“Jangan bicara sembarangan kamu, Gema. Vanesha tidak mungkin melakukan pekerjaan seperti itu.” Dengan napas sesak, Bayu membela puterinya.“Bicara sembarangan? Apa kau gak tahu kalau sampai sekarang puteri kesayanganmu itu belum pulang, hah? Apa lagi namanya kalau bukan pelacur?”“Cukup Gema!” Bayu membentak isterinya, padahal tenaganya saja hanya sedikit. Rasa kecewa dan marah memuncak ketika isteri keduanya menghina Vanesha. Bahkan dia tak perduli jikalau dia akan mendapat cacian dan hinaan, atau mungkin siksaan fisik dari Gema. Dia tidak bisa hanya berdiam diri saja.Brakh!Dengan satu kaki, Gema menendang dinding rumah yang lama itu, “Apa? Kau berani membentakku Pak tua??!” Gema menunjuk-nunjuk Bayu dengan ujung jarinya kearah wajah Bayu. Pria itu hanya menggerakan wajahnya untuk menghindari kalau-kalau Gema menamparnya.“Kau itu sudah mau mati ya! Mayat hidup! Kau hanya beban untuk kami. Apa kau pikir anakmu itu gak setres punya ayah penyakitan sepertimu? Hah?!”“Ibu! Aku mau ber
“Oke, kita mulai lagi syutingnya, semuanya kembali pada tempatnya!” sutradara sudah memanggil semua artis-artisnya.”***Tetangga mendengar ada suara mobil yang baru berhenti di depan halaman rumah Vanesha. Saking penasarannya, mereka pun keluar untuk melihat mobil siapa itu.“Vanes?” tetangga yang di ujung, menyapanya.“Bu.” Vanesh hanya mengangguk, tersenyum sebentar, lalu masuk kedalam rumahnya. Dia buru-buru masuk sebelum ada banyak pertanyaan dari mereka. Dia hanya sebentar saja di rumah. Memeriksa ayahnya, mandi dan pergi lagi.‘Ibu gak ada di rumah? Syukurlah. Dia tidak akan menahanku sementara.’“Ayah?” Vanesha memanggil ayahnya sebelum membuka horden kamarnya.“Vanesh?” Bayu, yang tadinya berbaring, tapi bukan tidur, karena mendengar suara puterinya, dia pun bangun dan ingin berdiri, “Ayah, gak usah berdiri, tetap duduk saja.” Kata Vanesha masuk ke dalam kamar.“Vanesha, kamu dari mana saja Nak? Kenapa kamu baru pulang?”“Ayah pasti sangat khawatir ya?”“Tentu saja Ayah khawa
Tak terasa sudah satu bulan Vanesha bekerja sebagai asisten artis dari Raditya. Dan hari ini, adalah hari dia mendapatkan gaji pertamanya.Tok! Tok! Tok!“Masuklah, Vanesha.”Vanesha yang dipanggil Hendrik untuk menemuinya di ruangan pribadinya, masuk setelah mendapat ijin. Rupanya, bukan hanya ada Hendrik saja disana, tapi Raditya juga. Mereka berdua duduk di sofa dan melihat kedatangannya yang membuatnya canggung.“Pak Hendrik memanggil saya ya?”“Iya, Vanesh. Kamu duduk dulu.”“Mmm, permisi, Tuan.” Vanesha harus melewati Raditya, karena kursi yang kosong ada ditengah-tengah dua pria tampan itu.“Nah, ini untukmu, Vanesh.” Diberikan amplop kecil, sedikit tebal.“I-ini, apa ya Pak?” tanyanya tanpa menyentuh.“Jangan pura-pura gak tahu padahal sudah menunggunya dari hari-hari kemarin.” Ucap Raditya.“Saya benar-benar gak tahu kok, Tuan.”“Bohong. Itu gajimu, Katro.”“Tuan, apa anda tidak bisa menyebut nama saya? Atau, apa nama saya terlalu sulit anda panggil?”“Hah? Kau berani berdeba
“Apa? berikan pada Ibu amplopnya sekarang!”Vanesha berlari dari dapur lebih dulu dari Gema. Sebelum amplopnya berpindah tangan, Vanesha merebutnya dari Desi hingga bagian depannya sedikit saja terbuka.“Kau itu tidak sopan sekali ya! Ngapain kamu ngebongkar tas kakak-mu sendiri?” bentaknya pada Desi, sampai anak kedua Gema merajuk dan ingin menangis.“Vanesha! Cepat berikan amplopnya padaku!”“Kenapa aku harus kasih amplopnya pada Ibu?”“Apa? Itu uangku!”“Darimana ini jadi uangmu, Bu? Aku yang bekerja dan ini adalah upahku.” Dia memegang erat amplopnya dibelakang punggungnya.“Kau? Sekarang kau berani membantahku ya? Apa mentang-mentang karena kau yang bekerja? Padahal aku yang mengurus ayahmu yang sakit-sakitan itu.”“Bu, memangnya apa yang Ibu lakukan? Tidak ada! Aku selalu memberikan uang padamu juga kan? Jadi, kenapa Ibu minta semua gajiku?”“Kalau Ibu masih terus bersikeras untuk meminta semua gajiku, aku tidak akan memberikannya sepeserpun padamu.”‘Dasar anak kurang ajar! Ber
