Pernikahan Tatiana De Luca berantakan saat tunangannya ketahuan selingkuh. Demi menyelamatkan muka keluarga, ayahnya menjodohkan Tatiana dengan Paulios Theodore—seorang pria sederhana yang dikatakan hanya seorang karyawan hotel miskin dengan wajah rusak akibat luka bakar dan selalu menutupi separuh wajahnya dengan masker. Tatiana yang terbiasa hidup mewah merasa terhina, bahkan berusaha kembali ke pelukan mantannya. Namun, Tatiana tak tahu bahwa suaminya yang ia hina sebagai "pria miskin" sebenarnya adalah miliuner pemilik jaringan hotel terbesar—dan bos besar di tempat mantannya bekerja yang sengaja merahasiakan latar belakangnya untuk mengetes Tatiana. Ketika kebenaran mulai terkuak, apakah Tatiana mampu menghadapi kenyataan tentang kesombongannya selama ini salah dan menerima cinta sejati? Atau justru kehilangan segalanya? dan gagal dalam tes cinta sejati milik sang Miliuner misterius itu?
View MoreTatiana De Luca duduk di tepi tempat tidurnya, memeluk bantal sambil menatap kosong gaun pengantin yang menggantung di depan lemari. Gaun putih itu, yang dulu ia idam-idamkan, kini terasa seperti penghinaan terhadap dirinya sendiri. Rasanya, hanya dengan menatapnya saja, hatinya seperti dipermainkan.
Seharusnya, hari ini akan jadi terindah di hidup Tatiana, tetapi semua itu musnah begitu saja! Suara Victor, mantan calon suaminya, beberapa jam lalu dari balik telepon masih terngiang-ngiang di kepalanya. "Tatiana, aku tidak bisa melanjutkan ini. Aku... aku mencintai wanita lain. Dan dia sedang mengandung anakku." Air mata mengalir tanpa henti di wajahnya. Segala rencana indah, mimpi menjadi pengantin cantik, serta pesta mewah yang ia banggakan di depan teman-temannya kini terasa hancur berkeping-keping. Tinggal menghitung jam saja pernikahan impian itu terjadi, tetapi pengantin pria justru pergi begitu saja. Pintu kamarnya diketuk. Alexander De Luca, ayah Tatiana yang dikenal tegas dan selalu mengutamakan reputasi keluarga, masuk dengan langkah mantap. "Tatiana, cukup sudah. Kau tidak bisa terus menangisi pria itu," kata Alexander dengan nada datar. Tatiana menoleh nanar ke arah ayahnya. "Dia meninggalkanku karena wanita lain, Papi! Sekarang, semua orang akan tahu bahwa aku batal menikah dan aku akan jadi bahan tertawaan!" Alexander berjalan mendekat, menatap putrinya dengan penuh ketegasan. "Kita tidak akan membiarkan itu terjadi." Tatiana mengerutkan kening. "Apa maksudmu?" "Aku sudah menyiapkan seseorang. Pria yang lebih baik. Dia akan menikahimu," ujar Alexander tanpa basa-basi. Tatiana bangkit dari tempat tidur, matanya membelalak. "Apa? Kau serius? Papi, kau pikir aku ini barang yang bisa kau serahkan begitu saja pada orang lain?" Alexander tidak terpengaruh oleh amarahnya. "Dia pria yang baik, bukan penjudi seperti Victor. Namanya Paulios Theodore." "Paulios siapa?" Tatiana memandang ayahnya seolah-olah ia baru saja mendengar lelucon buruk. Sebelum Alexander sempat menjawab, pintu kembali diketuk. Seorang pria melangkah masuk, mengenakan kaos hitam sederhana dan masker yang menutupi setengah wajahnya. Paulios Theodore. Tatiana memandangnya dari ujung kepala sampai ujung kaki dengan sorot mata penuh penilaian. Pria itu tinggi, tetapi pakaiannya terlalu sederhana. Tidak ada kesan mencolok yang membuatnya terlihat istimewa. Paulios menundukkan kepala sedikit, suaranya rendah dan datar. "Paulios Theodore. Senang bertemu dengan Anda." Tatiana mendengus sinis. "Papi, siapa dia sebenarnya?" Alexander menatap putrinya dengan tenang. "Dia salah satu karyawan kepercayaanku. Room boy di salah satu hotel kita." "Room boy?" Tatiana terdiam sejenak, lalu tertawa pahit. "Kau bercanda, kan? Kau mau aku menikahi seorang... pelayan hotel? Papi, aku ini Tatiana De Luca. Kau tahu apa yang akan orang-orang pikirkan? Victor pasti akan tertawa