Benedict baru saja memulai hidup barunya setelah keluar dari penjara. Mencoba hidup seperti orang-orang pada umumnya, tapi takdir membawanya bertemu dengan seorang gadis dari keluarga kaya yang memaksanya untuk menjadi bodyguard. --------------------- Bekerja di keluarga Softucker adalah impian semua orang, meski hanya sebagai tukang kebunnya. Namun, Ben mendapatkan keberuntungannya dengan menjadi bodyguard putri keluarga terkaya di kota Rotterfort. Semuanya berjalan baik, hingga akhirnya satu per satu rahasia kelam di kota "terkutuk" Rotterfort dan keluarga Softucker terbongkar. Rahasia yang bisa menjungkir balikkan seluruh kehidupan di kota itu. --------------------- MATURE AND EXPLICIT CONTENT! SEMUA TOKOH, TEMPAT, DAN KEJADIAN HANYA FIKSI BELAKA! READERS DISCRETION IS ADVISED!
View More“Benedict!”
Sipir penjara itu berulang kali mengetukkan tongkat jaganya ke jeruji penjara, sembari matanya tidak berhenti mengedar, menatap satu per satu narapidana yang sedang berada di lapangan penjara Blackford.
“Benedict Cerg!” ulangnya. “Pengacaramu datang,” lanjutnya, saat seorang pria dengan jenggot tak terurus mendekat padanya.
“Aku tidak ada jadwal bertemu dengannya.”
“Bukan urusanku. Tapi pengacaramu ada di ruang tunggu.”
Benedict menghela napas sebelum akhirnya mengikuti langkar sipir penjara. Di sana, di tengah ruang tunggu, Nyonya Cassie Frost, pengacaranya yang berumur lebih dari setengah abad, tersenyum menyambutnya.
“Aku ada kabar baik untukmu. Duduklah!”
Nyonya Cassie membuka tas kerjanya, kemudian mengeluarkan sebuah map dan mendorongnya ke depan tubuh Ben.
“Itu adalah keputusan pengadilan yang memberimu remisi 15 tahun, karena sikap baikmu selama di sini. Kau tahu artinya?”
“Besok aku akan keluar dari penjara ini,” lirih Ben dengan tatapan yang masih fokus pada map di hadapannya.
“Benar. Tapi sepertinya kau tidak senang mendengarnya?”
“Apa selama menjadi pengacaraku, dirimu tidak sedikit pun memahamiku?” tanya Ben dengan senyum kecilnya.
“Jangan bertindak bodoh, Ben. Jangan sampai kau kembali ke penjara lagi. Setelah keluar dari sini, carilah pekerjaan dan hiduplah dengan baik.”
“Statusku sebagai mantan narapidana tidak akan mengizinkan itu.”
Nyonya Cassie mengulurkan tangan untuk menggenggam tangan kiri Ben. Menepuknya pelan di sana, mencoba menyakinkan bahwa dirinya akan baik-baik saja setelah keluar dari penjara.
“Aku akan membantumu mencari pekerjaan yang cocok.”
“Tidak perlu—”
“Aku memaksa,” potong Nyonya Cassie. “Baiklah, aku harus pergi, masih banyak kasus yang harus aku urus. Ini, hubungi aku kapan saja.” ujarnya lagi seraya memberikan kartu namanya.
“Anda baik sekali padaku.”
“Ben, aku tahu kau adalah pemuda yang baik.”
***
“Jangan kembali ke sini, dirimu terlalu baik untuk tinggal di tempat seperti Blackford ini.”
Ben tersenyum pada sipir yang mengantarnya hingga ke pintu keluar penjara. “Aku tidak janji,” sahut Ben, kemudian melangkah pergi meninggalkan penjara Blackford yang sudah memerangkapnya selama 15 tahun.
