Tatiana berdiri di depan mesin ATM, jarinya gemetar saat menekan nomor PIN. Namun, layar yang muncul hanya bertuliskan "Rekening Anda Diblokir". Wajahnya berubah memerah, napasnya terasa sesak. "Bagaimana bisa?!" ia mengumpat keras, menarik rambutnya dengan frustrasi. "Papa bodoh itu… Kenapa aku harus hidup seperti ini?!"
Sejak ayahnya memblokir rekeningnya karena dianggap terlalu boros, hidup Tatiana berubah drastis. Tidak ada lagi belanja di butik-butik mewah atau makan di restoran mahal. Semua yang ia anggap biasa, kini hilang begitu saja. Tak hanya itu, kartu kreditnya juga dibekukan. Namun Tatiana tak pernah menyerah begitu saja. Dia tidak akan membiarkan hidupnya jatuh ke tangan takdir. Dengan wajah dingin, ia menatap koleksi perhiasannya yang tergeletak di meja rias. Sebuah kalung berlian yang ia pakai setiap hari. Sebuah cincin dengan batu rubi merah yang selalu membuatnya merasa berkelas. Satu per satu, ia mulai menjualnya. Tak cukup hanya itu, saat semua orang di rumah terlelap, Tatiana memutuskan untuk menyusup ke kamar ibu mertuanya. Dengan gerakan hati-hati, ia mengambil cincin berlian milik ibu mertuanya. Ini satu-satunya cara agar ia bisa kembali ke kehidupan lamanya. Setelah mendapatkan uang yang cukup, Tatiana langsung menuju pusat perbelanjaan. Pakaian mewah, sepatu berkilau, dan tas desainer—semua yang ia perlukan untuk kembali merasa seperti dirinya yang dulu. Setelah itu, malamnya ditutup dengan kegembiraan di klub malam elit tempat teman-temannya biasa berkumpul. Wajah Tatiana yang semula suram kini penuh senyuman, meski di dalam hatinya ia masih merasa cemas. "Senang akhirnya bisa kembali ke sini," Tatiana berkata dengan penuh kepercayaan diri, meski sebenarnya ia tengah menyembunyikan kegelisahan yang menggerogoti dirinya. Teman-temannya yang terkesan dengan penampilannya tak henti-hentinya memujinya. "Wow, Tania, kamu makin cantik aja! Lihat nih, tas barunya, sepatu barunya, bener-bener luar biasa!" salah satu teman perempuan memuji dengan semangat. Tatiana tersenyum bangga, berusaha mengesampingkan kekhawatiran di hatinya. "Terima kasih, semua ini baru saja aku beli. Harus tetap tampil sempurna, kan?" Namun, teman-temannya masih penasaran, ada satu pertanyaan yang menggantung di udara. "Jadi, suami kamu kerja apa, Tania? Dengar-dengar dia itu pengusaha kaya, ya?" Tanya salah satu temannya, mencoba mencari tahu lebih jauh. Tatiana hampir terlontar kebohongan dengan cepat. "Oh, ya. Suamiku itu pengusaha tambang terkenal. Banyak sekali proyeknya, dan dia benar-benar sukses," jawabnya, berusaha untuk terdengar percaya diri, meski hatinya berdebar kencang. Namun, sebelum teman-temannya sempat memberi reaksi, sebuah suara datang dari belakang mereka. "Oh, pengusaha tambang? Lucu banget, Tania," suara itu mengganggu ketenangannya. Tatiana menoleh dengan gelisah. Gadis itu adalah Kaila Geraldin, musuh bebuyutannya. Kaila tersenyum sinis, pura-pura tidak mendengar apa yang Tatiana katakan sebelumnya. "Hah, jadi suamimu itu pengusaha tambang? Lucu ya, karena yang saya dengar dia itu bekerja di housekeeping hotel yang gajinya setara sama makanku sehari. Itu informasi yang saya dapat dari pelayan rumah kamu sendiri," sindir Kaila, suaranya tajam dan penuh ironi. Tatiana merasa wajahnya memanas, tubuhnya kaku. Semua senyum dan kebohongannya tiba-tiba terasa seperti racun yang merasuki dirinya. "Kail... Kalian pasti salah dengar," Tatiana mencoba menjelaskan, tapi suaranya terputus, hampir tak terdengar. Teman-temannya yang tadinya terpesona kini terlihat ragu, menatap Tatiana dengan penuh tanda tanya. "Apa yang sebenarnya terjadi, Tania? Kok bisa kamu menikahi seorang staf hotel miskin gitu?" tanya salah satu dari mereka, suaranya dipenuhi rasa penasaran yang sudah berubah jadi keraguan. Tatiana terdiam, wajahnya semakin memerah. Ia merasa hancur. Semua yang ia banggakan kini berbalik menyerangnya. "Aku… aku rasa kalian salah informasi. Suamiku memang pengusaha, kalian salah dengar!" jawabnya, tapi suaranya tidak cukup meyakinkan. Melihat Tatiana yang semakin terpojok, teman-temannya mulai tertawa mengejek. Mereka semua tahu bahwa kebohongan itu akhirnya terungkap. Tatiana hanya bisa diam, merasa tak berdaya, terjebak dalam kebohongan-kebohongan yang telah ia buat sendiri. "Sialan!" Tatiana berbisik pelan, tapi tidak ada yang mendengarnya. Wajahnya sudah penuh dengan rasa malu yang tak tertahankan. Teman-temannya mulai saling berbisik, mengolok-olok dirinya tanpa rasa empati. Tatiana merasa dunia sekitarnya berputar, tidak ada lagi yang bisa ia lakukan. "Aku pergi," kata Tatiana, suaranya pecah. Tanpa memberi kesempatan kepada siapapun untuk merespon, ia berdiri dan melangkah keluar dari klub dengan langkah terburu-buru, hatinya dihantui rasa malu yang mendalam. Ia melangkah cepat, tidak peduli dengan tatapan orang-orang yang melihatnya. "Kenapa aku harus hidup seperti ini?" Tatiana bergumam, matanya mulai berkaca-kaca. Dunia yang ia bangun sendiri kini runtuh, dan tidak ada yang bisa ia lakukan untuk memperbaikinya. --- Tatiana berjalan tergesa-gesa, napasnya tersengal, seperti dunia telah runtuh di atasnya. Setibanya di rumah, ia langsung menuju kamar dan membanting pintu dengan keras, tak peduli apakah ada yang mendengar. Begitu pintu tertutup, ia terjatuh ke lantai, tangisnya pecah tanpa bisa ditahan. Air matanya mengalir deras, seperti sebuah bendungan yang akhirnya jebol. Tatiana menangis sejadi-jadinya, perasaan malu dan marah bercampur jadi satu. Ponselnya yang sebelumnya ia pegang, kini tergeletak di sampingnya, layar yang memantulkan pesan-pesan yang semakin memperburuk suasana hatinya. “Tania, masa sih kamu nikah sama staf hotel?” “Wah, bener ya kata Kaila, itu cowok cuma kerja di housekeeping, nggak layak buat kamu, Tania!” Pesan-pesan itu terus menghantui benaknya. Teman-temannya mulai mencibir dan menertawakan dirinya di grup chat, bahkan tanpa rasa belas kasihan. Tatiana merasa seperti semua yang ia banggakan selama ini runtuh dalam sekejap. "Bodoh! Kenapa aku bodoh banget sampai bisa menikah dengan orang seperti Paulios!" Tatiana berteriak, marah pada dirinya sendiri. Ia melihat ponselnya dan langsung melemparnya dengan penuh kebencian. Ponsel itu terlempar jauh ke dinding, pecah berkeping-keping. Suara pecahan itu terdengar jelas, tetapi hatinya malah terasa semakin kosong. Tatiana terus menangis, menyalahkan Paulios atas semua rasa malu yang ia alami. "Jika dia bukan staf hotel, mungkin aku tidak akan dipermalukan seperti ini!" Tatiana terisak, menyalahkan suaminya yang selama ini ia anggap tak lebih dari seorang laki-laki biasa. "Kenapa hidupku jadi