melihat aku jatuh serendah ini." Paulios tetap tenang, tidak menunjukkan reaksi apa pun. Hanya tatapan matanya yang tetap terarah ke lantai, seolah tidak terganggu oleh hinaan itu. Tatiana melangkah maju, memicingkan mata. "Dan masker itu? Kenapa kau memakainya? Apa yang kau sembunyikan?" Paulios menghela napas sebelum menjawab. "Wajahku... mengalami luka bakar. Kulitku rusak. Aku tidak ingin membuat Anda takut." Tatiana terdiam sesaat, lalu menoleh kembali ke Alexander. "Ini lelucon, kan? Kau tidak serius menjodohkanku dengan pria ini. Dia miskin, dan sekarang dia bilang cacat? Papi, kau mau mempermalukan aku?" Alexander mendekat, menatap putrinya dengan sorot mata tajam. "Kau sudah cukup dimanjakan, Tatiana. Aku tidak akan membiarkanmu terus seperti ini. Paulios adalah pria yang lebih baik daripada Victor. Kau hanya perlu memberinya kesempatan." Tatiana tertawa kecil, tapi suaranya dipenuhi amarah. "Kesempatan? Apa yang bisa ditawarkan pria ini? Gaji berapa? Tiga juta? Empat juta? Papi, gaya hidupku dalam seminggu bahkan lebih mahal daripada itu!" Paulios mengangkat kepalanya sedikit, tatapannya tenang tapi dalam. "Gaji saya bukanlah masalah di sini, Nona Tatiana. Yang penting, saya bisa menawarkan stabilitas dan rasa hormat. Sesuatu yang tidak bisa diberikan pria sebelumnya." "Rasa hormat?" Tatiana melotot. "Dari pria yang bahkan tidak bisa menunjukkan wajahnya?" Paulios tidak menjawab. Alexander yang berbicara. "Cukup, Tatiana. Kau akan tetap menikah dengannya, dan ini keputusan keluarga." Namun, Tatiana tahu betul, percuma mendebat ayahnya. Bagaimanapun juga, hidupnya masih ditopang sepenuhnya oleh sang ayah. Di balik sifat manjanya itu, masih ada rasa takut kepada ayahnya, karena tentu saja jika ayahnya mengamuk, semua fasilitas mewahnya bisa lenyap begitu saja. Tak lama kemudian, beberapa staf perias pengantin masuk ke dalam kamar Tatiana, langsung melakukan apa yang seharusnya mereka lakukan. Sementara Tatiana hanya bisa pasrah, meskipun rasanya ingin memberontak. Setelah selesai dengan persiapan, Tatiana keluar dari kamarnya dengan gaun putih impiannya itu. Ia berjalan menuju ruang utama yang akan digunakan sebagai tempat pengucapan janji suci. Ternyata, Paulios telah berdiri dengan setelan tuxedo mewah, masih dengan masker di wajahnya yang membuat banyak tamu undangan saling beradu argumen. Selama proses pengucapan janji pernikahan, Tatiana hanya bisa meremas gaun pengantinnya. Ia tahu, saat ini ia tetap menjadi bahan perbincangan banyak orang karena menikah dengan pria seperti itu. “Kini, kalian telah resmi menjadi pasangan suami istri.” Ucapan itu langsung membuyarkan lamunan Tatiana. Ia semakin meremas erat gaunnya. Ia benar-benar berakhir menikah dengan pria aneh itu? Ini gila!Beberapa hari telah berlalu sejak Tatiana melemparkan berkas cerai ke wajah Paulios, tapi sampai sekarang, pria itu belum menandatanganinya. Kertas-kertas itu masih tersimpan rapi di meja kecil di sudut kamar, tidak tersentuh, seolah-olah Paulios tidak ingin mengakui keberadaannya. Setiap kali ia memandangnya, ada perasaan aneh yang menyeruak dalam dadanya. Ia tidak ingin melepaskan Tatiana. Tidak seperti ini.Namun, malam ini, batas kesabaran Tatiana akhirnya runtuh.BRAK!Pintu kamar terbanting keras saat Tatiana menerobos masuk tanpa permisi. Matanya menyala penuh amarah, sementara gaun merah yang ia kenakan melambai saat ia melangkah cepat mendekati Paulios, yang saat itu sedang duduk di tepi ranjang dengan kepala tertunduk.“Kau pikir kau sedang bermain drama konyol di sini, Paulios?!” suara Tatiana melengking tajam. “Kenapa kau belum menandatangani surat itu? Apa yang kau tunggu?!”Paulios mengangkat kepalanya, matanya lelah ta
