Tatiana terbangun oleh suara ayam berkokok. Suara itu membuatnya meringis, tak biasa dengan suasana desa yang penuh dengan kebisingan alam. Ia menggeliat malas di tempat tidur kecil yang sama sekali tak nyaman menurut standarnya. Di sisi lain kamar, ia melihat Paulios sedang mengancingkan kemeja kerja yang sudah agak kusut.
Paulios berdiri di depan cermin kecil di sudut ruangan, memperbaiki penampilannya. Tatiana mendengus kecil, suaranya cukup keras untuk menarik perhatian Paulios. "Wow, seragam murah itu benar-benar cocok sama hidup kamu," katanya sambil melipat tangan di dada. Paulios menoleh sekilas, tak terprovokasi. Ia membalasnya dengan nada dingin, tetapi penuh ironi."Terima kasih atas perhatianmu, Nona De Luca," Tatiana memutar mata. "Aku heran kenapa Papa memaksaku menikahi kamu. Jelas-jelas hidup kamu bahkan gak memenuhi standar minimal aku." Paulios tersenyum kecil, tapi senyumnya tajam. "Mungkin karena beliau tahu kamu butuh seseorang yang bisa mengajarkanmu arti kehidupan." Tatiana tersentak, tetapi ia tak punya balasan cerdas. Ia hanya mendengus lagi, memalingkan wajah. Ketika Paulios mengambil tas kecilnya dan bersiap untuk pergi, Tatiana tiba-tiba berbicara. "Tunggu," katanya. "Kamu semalam ke mana?" Paulios berhenti di depan pintu, tubuhnya menegang sesaat. Tatiana menatapnya tajam, seperti menyelidiki. "Aku terbangun sekitar jam tiga karena kelaparan, dan aku baru sadar kamu gak ada di sofa. Aku pikir kamu ada di ruang tamu, tapi ternyata kamu gak ada. Jadi, ke mana kamu pergi?" Paulios dengan cepat menyembunyikan rasa gugupnya. "Aku dipanggil ke hotel," katanya tenang. "Ada masalah dengan kabel, dan mereka tahu aku punya keahlian ini, meskipun aku bukan bagian engineering." Tatiana melipat tangan, menatapnya dengan skeptis. "Kamu? Memperbaiki kabel? Bukannya itu pekerjaan kasar?" Paulios hanya mengangguk santai. "Aku tidak pilih-pilih kerjaan. Dan, aku dapat bayaran tambahan." Ia merogoh saku dan mengeluarkan selembar uang seratus ribu rupiah, lalu menyerahkannya pada Tatiana. "Ini. Untuk kebutuhan kamu selama tujuh hari." Tatiana melirik uang itu, lalu menatap Paulios dengan ekspresi penuh penghinaan. "Seratus ribu? Kamu serius? Ini mah gak cukup buat aku pesan GoFood sekali makan!" Paulios menarik napas dalam, berusaha tetap sabar. "Kalau kamu beli bahan makanan mentah, itu cukup untuk seminggu. Coba belajar masak sendiri, dan kamu akan lihat betapa hematnya hidup." Tatiana tertawa sinis, suaranya menggema di ruangan kecil itu. "Masak? Kamu mau aku masak? Aku ini De Luca, bukan pembantu!" Paulios menatapnya tajam, sorot matanya dingin dan penuh wibawa. "Kamu harus belajar hidup, Tatiana. Uangku sudah habis untuk beli hantaran pernikahan. Gajian masih delapan hari lagi. Jadi, kita harus bertahan dengan ini." Tatiana menatap uang itu lagi dengan kesal, tetapi kali ini ia tidak membalas. Ia tahu bahwa Paulios tak bercanda. Dengan kesal, ia meraih uang itu dan membantingnya ke meja. "Aku gak percaya hidupku jadi seperti ini." Paulios tak menjawab. Ia hanya mengangkat tasnya, lalu berjalan keluar rumah. Sebelum menutup pintu, ia menoleh ke arah Tatiana yang masih berdiri memandangi uang seratus ribu itu dengan wajah masam. "Hidup bukan tentang berapa banyak uang yang kamu