15 tahun adalah waktu yang lama untuk Ben menghabiskan masa mudanya di sana, untuk satu kesalahan yang dilakukannya demi membela sang Ayah. Ben tidak akan pernah menyesali apa yang telah dilakukannya pada para bajingan itu. Bajingan yang datang ke rumahnya di saat dirinya terlelap, kemudian menyeret ayahnya keluar rumah dan beberapa hari kemudian, Ben menemui ayahnya di penjara. Seolah kenyataan itu belum cukup buruk, dua minggu kemudian, Ben mendapat kabar bahwa sang Ayah meninggal bunuh diri.
Langkah Ben berakhir di depan sebuah rumah sederhana yang sudah lama tidak terurus. Rumput liar sudah hampir setengah tinggi tubuh Ben, juga tanaman liar yang merambat di tembok dan pagar. Ben sedikit mendorong paksa pagar itu, kemudian melangkah menuju bagian samping rumahnya dan menemukan sebuah kotak kayu yang sudah lapuk. Dibukanya kotak itu dan Ben mengambil sebuah anak kunci pintu untuk masuk ke rumah.
Masih seperti dulu, seperti saat terakhir dia melihatnya.
Ben menarik kain-kain putih yang menutupi perabot rumahnya dan langsung duduk di salah satu sofa. Pandangannya jatuh pada sebuah bingkai foto berdebu yang kain penutupnya terjatuh. Di foto itu, Ben tersenyum di samping sang Ayah dan memamerkan ikan hasil pancingannya dari danau—itu adalah foto terakhirnya bersama Ayah. Betapa kerasnya Ben berusaha mengenyahkan semua kenangan bersama sang Ayah, kenangan itu justru semakin menyeruak masuk ke dalam alam pikirannya. Betapa keras pun Ben menuruti nasihat Nyonya Cassie, tapi hatinya masih menyimpan dendam pada semua orang yang menyebabkan hidupnya berakhir seperti sekarang.
Ben segera bangkit, dia tidak ingin berlama-lama merenungi nasibnya. Benar kata Nyonya Cassie, dia harus segera mencari pekerjaan yang layak. Namun, masalahnya Ben tidak memiliki keahlian apapun selain bela diri. Itupun dia dapatkan dengan berlatih bersama tahanan lainnya. Ben bergegas membersihkan rumah dan dirinya, lalu dia pergi ke sebuah kedai yang tak jauh dari rumahnya.
Pak Tua pemilik kedai itu masih terlihat sama, hanya sedikit penambahan warna putih di jenggot dan rambutnya. Saat tatap keduanya bertemu, Ben bisa melihat keterkejutan di mata sayu itu, ditambah sedikit air mata di pelupuknya. Pak Tua itu segera meninggalkan meja kasir, menyambut, dan memeluk Ben erat.
“Bagaimana kau bisa di sini? Apa—”
“Aku sudah bebas, Vernon.”
Vernon masih menatap tak percaya pada Ben—anak sahabatnya yang bertahun-tahun menolak kunjungan penjarannya. Kini, pemuda yang dulu sering bermain bersama putranya sudah kembali berdiri di hadapannya. Vernon tak kuasa menahan haru dan kembali memeluk Ben.
“Aku akan buatkan makanan favoritmu.”
“Dirimu masih ingat?”
“Tentu saja, makanan favoritmu adalah makanan favoritku dan ayahmu juga. Spageti.”
Ben tertawa mendengar kalimat Vernon dan langsung mengikutinya untuk duduk di kursi yang berada di depan meja bar.
“Bagaimana bisnis kedaimu?”
“Semakin ramai.”
“Peter?”
“Dia sudah menikah dan sekarang tinggal bersama istrinya, empat jam perjalanan dari sini.” Vernon memutar matanya malas. “Membuatku malas untuk ke rumahnya. Beruntung dua cucuku sangat manis, itu yang membuatku rela pergi ke sana setiap akhir pekan.”
Tak berselang lama, sepiring spageti yang masih mengepulkan asap dan segelas bir tersaji di depan Ben. Tanpa menunggu, Ben langsung melahapnya habis.
“Kau sudah menjenguk ayahmu?”
“Aku belum berani ke sana.”
“Kenapa?”
Ben mengambil gelas bir dan langsung menandaskannya. “Aku belum menjadi anak baik seperti yang diinginkannya. Pergi ke kampus, bekerja dengan memakai jas dan dasi, membelikannya mobil bekas atau ratusan kaleng bir.”
“Ben, ayahmu pasti mengerti dengan keadaanmu. Sekarang, fokuslah untuk masa depanmu.”
Ben mengangguk lemah dengan nasihat Vernon.
Suasana kedai sore itu tidak terlalu ramai. Hanya beberapa keluarga yang menikmati spageti buatan Vernon dan tiga orang supir truk yang kebetulan adalah teman Vernon. Ben masih tidak percaya dirinya berada di sini. Jika biasanya di jam yang sama dia akan berada di lapangan penjara Blackford bersama narapidana lainnya, bermain bola, kartu, atau sekedar duduk-duduk meratapi nasib. Kini, dia sudah selesai menyantap sepiring spageti lezat, bir dingin, dan menikmati ocehan anak-anak tentang sekolah mereka.
“Di mana toiletmu? Cepat! Beritahu aku di mana toiletmu!”
Ben menoleh dan mendapati seorang wanita dengan napas terengah, membentak Vernon.
“Di sana,” jawab Vernon. “Di sebelah kiri lorong.”
Tanpa sepatah kata, wanita itu berjalan tergesa menuju arah yang ditunjuk Vernon. Meninggalkan Vernon dan Ben yang saling menatap bingung melihat tingkah wanita asing berambut brunet itu.
“Mungkin dia ingin menangis, karena patah hati. Makanya dia butuh toilet,” celetuk Vernon.
Baru saja Ben akan menanggapi, pintu kedai Vernon terbuka keras hingga menimbulkan suara yang membuat semua pengunjung termasuk Ben menoleh cepat. Dua orang pria dengan tubuh besar langsung menghampiri Vernon dengan menggebrak meja.
“Di mana gadis yang memakai baju biru? Dia ke sini, kan?”
Vernon melirik sekilas pada Ben yang menggeleng. Ben tahu, bahwa gadis yang dimaksud dua pria ini adalah gadis yang baru saja selesai mebentak Vernon dan sekarang sedang berada di toilet.
“Sedari tadi aku berdiri di sini, tidak melihat gadis yang kau maksud,” jawab Vernon tenang.
Dua pria itu membalikkan tubuh untuk menatap satu per satu pelanggan Vernon yang ketakutan. Kemudian salah satunya berjalan menuju lorong toilet. Ben langsung melompat turun dari kursinya dan mendahului langkah pria itu.
“Hei!” protesnya.
“Maaf, aku sudah tidak tahan,” sahut Ben sambil kedua tangannya menutupi bagian selakangannya. “Aku punya masalah dengan—” Ben melirik selakangannya.
“Aku tidak peduli urusanmu!” kesal pria itu, dan membiarkan Ben untuk berlalu.
Ben bergegas. Ketika sampai di depan toilet, pintunya terbuka. Ben buru-buru mendorong gadis itu dan membekapnya sebelum kalimat protes berhasil keluar dari mulutnya. Dengan sebelah tangannya, Ben langsung memutar kenop pintu dan menguncinya.
“Ada dua pria bertubuh besar di luar sedang mencarimu,” bisik Ben.
Mata gadis itu melebar.
“Kau sedang menghindari mereka, kan?”
Gadis itu mengangguk.
“Kalau begitu diamlah sampai Vernon menyuruh kita keluar.”
“Hei! Apa yang kau lakukan di dalam! Kau sedang berbicara dengan siapa?” bentak si Pria asing itu sambil menendang pintu kamar mandi.
“Apa kau lupa? Aku punya masalah dengan katung kemihku! Aku berbicara dengan diriku sendiri. Aku takut ruang sempit, makanya aku berbicara dengan diriku sendiri agar tidak takut!” balas Ben dari dalam kamar mandi, masih dengan posisi yang sama bersama gadis itu.
Suara pria itu tidak lagi terdengar. Sepertinya dia puas dengan jawaban Ben. Tak berapa lama kemudian, suara Vernon menggantikannya dan mengabarkan bahwa keadaan sudah aman.
“Ayo keluar!” ajak Ben.
“Terima kasih,” ujar gadis berbaju biru itu pada Ben yang sudah kembali duduk menikmati segelas bir yang telah diisi Vernon lagi. “Hei, aku bilang terima kasih padamu!” ulangnya kesal.
Ben masih tak acuh dan menikmati birnya.
“Nona, dia sudah menerima ucapan terima kasihmu. Lebih baik tinggalkan dia sekarang, sebelum dua pria tadi kembali mencarimu di sini.”
“Namaku Radella! Kau bisa memanggilku dengan Ella,” ucap Ella sambil mengulurkan tangannya untuk berjabat, tapi—lagi-lagi—tak diacuhkan oleh Ben. “Kau adalah orang paling aneh yang pernah aku temui! Aku hanya ingin mengucapkan terima kasih dan berkenalan!”
“Nona—”
“Kalau kau seperti ini, kenapa tadi menolongku, hah?! Kenapa ikut campur masalahku?”
Ben meletakkan gelas birnya, kemudian bangkit menuju pintu keluar.
“Hei! Kau mau ke mana?! Hei!”
“Memanggil kembali dua pria tadi,” sahut Ben sambil lalu.
“Tunggu!” cegah Ella sambil menahan lengan Ben. “Baiklah, aku tidak akan menganggumu lagi!”
Ella menghempaskan lengan Ben, kemudian dengan hentakan kaki keras dia berjalan keluar kedai.
“Dasar pria berengsek!”
Ben masih mendengar makian Ella dari parkiran.
“Dia hanya ingin berterima kasih, Ben.”
“Aku tidak perlu terima kasihnya.”
“Lalu kenapa kau menolongnya?”
“Dia terlihat seperti anak anjing yang butuh pertolongan.”
“Anak anjing? Apa gadis itu selucu itu?”
Ben tersenyum mendengar sindiran Vernon. “Dia menakutkan.”
***
Ben pikir, setelah Ella mengatakan ya padanya, semuanya akan berjalan lancar hingga hari pernikahan—yang entah kapan akan mereka gelar. Nyatanya, dua hari setelah pulang dari pondok, Ella meminta waktu lebih lama untuk memikirkan kapan sebaiknya pernikahan mereka dilangsungkan. Jangan tanya bagaimana paniknya Ben saat itu, tapi sebisa mungkin berusaha ia sembunyikan. Ia tidak ingin membuat Ella merasa terpaksa menikahi Ben, meski sebenarnya Ben juga sudah tidak sabar ingin menjadikan Ella sebagai istrinya, karena ia sangat takut kehilangan Ella lagi.“Ella belum memutuskan kapan dia akan menikahimu?” tanya Jensen, saat ia menyempatkan diri mampir ke rumah Ben sebelum berangkat bertugas. “Kalian bertengkar lagi?”Ben menggeleng. “Aku juga tidak tahu. Sudah berhari-hari dia sulit dihubungi. Bahkan Prince juga kesulitan menemuinya di kantor. Kata sekretarisnya, Ella tiba-tiba saja ingin menyendiri,” jawab Ben.&ldq
“Kamar?!”Entah itu sebuah pertanyaan atau perintah. Ella tidak mengerti apa yang diucapkannya, karena saat ini tidak bisa berpikir jernih. Napasnya terengah, hampir habis, karena terlalu bergairah membalas ciuman Ben. Ya, Tuhan, ia tidak pernah menyangka kalau bisa merindukan sebuah ciuman seperti ini. Ini bukan perkara ciumannya, tapi siapa orang yang kau cium. Bagi Ella, orang itu adalah Benedict Cerg.Tak jauh berbeda dengan Ella, Ben pun mendadak bodoh dan hanya mampu mengangguk, tapi insiting liarnya menyuruhnya untuk mengangkat tubuh Ella, lalu berjalan tergesa menuju kamar. Ben tidak menyangka akan datang hari ini—lagi—untuknya, melakukan hal paling intim yang bisa dilakukan sepasang manusia yang sedang dilanda gairah.Ella merasakan tubuhnya terhempas menyentuh permukaan kasur, Ben langsung menindihnya, kembali menciumnya penuh tuntutan rindu yang harus segera tersalurkan. Bahayanya, tidak ada yang tahu berapa lama yang diperluka
Sudah lebih dari tiga jam sejak dokter meninggalkan ruang rawat Ben, tapi pria itu belum juga sadarkan diri. Jensen pun harus kembali ke kantor polisi untuk membuat laporan. Sedangkan Prince dan Grace juga pulang bersama anak-anak mereka. Martin belum terlihat lagi sejak satu jam yang lalu. Hanya ada Ella dan Aj yang tersisa menjaga Ben di ruangan itu.“Mommy, kapan Paman Ben akan bangun?”Ella yang sedang membaca majalah menoleh pada putranya yang ternyata sudah bangun dari tidur lelapnya di sofa. Ella menghampiri Aj dan langsung memangku bocah itu, sembari menepuk-nepuk punggungnya agar kembali tidur, mengingat tidur bocah itu pasti tidak nyaman di rumah sakit.“Sayang, kau sudah bangun? Jika masih mengantuk, tidur lagi saja.”Aj menggeleng. “Mom, kapan P
“Sayang, kau baik-baik saja?” tanya Martin khawatir, saat melihat Ella diam saja sejak masuk ke mobilnya. “Kau mau makan dulu sebelum kita menjemput Aj di rumah Prince?”“Tidak usah. Kita langsung ke sana.”“Kau yakin?”Ella mengangguk pasti, lalu kembali diam, menatap jalanan Rotterfort yang mulai ramai pagi ini.“Sialan!” maki si supir tiba-tiba?“Ada apa?” tanya Martin sambil mencoba melihat apa yang sedang terjadi di depan.“Orang-orang ini seperti tidak punya pekerjaan. Hampir setiap hari mereka turun ke jalan untuk berunjuk rasa,” gerutunya pada ratusan orang dengan spanduk dan poster-poster menuntut keadilan yang sedang lewat di depan mobilnya.“Tentang apa?”
Entah sudah berapa kali Ben menghela napas dan berapa liter bensin yang dihabiskannya. Sepertinya ia sudah mengelilingi Rotterfort puluhan kali, hanya untuk menenangkan pikiran dan keinginan hatinya yang ingin bertemu dengan Aj. Ben menggunakan segala cara, dari mulai mencari kesibukan di bengkel, hingga berkeliling Rotterfort. Namun, rasa rindu pada putranya—juga Ella—benar-benar tidak terbendung.Motornya berhenti di tempat terjauh dari Rotterfort yang bisa ia jangkau. Ia kembali ke pemakaman di luar Rotterfort yang beberapa hari lalu ia kunjungi. Ben berjalan dengan seikat lili di tangannya, melewati nisan-nisan yang kusam, lalu langkahnya berhenti beberapa meter dari kuburan orang tuanya. Lili yang kemarin dibawanya sudah nampak layu, tapi ada lima tangkai lili yang masih terlihat segar. Bukan, itu bukan lili di tangan B
Sudah 15 menit Ben berdiri di dapur. Diam-diam ia mengawasi Martin dan Aj yang sedang bermain bersama Max di ruang tamu. Ia sudah menemukan jawaban dari semua pertanyaan di kepalanya atas teka-teki yang ia temukan beberapa saat lalu ketika mereka masih berdiri di halaman rumah.Tunangan Martin adalah Ella.Aj adalah putranya.Ingin rasanya Ben memeluk bocah itu dan mengatakan betapa ia sangat merindukannya. Namun, Ben kembali menyadari posisi dirinya yang bukanlah siapa-siapa jika dibandingkan dengan Martin. Untuk saat ini, Ben hanya bisa membuatkan putranya segelas cokelat hangat—seperti yang selalu ia sajikan untuk ibunya.Buku-buku jemari Ben mengepal erat nampan yang membawa secangkir teh dan cokelat hangat itu. Perlahan ia letakkan dua cangkir itu di atas meja, tanpa memutuskan tatapannya pada Aj yang kini berlari mengitari ruang tamunya bersama Max.Prince sialan! Mengapa ia tidak mengatakan pada Ben, kalau Aj adalah putranya?“Ben, apa hubunganmu dengan Ella?” tanya Martin, set
Ben sedang dalam perjalanan pulang dari memperbaiki mobil milik temannya, saat ia melihat wajah yang tak asing sedang berdiri di halte bus. Sebagai tetangga yang baik, Ben berhenti dan menawarkan diri untuk membonceng tetangganya itu pulang.“Terima kasih, Ben.”“Tidak masalah. Kenapa kau berpakaian seperti ini?” tanya Ben penasaran.“Aku kalah taruhan dengan kawan-kawanku, jadi aku harus meminjam pakaian kakak perempuanku untuk pergi ke prom.”Ben terkekeh mendengar penjelasan tetangganya ini.“O, iya, Ben, kau mau membantuku sekali lagi?”“Apa itu?”“Sebagai tambahan hukuman kalah taruhan, aku juga harus mencium seorang pria. Kau bisa membantuku? Hanya satu kecupan saja. Kumohon. Kalau tidak, minggu depan aku harus memakai pakaian wanita dan berdandan untuk keluar rumah.”Ben menggeleng tak percaya mendengar ucapan tetangganya ini. “Kali ini aku aka
Sudah bertahun-tahun rumah megah di tengah kota itu sepi. Dulu sekali, si Tuan Rumah rutin mengadakan acara amal bersama koleganya. Namun, tidak jarang pula ia mengundang orang-orang kurang beruntung untuk turut hadir dan merasakan masakan dari tangan chef handal. Sejak beberapa tahun lalu rumah itu dilelang, hanya remang cahaya lampu taman yang sering dilihat dan dibicarakan penduduk Rotterfort.Hingga kini, si anak perempuan pembawa sial, tapi juga yang paling beruntung kembali ke rumahnya. Lampu-lampu di hampir seluruh sudut rumah itu diganti dengan lampu yang nyalanya lebih terang. Para tamu undangan yang jumlahnya tidak lebih dari sepuluh orang itu sudah datang dan duduk berdampingan di kursi makan. Sebastian sibuk mengobrol dengan Frederick—pengusaha muda yang sedang merintis usahanya di bidang nano teknologi—sambil menikmati lobster. Delapan orang lainnya pun sibuk membicarakan bisnis dan kerjasama yang barang kali bisa mereka bentuk.
“Jangan menertawakanku.”Ben menggeleng, tapi ia tidak sanggup menyembunyikan senyum di wajahnya.“Kondisimu juga tidak lebih baik dari aku.”Ben tertawa mendengar Sebastian yang bersungut-sungut sejak ia duduk di bangku itu. Sedangkan Ben, sibuk dengan kunci inggris, oli, dan mesin mobil Sebastian.“Lihat saja, kau lebih memilih kotor seperti ini, bekerja di ruang panas, daripada dengan setelan jas di kantorku.”Ben menjejakkan kakinya sebagai tumpuan untuk menarik diri dari bawah kolong mobil. Ia muncul dari sana dengan pakaian bengkelnya yang sudah kotor, berlumuran oli dari mobil-mobil yang diperbaikinya.Sejak bebas dari Blackford enam bulan lalu, Ben memilih memulai hidup barunya dengan menjadi montir. Berbekal pengetahuan dan pengalaman yang didapatnya selama lima tahun di Blackford, Ben bisa menyelesaikan—hampir—semua masalah mesin, khususnya mobil.“Jika kau bingung, kenap
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments