Mobil hitam mewah itu melaju cepat memasuki halaman rumah besar milik Paulios. Sesampainya di dalam, ia keluar dengan langkah tegas, wajahnya yang biasanya tenang kini dipenuhi amarah yang memancar. Azmir, yang melihat kondisi Paulios seperti itu, langsung merasakan ketegangan yang mendalam. Ia tahu, jika Paulios sudah begitu, berarti ada sesuatu yang besar.
“Tuanku, ada apa? Kenapa wajah Anda terlihat begitu marah?” tanya Azmir dengan hati-hati, masih memerhatikan setiap gerakan Paulios. “Panggil papaku sekarang,” jawab Paulios dengan nada dingin yang menyiratkan kemarahan yang membara. Azmir yang sedikit ketakutan langsung mengangguk, tanpa banyak tanya, ia bergegas menuju ruang utama dan menghubungi Tuan Maxwin. Tak lama, Tuan Maxwin, yang masih menguap lelah, terlihat memasuki ruang rapat. Ia sudah bisa menebak bahwa ada sesuatu yang serius terjadi, mengingat jam yang sudah sangat larut. “Panggil aku tengah malam, ada apa, Paulios? Orang gila mana yang rapat jam tiga pagi begini?” tanya Maxwin sambil duduk dengan penasaran, menatap Paulios yang sudah berdiri tegap di depan meja besar. Paulios langsung membuka percakapan dengan sebuah pertanyaan yang menusuk. “Papa, apakah hotel Estate Dationa ada di bawah naungan Amara Group?” Maxwin, yang biasanya menguasai banyak hal tentang bisnis keluarga, mengernyitkan dahi. “Amara Group menaungi banyak hotel, Paulios. Hampir 95 persen hotel besar di dalam daftar kami. Tapi, aku tidak hafal semua hotel, jadi aku tidak bisa langsung memastikan. Kenapa kamu tanya soal Estate Dationa?” Paulios menatap tajam ke arah papanya, suara dinginnya memecah keheningan. “Karena Estate Dationa sekarang masuk dalam black listku. Itu alasan kenapa aku tanya.” Maxwin terkejut, rasa penasaran semakin menguat. “Estate Dationa? Kenapa kamu sampai membuat keputusan begitu keras? Apa yang terjadi?” Paulios tidak langsung menjawab, malah sibuk mencari sebuah buku daftar hotel yang ada dalam naungan Amara Group. Azmir dan beberapa bodyguard mulai bergerak, membantu mengacak-acak ruang kerja Maxwin untuk mencari daftar yang dimaksud. Paulios tak peduli dengan kekacauan yang terjadi di sekitarnya. Hanya satu yang ada di pikirannya: membalas siapa pun yang mengusik istrinya. “Jika Estate Dationa sudah berani mengusik ketenangan istriku, maka aku pastikan mereka akan merasakan akibatnya. Mereka tak hanya akan menanggung dampaknya, seluruh bisnis mereka akan terhenti. Mereka akan tahu bagaimana rasanya dilawan,” kata Paulios, nada suaranya bergema penuh ketegasan. Maxwin, yang melihat putranya semakin berapi-api, langsung tertawa kecil, mencoba meredakan ketegangan dengan cara menggoda. “Jadi, Paulios, kamu mulai cinta sama istrimu ya? Ini alasanmu bertindak seperti ini?” Paulios menatap papanya dengan tajam, nada suaranya semakin sengit. “Ini bukan soal cinta, Papa. Ini soal harga diri dan prinsip. Jika mereka terus mengusik keluarga kami, aku akan pastikan semuanya berakhir buruk bagi mereka.” Maxwin, meski masih dengan ekspresi setengah terkejut, mengangguk pelan, seolah mulai memahami titik tekan yang diinginkan putranya. “Tapi, Paulios, ingat, masalah pribadi tak bisa digabung dengan masalah pekerjaan. Jangan biarkan perasaan menguasai keputusan bisnis.” Paulios mendengus, tak