Vanesha mencari Raditya di dalam club. Karena pencahayaannya yang tidak terlalu terang, dia harus melihatnya dengan hati-hati, memicingkan matanya.Ada dimana dia? Itulah yang dipikirkan Vanesha.Hentakan musik yang keras membuat telinganya sakit, ditambah lagi asap rokok yang membuat napasnya sesak.Semakin masuk ke dalam, semakin gelap namun banyak orang dan barisan sofa-sofa yang diduduki.“Anda ada di mana? Saya sudah masuk, tapi tidak melihat anda.” Vanesha terus berbicara dengan Raditya dari ponselnya, “Coba angkat tangan anda dulu, atau, apa anda tidak bisa keluar saja dari sana?”“Hey… kau itu pelayanku, kenapa kau yang jadi memberiku perintah? Hah? Aku sudah melihatmu, sekarang kau hanya jalan sedikit lagi kedepan.” Ya, memang benar Raditya sudah melihat Vanesha yang tampak kebingungan karenanya.Sesuai arahan, Vanesha terus masuk melangkah kedepan, ‘Ada banyak orang di sana. Apa benar tidak apa-apa?’ langkahnya sempat berhenti ketika melihat beberapa pria dan wanita.Yang Va
Tidak bisa! Vanesha tidak bisa berada di sana lagi lebih lama. Rasanya tidak ada harga dirinya jika dia terus di sana, apalagi dengan tawa sindiran dan hinaan dari mereka seolah dirinya adalah sebuah permainan.Rasanya dia ingin menangis. Vanesha berbalik badan, dan ingin pergi.Raditya merasa malu dengan tamparan yang diterimanya, apalagi dari asistennya sendiri.“Hey kau! Mau ke mana kau?!”“Radit! Sudahlah, biarkan saja dia pergi.”“Iya Radit, mungkin dia malu.”Tadinya dia ingin mengejar Vanesha, tapi dibatalkan karena teman-temannya yang menahannya.“Ayo, kita minum dulu, Radit. Lupakan dia, kau bisa memberinya pelajaran besok. Bukankah hari ini kita untuk bersenang-senang?” temannya yang juga artis memberikan sebotol minuman keras ditangan Raditya.Orang itu memberi kode pada para wanita itu mengambil alih dengan merayunya. Tapi, tatapan sinis dan tajam dari Raditya masih mengarah pada Vanesha yang sudah meninggalkan tempat.Hampir saja Vanesha jatuh ketika mengendarai motornya.
Hari berikutnya…“Loh? Kok gak ada uang di dalam tas-ku ya?” Vanesha panik karena tidak menemukan uang gajinya di dalam tas. Padahal sudah dicari-cari kesemua bagian didalam tas, tapi tetap saja tidak ada.Tikar tempatnya tidur, sarung dan bantal yang tipis, semua diperiksa, tidak juga ada.“Akhh…! Kemana? Siapa yang masuk dan mencuri uangku?!” Vanesha sampai lelah karena mencarinya.“Ada apa Vanesh?” Ayah, yang mendengar suara Vanesha, datang untuk menanyakan keadaannya.“Ayah, apa Ayah tahu atau melihat siapa yang masuk ke dalam kamar-ku?”“Tidak Nak. Kenapa? Apa ada yang hilang?”Diamnya Vanesha bisa memberikan jawaban pada ayahnya, “Apa yang hilang? Uang? Coba Ayah bantu mencarinya.” Ayah panik dan ikut membantu padahal dia masih lemah karena sakit-sakitan.“Ayah, biarkan saja. Pasti ada orang yang masuk, apa mungkin… Ibu? Ada di mana sekarang Ibu?”“Tadi, Ibu dan adik-adikmu pergi pagi-pagi sekali.”“Apa? Akhh… sudahlah.” Vanesha duduk lemas dan memegang kepalanya.“Nak?” Ayah ju
“Kenapa kau lama sekali? Hm? Padahal hanya mengambilkan satu barang saja?”“I-itu karena ada banyak pilihan parfume yang saya tidak tahu anda mau yang mana.”‘Aku bisa merasakan gesekan dari dadanya di punggungku.’Tangan Raditya bergerak mengambil satu jenis parfume dengan aroma ‘Woody’, aroma yang hangat dan maskulin dengan sentuhan kayu seperti Cerdarwood atau Vetiver.Sengaja Radit menyemprotkan aroma parfumenya disamping leher Vanesha dan menghirupnya, “Hhmm… apa menurutmu aroma ini cocok untukku?” dia mengendus bau yang menempel dileher Vanesha.“Tu-Tuan, anda menjauh dulu sedikit. Sa-saya tidak bisa bergerak karena anda.. menekan belakang saya.”“Jawab dulu pertanyaanku, apa sulit menjawab, ‘Ya atau tidak’?”“I-iya, i-itu cocok untuk anda. Se-sekarang tolong-“Tapi kenapa rasanya kurang pas ya? Ini terlalu menyengat untuk dipakai di dalam ruangan tertutup nanti.”Tangan Radit berpindah di rak bagian bawah, yang dekat dengan perut Vanesha, “Bagaimana dengan yang ini?” satu jenis