Mobil hitam mewah itu melaju cepat memasuki halaman rumah besar milik Paulios. Sesampainya di dalam, ia keluar dengan langkah tegas, wajahnya yang biasanya tenang kini dipenuhi amarah yang memancar. Azmir, yang melihat kondisi Paulios seperti itu, langsung merasakan ketegangan yang mendalam. Ia tahu, jika Paulios sudah begitu, berarti ada sesuatu yang besar.
“Tuanku, ada apa? Kenapa wajah Anda terlihat begitu marah?” tanya Azmir dengan hati-hati, masih memerhatikan setiap gerakan Paulios. “Panggil papaku sekarang,” jawab Paulios dengan nada dingin yang menyiratkan kemarahan yang membara. Azmir yang sedikit ketakutan langsung mengangguk, tanpa banyak tanya, ia bergegas menuju ruang utama dan menghubungi Tuan Maxwin. Tak lama, Tuan Maxwin, yang masih menguap lelah, terlihat memasuki ruang rapat. Ia sudah bisa menebak bahwa ada sesuatu yang serius terjadi, mengingat jam yang sudah sangat larut. “Panggil aku tengah malam, ada apa, Paulios? Orang gila mana yang rapat jam tiga pagi begini?” tanya Maxwin sambil duduk dengan penasaran, menatap Paulios yang sudah berdiri tegap di depan meja besar. Paulios langsung membuka percakapan dengan sebuah pertanyaan yang menusuk. “Papa, apakah hotel Estate Dationa ada di bawah naungan Amara Group?” Maxwin, yang biasanya menguasai banyak hal tentang bisnis keluarga, mengernyitkan dahi. “Amara Group menaungi banyak hotel, Paulios. Hampir 95 persen hotel besar di dalam daftar kami. Tapi, aku tidak hafal semua hotel, jadi aku tidak bisa langsung memastikan. Kenapa kamu tanya soal Estate Dationa?” Paulios menatap tajam ke arah papanya, suara dinginnya memecah keheningan. “Karena Estate Dationa sekarang masuk dalam black listku. Itu alasan kenapa aku tanya.” Maxwin terkejut, rasa penasaran semakin menguat. “Estate Dationa? Kenapa kamu sampai membuat keputusan begitu keras? Apa yang terjadi?” Paulios tidak langsung menjawab, malah sibuk mencari sebuah buku daftar hotel yang ada dalam naungan Amara Group. Azmir dan beberapa bodyguard mulai bergerak, membantu mengacak-acak ruang kerja Maxwin untuk mencari daftar yang dimaksud. Paulios tak peduli dengan kekacauan yang terjadi di sekitarnya. Hanya satu yang ada di pikirannya: membalas siapa pun yang mengusik istrinya. “Jika Estate Dationa sudah berani mengusik ketenangan istriku, maka aku pastikan mereka akan merasakan akibatnya. Mereka tak hanya akan menanggung dampaknya, seluruh bisnis mereka akan terhenti. Mereka akan tahu bagaimana rasanya dilawan,” kata Paulios, nada suaranya bergema penuh ketegasan. Maxwin, yang melihat putranya semakin berapi-api, langsung tertawa kecil, mencoba meredakan ketegangan dengan cara menggoda. “Jadi, Paulios, kamu mulai cinta sama istrimu ya? Ini alasanmu bertindak seperti ini?” Paulios menatap papanya dengan tajam, nada suaranya semakin sengit. “Ini bukan soal cinta, Papa. Ini soal harga diri dan prinsip. Jika mereka terus mengusik keluarga kami, aku akan pastikan semuanya berakhir buruk bagi mereka.” Maxwin, meski masih dengan ekspresi setengah terkejut, mengangguk pelan, seolah mulai memahami titik tekan yang diinginkan putranya. “Tapi, Paulios, ingat, masalah pribadi tak bisa digabung dengan masalah pekerjaan. Jangan biarkan perasaan menguasai keputusan bisnis.” Paulios mendengus, tak terpengaruh oleh nasihat papanya. “Aku sudah membuat keputusan. Mereka tidak akan dibiarkan begitu saja. Aku akan pastikan mereka tidak bisa bergerak bebas lagi.” Dengan gerakan cepat, salah satu bodyguard akhirnya menemukan daftar yang dicari. Setelah memeriksa dengan teliti, ia melaporkan, “Tuan Paulios, Estate Dationa memang tercatat di sini. Mereka meminjam dana sekitar 357 triliun untuk mengembangkan hotel mereka. Dan memang benar, mereka mendapat modal dari Amara Group.” Paulios mengangguk pelan, senyum tipis menyiratkan kepuasan. “Jika demikian, mereka sudah mendapat uang dari kami. Dan sekarang, aku pastikan mereka membayar harga yang setimpal.” Ia berbalik ke arah Azmir yang berdiri di dekatnya, memberi perintah tegas, “Sampaikan pada pihak Amara Group yang menangani urusan ini. Modal yang diberikan kepada Estate Dationa akan dianggap hutang yang harus dibayar lunas dalam jangka 4 tahun, kalau tidak bakal ku bawa ke ranah hukum. Semua kerja sama dengan mereka akan dibatalkan. Estate Dationa tidak akan lagi bisa bekerja sama dengan kami. Pastikan semua nama mereka dibersihkan dari daftar ini.” Azmir mengangguk cepat, ia tahu betul bahwa keputusan Paulios kali ini tak bisa dianggap enteng. “Tentu, Tuan Paulios. Saya akan segera menghubungi pihak yang terkait.” Paulios menatap papanya sekali lagi, suara tegasnya menggetarkan ruangan. “Dan pastikan, setiap hotel yang sudah aku blacklist tak boleh lagi bekerja sama dengan hotel-hotel anak Amara Group. Jika ada yang mencoba, mereka akan ikut terjebak dalam blacklist. Mereka semua harus merasakan dampaknya.” Maxwin diam sejenak, kemudian mengangguk pelan. “Baiklah, Paulios. Jika kamu yakin ini yang harus dilakukan, aku akan mendukungmu. Tapi ingat, setiap langkah besar selalu punya konsekuensi besar juga.” Paulios tidak menjawab, ia hanya menatap lurus ke depan, tekadnya sudah bulat. “Aku tahu, Papa. Dan aku siap untuk itu.” Dengan keputusan ini, Paulios telah menetapkan jalannya. Tak ada yang bisa menghalangi niatnya, dan kini, Estate Dationa akan merasakan kekuatan dari perhitungan Paulios. *** Kabar tentang tuntutan besar dari Amara Group terhadap Estate Dationa menyebar bak angin topan. Suasana di hotel itu langsung berubah mencekam. Pemiliknya, General Manager, para manajer, hingga staf merasa panik. Tidak hanya soal hutang besar yang mendadak harus dilunasi dalam waktu singkat, tapi ancaman blacklist dari Amara Group bisa menghancurkan reputasi mereka secara total. “Kalau ini benar terjadi, kita habis! Amara Group adalah investor terbesar kita! Kalau mereka menarik dukungan, Estate Dationa bisa tutup!” seru salah satu manajer kepada GM di ruang rapat darurat yang penuh dengan wajah tegang. “Kita harus bertindak sekarang. Hubungi Tuan Maxwin Welington. Dia pasti bisa menjelaskan kenapa ini terjadi,” ujar sang pemilik, mencoba mempertahankan ketenangannya meskipun tangannya gemetar. Pagi itu, dengan langkah tergesa, rombongan dari Estate Dationa mendatangi kediaman mewah keluarga Welington. Mereka semua berharap mendapat jawaban dari Maxwin, sosok yang dikenal rasional dan bijaksana. Maxwin sedang menikmati sarapan paginya saat diberi tahu oleh seorang asisten bahwa para petinggi Estate Dationa sedang menunggu di ruang tamu. Wajahnya langsung berubah serius. Ia menduga keputusan Paulios malam tadi akan membawa dampak besar, tapi tidak menyangka responsnya akan secepat ini. Di ruang tamu, suasana sudah dipenuhi ketegangan. Pemilik Estate Dationa, dengan suara yang penuh emosi, langsung berbicara. “Tuan Maxwin, kami datang untuk meminta kejelasan. Apa kesalahan kami sampai mendapatkan tindakan seperti ini dari Amara Group? Hutang sebesar itu tidak mungkin kami lunasi dalam waktu sesingkat ini! Kami juga tahu, di persidangan, kami tidak akan punya peluang untuk menang melawan kalian.” Maxwin meletakkan cangkir tehnya dengan tenang. “Tuan Gerald, saya mengerti kekhawatiran Anda. Tapi, saya tidak tahu alasan pasti kenapa ini terjadi. Keputusan ini dibuat oleh putra saya, Paulios. Hanya dia yang bisa menjawab pertanyaan Anda.” “Tuan Maxwin,” pemilik itu melanjutkan dengan nada memohon, “kami mempekerjakan ratusan orang di hotel ini, sebagian besar adalah kepala keluarga. Jika kami bangkrut, dampaknya akan menghancurkan banyak kehidupan. Tolong, bantu kami bicara dengan Tuan Paulios. Kami yakin, pasti ada kesalahpahaman yang terjadi.” Maxwin terdiam sejenak, lalu mengangguk. Ia mengeluarkan ponselnya dan mencoba menghubungi Paulios. Setelah beberapa panggilan yang tidak diangkat, akhirnya Paulios menjawab dengan nada dingin. “Ada apa, Papa?” “Paulios, ini pagi buta, dan aku punya rombongan tamu dari Estate Dationa di ruang tamu. Mereka ingin tahu alasan di balik tindakanmu. Kamu harus datang ke sini untuk menjelaskannya,” ucap Maxwin, mencoba tetap tenang. Paulios terdiam beberapa saat sebelum menjawab, “Aku akan datang, tapi hanya untuk memastikan mereka tahu ini keputusan final. Jangan harap aku mengubahnya.” Maxwin menarik napas panjang. “Baiklah, aku akan menyampaikan. Tapi tolong, kendalikan emosimu saat tiba di sini.” Paulios menutup telepon tanpa menanggapi. Maxwin menatap para tamu yang menunggu dengan harapan di matanya. “Paulios akan datang. Tapi saya harus jujur, anak saya bukan tipe orang yang mudah berubah pikiran. Jika dia sudah mengambil keputusan, Anda harus mempersiapkan diri untuk syarat yang mungkin berat.” Wajah para petinggi Estate Dationa semakin tegang. Mereka saling berpandangan, mencoba menenangkan diri, tapi ketakutan tak bisa disembunyikan. Suasana semakin memanas. Para tamu mulai merasa gelisah, beberapa dari mereka saling berbisik, mencoba menebak apa yang akan terjadi selanjutnya. “Kalau Tuan Muda itu benar-benar tidak mau memberi toleransi, kita habis,” bisik salah satu manajer. “Tapi kenapa? Apa yang sebenarnya kita lakukan sampai dia marah seperti ini?” timpal yang lain. Pemilik Estate Dationa hanya bisa menatap kosong, mencoba menyusun kata-kata jika Paulios benar-benar tidak memberi solusi. Setelah menunggu sekitar 20 menit, pintu ruang tamu akhirnya terbuka lagi, dan suara langkah berat terdengar menggema. Semua kepala menoleh bersamaan. Paulios masuk dengan ekspresi tak terbaca, tatapannya lurus ke depan, penuh wibawa. Maxwin berdiri, menyambutnya. “Paulios, mereka sudah menunggu penjelasan darimu.” Paulios menatap Maxwin sekilas, lalu memindahkan pandangannya ke rombongan Estate Dationa. Tanpa basa-basi, ia berkata dengan suara dingin, “Sampaikan alasan kalian dengan cepat. Waktuku tidak banyak, dan keputusan sudah dibuat.” Semua orang di ruangan terdiam. Ketegangan semakin terasa. Apa yang akan Paulios lakukan selanjutnya? Akankah ada titik terang bagi Estate Dationa, atau ini menjadi akhir dari segalanya?Ruangan rapat yang megah itu kini terasa sesak oleh ketegangan. Beberapa jajaran manajemen Estate Dationa duduk dengan gelisah, sementara Tuan Gerald, pemilik hotel itu, berusaha mempertahankan ketenangannya di hadapan pria yang kini menjadi penentu nasib bisnisnya—Paulios Estern Welington. Dengan suara penuh kehati-hatian, Tuan Gerald mencoba bernegosiasi. "Tuan Muda Welington," ucapnya dengan nada hormat. "Keputusan ini terlalu mendadak dan mengejutkan. Kami selalu menjaga profesionalitas dalam menjalankan bisnis kami, dan saya yakin Estate Dationa telah memberikan kontribusi yang baik bagi Amara Group." Beberapa manajer mengangguk setuju, bahkan ada yang memberanikan diri menambahkan, "Kami tidak pernah melakukan kesalahan fatal yang merugikan perusahaan Anda. Mohon pertimbangkan lagi keputusan ini." Paulios yang sejak tadi duduk dengan tenang, akhirnya bergerak. Ia menegakkan punggungnya, kedua tangannya bertaut d
Tatiana melangkah dengan anggun memasuki lobi hotel mewah tempat mantannya bekerja sebagai General Manager. Sepasang high heels berwarna nude beradu dengan lantai marmer, mengeluarkan suara ketukan halus yang menggema di ruangan besar itu. Aroma lavender bercampur citrus dari parfum mahalnya menyebar di udara, meninggalkan jejak kehadirannya di setiap sudut yang ia lewati.Matanya menelusuri interior hotel yang begitu megah. Lampu kristal menggantung di langit-langit tinggi, memantulkan kilauan cahaya ke dinding kaca yang elegan. Para staf hotel yang berpakaian rapi menyambut tamu dengan senyum sopan, tetapi tak satu pun yang berani menatapnya terlalu lama. Ada aura percaya diri dalam setiap langkah Tatiana, seolah ia adalah ratu yang baru saja tiba di istananya.Namun, bukan kemewahan tempat ini yang menarik perhatiannya.Di lantai atas, berdiri sosok yang selama ini selalu ada di dalam pikirannya.Victor Helmis.Tatiana berhenti se
Tatiana De Luca duduk di tepi tempat tidurnya, memeluk bantal sambil menatap kosong gaun pengantin yang menggantung di depan lemari. Gaun putih itu, yang dulu ia idam-idamkan, kini terasa seperti penghinaan terhadap dirinya sendiri. Rasanya, hanya dengan menatapnya saja, hatinya seperti dipermainkan.Seharusnya, hari ini akan jadi terindah di hidup Tatiana, tetapi semua itu musnah begitu saja!Suara Victor, mantan calon suaminya, beberapa jam lalu dari balik telepon masih terngiang-ngiang di kepalanya."Tatiana, aku tidak bisa melanjutkan ini. Aku... aku mencintai wanita lain. Dan dia sedang mengandung anakku."Air mata mengalir tanpa henti di wajahnya. Segala rencana indah, mimpi menjadi pengantin cantik, serta pesta mewah yang ia banggakan di depan teman-temannya kini terasa hancur berkeping-keping. Tinggal menghitung jam saja pernikahan impian itu terjadi, tetapi pengantin pria justru pergi begitu saja.Pintu kamarnya diketuk. Alexander De Luca, ayah Tatiana yang dikenal tegas dan
Ketika pesta selesai dan ia harus diantar oleh sang ayah ke "rumah baru"-nya bersama Paulios Theodore, Tatiana merasa semua kebahagiaan telah direnggut darinya. Di dalam mobil, ia melipat tangan di dada, wajahnya penuh amarah.Begitu mobil memasuki sebuah lingkungan yang sempit, dengan rumah-rumah berdempetan dan jalanan yang tidak mulus, Tatiana memutar mata dengan penuh penghinaan."Apa ini?" tanya Tatiana, suaranya tajam seperti pisau. "Apakah dia tinggal di lingkungan ayam? Rumah-rumah ini begitu dekat satu sama lain. Tidak ada privasi sama sekali!"Paulios yang duduk di sebelahnya menatapnya dengan tenang, meskipun matanya menunjukkan ketegasan. "Lingkungan ini mungkin tidak mewah, tapi orang-orangnya bekerja keras dan hidup dengan adab. Sesuatu yang lebih bernilai dibandingkan harta."Tatiana mendengus keras, menatap Paulios dengan sinis. "Adab? Kau pikir adab bisa membayar tagihan? Bisa memberiku kenyamanan? Aku menikah bukan untuk hidup seperti ini."Paulios menatap Tatiana de
Tatiana terbangun oleh suara ayam berkokok. Suara itu membuatnya meringis, tak biasa dengan suasana desa yang penuh dengan kebisingan alam. Ia menggeliat malas di tempat tidur kecil yang sama sekali tak nyaman menurut standarnya. Di sisi lain kamar, ia melihat Paulios sedang mengancingkan kemeja kerja yang sudah agak kusut.Paulios berdiri di depan cermin kecil di sudut ruangan, memperbaiki penampilannya. Tatiana mendengus kecil, suaranya cukup keras untuk menarik perhatian Paulios. "Wow, seragam murah itu benar-benar cocok sama hidup kamu," katanya sambil melipat tangan di dada.Paulios menoleh sekilas, tak terprovokasi. Ia membalasnya dengan nada dingin, tetapi penuh ironi."Terima kasih atas perhatianmu, Nona De Luca," Tatiana memutar mata. "Aku heran kenapa Papa memaksaku menikahi kamu. Jelas-jelas hidup kamu bahkan gak memenuhi standar minimal aku."Paulios tersenyum kecil, tapi senyumnya tajam. "Mungkin karena beliau tahu kamu butuh seseorang yang bisa mengajarkanmu arti kehidup
Tatiana berdiri di depan mesin ATM, jarinya gemetar saat menekan nomor PIN. Namun, layar yang muncul hanya bertuliskan "Rekening Anda Diblokir". Wajahnya berubah memerah, napasnya terasa sesak. "Bagaimana bisa?!" ia mengumpat keras, menarik rambutnya dengan frustrasi. "Papa bodoh itu… Kenapa aku harus hidup seperti ini?!" Sejak ayahnya memblokir rekeningnya karena dianggap terlalu boros, hidup Tatiana berubah drastis. Tidak ada lagi belanja di butik-butik mewah atau makan di restoran mahal. Semua yang ia anggap biasa, kini hilang begitu saja. Tak hanya itu, kartu kreditnya juga dibekukan. Namun Tatiana tak pernah menyerah begitu saja. Dia tidak akan membiarkan hidupnya jatuh ke tangan takdir. Dengan wajah dingin, ia menatap koleksi perhiasannya yang tergeletak di meja rias. Sebuah kalung berlian yang ia pakai setiap hari. Sebuah cincin dengan batu rubi merah yang selalu membuatnya merasa berkelas. Satu per satu, ia mulai menjualnya. Tak cukup hanya itu, saat semua orang di rumah t
Tatiana melangkah dengan anggun memasuki lobi hotel mewah tempat mantannya bekerja sebagai General Manager. Sepasang high heels berwarna nude beradu dengan lantai marmer, mengeluarkan suara ketukan halus yang menggema di ruangan besar itu. Aroma lavender bercampur citrus dari parfum mahalnya menyebar di udara, meninggalkan jejak kehadirannya di setiap sudut yang ia lewati.Matanya menelusuri interior hotel yang begitu megah. Lampu kristal menggantung di langit-langit tinggi, memantulkan kilauan cahaya ke dinding kaca yang elegan. Para staf hotel yang berpakaian rapi menyambut tamu dengan senyum sopan, tetapi tak satu pun yang berani menatapnya terlalu lama. Ada aura percaya diri dalam setiap langkah Tatiana, seolah ia adalah ratu yang baru saja tiba di istananya.Namun, bukan kemewahan tempat ini yang menarik perhatiannya.Di lantai atas, berdiri sosok yang selama ini selalu ada di dalam pikirannya.Victor Helmis.Tatiana berhenti se
Ruangan rapat yang megah itu kini terasa sesak oleh ketegangan. Beberapa jajaran manajemen Estate Dationa duduk dengan gelisah, sementara Tuan Gerald, pemilik hotel itu, berusaha mempertahankan ketenangannya di hadapan pria yang kini menjadi penentu nasib bisnisnya—Paulios Estern Welington. Dengan suara penuh kehati-hatian, Tuan Gerald mencoba bernegosiasi. "Tuan Muda Welington," ucapnya dengan nada hormat. "Keputusan ini terlalu mendadak dan mengejutkan. Kami selalu menjaga profesionalitas dalam menjalankan bisnis kami, dan saya yakin Estate Dationa telah memberikan kontribusi yang baik bagi Amara Group." Beberapa manajer mengangguk setuju, bahkan ada yang memberanikan diri menambahkan, "Kami tidak pernah melakukan kesalahan fatal yang merugikan perusahaan Anda. Mohon pertimbangkan lagi keputusan ini." Paulios yang sejak tadi duduk dengan tenang, akhirnya bergerak. Ia menegakkan punggungnya, kedua tangannya bertaut d
Mobil hitam mewah itu melaju cepat memasuki halaman rumah besar milik Paulios. Sesampainya di dalam, ia keluar dengan langkah tegas, wajahnya yang biasanya tenang kini dipenuhi amarah yang memancar. Azmir, yang melihat kondisi Paulios seperti itu, langsung merasakan ketegangan yang mendalam. Ia tahu, jika Paulios sudah begitu, berarti ada sesuatu yang besar. “Tuanku, ada apa? Kenapa wajah Anda terlihat begitu marah?” tanya Azmir dengan hati-hati, masih memerhatikan setiap gerakan Paulios. “Panggil papaku sekarang,” jawab Paulios dengan nada dingin yang menyiratkan kemarahan yang membara. Azmir yang sedikit ketakutan langsung mengangguk, tanpa banyak tanya, ia bergegas menuju ruang utama dan menghubungi Tuan Maxwin. Tak lama, Tuan Maxwin, yang masih menguap lelah, terlihat memasuki ruang rapat. Ia sudah bisa menebak bahwa ada sesuatu yang serius terjadi, mengingat jam yang sudah sangat larut. “Panggil aku tengah malam, ada a
Tatiana berdiri di depan mesin ATM, jarinya gemetar saat menekan nomor PIN. Namun, layar yang muncul hanya bertuliskan "Rekening Anda Diblokir". Wajahnya berubah memerah, napasnya terasa sesak. "Bagaimana bisa?!" ia mengumpat keras, menarik rambutnya dengan frustrasi. "Papa bodoh itu… Kenapa aku harus hidup seperti ini?!" Sejak ayahnya memblokir rekeningnya karena dianggap terlalu boros, hidup Tatiana berubah drastis. Tidak ada lagi belanja di butik-butik mewah atau makan di restoran mahal. Semua yang ia anggap biasa, kini hilang begitu saja. Tak hanya itu, kartu kreditnya juga dibekukan. Namun Tatiana tak pernah menyerah begitu saja. Dia tidak akan membiarkan hidupnya jatuh ke tangan takdir. Dengan wajah dingin, ia menatap koleksi perhiasannya yang tergeletak di meja rias. Sebuah kalung berlian yang ia pakai setiap hari. Sebuah cincin dengan batu rubi merah yang selalu membuatnya merasa berkelas. Satu per satu, ia mulai menjualnya. Tak cukup hanya itu, saat semua orang di rumah t
Tatiana terbangun oleh suara ayam berkokok. Suara itu membuatnya meringis, tak biasa dengan suasana desa yang penuh dengan kebisingan alam. Ia menggeliat malas di tempat tidur kecil yang sama sekali tak nyaman menurut standarnya. Di sisi lain kamar, ia melihat Paulios sedang mengancingkan kemeja kerja yang sudah agak kusut.Paulios berdiri di depan cermin kecil di sudut ruangan, memperbaiki penampilannya. Tatiana mendengus kecil, suaranya cukup keras untuk menarik perhatian Paulios. "Wow, seragam murah itu benar-benar cocok sama hidup kamu," katanya sambil melipat tangan di dada.Paulios menoleh sekilas, tak terprovokasi. Ia membalasnya dengan nada dingin, tetapi penuh ironi."Terima kasih atas perhatianmu, Nona De Luca," Tatiana memutar mata. "Aku heran kenapa Papa memaksaku menikahi kamu. Jelas-jelas hidup kamu bahkan gak memenuhi standar minimal aku."Paulios tersenyum kecil, tapi senyumnya tajam. "Mungkin karena beliau tahu kamu butuh seseorang yang bisa mengajarkanmu arti kehidup
Ketika pesta selesai dan ia harus diantar oleh sang ayah ke "rumah baru"-nya bersama Paulios Theodore, Tatiana merasa semua kebahagiaan telah direnggut darinya. Di dalam mobil, ia melipat tangan di dada, wajahnya penuh amarah.Begitu mobil memasuki sebuah lingkungan yang sempit, dengan rumah-rumah berdempetan dan jalanan yang tidak mulus, Tatiana memutar mata dengan penuh penghinaan."Apa ini?" tanya Tatiana, suaranya tajam seperti pisau. "Apakah dia tinggal di lingkungan ayam? Rumah-rumah ini begitu dekat satu sama lain. Tidak ada privasi sama sekali!"Paulios yang duduk di sebelahnya menatapnya dengan tenang, meskipun matanya menunjukkan ketegasan. "Lingkungan ini mungkin tidak mewah, tapi orang-orangnya bekerja keras dan hidup dengan adab. Sesuatu yang lebih bernilai dibandingkan harta."Tatiana mendengus keras, menatap Paulios dengan sinis. "Adab? Kau pikir adab bisa membayar tagihan? Bisa memberiku kenyamanan? Aku menikah bukan untuk hidup seperti ini."Paulios menatap Tatiana de
Tatiana De Luca duduk di tepi tempat tidurnya, memeluk bantal sambil menatap kosong gaun pengantin yang menggantung di depan lemari. Gaun putih itu, yang dulu ia idam-idamkan, kini terasa seperti penghinaan terhadap dirinya sendiri. Rasanya, hanya dengan menatapnya saja, hatinya seperti dipermainkan.Seharusnya, hari ini akan jadi terindah di hidup Tatiana, tetapi semua itu musnah begitu saja!Suara Victor, mantan calon suaminya, beberapa jam lalu dari balik telepon masih terngiang-ngiang di kepalanya."Tatiana, aku tidak bisa melanjutkan ini. Aku... aku mencintai wanita lain. Dan dia sedang mengandung anakku."Air mata mengalir tanpa henti di wajahnya. Segala rencana indah, mimpi menjadi pengantin cantik, serta pesta mewah yang ia banggakan di depan teman-temannya kini terasa hancur berkeping-keping. Tinggal menghitung jam saja pernikahan impian itu terjadi, tetapi pengantin pria justru pergi begitu saja.Pintu kamarnya diketuk. Alexander De Luca, ayah Tatiana yang dikenal tegas dan