punya, Tatiana. Tapi, bagaimana kamu bisa bertahan dengan apa yang ada," katanya tegas sebelum akhirnya pergi. Tatiana memutar matanya lagi, lalu mendesah frustrasi. "Gila. Aku menikahi seorang filsuf miskin," gumamnya, memandangi uang seratus ribu itu seolah benda itu adalah musuh terbesarnya. ___ Meja makan kecil rumah Paulios sudah tersaji dengan nasi putih hangat dan telur ceplok sederhana. Tatiana duduk dengan ekspresi masam, menatap piringnya seolah itu makanan terburuk yang pernah ia lihat. "Apa ini? Telur ceplok?" Tatiana memutar bola matanya. "Gak ada menu lain? Telur dan nasi. Aku gak bisa hidup kayak gini!" Paulios yang sedang duduk di depannya sambil menyendok nasi, mengangkat alisnya santai. "Kalau gak suka, gak usah makan." Tatiana mendengus keras. "Kamu pikir ini cukup untuk aku? Aku butuh makanan sehat. Gimana kulit aku mau glowing kalau setiap hari cuma makan ini?" Paulios menyandarkan punggungnya ke kursi, menatap Tatiana dengan datar. "Telur dan nasi gak akan berubah jadi steak atau pizza walaupun kamu terus-terusan meremehkannya, Nona De Luca. Kalau gak mau makan, ya silakan puasa." Tatiana mendelik marah, tetapi perutnya berbunyi, mengkhianati kemarahannya. Dengan wajah kesal, ia akhirnya menyendok nasi dan telur itu. "Sial banget aku harus makan ini. Hidup aku benar-benar jatuh ke dasar sejak menikah dengan kamu." Paulios menghela napas. "Aku juga sial dapat istri yang kerjanya cuma mengeluh. Kita impas." Tatiana meletakkan sendoknya keras-keras ke piring, membuat suara berdenting. "Kamu berani bilang aku beban? Kalau bukan karena Papa aku, kamu bahkan gak akan punya istri sekelas aku!" Paulios tersenyum tipis, penuh ejekan. "Kalau bukan karena aku, kamu bakal jadi bahan tertawaan di pesta pernikahanmu sendiri. Harusnya kamu bersyukur." Tatiana mengepalkan tangan, menahan diri agar tidak melempar piring ke arahnya. "Bersyukur menikah sama karyawan biasa yang gak punya apa-apa? Ini mimpi buruk, Paulios!" Paulios mengangkat bahu acuh tak acuh. "Semua orang punya mimpi buruk, Tatiana. Bedanya, aku menghadapi kenyataan, sedangkan kamu terus merajuk seperti anak kecil." Tatiana memelototinya. "Aku gak seperti kamu yang puas hidup di bawah, Paulios. Aku punya standar, ngerti?!" Paulios menatapnya tajam, nadanya tegas. "Standar kamu terlalu tinggi, Tatiana, sampai-sampai kamu lupa kalau dasar kehidupan itu adab, bukan harta. Mati pun hartamu gak akan ikut dikubur." Tatiana tersentak. Ia terdiam sejenak sebelum kembali dengan nada mengejek. "Omong kosong itu gak akan bayar perawatan wajah aku, Paulios." Paulios mengabaikan sindirannya dan melanjutkan makan dengan tenang. Setelah beberapa saat, ia berbicara dengan ibunya. "Bu, minggu depan aku pindah kerja. Hotel baru, gajinya lebih besar." Ibunya tersenyum bangga. "Ibu doakan sukses, Nak. Kamu pasti bisa." Tatiana mendengar itu dengan ekspresi penuh sindiran. "Pindah kerja? Hah, kenapa gak langsung minta jabatan aja ke Papa aku? Lebih cepat, kan?" Paulios menatapnya dingin. "Aku gak perlu belas kasihan orang tua kamu, Tatiana. Aku mau membuktikan kalau aku bisa maju dengan usaha sendiri." Tatiana tertawa kecil, sinis. "Baguslah, biar Papa aku juga gak malu punya menantu yang cuma room boy. Aku yakin teman-temannya pasti ketawa dengar itu." Paulios tersenyum