Share

05. Memangnya Siapa Dia?

Dengan menggunakan mobil khas untuk para selebritis, mereka pun tiba di lokasi, sebuah café yang sering Hendrik dan Raditya datangi untuk menghabiskan waktunya.

Dari dalam mobil, Radit melihat Vanesha, berdiri diluar café, menundukan wajahnya, dan menempelkan kedua tangan dibelakang, bersandar pada tembok, “Pft… apa dia murid yang dihukum gurunya?” gumamnya pelan.

“Hm? Apa yang kau katakan tadi, Radit?” Hendrik bersiap untuk turun dan mengantongi ponselnya.

“Tidak, tidak ada.”

“Hey tunggu! Sebelum kau turun, pakai dulu topi dan kacamatamu.”

“Ah, tidak perlu. Toh sepi, tidak ada orang.”

“Ya siapa tahu kan? Ada banyak paparazzi disini. Cepat pakai.” Hendrik memaksanya. Mau tidak mau, wajah cemberut, Raditya pun menurutinya.

Vanesha merasa ada langkah kaki yang berjalan mendekat kearahnya. Perlahan dia mengangkat wajahnya untuk melihat siapa mereka, “Pak Hendrik?”

“Hai Nona Vanesha, akhirnya kita bertemu lagi. Tapi, kenapa anda menunggu diluar? Kan bisa menunggu didalam saja?”

“Mungkin saja dia tidak punya uang untuk memesan segelas kopi pun didalam café.” Sindiran halus dari Raditya yang menjawab pertanyaan Hendrik.

Vanesha dan Hendrik serentak melihat Raditya, yang pura-pura tidak melihat mereka. Memang benar, apa yang dikatakan Raditya, itulah alasan Vanesha tidak berani masuk karena tidak memiliki uang sepeserpun.

“Baiklah Nona, ayo kita masuk dan membicarakannya didalam saja.”

Café masih sepi dari pengunjung. Dan agar tidak menjadi pusat perhatian, sengaja Hendrik memilih tempat paling ujung, tepatnya di sudut.

Pegawai café juga menanyakan pesanan mereka. Karena sudah punya kesukaannya sendiri, tidak membutuhkan waktu lama bagi Hendrik dan Raditya untuk memilih pesanan, sedangkan mereka menunggu Vanesha yang tampak kebingungan.

‘Aku harus pesan apa? Sedangkan aku tidak ada uang. Bisakah aku memesan air putih saja? Dan itu pasti gratis kan?’

“Nona Vanesh?” Hendrik memanggil namanya.

“Ah, iya. Maafkan saya. Saya…sebenarnya saya masih kenyang banget karena tadi sempat makan di rumah. Jadi--"

“Pasti kau berpikir untuk meminta air putih saja kan?” tebak Raditya. Ekspresi wajah Vanesha terlihat kesal padanya, tapi memang itu benar.

“Nona, anda pilih apa saja yang anda mau, karena saya yang akan bayar. Kan, saya sendiri yang membutuhkan bantuan anda, jadi jangan sungkan.” Ucap Hendrik dengan ramah. Sebenarnya dia khawatir pada Raditya yang setiap membuka mulut, pasti akan membuat suasana menjadi tegang dan emosi.

“Tapi Pak-

“Tidak apa-apa, pilihkan saja. Saya merasa bersalah kalau anda tidak memilih apapun.”

Vanesha juga merasa tidak enakan jika menolaknya, padahal dia benar-benar haus.

“Kalau begitu, saya ingin memesan es lemon tea saja.”

“Hanya itu?” tanya Hendrik lagi.

Sambil tersenyum dan mengangguk, “Iya Pak. Saya lebih suka minuman dingin saja.”

“Mm, baiklah kalau begitu.”

Pegawai café pun pergi untuk menyiapkan pesanan mereka. Vanesha menunggu, pembahasan utama dari pertemuan mereka.

“Jadi begini, Nona Vanesha. Kemarin, kita sudah membicarakan sebagian dari lowongan pekerjaan ini.” Hendrik mulai bicara serius.

Vanesha mendengarkannya dengan serius juga dan tidak ingin melewatkan satu kalimatpun dari Hendrik, bahkan jarang mengedipkan mata.

“Saya membutuhkan asisten untuk mengurus Raditya.”

Vanesha langsung melihat Raditya yang begitu santainya dan menggoyangkan kaki dipangkuannya.

“Memangnya… dia kenapa Pak? Maaf, dia kan sudah dewasa.”

“Pft… apa anda tidak mengenalnya?”

Tentu saja Raditya kesal mendengar ada orang yang tidak kenal dengannya, rasanya harga dirinya jatuh.

Ragu, Vanesha menggelengkan kepalanya, yang mana malah membuat Hendrik tak kuasa menahan tawanya lagi.

Vanesha tampak kebingungan, Raditya tampak kesal.

“Ehem, maafkan saya. Jadi, walau dia sudah dewasa, tapi dia butuh asisten untuk membantunya mengatur jadwal syuting, keperlukan syutingnya, dan lainnya.”

“Ehh? Maksudnya dia…” dengan jari telunjuk dia menunjuk Raditya yang mulai gede kepala, “Artis?”

“Iya, akhirnya Anda mengerti.”

“Maafkan saya Pak, soalnya saya tidak pernah menonton tv.”

“Apa mungkin kau juga tidak punya tv di rumahmu? Aku adalah aktor terkenal yang--"

“Ehem! Ehem!” dua kali Hendrik berdehem keras agar Raditya berhenti bicara.

“Bukan tidak ada tv, tapi saya lebih sibuk bekerja daripada menonton tv. Lebih baik saya menghabiskan waktu untuk mendapatkan uang daripada menonton sinetron yang gak menguntungkan buat saya!” ucap Vanesha dengan tegas.

‘Sepertinya aku tidak salah memilih.’ Pikir Hendrik yang diam-diam menilainya.

Pria itu tersenyum. Dia sudah memutuskan semuanya.

“Baiklah. Jika demikian, kami akan ajukan penawaran. Setiap Radit memiliki jadwal di luar kota, kamu juga harus ikut. Bahkan, kalau mendesak membuatmu menginap di lokasi syuting, harus bisa," ucap Hendrik, "Jangan khawatir untuk biaya-biayanya karena pihak kami yang akan menanggungnya. Dan untuk gaji, hanya gaji pokoknya saja saya akan membayarmu 20 juta rupiah sebulan. Pastinya akan ada bonus-bonus tambahan nantinya.”

Deg!

20 juta sebulan?

Karena angka yang besar dan belum pernah sama sekali Vanesha rasakan, mulutnya sontak terbuka lebar!

Ini rezeki, kan? Bukan cobaan yang harus dia cobain?

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Diandra Firansyah
enak kl dpt gaji 20 juta. kasihan si vanes, buat jajan aja gk ada duit
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status