terpengaruh oleh nasihat papanya. “Aku sudah membuat keputusan. Mereka tidak akan dibiarkan begitu saja. Aku akan pastikan mereka tidak bisa bergerak bebas lagi.” Dengan gerakan cepat, salah satu bodyguard akhirnya menemukan daftar yang dicari. Setelah memeriksa dengan teliti, ia melaporkan, “Tuan Paulios, Estate Dationa memang tercatat di sini. Mereka meminjam dana sekitar 357 triliun untuk mengembangkan hotel mereka. Dan memang benar, mereka mendapat modal dari Amara Group.” Paulios mengangguk pelan, senyum tipis menyiratkan kepuasan. “Jika demikian, mereka sudah mendapat uang dari kami. Dan sekarang, aku pastikan mereka membayar harga yang setimpal.” Ia berbalik ke arah Azmir yang berdiri di dekatnya, memberi perintah tegas, “Sampaikan pada pihak Amara Group yang menangani urusan ini. Modal yang diberikan kepada Estate Dationa akan dianggap hutang yang harus dibayar lunas dalam jangka 4 tahun, kalau tidak bakal ku bawa ke ranah hukum. Semua kerja sama dengan mereka akan dibatalkan. Estate Dationa tidak akan lagi bisa bekerja sama dengan kami. Pastikan semua nama mereka dibersihkan dari daftar ini.” Azmir mengangguk cepat, ia tahu betul bahwa keputusan Paulios kali ini tak bisa dianggap enteng. “Tentu, Tuan Paulios. Saya akan segera menghubungi pihak yang terkait.” Paulios menatap papanya sekali lagi, suara tegasnya menggetarkan ruangan. “Dan pastikan, setiap hotel yang sudah aku blacklist tak boleh lagi bekerja sama dengan hotel-hotel anak Amara Group. Jika ada yang mencoba, mereka akan ikut terjebak dalam blacklist. Mereka semua harus merasakan dampaknya.” Maxwin diam sejenak, kemudian mengangguk pelan. “Baiklah, Paulios. Jika kamu yakin ini yang harus dilakukan, aku akan mendukungmu. Tapi ingat, setiap langkah besar selalu punya konsekuensi besar juga.” Paulios tidak menjawab, ia hanya menatap lurus ke depan, tekadnya sudah bulat. “Aku tahu, Papa. Dan aku siap untuk itu.” Dengan keputusan ini, Paulios telah menetapkan jalannya. Tak ada yang bisa menghalangi niatnya, dan kini, Estate Dationa akan merasakan kekuatan dari perhitungan Paulios. *** Kabar tentang tuntutan besar dari Amara Group terhadap Estate Dationa menyebar bak angin topan. Suasana di hotel itu langsung berubah mencekam. Pemiliknya, General Manager, para manajer, hingga staf merasa panik. Tidak hanya soal hutang besar yang mendadak harus dilunasi dalam waktu singkat, tapi ancaman blacklist dari Amara Group bisa menghancurkan reputasi mereka secara total. “Kalau ini benar terjadi, kita habis! Amara Group adalah investor terbesar kita! Kalau mereka menarik dukungan, Estate Dationa bisa tutup!” seru salah satu manajer kepada GM di ruang rapat darurat yang penuh dengan wajah tegang. “Kita harus bertindak sekarang. Hubungi Tuan Maxwin Welington. Dia pasti bisa menjelaskan kenapa ini terjadi,” ujar sang pemilik, mencoba mempertahankan ketenangannya meskipun tangannya gemetar. Pagi itu, dengan langkah tergesa, rombongan dari Estate Dationa mendatangi kediaman mewah keluarga Welington. Mereka semua berharap mendapat jawaban dari Maxwin, sosok yang dikenal rasional dan bijaksana. Maxwin sedang menikmati sarapan paginya saat diberi tahu oleh seorang asisten bahwa para petinggi Estate Dationa sedang menunggu di ruang tamu. Wajahnya langsung berubah serius. Ia menduga keputusan Paulios malam tadi akan membawa dampak besar, tapi tidak menyangka responsnya akan secepat ini. Di ruang tamu, suasana sudah dipenuhi ketegangan. Pemilik Estate Dationa, dengan suara yang penuh emosi, langsung berbicara. “Tuan Maxwin, kami datang untuk meminta kejelasan. Apa kesalahan kami sampai mendapatkan tindakan seperti ini dari Amara Group? Hutang sebesar itu tidak mungkin kami lunasi dalam waktu sesingkat ini! Kami juga tahu, di persidangan, kami tidak akan punya peluang untuk menang melawan kalian.” Maxwin meletakkan cangkir tehnya dengan tenang. “Tuan Gerald, saya mengerti kekhawatiran Anda. Tapi, saya tidak tahu alasan pasti kenapa ini terjadi. Keputusan ini dibuat oleh putra saya, Paulios. Hanya dia yang bisa menjawab pertanyaan Anda.” “Tuan Maxwin,” pemilik itu melanjutkan dengan nada memohon, “kami mempekerjakan ratusan orang di hotel ini, sebagian besar adalah kepala keluarga. Jika kami bangkrut, dampaknya akan menghancurkan banyak kehidupan. Tolong, bantu kami bicara dengan Tuan Paulios. Kami yakin, pasti ada kesalahpahaman yang terjadi.” Maxwin terdiam sejenak, lalu mengangguk. Ia mengeluarkan ponselnya dan mencoba menghubungi Paulios. Setelah beberapa panggilan yang tidak diangkat, akhirnya Paulios menjawab dengan nada dingin. “Ada apa, Papa?” “Paulios, ini pagi buta, dan aku punya rombongan tamu dari Estate Dationa di ruang tamu. Mereka ingin tahu alasan di balik tindakanmu. Kamu harus datang ke sini untuk menjelaskannya,” ucap Maxwin, mencoba tetap tenang. Paulios terdiam beberapa saat sebelum menjawab, “Aku akan datang, tapi hanya untuk memastikan mereka tahu ini keputusan final. Jangan harap aku mengubahnya.” Maxwin menarik napas panjang. “Baiklah, aku akan menyampaikan. Tapi tolong, kendalikan emosimu saat tiba di sini.” Paulios menutup telepon tanpa menanggapi. Maxwin menatap para tamu yang menunggu dengan harapan di matanya. “Paulios akan datang. Tapi saya harus jujur, anak saya bukan tipe orang yang mudah berubah pikiran. Jika dia sudah mengambil keputusan, Anda harus mempersiapkan diri untuk syarat yang mungkin berat.” Wajah para petinggi Estate Dationa semakin tegang. Mereka saling berpandangan, mencoba menenangkan diri, tapi ketakutan tak bisa disembunyikan. Suasana semakin memanas. Para tamu mulai merasa gelisah, beberapa dari mereka saling berbisik, mencoba menebak apa yang akan terjadi selanjutnya. “Kalau Tuan Muda itu benar-benar tidak mau memberi toleransi, kita habis,” bisik salah satu manajer. “Tapi kenapa? Apa yang sebenarnya kita lakukan sampai dia marah seperti ini?” timpal yang lain. Pemilik Estate Dationa hanya bisa menatap kosong, mencoba menyusun kata-kata jika Paulios benar-benar tidak memberi solusi. Setelah menunggu sekitar 20 menit, pintu ruang tamu akhirnya terbuka lagi, dan suara langkah berat terdengar menggema. Semua kepala menoleh bersamaan. Paulios masuk dengan ekspresi tak terbaca, tatapannya lurus ke depan, penuh wibawa. Maxwin berdiri, menyambutnya. “Paulios, mereka sudah menunggu penjelasan darimu.” Paulios menatap Maxwin sekilas, lalu memindahkan pandangannya ke rombongan Estate Dationa. Tanpa basa-basi, ia berkata dengan suara dingin, “Sampaikan alasan kalian dengan cepat. Waktuku tidak banyak, dan keputusan sudah dibuat.” Semua orang di ruangan terdiam. Ketegangan semakin terasa. Apa yang akan Paulios lakukan selanjutnya? Akankah ada titik terang bagi Estate Dationa, atau ini menjadi akhir dari segalanya?Ruangan rapat yang megah itu kini terasa sesak oleh ketegangan. Beberapa jajaran manajemen Estate Dationa duduk dengan gelisah, sementara Tuan Gerald, pemilik hotel itu, berusaha mempertahankan ketenangannya di hadapan pria yang kini menjadi penentu nasib bisnisnya—Paulios Estern Welington. Dengan suara penuh kehati-hatian, Tuan Gerald mencoba bernegosiasi. "Tuan Muda Welington," ucapnya dengan nada hormat. "Keputusan ini terlalu mendadak dan mengejutkan. Kami selalu menjaga profesionalitas dalam menjalankan bisnis kami, dan saya yakin Estate Dationa telah memberikan kontribusi yang baik bagi Amara Group." Beberapa manajer mengangguk setuju, bahkan ada yang memberanikan diri menambahkan, "Kami tidak pernah melakukan kesalahan fatal yang merugikan perusahaan Anda. Mohon pertimbangkan lagi keputusan ini." Paulios yang sejak tadi duduk dengan tenang, akhirnya bergerak. Ia menegakkan punggungnya, kedua tangannya bertaut d
Tatiana melangkah dengan anggun memasuki lobi hotel mewah tempat mantannya bekerja sebagai General Manager. Sepasang high heels berwarna nude beradu dengan lantai marmer, mengeluarkan suara ketukan halus yang menggema di ruangan besar itu. Aroma lavender bercampur citrus dari parfum mahalnya menyebar di udara, meninggalkan jejak kehadirannya di setiap sudut yang ia lewati.Matanya menelusuri interior hotel yang begitu megah. Lampu kristal menggantung di langit-langit tinggi, memantulkan kilauan cahaya ke dinding kaca yang elegan. Para staf hotel yang berpakaian rapi menyambut tamu dengan senyum sopan, tetapi tak satu pun yang berani menatapnya terlalu lama. Ada aura percaya diri dalam setiap langkah Tatiana, seolah ia adalah ratu yang baru saja tiba di istananya.Namun, bukan kemewahan tempat ini yang menarik perhatiannya.Di lantai atas, berdiri sosok yang selama ini selalu ada di dalam pikirannya.Victor Helmis.Tatiana berhenti se
Paulios duduk di ruang tamu, rahangnya mengatup rapat, kedua tangannya mengepal kuat di atas pahanya. Sejak kembali dari hotel tadi, pikirannya terus bergejolak, dadanya seperti dihantam batu besar yang membuat napasnya terasa berat. Ia melihat semuanya. Setiap gerakan, setiap ekspresi, setiap kata yang keluar dari mulut istrinya saat berdiri di hadapan Victor.Tatiana tidak hanya melanggar batas. Ia menginjak-injaknya.Ia mengira Paulios hanyalah bayangan, seseorang yang bisa ia abaikan begitu saja.Dan sekarang, ia menunggu.Menunggu wanita itu pulang dengan kepura-puraannya.Suara mesin taksi berhenti di depan rumah. Paulios langsung menoleh, matanya menyipit tajam.Tatiana turun dengan anggun, seolah baru saja menghadiri perjamuan, bukan kembali dari pertemuan rahasia dengan mantan kekasihnya. Rambutnya masih tertata rapi, gaunnya masih sempurna, dan parfum mewahnya tercium begitu kuat saat ia melangkah masuk.S