tipis, tetapi kali ini ada ketenangan penuh arti di wajahnya. "Biarkan mereka tertawa, Tatiana. Hidup itu berputar. Orang yang di bawah hari ini, bisa saja ada di atas besok. Sayangnya, kamu terlalu buta untuk melihat itu." Tatiana mendengus, tetapi tidak membalas. Ia memandang telur ceplok di piringnya dengan kesal, tidak menyadari bahwa Paulios, pria yang ia hina terus-menerus, menyimpan rahasia yang jauh lebih besar dari bayangannya. Bersambung...Tatiana berdiri di depan mesin ATM, jarinya gemetar saat menekan nomor PIN. Namun, layar yang muncul hanya bertuliskan "Rekening Anda Diblokir". Wajahnya berubah memerah, napasnya terasa sesak. "Bagaimana bisa?!" ia mengumpat keras, menarik rambutnya dengan frustrasi. "Papa bodoh itu… Kenapa aku harus hidup seperti ini?!" Sejak ayahnya memblokir rekeningnya karena dianggap terlalu boros, hidup Tatiana berubah drastis. Tidak ada lagi belanja di butik-butik mewah atau makan di restoran mahal. Semua yang ia anggap biasa, kini hilang begitu saja. Tak hanya itu, kartu kreditnya juga dibekukan. Namun Tatiana tak pernah menyerah begitu saja. Dia tidak akan membiarkan hidupnya jatuh ke tangan takdir. Dengan wajah dingin, ia menatap koleksi perhiasannya yang tergeletak di meja rias. Sebuah kalung berlian yang ia pakai setiap hari. Sebuah cincin dengan batu rubi merah yang selalu membuatnya merasa berkelas. Satu per satu, ia mulai menjualnya. Tak cukup hanya itu, saat semua orang di rumah t
Mobil hitam mewah itu melaju cepat memasuki halaman rumah besar milik Paulios. Sesampainya di dalam, ia keluar dengan langkah tegas, wajahnya yang biasanya tenang kini dipenuhi amarah yang memancar. Azmir, yang melihat kondisi Paulios seperti itu, langsung merasakan ketegangan yang mendalam. Ia tahu, jika Paulios sudah begitu, berarti ada sesuatu yang besar. “Tuanku, ada apa? Kenapa wajah Anda terlihat begitu marah?” tanya Azmir dengan hati-hati, masih memerhatikan setiap gerakan Paulios. “Panggil papaku sekarang,” jawab Paulios dengan nada dingin yang menyiratkan kemarahan yang membara. Azmir yang sedikit ketakutan langsung mengangguk, tanpa banyak tanya, ia bergegas menuju ruang utama dan menghubungi Tuan Maxwin. Tak lama, Tuan Maxwin, yang masih menguap lelah, terlihat memasuki ruang rapat. Ia sudah bisa menebak bahwa ada sesuatu yang serius terjadi, mengingat jam yang sudah sangat larut. “Panggil aku tengah malam, ada a
Ruangan rapat yang megah itu kini terasa sesak oleh ketegangan. Beberapa jajaran manajemen Estate Dationa duduk dengan gelisah, sementara Tuan Gerald, pemilik hotel itu, berusaha mempertahankan ketenangannya di hadapan pria yang kini menjadi penentu nasib bisnisnya—Paulios Estern Welington. Dengan suara penuh kehati-hatian, Tuan Gerald mencoba bernegosiasi. "Tuan Muda Welington," ucapnya dengan nada hormat. "Keputusan ini terlalu mendadak dan mengejutkan. Kami selalu menjaga profesionalitas dalam menjalankan bisnis kami, dan saya yakin Estate Dationa telah memberikan kontribusi yang baik bagi Amara Group." Beberapa manajer mengangguk setuju, bahkan ada yang memberanikan diri menambahkan, "Kami tidak pernah melakukan kesalahan fatal yang merugikan perusahaan Anda. Mohon pertimbangkan lagi keputusan ini." Paulios yang sejak tadi duduk dengan tenang, akhirnya bergerak. Ia menegakkan punggungnya, kedua tangannya bertaut d
Tatiana melangkah dengan anggun memasuki lobi hotel mewah tempat mantannya bekerja sebagai General Manager. Sepasang high heels berwarna nude beradu dengan lantai marmer, mengeluarkan suara ketukan halus yang menggema di ruangan besar itu. Aroma lavender bercampur citrus dari parfum mahalnya menyebar di udara, meninggalkan jejak kehadirannya di setiap sudut yang ia lewati.Matanya menelusuri interior hotel yang begitu megah. Lampu kristal menggantung di langit-langit tinggi, memantulkan kilauan cahaya ke dinding kaca yang elegan. Para staf hotel yang berpakaian rapi menyambut tamu dengan senyum sopan, tetapi tak satu pun yang berani menatapnya terlalu lama. Ada aura percaya diri dalam setiap langkah Tatiana, seolah ia adalah ratu yang baru saja tiba di istananya.Namun, bukan kemewahan tempat ini yang menarik perhatiannya.Di lantai atas, berdiri sosok yang selama ini selalu ada di dalam pikirannya.Victor Helmis.Tatiana berhenti se
Tatiana De Luca duduk di tepi tempat tidurnya, memeluk bantal sambil menatap kosong gaun pengantin yang menggantung di depan lemari. Gaun putih itu, yang dulu ia idam-idamkan, kini terasa seperti penghinaan terhadap dirinya sendiri. Rasanya, hanya dengan menatapnya saja, hatinya seperti dipermainkan.Seharusnya, hari ini akan jadi terindah di hidup Tatiana, tetapi semua itu musnah begitu saja!Suara Victor, mantan calon suaminya, beberapa jam lalu dari balik telepon masih terngiang-ngiang di kepalanya."Tatiana, aku tidak bisa melanjutkan ini. Aku... aku mencintai wanita lain. Dan dia sedang mengandung anakku."Air mata mengalir tanpa henti di wajahnya. Segala rencana indah, mimpi menjadi pengantin cantik, serta pesta mewah yang ia banggakan di depan teman-temannya kini terasa hancur berkeping-keping. Tinggal menghitung jam saja pernikahan impian itu terjadi, tetapi pengantin pria justru pergi begitu saja.Pintu kamarnya diketuk. Alexander De Luca, ayah Tatiana yang dikenal tegas dan
Ketika pesta selesai dan ia harus diantar oleh sang ayah ke "rumah baru"-nya bersama Paulios Theodore, Tatiana merasa semua kebahagiaan telah direnggut darinya. Di dalam mobil, ia melipat tangan di dada, wajahnya penuh amarah.Begitu mobil memasuki sebuah lingkungan yang sempit, dengan rumah-rumah berdempetan dan jalanan yang tidak mulus, Tatiana memutar mata dengan penuh penghinaan."Apa ini?" tanya Tatiana, suaranya tajam seperti pisau. "Apakah dia tinggal di lingkungan ayam? Rumah-rumah ini begitu dekat satu sama lain. Tidak ada privasi sama sekali!"Paulios yang duduk di sebelahnya menatapnya dengan tenang, meskipun matanya menunjukkan ketegasan. "Lingkungan ini mungkin tidak mewah, tapi orang-orangnya bekerja keras dan hidup dengan adab. Sesuatu yang lebih bernilai dibandingkan harta."Tatiana mendengus keras, menatap Paulios dengan sinis. "Adab? Kau pikir adab bisa membayar tagihan? Bisa memberiku kenyamanan? Aku menikah bukan untuk hidup seperti ini."Paulios menatap Tatiana de
Tatiana melangkah dengan anggun memasuki lobi hotel mewah tempat mantannya bekerja sebagai General Manager. Sepasang high heels berwarna nude beradu dengan lantai marmer, mengeluarkan suara ketukan halus yang menggema di ruangan besar itu. Aroma lavender bercampur citrus dari parfum mahalnya menyebar di udara, meninggalkan jejak kehadirannya di setiap sudut yang ia lewati.Matanya menelusuri interior hotel yang begitu megah. Lampu kristal menggantung di langit-langit tinggi, memantulkan kilauan cahaya ke dinding kaca yang elegan. Para staf hotel yang berpakaian rapi menyambut tamu dengan senyum sopan, tetapi tak satu pun yang berani menatapnya terlalu lama. Ada aura percaya diri dalam setiap langkah Tatiana, seolah ia adalah ratu yang baru saja tiba di istananya.Namun, bukan kemewahan tempat ini yang menarik perhatiannya.Di lantai atas, berdiri sosok yang selama ini selalu ada di dalam pikirannya.Victor Helmis.Tatiana berhenti se
Ruangan rapat yang megah itu kini terasa sesak oleh ketegangan. Beberapa jajaran manajemen Estate Dationa duduk dengan gelisah, sementara Tuan Gerald, pemilik hotel itu, berusaha mempertahankan ketenangannya di hadapan pria yang kini menjadi penentu nasib bisnisnya—Paulios Estern Welington. Dengan suara penuh kehati-hatian, Tuan Gerald mencoba bernegosiasi. "Tuan Muda Welington," ucapnya dengan nada hormat. "Keputusan ini terlalu mendadak dan mengejutkan. Kami selalu menjaga profesionalitas dalam menjalankan bisnis kami, dan saya yakin Estate Dationa telah memberikan kontribusi yang baik bagi Amara Group." Beberapa manajer mengangguk setuju, bahkan ada yang memberanikan diri menambahkan, "Kami tidak pernah melakukan kesalahan fatal yang merugikan perusahaan Anda. Mohon pertimbangkan lagi keputusan ini." Paulios yang sejak tadi duduk dengan tenang, akhirnya bergerak. Ia menegakkan punggungnya, kedua tangannya bertaut d
Mobil hitam mewah itu melaju cepat memasuki halaman rumah besar milik Paulios. Sesampainya di dalam, ia keluar dengan langkah tegas, wajahnya yang biasanya tenang kini dipenuhi amarah yang memancar. Azmir, yang melihat kondisi Paulios seperti itu, langsung merasakan ketegangan yang mendalam. Ia tahu, jika Paulios sudah begitu, berarti ada sesuatu yang besar. “Tuanku, ada apa? Kenapa wajah Anda terlihat begitu marah?” tanya Azmir dengan hati-hati, masih memerhatikan setiap gerakan Paulios. “Panggil papaku sekarang,” jawab Paulios dengan nada dingin yang menyiratkan kemarahan yang membara. Azmir yang sedikit ketakutan langsung mengangguk, tanpa banyak tanya, ia bergegas menuju ruang utama dan menghubungi Tuan Maxwin. Tak lama, Tuan Maxwin, yang masih menguap lelah, terlihat memasuki ruang rapat. Ia sudah bisa menebak bahwa ada sesuatu yang serius terjadi, mengingat jam yang sudah sangat larut. “Panggil aku tengah malam, ada a
Tatiana berdiri di depan mesin ATM, jarinya gemetar saat menekan nomor PIN. Namun, layar yang muncul hanya bertuliskan "Rekening Anda Diblokir". Wajahnya berubah memerah, napasnya terasa sesak. "Bagaimana bisa?!" ia mengumpat keras, menarik rambutnya dengan frustrasi. "Papa bodoh itu… Kenapa aku harus hidup seperti ini?!" Sejak ayahnya memblokir rekeningnya karena dianggap terlalu boros, hidup Tatiana berubah drastis. Tidak ada lagi belanja di butik-butik mewah atau makan di restoran mahal. Semua yang ia anggap biasa, kini hilang begitu saja. Tak hanya itu, kartu kreditnya juga dibekukan. Namun Tatiana tak pernah menyerah begitu saja. Dia tidak akan membiarkan hidupnya jatuh ke tangan takdir. Dengan wajah dingin, ia menatap koleksi perhiasannya yang tergeletak di meja rias. Sebuah kalung berlian yang ia pakai setiap hari. Sebuah cincin dengan batu rubi merah yang selalu membuatnya merasa berkelas. Satu per satu, ia mulai menjualnya. Tak cukup hanya itu, saat semua orang di rumah t
