibu masih terus bersikeras untuk meminta semua gajiku, aku tidak akan memberikannya sepeserpun padamu.”‘Dasar anak kurang ajar! Ber
Vanesha mencari Raditya di dalam club. Karena pencahayaannya yang tidak terlalu terang, dia harus melihatnya dengan hati-hati, memicingkan matanya.Ada dimana dia? Itulah yang dipikirkan Vanesha.Hentakan musik yang keras membuat telinganya sakit, ditambah lagi asap rokok yang membuat napasnya sesak.Semakin masuk ke dalam, semakin gelap namun banyak orang dan barisan sofa-sofa yang diduduki.“Anda ada di mana? Saya sudah masuk, tapi tidak melihat anda.” Vanesha terus berbicara dengan Raditya dari ponselnya, “Coba angkat tangan anda dulu, atau, apa anda tidak bisa keluar saja dari sana?”“Hey… kau itu pelayanku, kenapa kau yang jadi memberiku perintah? Hah? Aku sudah melihatmu, sekarang kau hanya jalan sedikit lagi kedepan.” Ya, memang benar Raditya sudah melihat Vanesha yang tampak kebingungan karenanya.Sesuai arahan, Vanesha terus masuk melangkah kedepan, ‘Ada banyak orang di sana. Apa benar tidak apa-apa?’ langkahnya sempat berhenti ketika melihat beberapa pria dan wanita.Yang Va
Tidak bisa! Vanesha tidak bisa berada di sana lagi lebih lama. Rasanya tidak ada harga dirinya jika dia terus di sana, apalagi dengan tawa sindiran dan hinaan dari mereka seolah dirinya adalah sebuah permainan.Rasanya dia ingin menangis. Vanesha berbalik badan, dan ingin pergi.Raditya merasa malu dengan tamparan yang diterimanya, apalagi dari asistennya sendiri.“Hey kau! Mau ke mana kau?!”“Radit! Sudahlah, biarkan saja dia pergi.”“Iya Radit, mungkin dia malu.”Tadinya dia ingin mengejar Vanesha, tapi dibatalkan karena teman-temannya yang menahannya.“Ayo, kita minum dulu, Radit. Lupakan dia, kau bisa memberinya pelajaran besok. Bukankah hari ini kita untuk bersenang-senang?” temannya yang juga artis memberikan sebotol minuman keras ditangan Raditya.Orang itu memberi kode pada para wanita itu mengambil alih dengan merayunya. Tapi, tatapan sinis dan tajam dari Raditya masih mengarah pada Vanesha yang sudah meninggalkan tempat.Hampir saja Vanesha jatuh ketika mengendarai motornya.
Hari berikutnya…“Loh? Kok gak ada uang di dalam tas-ku ya?” Vanesha panik karena tidak menemukan uang gajinya di dalam tas. Padahal sudah dicari-cari kesemua bagian didalam tas, tapi tetap saja tidak ada.Tikar tempatnya tidur, sarung dan bantal yang tipis, semua diperiksa, tidak juga ada.“Akhh…! Kemana? Siapa yang masuk dan mencuri uangku?!” Vanesha sampai lelah karena mencarinya.“Ada apa Vanesh?” Ayah, yang mendengar suara Vanesha, datang untuk menanyakan keadaannya.“Ayah, apa Ayah tahu atau melihat siapa yang masuk ke dalam kamar-ku?”“Tidak Nak. Kenapa? Apa ada yang hilang?”Diamnya Vanesha bisa memberikan jawaban pada ayahnya, “Apa yang hilang? Uang? Coba Ayah bantu mencarinya.” Ayah panik dan ikut membantu padahal dia masih lemah karena sakit-sakitan.“Ayah, biarkan saja. Pasti ada orang yang masuk, apa mungkin… Ibu? Ada di mana sekarang Ibu?”“Tadi, Ibu dan adik-adikmu pergi pagi-pagi sekali.”“Apa? Akhh… sudahlah.” Vanesha duduk lemas dan memegang kepalanya.“Nak?” Ayah ju
“Kenapa kau lama sekali? Hm? Padahal hanya mengambilkan satu barang saja?”“I-itu karena ada banyak pilihan parfume yang saya tidak tahu anda mau yang mana.”‘Aku bisa merasakan gesekan dari dadanya di punggungku.’Tangan Raditya bergerak mengambil satu jenis parfume dengan aroma ‘Woody’, aroma yang hangat dan maskulin dengan sentuhan kayu seperti Cerdarwood atau Vetiver.Sengaja Radit menyemprotkan aroma parfumenya disamping leher Vanesha dan menghirupnya, “Hhmm… apa menurutmu aroma ini cocok untukku?” dia mengendus bau yang menempel dileher Vanesha.“Tu-Tuan, anda menjauh dulu sedikit. Sa-saya tidak bisa bergerak karena anda.. menekan belakang saya.”“Jawab dulu pertanyaanku, apa sulit menjawab, ‘Ya atau tidak’?”“I-iya, i-itu cocok untuk anda. Se-sekarang tolong-“Tapi kenapa rasanya kurang pas ya? Ini terlalu menyengat untuk dipakai di dalam ruangan tertutup nanti.”Tangan Radit berpindah di rak bagian bawah, yang dekat dengan perut Vanesha, “Bagaimana dengan yang ini?” satu jenis