Keheningan menekan udara di antara mereka, tetapi bukan keheningan yang menenangkan—melainkan keheningan yang mengancam. Tatiana menelan ludah, menyadari betapa dekatnya wajah Paulios dengannya. Napas pria itu hangat, begitu dekat hingga ia bisa mencium wangi parfum maskulin yang menguar dari tubuhnya. Aroma yang tajam dan berkarakter, begitu kontras dengan sikapnya yang selama ini ia pandang rendah. Tatiana menatap Paulios dengan penuh kebencian, tetapi pria itu tak bergeming. Mata kelamnya menyelami iris cokelat milik Tatiana, menelanjangi emosi wanita itu dengan tatapan tajam yang sulit diartikan. Lalu, suara Paulios terdengar, rendah dan tajam, menyayat ke dalam hati. "Jika kau benar-benar ingin menjadi pelacur..." Ia mendekatkan wajahnya sedikit lagi, begitu dekat hingga Tatiana bisa merasakan hembusan napasnya menyentuh kulitnya. "...setidaknya jadilah pelacur untuk suamimu sendiri. Daripada bertin
Hari-hari berlalu, tetapi Tatiana tetap tidak berubah. Sikapnya semakin lancang, seolah ingin menunjukkan bahwa ia tidak akan tunduk pada siapa pun, termasuk suaminya sendiri. Setiap hari, ia hanya duduk di sofa empuk, menikmati hidupnya tanpa peduli pada keadaan rumah. Televisi selalu menyala, sementara tubuhnya bersandar santai dengan ekspresi bosan. Di dapur, ibu mertua sibuk menyiapkan makan siang, mengurus rumah seorang diri. Namun, Tatiana tidak berniat membantunya, apalagi bersikap hormat sebagai seorang menantu. Paulios berdiri di ambang pintu, mengamati istrinya yang terus berlagak seperti seorang putri. Rahangnya mengatup rapat, menahan gejolak amarah yang semakin naik. Cukup. Ia melangkah mendekat, suaranya rendah tetapi tegas. "Tatiana." Tatiana tidak menoleh, jari-jarinya tetap menggenggam remote televisi. "Tatiana," ulang Paulios, kali ini lebih
Keheningan terasa begitu menyesakkan di ruang tamu. Tatiana masih berdiri kaku, matanya sedikit bengkak akibat air mata yang ia tahan. Paulios sudah pergi, meninggalkannya dengan ancaman yang begitu menusuk harga dirinya. Di dapur, ibu mertuanya menatapnya dengan sorot iba. Wanita itu tahu Paulios memang keras, tapi ia juga tahu putranya hanya ingin mendidik istrinya agar tidak menjadi perempuan manja. Sang ibu menghela napas pelan sebelum melangkah mendekat. "Tatiana, Nak… sudahlah. Jangan keras kepala." Suaranya lembut, penuh ketulusan. "Paulios hanya ingin kau berubah, dia hanya ingin kau bisa menyesuaikan diri." Tatiana tidak menoleh, tidak menjawab. Matanya kosong menatap lantai, seolah pikirannya melayang entah ke mana. Tangannya masih mengepal di sisi tubuhnya, kuku-kuku jarinya menekan telapak tangan hingga memutih. Sang ibu mencoba tersenyum, berharap bisa mencairkan suasana. "Tidak ada salahnya membantu Ibu sebentar. Kau tidak perlu melakukan banyak hal, Ibu akan mene
Matahari sudah mulai condong ke barat ketika Paulios melangkah masuk ke dalam rumah dengan ekspresi dingin. Hari itu ia pulang lebih awal, bukan karena ingin beristirahat, melainkan karena ada sesuatu yang mengganggu pikirannya sejak pagi—Tatiana.Wanita itu masih saja bersikap seolah dunia berputar di sekelilingnya. Paulios ingin tahu apakah ia sudah mulai bertanggung jawab atau masih saja berkubang dalam kemanjaannya.Langkahnya mantap menuju dapur, di mana ia menemukan ibunya yang tengah membereskan meja makan. Dahi wanita itu dipenuhi keringat, rambutnya agak berantakan, dan pakaian lusuhnya jelas-jelas menunjukkan bahwa ia baru saja menyelesaikan pekerjaan berat.Paulios menyipitkan mata."Ibu." Suaranya dalam dan tajam. "Tatiana sudah melakukan tugasnya?"Sang ibu terdiam sesaat, sebelum akhirnya mengangguk dengan senyum tipis. "Ya, Nak. Tatiana sudah membantu."Paulios tidak segera menjawab. Matanya mengamati ibunya dari u
Sebuah restoran mewah dengan lampu-lampu redup dan alunan musik klasik yang lembut menjadi saksi bisu pertemuan Tatiana dan Victor malam ini. Cahaya lilin yang berpendar di atas meja memberikan kesan hangat dan romantis, seolah semesta mendukung pertemuan mereka setelah sekian lama berpisah. Tatiana duduk dengan anggun, mengenakan dress berwarna merah yang membalut tubuhnya dengan sempurna. Rambutnya yang tergerai rapi membuatnya tampak semakin menawan. Di hadapannya, Victor duduk dengan tenang, mengenakan setelan jas yang terlihat mahal dan berkelas. Pria itu tersenyum tipis, menatap Tatiana dengan sorot mata yang sulit diartikan. Ada nostalgia di sana, tetapi juga sesuatu yang lebih dalam. "Aku tidak menyangka kita akan seperti ini lagi," ucap Victor sambil menuangkan anggur ke dalam gelas Tatiana. "Tatiana yang dulu tetap sama seperti yang kulihat sekarang. Cantik, manis, dan… menggoda." Tatiana tersenyum keci
Beberapa hari telah berlalu sejak Tatiana melemparkan berkas cerai ke wajah Paulios, tapi sampai sekarang, pria itu belum menandatanganinya. Kertas-kertas itu masih tersimpan rapi di meja kecil di sudut kamar, tidak tersentuh, seolah-olah Paulios tidak ingin mengakui keberadaannya. Setiap kali ia memandangnya, ada perasaan aneh yang menyeruak dalam dadanya. Ia tidak ingin melepaskan Tatiana. Tidak seperti ini.Namun, malam ini, batas kesabaran Tatiana akhirnya runtuh.BRAK!Pintu kamar terbanting keras saat Tatiana menerobos masuk tanpa permisi. Matanya menyala penuh amarah, sementara gaun merah yang ia kenakan melambai saat ia melangkah cepat mendekati Paulios, yang saat itu sedang duduk di tepi ranjang dengan kepala tertunduk.“Kau pikir kau sedang bermain drama konyol di sini, Paulios?!” suara Tatiana melengking tajam. “Kenapa kau belum menandatangani surat itu? Apa yang kau tunggu?!”Paulios mengangkat kepalanya, matanya lelah ta
Paulios membuka pintu rumah dengan langkah lambat, tubuhnya terasa letih setelah seharian bekerja keras. Wajahnya letih, penuh dengan pemikiran yang bergelut, tetapi ada sesuatu dalam dirinya yang berusaha tetap teguh. Ia menatap sekeliling, mengingat betapa sepi dan kosongnya rumah ini. Namun, tatapan matanya langsung tertumbuk pada sosok yang sedang duduk di ruang tamu. Tatiana, dengan gaun santai dan kuku yang sedang dilapisi cat merah muda cerah, duduk di kursi, tampak santai dan sedikit sombong.Tatiana tidak menoleh, tidak ada sapaan hangat atau perhatian apapun yang diberikan. Seolah-olah dunia mereka sudah benar-benar terpisah. Paulios mendekat, langkahnya berhenti sejenak di depan pintu, matanya masih memandangi wanita yang menjadi istrinya."Tatiana," suara Paulios terdengar berat, seperti ada beban yang terpendam di dalamnya.Tatiana baru menoleh, wajahnya tanpa ekspresi, hanya seulas senyum tipis yang tidak menyiratkan kehangatan. Tanpa b
