“Tunggu! Tunggu dulu, ini… ini ada yang salah. Saya bukan pemainnya.”“Tidak ada waktu lagi, pokoknya anda harus berganti pakaian. Hey! Mana bikininya? Ambil yang warna merah saja!” tim unit dari wardrobe memanggil timnya yang lain.“Tu-Tuan Radit, tolong saya.”Bukannya ditolong atau bantu menjelaskan, Raditya tersenyum jahil membiarkan itu terjadi. Bahkan dia sampai menunggu gadis itu membuka semua pakaiannya. Satu kancing, dua kancing, dan hampir kancing ketiga akan mereka buka. Padahal sudah dua tangan Vanesha menahan pakaiannya, tapi mereka tetap memaksa.“Loh? Ada apa Vanesha?” untunglah Hendrik datang.“Pak… Hendrik…” hampir menangis, suara pelan memanggil nama atasannya.“Mas, dia bukan pemain, dia asistennya Raditya.” Hendrik pun menjelaskan semuanya dan menghalangi mereka yang menyentuhnya.“Apa? asistennya Raditya? Kok gak ada yang kasih tahu ya?”“Saya sudah kasih tahu beberapa kali kok, tapi gak ada yang mau dengar dan percaya.” Ucap Vanesha memasangkan kancingnya lagi.H
Setelah beberapa kali adegan, akhirnya mereka pun istirahat. Vanesha sudah menyiapkan handuk dan minuman yang akan diberikan untuk Raditya. Dari jauh, sudah terlihat kalau Raditya sedang berjalan kearahnya.“Radit, maaf ya, karena aku, adegannya diulang-ulang.” Setengah berlari, Jovanka mengejarnya dan memeluk lengannya.Mungkin karena sudah lelah dan malas, Raditya menarik tangannya dari Jovanka, mengabaikannya dan meminta handuk dari Vanesha.Sambil mengusap tubuhnya yang basah karena air kolam dengan handuk, Raditya duduk. Vanesha dan Jovanka masih berdiri bersampingan dihadapannya.“Mana air minumku?”“Oh iya, ini dia.” Air minum didalam botol yang dingin, diberikan Vanesha, itupun setelah dia membukanya.“Radit, sebagai ganti ruginya, bagaimana kalau kita makan malam berdua? Nanti malam, aku juga bisa menemanimu.” Tangannya mengusap kulit lengan Raditya, dari atas hingga kebawah.Sekali lagi, Radit menepisnya, “Pergilah Jovanka, aku capek dan tidak mau diganggu.”“Aku… aku hanya
“Hhooamm…” Vanesha menguap. Dia masih berada di lokasi syuting. Beberapa kali melihat jam ditangannya, “Sudah jam 1 dini hari, dan mereka masih syuting.”Kepala Vanesha naik dan turun karena mengantuk. Sudah berapa kali mereka pindah lokasi, dan lokasi yang sekarang, adalah kali ke lima.Duduk ditempat yang tidak bisa buat orang yang menunggu, sambil tertidur walau sebentar, tapi tetap waspada bersiap jika majikannya memberinya perintah.“Cut!” sutradara berteriak menghentikan syuting, “Terima kasih buat semuanya, syuting untuk hari ini selesai, besok pagi kita mulai lagi.” Sutradara berdiri, dan pergi meninggalkan artis dan para tim-nya lebih dulu.Raditya memijit leher belakangnya karena dia juga lelah.“Radit….?” Jovanka terkejut karena Raditya menghindari tangannya yang ingin menyentuhnya.Tanpa mengatakan apa-apa, dia pergi kearah Vanesha yang masih tidur dikursinya.‘Hm, aku capek kerja, dan dia di sini enak-enakan tidur ya.’Tok! Tok! Tok!“Hey, bangun!” sengaja, Raditya menget
Raditya malah tersenyum lebar tanpa merasa bersalah. Bahkan, dia masih berusaha untuk menarik tangan Vanesha. Kalau tidak cepat-cepat dia menarik tangannya, pasti dia akan terjatuh lagi disamping Raditya.“Saya akan pulang sekarang! Nanti pagi, saya akan menjemput anda. Jadi-“Bukankah jadwalku jam enam pagi harus sudah berada di lokasi?”“Saya bisa datang kok.”“Hah…” Raditya yang tadinya berbaring, dia bangun dan turun, berjalan menuju jendela kamarnya, “Untuk apa pulang? Kau hanya menghabiskan waktumu di jalan saja sebelum sampai di rumah. Kau lihat kan, sekarang jam berapa?”Vanesha melihat jam di dinding, sudah pukul tiga pagi.Benar juga, tidak mungkin Vanesha bisa datang tepat waktu untuk melakukan pekerjaannya. Apalagi, kalau sudah sampai di rumah, selain mendapatkan omelan dari ibu tiri, dia akan disuruh melakukan tugas rumah yang pasti memakan waktu lama. Jam enam pagi, harus sudah sampai di lokasi syuting.Tapi, bagaimana dengan Ayah? Bagaimana kalau Ayah belum makan dan ti