Tatiana terbangun oleh suara ayam berkokok. Suara itu membuatnya meringis, tak biasa dengan suasana desa yang penuh dengan kebisingan alam. Ia menggeliat malas di tempat tidur kecil yang sama sekali tak nyaman menurut standarnya. Di sisi lain kamar, ia melihat Paulios sedang mengancingkan kemeja kerja yang sudah agak kusut.Paulios berdiri di depan cermin kecil di sudut ruangan, memperbaiki penampilannya. Tatiana mendengus kecil, suaranya cukup keras untuk menarik perhatian Paulios. "Wow, seragam murah itu benar-benar cocok sama hidup kamu," katanya sambil melipat tangan di dada.Paulios menoleh sekilas, tak terprovokasi. Ia membalasnya dengan nada dingin, tetapi penuh ironi."Terima kasih atas perhatianmu, Nona De Luca," Tatiana memutar mata. "Aku heran kenapa Papa memaksaku menikahi kamu. Jelas-jelas hidup kamu bahkan gak memenuhi standar minimal aku."Paulios tersenyum kecil, tapi senyumnya tajam. "Mungkin karena beliau tahu kamu butuh seseorang yang bisa mengajarkanmu arti kehidup
Ketika pesta selesai dan ia harus diantar oleh sang ayah ke "rumah baru"-nya bersama Paulios Theodore, Tatiana merasa semua kebahagiaan telah direnggut darinya. Di dalam mobil, ia melipat tangan di dada, wajahnya penuh amarah.Begitu mobil memasuki sebuah lingkungan yang sempit, dengan rumah-rumah berdempetan dan jalanan yang tidak mulus, Tatiana memutar mata dengan penuh penghinaan."Apa ini?" tanya Tatiana, suaranya tajam seperti pisau. "Apakah dia tinggal di lingkungan ayam? Rumah-rumah ini begitu dekat satu sama lain. Tidak ada privasi sama sekali!"Paulios yang duduk di sebelahnya menatapnya dengan tenang, meskipun matanya menunjukkan ketegasan. "Lingkungan ini mungkin tidak mewah, tapi orang-orangnya bekerja keras dan hidup dengan adab. Sesuatu yang lebih bernilai dibandingkan harta."Tatiana mendengus keras, menatap Paulios dengan sinis. "Adab? Kau pikir adab bisa membayar tagihan? Bisa memberiku kenyamanan? Aku menikah bukan untuk hidup seperti ini."Paulios menatap Tatiana de
Tatiana De Luca duduk di tepi tempat tidurnya, memeluk bantal sambil menatap kosong gaun pengantin yang menggantung di depan lemari. Gaun putih itu, yang dulu ia idam-idamkan, kini terasa seperti penghinaan terhadap dirinya sendiri. Rasanya, hanya dengan menatapnya saja, hatinya seperti dipermainkan.Seharusnya, hari ini akan jadi terindah di hidup Tatiana, tetapi semua itu musnah begitu saja!Suara Victor, mantan calon suaminya, beberapa jam lalu dari balik telepon masih terngiang-ngiang di kepalanya."Tatiana, aku tidak bisa melanjutkan ini. Aku... aku mencintai wanita lain. Dan dia sedang mengandung anakku."Air mata mengalir tanpa henti di wajahnya. Segala rencana indah, mimpi menjadi pengantin cantik, serta pesta mewah yang ia banggakan di depan teman-temannya kini terasa hancur berkeping-keping. Tinggal menghitung jam saja pernikahan impian itu terjadi, tetapi pengantin pria justru pergi begitu saja.Pintu kamarnya diketuk. Alexander De Luca, ayah Tatiana yang dikenal tegas dan