Suara pel basah yang menggesek lantai mengisi kesunyian di dalam ruangan kantor mewah itu. Paulios berdiri membungkuk, menggerakkan pel dengan gerakan lambat dan teratur. Tangannya terampil membersihkan lantai yang mengilap, wajahnya tenang tanpa ekspresi.Namun, ketenangan itu hancur saat sebuah berkas dilemparkan tepat ke arah wajahnya. Kertas-kertas berhamburan di lantai, berserakan di sekitar ember pel yang dibawanya. Paulios mengangkat kepala, menatap pria angkuh yang berdiri di depannya dengan senyum mengejek.Victor berdiri dengan tangan disilangkan di depan dada, ekspresinya penuh kesombongan. Matanya menyipit, bibirnya tersungging tipis. “Bereskan itu. Lantai ini harus bersih tanpa noda sedikit pun.”Paulios menghela napas pelan, menahan emosinya. Ia menundukkan kepala, bukan karena takut, melainkan karena menghormati atasannya. Dengan tenang, ia memunguti kertas-kertas yang berserakan di lantai. Tangannya bergerak perlahan, namun dalam benaknya,
Restoran mewah itu masih dipenuhi cahaya lilin temaram dan alunan musik klasik yang romantis. Namun, suasana di meja mereka begitu tegang dan mencekam. Mata Paulios tajam menatap Victor yang kini berdiri dengan senyum penuh kesombongan. Tatiana berdiri di samping Victor, wajahnya datar tanpa sedikit pun rasa bersalah.Victor memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana dengan sikap angkuh. Ia memandang Paulios dari atas ke bawah, menilai pria itu seperti melihat sampah yang kebetulan melintas di depannya. Senyum sinis tersungging di bibirnya.“Jadi?” Victor mendekat, suaranya rendah namun penuh ejekan. “Kau mau bawa pulang Tatiana?” Ia melirik Paulios dengan pandangan meremehkan. “Mau bawa pakai apa? Bajai? Gocar? Taksi? Atau… jalan kaki?” Ia pura-pura berpikir, ekspresinya dibuat-buat seolah sedang menimbang-nimbang sesuatu. “Berapa sih gaji seorang cleaning service sepertimu per bulan?”Tatiana terdiam, tidak ada niat untuk membela Paulios. Justr
Restoran mewah itu dipenuhi cahaya temaram lilin yang berkilauan, memberikan suasana romantis dan hangat bagi setiap pasangan yang duduk di sana. Alunan musik klasik yang lembut berpadu sempurna dengan gemerincing gelas anggur yang saling bersulang. Di salah satu sudut ruangan, Tatiana duduk anggun dengan gaun elegan berwarna merah marun yang menonjolkan keanggunannya. Senyumnya merekah, matanya berbinar saat menatap pria di depannya—Victor. "Aku senang kita bisa makan malam bersama lagi," suara Victor terdengar dalam dan lembut. Ia menyunggingkan senyum tipis, memamerkan pesonanya yang tak pernah gagal membuat Tatiana terpesona. "Rasanya seperti mengulang masa-masa indah kita dulu." Tatiana tertawa kecil, memainkan ujung gelas anggur di tangannya. "Iya... aku juga merindukan saat-saat itu. Mungkin... kita bisa mengulanginya lagi?" Victor menaikkan alis, matanya berbinar nakal. "Kau menggodaku sekarang?" "Mungkin saja," Tatiana menjawab genit, menggigit bibir bawahnya. Victor tert
Sebuah restoran mewah dengan lampu-lampu redup dan alunan musik klasik yang lembut menjadi saksi bisu pertemuan Tatiana dan Victor malam ini. Cahaya lilin yang berpendar di atas meja memberikan kesan hangat dan romantis, seolah semesta mendukung pertemuan mereka setelah sekian lama berpisah. Tatiana duduk dengan anggun, mengenakan dress berwarna merah yang membalut tubuhnya dengan sempurna. Rambutnya yang tergerai rapi membuatnya tampak semakin menawan. Di hadapannya, Victor duduk dengan tenang, mengenakan setelan jas yang terlihat mahal dan berkelas. Pria itu tersenyum tipis, menatap Tatiana dengan sorot mata yang sulit diartikan. Ada nostalgia di sana, tetapi juga sesuatu yang lebih dalam. "Aku tidak menyangka kita akan seperti ini lagi," ucap Victor sambil menuangkan anggur ke dalam gelas Tatiana. "Tatiana yang dulu tetap sama seperti yang kulihat sekarang. Cantik, manis, dan… menggoda." Tatiana tersenyum keci