Adegan pun dilanjutkan. Seperti ‘Balas dendam’ pada Vanesha, sentuhan dan gerakan Raditya semakin panas, sampai lawan mainnya menikmati adegan yang hanya untuk keperluan syuting saja.“Vanesha.”“Iya, Pak Hendrik?” Vanesha melihat Hendrik yang muncul dan berdiri di sampingnya.“Ini, simpan obat ini jika nanti diperlukan.”“Ini… apa Pak? Obat untuk siapa?”“Untuk Radit.”“Apa… dia sakit, Pak? Tapi, saya belum pernah melihat obat seperti ini.”“Bukan, bukan untuk itu. Tapi, untuk menambah gairah padanya.”“Hah? Ga-gairah? Maksudnya… apa Pak?”“Mmm, gimana ya mengatakannya.” Hendrik menggaruk kepalanya yang tidak gatal, “Jadi, itu obat kuat.”Vanesha masih belum mengerti dengan jelas, maksud dari ‘Obat Kuat’ itu.“Kalau ada adegan ranjang, dia harus meminum itu sebelum syuting dimulai. Jadi, kau simpan. Kalau habis, beritahu aku agar aku membelinya kembali.”Sekarang, Vanesha yang menggaruk kepalanya saking bingungnya.“Akkhh…. Hhmmph…. Sa… Sayang, pe… pelan-pelan… akhh…”Suasana menjadi
Sudah dua minggu sejak Raditya mengutarakan perasaannya pada Vanesha, dan masih tidak berubah pikiran. Malahan, dia semakin manja dan bergantung pada Vanesha, setiap menit.“Permisi, dengan nona Vanesha?” seorang kurir menghampiri Vanesha yang sedang menunggu Raditya syuting.“I-iya? Itu aku?”“Ini, pesanan makanannya. Semuanya sudah dibayar, tinggal diterima saja.”“Oh iya, terima kasih Pak.” Setelah menerima pesanan yang ternyata isinya makanan, Vanesha melihat Raditya. Pria itu, melambaikan tangan dan tersenyum padanya.Karena disuruh untuk istirahat, Raditya datang dan menghampiri Vanesha, duduk disampingnya, dan menyandarkan kepala dibahunya, “Hah…”“Tuan, makanan ini, apa anda mau langsung memakannya?”“Sudah aku bilang jangan panggil aku ‘Tuan’. Aku kan sudah melarangmu.”“Mana bisa saya melakukan itu. Namanya tidak sopan.”“Kan aku yang suruh. Pokoknya, aku akan marah kalau kau melakukan itu lagi.”“Tapi-“Makanannya sudah datang kan? Tapi, kenapa tidak kau makan? Sampai sudah
Keadaan Sulastri sudah semakin membaik. Dia sekarang berbaring diranjangnya, dan Radtiya juga Vanesha masih disana untuk menjaganya. Raditya mulai bisa menyentuh dan dekat dengan ibunya, padahal sebelumnya belum pernah bisa berdiri dengan jarak yang dekat.Karena ibunya sudah tenang dan tidur, Dokter Ivan mengajak mereka berdua untuk pergi dan membiarkan Sulastri beristirahat sendiri.“Saya terkejut, karena hari ini, nyonya Sulastri lebih ramah dari sebelumnya. Walau sempat tadi dia mengamuk dengan pak Surya. Tapi saya tidak menyangka dia akan luluh dengan anda.” Kata dokter Ivan memberi pujian.“Tentu saja dok. Namanya juga hubungan ibu dan anak, darah itu pasti mengalir dan saling mengenal.” Kata Vanesha.“Sayang sekali, pak Surya sudah pergi karena katanya ada urusan yang harus dia kerjakan.”“Aku tidak perduli!”“Tuan..” Vanesha menegurnya pelan.“Kalau begitu, saya akan meninggalkan kalian dulu, permisi ya.”Sekarang hanya tinggal Vanesha dan Raditya.“Tuan, anda juga harus dioba
Beberapa hari kemudian. Surya merindukan mantan isterinya, Sulastri. Dia pun berniat untuk pergi lagi ke rumah sakit jiwa, padahal sebelumnya dia sudah menemui Sulastri walau mantan isterinya tidak mengetahuinya.“Dimana dokter Ivan?” tanya Surya pada rekan dokter Ivan karena dia tidak menemukan dokter yang biasanya mengurus Sulastri.“Dokter Ivan sedang mengantarkan dua orang untuk menemui pasien.”“Apa? Dua orang? Siapa mereka?”“Maaf Pak, saya tidak tahu. Hanya itu saja pesan dari dokter Ivan.”“Ya sudah, terima kasih.” Tapi, Surya sendiri yang akan pergi menemui Sulastri, juga dia tahu dimana tempatnya.Tap!Langkah kakinya berhenti ketika dekat dengan Sulastri, dan dua orang yang dia kenal, “Raditya?” dia memanggil nama puteranya.“Pak Surya?” tapi Vanesha yang merespon Surya, sedangkan Raditya hanya melihatnya saja.Surya mendekati mereka, disana juga ada dokter Ivan.“Apa yang kau lakukan di sini, Radit?”“Kau sendiri? Kenapa kau datang ke sini?” pertanyaan ketus dari Raditya.
“Mmm… Tuan, apa yang kita lakukan di dapur ini?” Vanesa curiga.‘Apa sebentar lagi dia akan mencumbuku di sini? Selera yang aneh. Tapi… ah, biarkan sajalah. Yang penting hutangku berkurang dan dia tidak marah-marah.’“Buatkan nasi goreng untukku.”“Ya saya akan melakukan selera aneh anda…. Eh? Ma-maksudnya…. Nasi goreng?”‘Maksudnya gaya ‘Nasi goreng’ kah? Ba-bagaimana gaya itu ya?’Cetak!“Auuchh…” Vanesha memegang keningnya yang dijentik pelan oleh Raditya.“Apa yang kau pikirkan? Aku bilang, buatkan aku nasi goreng. Kau sudah banyak makan kan? Apa kau pikir aku tidak lapar?” Raditya berpangku tangan menunggu pergerakan Vanesha.“Nasi goreng… beneran nasi goreng kan? Beras yang sudah jadi nasi, lalu di goreng di penggorengan pakai garam-“Iya! Bawel banget sih. Cepat buatkan aku nasi goreng, dan harus enak. Telurnya dua, yang di mata sapi kan satu, lalu yang di orak-orek satu. Pedasnya sedang, dan jangan terlalu banyak minyak dan garamnya.”Vanesha masih bingung, “Dengar gak?” tanya
Padahal tadinya, suasana sedang hangat dan ramah. Tapi, entah apa yang Andre bisikan padanya, raut wajah Surya jadi murung bercampur kesal. Terasa sekali perubahannya.“Maafkan saya, sepertinya hari ini cukup di sini dulu. Lain waktu, mari kita berkumpul dan mengobrol seperti ini. Vanesha, kau juga harus tetap ikut ya.” Surya berdiri dari kursinya dan tetap berusaha untuk tersenyum ramah pada mereka.“Iya Pak, terima kasih. Tapi, anda belum makan loh.”“Saya bisa makan nanti. Karena ada urusan yang sangat mendesak sekali hari ini. Radity, Ayah pergi dulu. Jaga kesehatanmu.”Tapi Raditya tidak menjawabnya.‘Yah.. paling tidak, Tuan Radity tidak marah.’Buru-buru, Andre dan Surya pergi meninggalkan mereka.“Ya, kalau begitu, aku juga harus pergi.”“Anda mau ke mana, Pak Hendrik?”“Mau pulang menemui calon kakak iparmu. Sebentar lagi kan, kami akan menikah. Oh ya, mungkin selama aku menikah, Vanesha pasti akan semakin banyak kerjaan dan kerepotan. Mohon bantuannya ya. Nanti, kamu akan ak
“Kenapa? Kau tidak mau menikah denganku?”‘Pertanyaan jebakan ini. Kalau jujur sih, enggak mau. Apalagi tempremental anda yang tinggi ini.’“Ah, sudahlah. Kau hanya diam saja, berarti memang tidak mau.” Raditya kembali melihat kedepan lagi.Vanesha tidak mau membahasnya lagi. Pokoknya, dia mau segera sampai di tujuan agar dia bisa lega.“Sekarang, kau tidak mau. Tapi, ketika mengetahui masa laluku, kau pasti semakin tidak mau, dan mungkin kau akan pergi jauh.”“Mm… Tuan? Memangnya.. ada masa lalu apa?”Raditya kembali melihat Vanesha, kau dengar kan tadi, kalau ibuku berada di rumah sakit jiwa.”“Ya saya tauh… ups…” dengan tangan kanannya ia menutup mulutnya.‘Astaga, kenapa aku tidak bisa mengontrol omongan yang keluar dari mulutku sih?“Apa? Kau tahu kalau ibuku ada di rumah sakit jiwa?” caranya melihat Vanesha seperti menangkap basah akan kesalahan Vanesha.“Itu… kan anda bilang tadi. Juga, disana, mulut anda sendiri yang bicara dan kebetulan saya mendengarnya-“Tidak. Dari cara re
“Saya… saya hanya anda nanti, tidak menyesalinya…?”Raditya tiba-tiba memeluknya. Vanesha kebingungan, dia pikir, dia akan mendapat perlakukan kasar dari bos-nya, ternyata tidak.“Tu-Tuan?” panggilnya dengan lembut.‘Apa dia… sangat sedih ya?’“Aku benci padanya. Dia… dia sudah menyakitiku dan ibuku. Aku… membencinya.” Suaranya memelan, masih menyembunyikan wajahnya dibahu Vanesha.Vanesha kasihan pada Radit. Dia jadi tidak bisa memaksa atau kecewa padanya lagi. Untuk menenangkannya, Vanesha mengusap punggung Radit, “Tuan, tidak apa-apa anda membencinya, tapi… anda yang akan terus sakit hati dan tidak tenang memiliki dendam pada ayah anda. Maaf, saya tahu, rasanya pasti sangat berat memaafkan orang yang sudah menyakiti kita dari dulu.”Raditya tidak mengatakan apa-apa, tapi dia mengeratkan kedua tangannya memeluk Vanesha.“Anda tahu kan? Kalau saya juga memiliki ibu tiri dan saudari tiri. Sudah berapa kali, saya sakit hati dan kecewa padanya. Sering berhutang, kabur, dan menyakitiku b
Vanesha bisa merasakan suasana yang menegangkan diantara Surya dan Raditya. Vanesha berharap, mereka berdua tidak bertengkar hebat dan membuat keributan.Untungnya Surya tidak membahasnya lagi, karena tangan Raditya sudah dikepalkan dan rahangnya mulai mengeras.“Radit, ini.” Surya mengeluarkan map berwarna cokelat yang masih dillitkan talinya, diberikan pada Raditya. Pria muda itu, hanya melihatnya saja, tanpa mau mengambilnya, ‘Apa itu?’ kecuali Vanesha yang penasaran.“Vanesha, tolong kau buka, dan bacakan apa isinya supaya Raditya tahu.”“Iya Pak-“Jangan menyentuhnya!” larangan dari Radity, membuat tangan Vanesha berhenti.“Kenapa, Tuan? Anda kan tidak tahu apa isinya.”“Pokoknya jangan dibuka! Walau aku tidak tahu, tapi aku tidak mau tahu isinya.”“Apa kau takut mengakui kemenanganku, Radity?”“Hmp!”“Aku juga ingin memberitahukan pada Vanesha. Memangnya salah? Vanesha, tolong buka dan bacakan.”“Ta-tapi…” Vanesha ragu dan melihat Raditya yang memancarkan aura bencinya.“Tidak a
Ceklek!Andre terkejut ketika melihat isteri atasannya tiba-tiba saja masuk ke dalam ruang kerjanya.“Nyonya Widya, apa yang anda lakukan di sini?” dirinya sedang sibuk menyelesaikan pekerjaan yang Surya perintahkan.“Andre, dimana suamiku? Kenapa dia tidak ada di ruangannya?”“Ya? Apakah anda baru dari sana?”“Andre, kalau kau tidak tahu, aku tidak akan datang kesini dan menemuimu untuk buang-buang waktu.” Widiya berpangku tangan menatap rendah pada Andre.“Nyonya Widya, saya juga tidak tahu kemana pak Surya. Karena saya pikir, beliau memang masih ada di sana.”“Andre, tidak mungkin kau tidak tahu kemana dia. Cepat katakan!”“Hah… Nyonya Widya, apa anda pikir, kalau Pak surya tidak akan marah dan kecewa pada anda yang seperti ini? Seharian ini, saya diberi banyak pekerjaan dan tidak bisa keluar dari ruangan ini kalau belum menyelesaikannya. Jadi, bagaimana saya bisa tahu beliau ada di mana? Kalau di ruangannya tidak ada?”‘Benar-benar menyebalkan. Mentang-mentang dia adalah isteri da