“Jangan bicara sembarangan kamu, Gema. Vanesha tidak mungkin melakukan pekerjaan seperti itu.” Dengan napas sesak, Bayu membela puterinya.“Bicara sembarangan? Apa kau gak tahu kalau sampai sekarang puteri kesayanganmu itu belum pulang, hah? Apa lagi namanya kalau bukan pelacur?”“Cukup Gema!” Bayu membentak isterinya, padahal tenaganya saja hanya sedikit. Rasa kecewa dan marah memuncak ketika isteri keduanya menghina Vanesha. Bahkan dia tak perduli jikalau dia akan mendapat cacian dan hinaan, atau mungkin siksaan fisik dari Gema. Dia tidak bisa hanya berdiam diri saja.Brakh!Dengan satu kaki, Gema menendang dinding rumah yang lama itu, “Apa? Kau berani membentakku Pak tua??!” Gema menunjuk-nunjuk Bayu dengan ujung jarinya kearah wajah Bayu. Pria itu hanya menggerakan wajahnya untuk menghindari kalau-kalau Gema menamparnya.“Kau itu sudah mau mati ya! Mayat hidup! Kau hanya beban untuk kami. Apa kau pikir anakmu itu gak setres punya ayah penyakitan sepertimu? Hah?!”“Ibu! Aku mau ber
“Oke, kita mulai lagi syutingnya, semuanya kembali pada tempatnya!” sutradara sudah memanggil semua artis-artisnya.”***Tetangga mendengar ada suara mobil yang baru berhenti di depan halaman rumah Vanesha. Saking penasarannya, mereka pun keluar untuk melihat mobil siapa itu.“Vanes?” tetangga yang di ujung, menyapanya.“Bu.” Vanesh hanya mengangguk, tersenyum sebentar, lalu masuk kedalam rumahnya. Dia buru-buru masuk sebelum ada banyak pertanyaan dari mereka. Dia hanya sebentar saja di rumah. Memeriksa ayahnya, mandi dan pergi lagi.‘Ibu gak ada di rumah? Syukurlah. Dia tidak akan menahanku sementara.’“Ayah?” Vanesha memanggil ayahnya sebelum membuka horden kamarnya.“Vanesh?” Bayu, yang tadinya berbaring, tapi bukan tidur, karena mendengar suara puterinya, dia pun bangun dan ingin berdiri, “Ayah, gak usah berdiri, tetap duduk saja.” Kata Vanesha masuk ke dalam kamar.“Vanesha, kamu dari mana saja Nak? Kenapa kamu baru pulang?”“Ayah pasti sangat khawatir ya?”“Tentu saja Ayah khawa
Tak terasa sudah satu bulan Vanesha bekerja sebagai asisten artis dari Raditya. Dan hari ini, adalah hari dia mendapatkan gaji pertamanya.Tok! Tok! Tok!“Masuklah, Vanesha.”Vanesha yang dipanggil Hendrik untuk menemuinya di ruangan pribadinya, masuk setelah mendapat ijin. Rupanya, bukan hanya ada Hendrik saja disana, tapi Raditya juga. Mereka berdua duduk di sofa dan melihat kedatangannya yang membuatnya canggung.“Pak Hendrik memanggil saya ya?”“Iya, Vanesh. Kamu duduk dulu.”“Mmm, permisi, Tuan.” Vanesha harus melewati Raditya, karena kursi yang kosong ada ditengah-tengah dua pria tampan itu.“Nah, ini untukmu, Vanesh.” Diberikan amplop kecil, sedikit tebal.“I-ini, apa ya Pak?” tanyanya tanpa menyentuh.“Jangan pura-pura gak tahu padahal sudah menunggunya dari hari-hari kemarin.” Ucap Raditya.“Saya benar-benar gak tahu kok, Tuan.”“Bohong. Itu gajimu, Katro.”“Tuan, apa anda tidak bisa menyebut nama saya? Atau, apa nama saya terlalu sulit anda panggil?”“Hah? Kau berani berdeba
“Apa? berikan pada Ibu amplopnya sekarang!”Vanesha berlari dari dapur lebih dulu dari Gema. Sebelum amplopnya berpindah tangan, Vanesha merebutnya dari Desi hingga bagian depannya sedikit saja terbuka.“Kau itu tidak sopan sekali ya! Ngapain kamu ngebongkar tas kakak-mu sendiri?” bentaknya pada Desi, sampai anak kedua Gema merajuk dan ingin menangis.“Vanesha! Cepat berikan amplopnya padaku!”“Kenapa aku harus kasih amplopnya pada Ibu?”“Apa? Itu uangku!”“Darimana ini jadi uangmu, Bu? Aku yang bekerja dan ini adalah upahku.” Dia memegang erat amplopnya dibelakang punggungnya.“Kau? Sekarang kau berani membantahku ya? Apa mentang-mentang karena kau yang bekerja? Padahal aku yang mengurus ayahmu yang sakit-sakitan itu.”“Bu, memangnya apa yang Ibu lakukan? Tidak ada! Aku selalu memberikan uang padamu juga kan? Jadi, kenapa Ibu minta semua gajiku?”“Kalau Ibu masih terus bersikeras untuk meminta semua gajiku, aku tidak akan memberikannya sepeserpun padamu.”‘Dasar anak kurang ajar! Ber