begini? Kalau saja dia pengusaha seperti yang aku inginkan, aku pasti tak akan dihina seperti ini!" Saat itu, Paulios baru saja pulang kerja, tubuhnya tampak lelah. Begitu memasuki rumah, ibunya langsung memberitahunya dengan khawatir, "Tatiana tadi pulang dalam keadaan menangis, Nak. Tapi, aku nggak tahu kenapa." Paulios hanya mengangguk, meskipun raut wajahnya tetap tenang. "Aku akan coba bicara padanya." Ia berjalan ke kamar Tatiana dan mengetuk pintu perlahan. "Tatiana, bisa aku masuk?" suaranya tetap tenang, tapi ada keraguan dalam hatinya. Tatiana yang sudah terbaring di tempat tidur dengan wajah tertutup bantal, tak menjawab. Paulios membuka pintu perlahan dan masuk. Tatiana mengangkat wajahnya, matanya merah karena menangis. "Apa yang kamu mau, Paulios?" suaranya terdengar serak, penuh kebencian. Paulios duduk di tepi tempat tidur, mencoba untuk tidak terlalu mendekat. "Kenapa kamu menangis, Tatiana? Apa yang terjadi?" tanyanya pelan. Tatiana mengangkat wajahnya, melotot dengan kemarahan yang sudah memuncak. "Kamu tanya apa yang terjadi? Kau benar-benar tidak tahu apa yang terjadi padaku, ya? Teman-teman elitku itu, mereka mengolok-olokku! Kaila Geraldin, anak pemilik hotel Estate Dationa, dia bilang kalau aku menikah sama staf hotel miskin! Kamu tahu itu?!!" Tatiana meluapkan segala kemarahannya, tubuhnya bergetar karena emosi. "Kamu itu staf hotel, Paulios! Kalau saja kamu pengusaha kaya, aku nggak akan dipermalukan seperti ini. Aku jadi bahan tertawaan di depan teman-temanku!" air matanya mulai mengalir lagi, meskipun ia mencoba menahannya. Paulios hanya terdiam sesaat, menatap Tatiana dengan wajah serius namun sabar. "Hidup itu penuh dinamika, Tatiana. Ada kalanya kita di atas, dan ada kalanya kita di bawah. Teman-temanmu mungkin sedang di atas sekarang, tapi itu tidak akan selamanya. Hidup itu berputar, dan kamu harus siap untuk segala kemungkinan." Tatiana mendengus, tapi tidak berkata apa-apa. Paulios melanjutkan dengan lebih tegas. "Jangan terlalu malu. Kamu yang ada di bawah sekarang, tapi kalau kamu bisa mendukung aku, mungkin nanti kita akan ada di atas bersama-sama." Namun, Tatiana justru semakin marah dan menolak mendengarkan. "Aku tidak mau dengar! Aku tidak ingin hidup seperti ini! Kamu hanya suami staf hotel yang nggak punya apa-apa! Pergi dari sini, Paulios!" Tatiana berteriak, memintanya untuk keluar. Paulios hanya bisa menahan napas dan mengangguk pelan, meski hatinya merasa sakit mendengar kata-kata Tatiana. Ia tahu bahwa istrinya sedang terluka, tetapi ia tidak bisa memaksa jika Tatiana menolak untuk mendengarkan. Tatiana mengunci dirinya di dalam kamar selama tiga hari penuh. Ia bahkan tidak mau keluar untuk makan, terlalu malu dan terlalu kecewa. Kata-kata ejekan teman-temannya terus bergema di pikirannya, membuatnya semakin terpuruk. Paulios yang melihat istrinya seperti itu berusaha membujuknya untuk makan, tetapi Tatiana hanya diam, tak mengindahkan usahanya. "Kenapa kamu tidak mau makan, Tatiana? Kamu harus makan supaya tubuhmu kuat," kata Paulios, mencoba berbicara lembut, meskipun jelas ada perasaan terluka di hati. Tatiana hanya menatapnya dengan tatapan kosong. "Aku tidak bisa keluar. Aku terlalu malu," jawabnya pelan, hampir tak terdengar. ___ Melihat istrinya yang semakin terpuruk, Paulios merasa cemas. Ia mungkin bukan orang yang bisa mengubah perasaan Tatiana dalam semalam, tetapi ia tetap merasa sedikit kasih sayang. Paulios pun akhirnya memutuskan untuk menelepon Azmir diam-diam "Azmir, aku butuh bantuanmu. Jemput aku tengah malam, kirimkan orang untuk menjemputku. Ada yang perlu aku lakukan," kata Paulios, suaranya lebih serius daripada biasanya. Azmir di ujung telepon terdengar penasaran. "Ada apa, Tuanku Paulios? Kenapa tiba-tiba ingin pergi?" "Jangan tanya dulu. Aku akan jelaskan nanti. Jemput aku sekarang," Paulios meminta tegas, merasa tak sabar untuk melakukan sesuatu yang mungkin bisa membantu situasi ini.Mobil hitam mewah itu melaju cepat memasuki halaman rumah besar milik Paulios. Sesampainya di dalam, ia keluar dengan langkah tegas, wajahnya yang biasanya tenang kini dipenuhi amarah yang memancar. Azmir, yang melihat kondisi Paulios seperti itu, langsung merasakan ketegangan yang mendalam. Ia tahu, jika Paulios sudah begitu, berarti ada sesuatu yang besar. “Tuanku, ada apa? Kenapa wajah Anda terlihat begitu marah?” tanya Azmir dengan hati-hati, masih memerhatikan setiap gerakan Paulios. “Panggil papaku sekarang,” jawab Paulios dengan nada dingin yang menyiratkan kemarahan yang membara. Azmir yang sedikit ketakutan langsung mengangguk, tanpa banyak tanya, ia bergegas menuju ruang utama dan menghubungi Tuan Maxwin. Tak lama, Tuan Maxwin, yang masih menguap lelah, terlihat memasuki ruang rapat. Ia sudah bisa menebak bahwa ada sesuatu yang serius terjadi, mengingat jam yang sudah sangat larut. “Panggil aku tengah malam, ada a
Ruangan rapat yang megah itu kini terasa sesak oleh ketegangan. Beberapa jajaran manajemen Estate Dationa duduk dengan gelisah, sementara Tuan Gerald, pemilik hotel itu, berusaha mempertahankan ketenangannya di hadapan pria yang kini menjadi penentu nasib bisnisnya—Paulios Estern Welington. Dengan suara penuh kehati-hatian, Tuan Gerald mencoba bernegosiasi. "Tuan Muda Welington," ucapnya dengan nada hormat. "Keputusan ini terlalu mendadak dan mengejutkan. Kami selalu menjaga profesionalitas dalam menjalankan bisnis kami, dan saya yakin Estate Dationa telah memberikan kontribusi yang baik bagi Amara Group." Beberapa manajer mengangguk setuju, bahkan ada yang memberanikan diri menambahkan, "Kami tidak pernah melakukan kesalahan fatal yang merugikan perusahaan Anda. Mohon pertimbangkan lagi keputusan ini." Paulios yang sejak tadi duduk dengan tenang, akhirnya bergerak. Ia menegakkan punggungnya, kedua tangannya bertaut d
Tatiana melangkah dengan anggun memasuki lobi hotel mewah tempat mantannya bekerja sebagai General Manager. Sepasang high heels berwarna nude beradu dengan lantai marmer, mengeluarkan suara ketukan halus yang menggema di ruangan besar itu. Aroma lavender bercampur citrus dari parfum mahalnya menyebar di udara, meninggalkan jejak kehadirannya di setiap sudut yang ia lewati.Matanya menelusuri interior hotel yang begitu megah. Lampu kristal menggantung di langit-langit tinggi, memantulkan kilauan cahaya ke dinding kaca yang elegan. Para staf hotel yang berpakaian rapi menyambut tamu dengan senyum sopan, tetapi tak satu pun yang berani menatapnya terlalu lama. Ada aura percaya diri dalam setiap langkah Tatiana, seolah ia adalah ratu yang baru saja tiba di istananya.Namun, bukan kemewahan tempat ini yang menarik perhatiannya.Di lantai atas, berdiri sosok yang selama ini selalu ada di dalam pikirannya.Victor Helmis.Tatiana berhenti se
Tatiana De Luca duduk di tepi tempat tidurnya, memeluk bantal sambil menatap kosong gaun pengantin yang menggantung di depan lemari. Gaun putih itu, yang dulu ia idam-idamkan, kini terasa seperti penghinaan terhadap dirinya sendiri. Rasanya, hanya dengan menatapnya saja, hatinya seperti dipermainkan.Seharusnya, hari ini akan jadi terindah di hidup Tatiana, tetapi semua itu musnah begitu saja!Suara Victor, mantan calon suaminya, beberapa jam lalu dari balik telepon masih terngiang-ngiang di kepalanya."Tatiana, aku tidak bisa melanjutkan ini. Aku... aku mencintai wanita lain. Dan dia sedang mengandung anakku."Air mata mengalir tanpa henti di wajahnya. Segala rencana indah, mimpi menjadi pengantin cantik, serta pesta mewah yang ia banggakan di depan teman-temannya kini terasa hancur berkeping-keping. Tinggal menghitung jam saja pernikahan impian itu terjadi, tetapi pengantin pria justru pergi begitu saja.Pintu kamarnya diketuk. Alexander De Luca, ayah Tatiana yang dikenal tegas dan
Ketika pesta selesai dan ia harus diantar oleh sang ayah ke "rumah baru"-nya bersama Paulios Theodore, Tatiana merasa semua kebahagiaan telah direnggut darinya. Di dalam mobil, ia melipat tangan di dada, wajahnya penuh amarah.Begitu mobil memasuki sebuah lingkungan yang sempit, dengan rumah-rumah berdempetan dan jalanan yang tidak mulus, Tatiana memutar mata dengan penuh penghinaan."Apa ini?" tanya Tatiana, suaranya tajam seperti pisau. "Apakah dia tinggal di lingkungan ayam? Rumah-rumah ini begitu dekat satu sama lain. Tidak ada privasi sama sekali!"Paulios yang duduk di sebelahnya menatapnya dengan tenang, meskipun matanya menunjukkan ketegasan. "Lingkungan ini mungkin tidak mewah, tapi orang-orangnya bekerja keras dan hidup dengan adab. Sesuatu yang lebih bernilai dibandingkan harta."Tatiana mendengus keras, menatap Paulios dengan sinis. "Adab? Kau pikir adab bisa membayar tagihan? Bisa memberiku kenyamanan? Aku menikah bukan untuk hidup seperti ini."Paulios menatap Tatiana de
Tatiana terbangun oleh suara ayam berkokok. Suara itu membuatnya meringis, tak biasa dengan suasana desa yang penuh dengan kebisingan alam. Ia menggeliat malas di tempat tidur kecil yang sama sekali tak nyaman menurut standarnya. Di sisi lain kamar, ia melihat Paulios sedang mengancingkan kemeja kerja yang sudah agak kusut.Paulios berdiri di depan cermin kecil di sudut ruangan, memperbaiki penampilannya. Tatiana mendengus kecil, suaranya cukup keras untuk menarik perhatian Paulios. "Wow, seragam murah itu benar-benar cocok sama hidup kamu," katanya sambil melipat tangan di dada.Paulios menoleh sekilas, tak terprovokasi. Ia membalasnya dengan nada dingin, tetapi penuh ironi."Terima kasih atas perhatianmu, Nona De Luca," Tatiana memutar mata. "Aku heran kenapa Papa memaksaku menikahi kamu. Jelas-jelas hidup kamu bahkan gak memenuhi standar minimal aku."Paulios tersenyum kecil, tapi senyumnya tajam. "Mungkin karena beliau tahu kamu butuh seseorang yang bisa mengajarkanmu arti kehidup
Tatiana melangkah dengan anggun memasuki lobi hotel mewah tempat mantannya bekerja sebagai General Manager. Sepasang high heels berwarna nude beradu dengan lantai marmer, mengeluarkan suara ketukan halus yang menggema di ruangan besar itu. Aroma lavender bercampur citrus dari parfum mahalnya menyebar di udara, meninggalkan jejak kehadirannya di setiap sudut yang ia lewati.Matanya menelusuri interior hotel yang begitu megah. Lampu kristal menggantung di langit-langit tinggi, memantulkan kilauan cahaya ke dinding kaca yang elegan. Para staf hotel yang berpakaian rapi menyambut tamu dengan senyum sopan, tetapi tak satu pun yang berani menatapnya terlalu lama. Ada aura percaya diri dalam setiap langkah Tatiana, seolah ia adalah ratu yang baru saja tiba di istananya.Namun, bukan kemewahan tempat ini yang menarik perhatiannya.Di lantai atas, berdiri sosok yang selama ini selalu ada di dalam pikirannya.Victor Helmis.Tatiana berhenti se
Ruangan rapat yang megah itu kini terasa sesak oleh ketegangan. Beberapa jajaran manajemen Estate Dationa duduk dengan gelisah, sementara Tuan Gerald, pemilik hotel itu, berusaha mempertahankan ketenangannya di hadapan pria yang kini menjadi penentu nasib bisnisnya—Paulios Estern Welington. Dengan suara penuh kehati-hatian, Tuan Gerald mencoba bernegosiasi. "Tuan Muda Welington," ucapnya dengan nada hormat. "Keputusan ini terlalu mendadak dan mengejutkan. Kami selalu menjaga profesionalitas dalam menjalankan bisnis kami, dan saya yakin Estate Dationa telah memberikan kontribusi yang baik bagi Amara Group." Beberapa manajer mengangguk setuju, bahkan ada yang memberanikan diri menambahkan, "Kami tidak pernah melakukan kesalahan fatal yang merugikan perusahaan Anda. Mohon pertimbangkan lagi keputusan ini." Paulios yang sejak tadi duduk dengan tenang, akhirnya bergerak. Ia menegakkan punggungnya, kedua tangannya bertaut d
Mobil hitam mewah itu melaju cepat memasuki halaman rumah besar milik Paulios. Sesampainya di dalam, ia keluar dengan langkah tegas, wajahnya yang biasanya tenang kini dipenuhi amarah yang memancar. Azmir, yang melihat kondisi Paulios seperti itu, langsung merasakan ketegangan yang mendalam. Ia tahu, jika Paulios sudah begitu, berarti ada sesuatu yang besar. “Tuanku, ada apa? Kenapa wajah Anda terlihat begitu marah?” tanya Azmir dengan hati-hati, masih memerhatikan setiap gerakan Paulios. “Panggil papaku sekarang,” jawab Paulios dengan nada dingin yang menyiratkan kemarahan yang membara. Azmir yang sedikit ketakutan langsung mengangguk, tanpa banyak tanya, ia bergegas menuju ruang utama dan menghubungi Tuan Maxwin. Tak lama, Tuan Maxwin, yang masih menguap lelah, terlihat memasuki ruang rapat. Ia sudah bisa menebak bahwa ada sesuatu yang serius terjadi, mengingat jam yang sudah sangat larut. “Panggil aku tengah malam, ada a
Tatiana berdiri di depan mesin ATM, jarinya gemetar saat menekan nomor PIN. Namun, layar yang muncul hanya bertuliskan "Rekening Anda Diblokir". Wajahnya berubah memerah, napasnya terasa sesak. "Bagaimana bisa?!" ia mengumpat keras, menarik rambutnya dengan frustrasi. "Papa bodoh itu… Kenapa aku harus hidup seperti ini?!" Sejak ayahnya memblokir rekeningnya karena dianggap terlalu boros, hidup Tatiana berubah drastis. Tidak ada lagi belanja di butik-butik mewah atau makan di restoran mahal. Semua yang ia anggap biasa, kini hilang begitu saja. Tak hanya itu, kartu kreditnya juga dibekukan. Namun Tatiana tak pernah menyerah begitu saja. Dia tidak akan membiarkan hidupnya jatuh ke tangan takdir. Dengan wajah dingin, ia menatap koleksi perhiasannya yang tergeletak di meja rias. Sebuah kalung berlian yang ia pakai setiap hari. Sebuah cincin dengan batu rubi merah yang selalu membuatnya merasa berkelas. Satu per satu, ia mulai menjualnya. Tak cukup hanya itu, saat semua orang di rumah t