Matahari sudah mulai condong ke barat ketika Paulios melangkah masuk ke dalam rumah dengan ekspresi dingin. Hari itu ia pulang lebih awal, bukan karena ingin beristirahat, melainkan karena ada sesuatu yang mengganggu pikirannya sejak pagi—Tatiana.Wanita itu masih saja bersikap seolah dunia berputar di sekelilingnya. Paulios ingin tahu apakah ia sudah mulai bertanggung jawab atau masih saja berkubang dalam kemanjaannya.Langkahnya mantap menuju dapur, di mana ia menemukan ibunya yang tengah membereskan meja makan. Dahi wanita itu dipenuhi keringat, rambutnya agak berantakan, dan pakaian lusuhnya jelas-jelas menunjukkan bahwa ia baru saja menyelesaikan pekerjaan berat.Paulios menyipitkan mata."Ibu." Suaranya dalam dan tajam. "Tatiana sudah melakukan tugasnya?"Sang ibu terdiam sesaat, sebelum akhirnya mengangguk dengan senyum tipis. "Ya, Nak. Tatiana sudah membantu."Paulios tidak segera menjawab. Matanya mengamati ibunya dari u
Keheningan terasa begitu menyesakkan di ruang tamu. Tatiana masih berdiri kaku, matanya sedikit bengkak akibat air mata yang ia tahan. Paulios sudah pergi, meninggalkannya dengan ancaman yang begitu menusuk harga dirinya. Di dapur, ibu mertuanya menatapnya dengan sorot iba. Wanita itu tahu Paulios memang keras, tapi ia juga tahu putranya hanya ingin mendidik istrinya agar tidak menjadi perempuan manja. Sang ibu menghela napas pelan sebelum melangkah mendekat. "Tatiana, Nak… sudahlah. Jangan keras kepala." Suaranya lembut, penuh ketulusan. "Paulios hanya ingin kau berubah, dia hanya ingin kau bisa menyesuaikan diri." Tatiana tidak menoleh, tidak menjawab. Matanya kosong menatap lantai, seolah pikirannya melayang entah ke mana. Tangannya masih mengepal di sisi tubuhnya, kuku-kuku jarinya menekan telapak tangan hingga memutih. Sang ibu mencoba tersenyum, berharap bisa mencairkan suasana. "Tidak ada salahnya membantu Ibu sebentar. Kau tidak perlu melakukan banyak hal, Ibu akan mene
Hari-hari berlalu, tetapi Tatiana tetap tidak berubah. Sikapnya semakin lancang, seolah ingin menunjukkan bahwa ia tidak akan tunduk pada siapa pun, termasuk suaminya sendiri. Setiap hari, ia hanya duduk di sofa empuk, menikmati hidupnya tanpa peduli pada keadaan rumah. Televisi selalu menyala, sementara tubuhnya bersandar santai dengan ekspresi bosan. Di dapur, ibu mertua sibuk menyiapkan makan siang, mengurus rumah seorang diri. Namun, Tatiana tidak berniat membantunya, apalagi bersikap hormat sebagai seorang menantu. Paulios berdiri di ambang pintu, mengamati istrinya yang terus berlagak seperti seorang putri. Rahangnya mengatup rapat, menahan gejolak amarah yang semakin naik. Cukup. Ia melangkah mendekat, suaranya rendah tetapi tegas. "Tatiana." Tatiana tidak menoleh, jari-jarinya tetap menggenggam remote televisi. "Tatiana," ulang Paulios, kali ini lebih