Paulios membuka pintu rumah dengan langkah lambat, tubuhnya terasa letih setelah seharian bekerja keras. Wajahnya letih, penuh dengan pemikiran yang bergelut, tetapi ada sesuatu dalam dirinya yang berusaha tetap teguh. Ia menatap sekeliling, mengingat betapa sepi dan kosongnya rumah ini. Namun, tatapan matanya langsung tertumbuk pada sosok yang sedang duduk di ruang tamu. Tatiana, dengan gaun santai dan kuku yang sedang dilapisi cat merah muda cerah, duduk di kursi, tampak santai dan sedikit sombong.Tatiana tidak menoleh, tidak ada sapaan hangat atau perhatian apapun yang diberikan. Seolah-olah dunia mereka sudah benar-benar terpisah. Paulios mendekat, langkahnya berhenti sejenak di depan pintu, matanya masih memandangi wanita yang menjadi istrinya."Tatiana," suara Paulios terdengar berat, seperti ada beban yang terpendam di dalamnya.Tatiana baru menoleh, wajahnya tanpa ekspresi, hanya seulas senyum tipis yang tidak menyiratkan kehangatan. Tanpa b
Suara pel basah yang menggesek lantai mengisi kesunyian di dalam ruangan kantor mewah itu. Paulios berdiri membungkuk, menggerakkan pel dengan gerakan lambat dan teratur. Tangannya terampil membersihkan lantai yang mengilap, wajahnya tenang tanpa ekspresi.Namun, ketenangan itu hancur saat sebuah berkas dilemparkan tepat ke arah wajahnya. Kertas-kertas berhamburan di lantai, berserakan di sekitar ember pel yang dibawanya. Paulios mengangkat kepala, menatap pria angkuh yang berdiri di depannya dengan senyum mengejek.Victor berdiri dengan tangan disilangkan di depan dada, ekspresinya penuh kesombongan. Matanya menyipit, bibirnya tersungging tipis. “Bereskan itu. Lantai ini harus bersih tanpa noda sedikit pun.”Paulios menghela napas pelan, menahan emosinya. Ia menundukkan kepala, bukan karena takut, melainkan karena menghormati atasannya. Dengan tenang, ia memunguti kertas-kertas yang berserakan di lantai. Tangannya bergerak perlahan, namun dalam benaknya,
Restoran mewah itu masih dipenuhi cahaya lilin temaram dan alunan musik klasik yang romantis. Namun, suasana di meja mereka begitu tegang dan mencekam. Mata Paulios tajam menatap Victor yang kini berdiri dengan senyum penuh kesombongan. Tatiana berdiri di samping Victor, wajahnya datar tanpa sedikit pun rasa bersalah.Victor memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana dengan sikap angkuh. Ia memandang Paulios dari atas ke bawah, menilai pria itu seperti melihat sampah yang kebetulan melintas di depannya. Senyum sinis tersungging di bibirnya.“Jadi?” Victor mendekat, suaranya rendah namun penuh ejekan. “Kau mau bawa pulang Tatiana?” Ia melirik Paulios dengan pandangan meremehkan. “Mau bawa pakai apa? Bajai? Gocar? Taksi? Atau… jalan kaki?” Ia pura-pura berpikir, ekspresinya dibuat-buat seolah sedang menimbang-nimbang sesuatu. “Berapa sih gaji seorang cleaning service sepertimu per bulan?”Tatiana terdiam, tidak ada niat untuk membela Paulios. Justr
Restoran mewah itu dipenuhi cahaya temaram lilin yang berkilauan, memberikan suasana romantis dan hangat bagi setiap pasangan yang duduk di sana. Alunan musik klasik yang lembut berpadu sempurna dengan gemerincing gelas anggur yang saling bersulang. Di salah satu sudut ruangan, Tatiana duduk anggun dengan gaun elegan berwarna merah marun yang menonjolkan keanggunannya. Senyumnya merekah, matanya berbinar saat menatap pria di depannya—Victor. "Aku senang kita bisa makan malam bersama lagi," suara Victor terdengar dalam dan lembut. Ia menyunggingkan senyum tipis, memamerkan pesonanya yang tak pernah gagal membuat Tatiana terpesona. "Rasanya seperti mengulang masa-masa indah kita dulu." Tatiana tertawa kecil, memainkan ujung gelas anggur di tangannya. "Iya... aku juga merindukan saat-saat itu. Mungkin... kita bisa mengulanginya lagi?" Victor menaikkan alis, matanya berbinar nakal. "Kau menggodaku sekarang?" "Mungkin saja," Tatiana menjawab genit, menggigit bibir bawahnya. Victor tert