Tatiana terbangun oleh suara ayam berkokok. Suara itu membuatnya meringis, tak biasa dengan suasana desa yang penuh dengan kebisingan alam. Ia menggeliat malas di tempat tidur kecil yang sama sekali tak nyaman menurut standarnya. Di sisi lain kamar, ia melihat Paulios sedang mengancingkan kemeja kerja yang sudah agak kusut.Paulios berdiri di depan cermin kecil di sudut ruangan, memperbaiki penampilannya. Tatiana mendengus kecil, suaranya cukup keras untuk menarik perhatian Paulios. "Wow, seragam murah itu benar-benar cocok sama hidup kamu," katanya sambil melipat tangan di dada.Paulios menoleh sekilas, tak terprovokasi. Ia membalasnya dengan nada dingin, tetapi penuh ironi."Terima kasih atas perhatianmu, Nona De Luca," Tatiana memutar mata. "Aku heran kenapa Papa memaksaku menikahi kamu. Jelas-jelas hidup kamu bahkan gak memenuhi standar minimal aku."Paulios tersenyum kecil, tapi senyumnya tajam. "Mungkin karena beliau tahu kamu butuh seseorang yang bisa mengajarkanmu arti kehidup
Ketika pesta selesai dan ia harus diantar oleh sang ayah ke "rumah baru"-nya bersama Paulios Theodore, Tatiana merasa semua kebahagiaan telah direnggut darinya. Di dalam mobil, ia melipat tangan di dada, wajahnya penuh amarah.Begitu mobil memasuki sebuah lingkungan yang sempit, dengan rumah-rumah berdempetan dan jalanan yang tidak mulus, Tatiana memutar mata dengan penuh penghinaan."Apa ini?" tanya Tatiana, suaranya tajam seperti pisau. "Apakah dia tinggal di lingkungan ayam? Rumah-rumah ini begitu dekat satu sama lain. Tidak ada privasi sama sekali!"Paulios yang duduk di sebelahnya menatapnya dengan tenang, meskipun matanya menunjukkan ketegasan. "Lingkungan ini mungkin tidak mewah, tapi orang-orangnya bekerja keras dan hidup dengan adab. Sesuatu yang lebih bernilai dibandingkan harta."Tatiana mendengus keras, menatap Paulios dengan sinis. "Adab? Kau pikir adab bisa membayar tagihan? Bisa memberiku kenyamanan? Aku menikah bukan untuk hidup seperti ini."Paulios menatap Tatiana de
Tatiana De Luca duduk di tepi tempat tidurnya, memeluk bantal sambil menatap kosong gaun pengantin yang menggantung di depan lemari. Gaun putih itu, yang dulu ia idam-idamkan, kini terasa seperti penghinaan terhadap dirinya sendiri. Rasanya, hanya dengan menatapnya saja, hatinya seperti dipermainkan.Seharusnya, hari ini akan jadi terindah di hidup Tatiana, tetapi semua itu musnah begitu saja!Suara Victor, mantan calon suaminya, beberapa jam lalu dari balik telepon masih terngiang-ngiang di kepalanya."Tatiana, aku tidak bisa melanjutkan ini. Aku... aku mencintai wanita lain. Dan dia sedang mengandung anakku."Air mata mengalir tanpa henti di wajahnya. Segala rencana indah, mimpi menjadi pengantin cantik, serta pesta mewah yang ia banggakan di depan teman-temannya kini terasa hancur berkeping-keping. Tinggal menghitung jam saja pernikahan impian itu terjadi, tetapi pengantin pria justru pergi begitu saja.Pintu kamarnya diketuk. Alexander De Luca, ayah Tatiana yang dikenal tegas dan