Sebuah restoran mewah dengan lampu-lampu redup dan alunan musik klasik yang lembut menjadi saksi bisu pertemuan Tatiana dan Victor malam ini. Cahaya lilin yang berpendar di atas meja memberikan kesan hangat dan romantis, seolah semesta mendukung pertemuan mereka setelah sekian lama berpisah. Tatiana duduk dengan anggun, mengenakan dress berwarna merah yang membalut tubuhnya dengan sempurna. Rambutnya yang tergerai rapi membuatnya tampak semakin menawan. Di hadapannya, Victor duduk dengan tenang, mengenakan setelan jas yang terlihat mahal dan berkelas. Pria itu tersenyum tipis, menatap Tatiana dengan sorot mata yang sulit diartikan. Ada nostalgia di sana, tetapi juga sesuatu yang lebih dalam. "Aku tidak menyangka kita akan seperti ini lagi," ucap Victor sambil menuangkan anggur ke dalam gelas Tatiana. "Tatiana yang dulu tetap sama seperti yang kulihat sekarang. Cantik, manis, dan… menggoda." Tatiana tersenyum keci
Matahari sudah mulai condong ke barat ketika Paulios melangkah masuk ke dalam rumah dengan ekspresi dingin. Hari itu ia pulang lebih awal, bukan karena ingin beristirahat, melainkan karena ada sesuatu yang mengganggu pikirannya sejak pagi—Tatiana.Wanita itu masih saja bersikap seolah dunia berputar di sekelilingnya. Paulios ingin tahu apakah ia sudah mulai bertanggung jawab atau masih saja berkubang dalam kemanjaannya.Langkahnya mantap menuju dapur, di mana ia menemukan ibunya yang tengah membereskan meja makan. Dahi wanita itu dipenuhi keringat, rambutnya agak berantakan, dan pakaian lusuhnya jelas-jelas menunjukkan bahwa ia baru saja menyelesaikan pekerjaan berat.Paulios menyipitkan mata."Ibu." Suaranya dalam dan tajam. "Tatiana sudah melakukan tugasnya?"Sang ibu terdiam sesaat, sebelum akhirnya mengangguk dengan senyum tipis. "Ya, Nak. Tatiana sudah membantu."Paulios tidak segera menjawab. Matanya mengamati ibunya dari u
Keheningan terasa begitu menyesakkan di ruang tamu. Tatiana masih berdiri kaku, matanya sedikit bengkak akibat air mata yang ia tahan. Paulios sudah pergi, meninggalkannya dengan ancaman yang begitu menusuk harga dirinya. Di dapur, ibu mertuanya menatapnya dengan sorot iba. Wanita itu tahu Paulios memang keras, tapi ia juga tahu putranya hanya ingin mendidik istrinya agar tidak menjadi perempuan manja. Sang ibu menghela napas pelan sebelum melangkah mendekat. "Tatiana, Nak… sudahlah. Jangan keras kepala." Suaranya lembut, penuh ketulusan. "Paulios hanya ingin kau berubah, dia hanya ingin kau bisa menyesuaikan diri." Tatiana tidak menoleh, tidak menjawab. Matanya kosong menatap lantai, seolah pikirannya melayang entah ke mana. Tangannya masih mengepal di sisi tubuhnya, kuku-kuku jarinya menekan telapak tangan hingga memutih. Sang ibu mencoba tersenyum, berharap bisa mencairkan suasana. "Tidak ada salahnya membantu Ibu sebentar. Kau tidak perlu melakukan banyak hal, Ibu akan mene
Hari-hari berlalu, tetapi Tatiana tetap tidak berubah. Sikapnya semakin lancang, seolah ingin menunjukkan bahwa ia tidak akan tunduk pada siapa pun, termasuk suaminya sendiri. Setiap hari, ia hanya duduk di sofa empuk, menikmati hidupnya tanpa peduli pada keadaan rumah. Televisi selalu menyala, sementara tubuhnya bersandar santai dengan ekspresi bosan. Di dapur, ibu mertua sibuk menyiapkan makan siang, mengurus rumah seorang diri. Namun, Tatiana tidak berniat membantunya, apalagi bersikap hormat sebagai seorang menantu. Paulios berdiri di ambang pintu, mengamati istrinya yang terus berlagak seperti seorang putri. Rahangnya mengatup rapat, menahan gejolak amarah yang semakin naik. Cukup. Ia melangkah mendekat, suaranya rendah tetapi tegas. "Tatiana." Tatiana tidak menoleh, jari-jarinya tetap menggenggam remote televisi. "Tatiana," ulang Paulios, kali ini lebih
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments