“Kau tidak akan pergi ke mana-mana tanpa Lucas dan Dave!”
“Ayolah, Dad! Aku sudah 21 tahun!”
Pagi ini, ruang makan keluarga Softucker kembali tidak tenang seperti hari-hari yang lalu. Putri bungsu keluarga terkaya di Rotterfoort ini kembali berbuat ulah. Kali ini merengek ingin pergi ke kampus dengan mobil barunya.
“Untuk apa Dad membelikanku mobil, kalau aku tidak bisa mengendarainya?”
“Lucas yang akan menyetir, kau bisa duduk di kursi belakang sambil menyalin tugas dari temanmu.”
Radella memutar matanya malas mendengar jawaban dari Dad yang tidak pernah mengizinkannya melakukan apapun. Seolah, Radella akan mati mendadak, jika hilang dari pengawasan Lucas dan Dave. Semenjak tinggal bersama Dad, pria itu benar-benar memastikan bahwa Ella tidak akan pergi tanpa penjagaan. Bahkan Dad bersikeras bahwa Ella harus sekolah di rumah.
Hidup penuh kekangan akhirnya membuat Ella berontak di tahun terakhir SMA-nya. Dia bertaruh dengan Dad, jika dirinya berhasil mendapatkan nilai sempurna di ujian sekolah rumahannya, maka Ella yang akan menentukan di mana dia akan kuliah. Saat itu, Tuhan berpihak padanya, tapi tetap saja Dad menugaskan Lucas dan Dave untuk selalu menguntitnya.
“Apa Dad tahu bagaimana teman-teman sekelasku melihat diriku yang kemana-mana harus ditemani oleh dua orang aneh itu?”
“Tidak usah kau pedulikan, mereka hanya iri padamu.”
“Mereka tidak iri. Mereka menganggapku aneh!” kesal Radella, kemudian menyambar tasnya dan keluar tanpa menyentuh sarapannya.
Di halaman rumah, Lucas sudah siap di balik kemudi, dan Dave segera membukakan pintu mobil sedan warna merah itu, kemudian berputar dan duduk di sebelah Lucas. Tanpa disuruh, Lucas langsung menginjak pedal gas menuju kampus Radella. Tak berapa lama, mereka sudah sampai dan Grace—sahabat Ella—melambaikan tangan dari dalam mobilnya.
“Mobilmu baru?” tanya Grace. “Tapi masih ada dua pria itu?”
“Ya, memang begitu Dad. Dia seperti ayah tiri yang menyekapku di menara. Padahal aku bukan Rapunzel.”
“Dia memang ayah tirimu.”
“Ya, aku tidak lupa itu.”
Saat ini keduanya sedang dalam perjalanan menuju kelas. Oh, jangan lupakan Lucas dan Dave yang masih setia mengekor. Dua pria itu baru akan berhenti membuntuti Ella saat gadis itu sudah berada di dalam kelas atau di toilet.
“Hari ini kau ikut ke pesta Oscar?”
“Kapan?”
“Nanti sore,” sahut Grace sambil menjatuhkan bokongnya di kursi paling belakang, diikuti oleh Ella yang duduk di sebelahnya.
“Kau tidak lihat dua pria itu di sana?”
Grace menghela napas, seraya keningnya mengerut seolah sedang berpikir keras.
“Tidak-tidak, kau pasti tidak akan berani melakukannya,” monolog Grace.
“Apa?”
Radella paling tidak suka jika diremehkan seperti ini. Mendengar kalimat Grace, membuat jiwa bertaruhnay tertantang untuk melakukan apapun yang akan keluar dari mulut Grace.
“Begini …” Grace mendekatkan bibirnya ke telinga Ella, dan membisikkan rencananya.
***
“Lucas, aku perlu mampir ke toko roti di simpang jalan yang ada di depan itu.”
“Tapi—”
“Ayolah, Luc. Grace bilang ada roti keju enak di sana. Aku ingin mencobanya.”
Lucas tidak punya pilihan lain selain memutar setirnya dan menepikan mobil di dekat toko roti yang dimaksud Ella.
“O iya, aku tadi mengintip garis bensin di depan itu, sepertinya akan habis. Kau bisa mengisinya di sebelah situ, kan?” tanya Ella sambil mengangguk ke arah pom bensin yang berada di seberang toko roti. “Jangan banyak berpikir, aku tidak mau mobil ini kehabisan bensin di tengah jalan!!” lanjut Ella, sebelum Lucas mengajukan protesnya lagi.
Ella masuk ke toko roti ditemani Dave yang masih setia mengikutinya bak anak anjing yang manis. Satu sasaran sudah berhasil dialihkan oleh Oscar dan teman-temannya tadi, kini Dave akan menjadi urusan Ella.
“Aku ingin roti ini … ini … lalu ini … dan yang ini juga aku mau semuanya,” pinta Ella sambil menunjuk roti-roti yang dipajang di etalase. “Dave, tolong bayarkan roti ini. Ini kartuku, aku ingin duduk sebentar. Stiletto ini berhasil membuat kakiku mati rasa,” keluh Ella, lalu terduduk di salah satu kursi pengunjung sembari mengurut betisnya.
Hal yang tidak diketahu Dave saat dirinya sibuk di kasir, Ella diam-diam melepaskan kedua sepatunya. Tanpa perlu menghitung mundur, Ella langsung berlari keluar kedai dengan bertelanjang kaki. Ella tidak lagi peduli dengan teriakan Dave di belakang, dia masih berlari, sampai akhirnya dia memutuskan untuk sembunyi sementara waktu. Ella memilih sebuah kedai makanan Italia dan langsung masuk.
“Di mana toiletmu? Cepat! Beritahu aku di mana toiletmu!”
“Di sana,” jawab pria berjenggot putih seperti sinterklas. “Di sebelah kiri lorong.”
Ella langsung menuju arah yang ditunjuk dan segera mengunci pintu setelah masuk ke toilet. Berulang kali Ella memaki dirinya sendiri atas kenekatannya ini—tapi seru juga!—dia tidak bisa membayangkan betapa marahnya Dad nanti, saat Dave dan Lucas pulang tanpa dirinya!
Ponsel Ella yang berada di saku celananya bergetar dan sebuah pesan dari Grace muncul, yang menanyakan di mana keberadaannya saat ini. Tanpa pikir panjang, Ella langsung mengirimkan lokasinya pada Grace, yang kemudian dibalas bahwa mereka akan tiba lima menit lagi di lokasi Ella. Ella melirik jam tangannya, sudah beberapa menit dia di dalam toilet dan sepertinya Dave tidak mengejarnya sampai kedai ini. Akhirnya Ella memutuskan untuk keluar dan menunggu Grace di luar saja. Namun, seorang pria dengan rambut dan jenggot yang berantakan—tapi aroma tubuhnya sungguh wangi—tiba-tiba menyergap dan membekap mulutnya.
Ella berusaha meronta, tapi pria ini mengungkungnya dan membuatnya kesulitan untuk bergerak.
“Ada dua pria bertubuh besar di luar sedang mencarimu,” bisiknya.
Ella tahu siapa mereka, Lucas dan Dave.
“Kau sedang menghindari mereka, kan?”
Ella mengangguk.
“Kalau begitu diamlah sampai Vernon menyuruh kita keluar.”
Sepertinya pria ini berusaha menolong Ella, dan tidak ada salahnya jika Ella menuruti apapun yang diucapkan pria ini. Meskipun dirinya juga tidak tahu apa motifnya membantu.
“Hei! Apa yang kau lakukan di dalam! Kau sedang berbicara dengan siapa?”
Itu suara Dave!
“Apa kau lupa? Aku punya masalah dengan katung kemihku! Aku berbicara dengan diriku sendiri. Aku takut ruang sempit, makanya aku berbicara dengan diriku sendiri agar tidak takut!” balas pria yang sepertinya belum berniat melepaskan Ella dari kungkungannya.
Beberapa saat kemudian, suara Dave sudah tidak lagi terdengar. Bersamaan dengan itu, bekapan di mulut Ella mulai mengendur dan akhirnya terlepas.
“Ayo keluar!”
Ella mengikuti langkah pria yang telah menyelamatkannya ini sampai ke kursi di dekat meja bar. Kali ini Ella bisa melihatnya dengan lebih jelas bagaimana wajah pria ini. Seperti gorilla! Rambut gondrong dan jenggotnya yang lebat, membuat wajahnya sangat menyeramkan! Mungkin jika dia mau bercukur, akan terlihat sedikit lebih tampan.
“Terima kasih.”
Ella bukan tipe orang yang senang berhutang pada orang lain, terlebih hutang budi. Oleh karena itu, kali ini Ella akan menawarkan satu permintaan pada pria ini. Namun, apa yang didapat Ellah tidak seperti yang dibayangkannya. Pria gorilla itu hanya diam tanpa membalas ucapan terima kasih Ella.
“Hei, aku bilang terima kasih padamu!”
Pria itu masih diam dan sekarang malahan meneguk habis birnya!
“Nona, dia sudah menerima ucapan terima kasihmu. Lebih baik tinggalkan dia sekarang, sebelum dua pria tadi kembali mencarimu di sini.”
“Namaku Radella! Kau bisa memanggilku dengan Ella.”
Ella masih berusaha, seraya mengulurkan tangannya, tapi pria menyebalkan ini masih tak acuh!
“Kau adalah orang paling aneh yang pernah aku temui! Aku hanya ingin mengucapkan terima kasih dan berkenalan!”
“Nona—”
“Kalau kau seperti ini, kenapa tadi menolongku, hah?! Kenapa ikut campur masalahku?”
Pria gorilla itu meletakkan gelas birnya, dan—sekali lagi—tak mengacuhkan Ella melangkah melewatinya untuk pergi meninggalkan kedai. Ella merasa sangat tersinggung! Baru kali ini dirinya benar-benar tak diacuhkan! Seumur hidup, belum ada yang berani bertingkah seperti ini di depan Ella! Apakah dirinya menjadi tak kasat mata sekarang ini?
“Hei! Kau mau ke mana?! Hei!”
“Memanggil kembali dua pria tadi.”
“Tunggu!” cegah Ella. “Baiklah, aku tidak akan menganggumu lagi!”
Ella menyentak kasar lengan pria itu, lalu keluar dari kedai diiringi suara bantingan pintu.
“Dasar pria berengsek!”
***
Ella belum berhenti menari bersama teman-temannya di ruang tengah rumah Oscar. Pesta yang berlangsung sejak dua jam yang lalu ini, belum menunjukkan tanda-tanda akan selesai. Bahkan semakin malam, semakin banyak yang datang.
“Ini sangat menyenangkan, Grace!” teriak Ella di tengah dentuman musik. “Kenapa wajahmu seperti itu? Tenang saja, Dad tidak akan menemukanku di sini! Aku akan berada di depan rumah, sebelum pria itu menemukanku.”
“Ya, aku percaya kau bisa melakukan hal itu.” Grace menyambar gelas champagne dari tangan Ella. “Tapi kau sudah terlalu mabuk! Ayo, aku antar pulang!”
Ella menggeleng.
Pulang? Ella belum berminat untuk itu! Ella ingin menghabiskan akhir pekan ini lebih lama, sebelum kembali ke penjara.
“Hai, Grace,” sapa Oscar yang tiba-tiba sudah berdiri di antara dirinya dan Ella. “Luis mencarimu, katanya ada yang mau dia bicarakan. Sepertinya dia menginginkanmu kembali.”
“Luis?”
Oscar mengangguk. “Kemarikan, ini milik Ella, kan? Aku akan menjaganya, kau pergilah menemui Luis,” ujar Oscar sembari mengambil gelas champagne dari tangan Grace.
Setelah kepergian Grace, Oscar berbalik dan menemukan Ella sudah sempoyongan. Gadis itu bahkan sudah kesulitan untuk sekedar menjaga keseimbangan tubuhnya. Oscar langsung menyambar tubuh itu dan membawanya ke tepi ruangan.
“Ella, kau baik-baik saja? Kau mabuk?”
Ella menggeleng, tapi tentu saja itu malah membuat Oscar semakin yakin bahwa teman sekelasnya ini sudah mabuk berat.
“Ayo, kau bisa beristirahat di kamarku,” tawar Oscar. “Nanti saat Grace sudah selesai urusannya dengan Luis, dia akan menjemputmu.”
“Aku tidak mau, Oscar! Aku ingin menikmati malam ini! Kapan lagi aku bisa bebas?”
“Aku tahu. Tapi lihat dirimu sekarang, bahkan berdiri tegak saja kau tidak mampu. Ayo!” paksa Oscar yang tanpa menunggu persetujuan Ella, langsung menggendong gadis itu menuju kamarnya di lantai atas.
Sesampainya di sana, Oscar membaringkan Ella di ranjang hangatnya. Perlahan, seolah gadis itu adalah boneka porselen yang mudah pecah. Oscar masih belum beranjak dari tempatnya berdiri, tatapannya juga masih di tempat yang sama—wajah lelap Ella. Bukan rahasia lagi, semua orang tahu bagaimana perasaan Oscar terhadap Ella. Pria itu mencintainya, tapi tidak dengan Ella yang hanya menganggapnya sebagai teman. Berapa kalipun Oscar mendekati Ella dan mengungkapkan perasaannya, gadis itu tetap menolaknya. Oscar beranjak menuju pintu kamar dan memutar kuncinya.
“Kau begitu cantik,” bisik Oscar yang kini sudah duduk di tepi ranjang dan jemarinya mengelus pelan pipi Ella. “Kenapa kau terus-terusan menolakku?”
Ella menggeram kecil, tapi kedua matanya masih tertutup.
“Kau tahu? Aku mengadakan pesta ini hanya untukmu. Agar aku bisa berdua denganmu seperti ini.”
Oscar merunduk, mendekatkan wajahnya pada wajah lelap Ella. Hidungnya menghidu aroma bedak, kemudian bibirnya mengecup bibir tipis Ella. Tangannya perlahan bergerak menarik selimut dari tubuh Ella, berlanjut dengan kecupan-kecupan kecil di sekitar leher Ella yang berhasil membuat gadis itu melenguh.
“Kau sungguh wangi,” puji Oscar lagi, kali ini jemarinya membuka satu per satu kancing kemeja Ella.
Bra merah dan payudara yang indah itu menyambut Oscar. Membuat kedua ujung bibir Oscar tertarik dan menggelapkan matanya dengan nafsu. Ditariknya cup kiri bra Ella dan seketika bagian tubuh yang selama ini menjadi pembicaraan para pria di kampus, menyembul indah.
“Kau tahu, Ella,” lirih Oscar sambil mengelus puting kiri Ella. “Para pria selalu membayangkan dirimu, akupun begitu. Bedanya, kini aku bisa menyentuhmu, tapi tidak dengan mereka.”
Elusan lembut jemari Oscar memberikan efek rangsangan yang menggila di permukaan tubuh Ella. Tubuhnya semakin panas, membuatnya menggeliat dan mengerah, dan semua itu membuat Oscar semakin berani melanjutkan kegiatannya melucuti pakaian Ella.
“Oscar,” erang Ella dalam keadaan setengah sadarnya. “Lepaskan!”
Oscar seolah tuli, pria itu tak acuh akan permintaan Ella dan masih terus mengecupi setiap inci permukaan tubuh Ella yang mulus dan lembut, sembari meremas di bagian favoritnya.
“Lepaskan!”
Dengan sisa kesadarannya, Ella mendorong tubuh Oscar, membuat pria itu terjungkal dari atas ranjang. Ella berusaha duduk, tapi Oscar kembali menindihnya.
“Lepaskan! Aku tidak mau!”
“Dengar, Ella! Aku melakukan ini semua demi dirimu!”
“Lepaskan, Bajingan!”
Ella kembali mendorong tubuh Oscar, kemudian berusaha kabur saat kesempatan itu datang. Namun, lagi-lagi Oscar lebih cepat dan menarik tubuh Ella yang setengah telanjang, merapatkannya ke dinding dan menghimpitnya.
“Oscar, kau di dalam? Ada yang mencarimu.”
“Sialan!” maki Oscar saat mendengar seseorang memanggilnya. “Diam di sini, Ella! Aku belum selesai denganmu.”
Tubuh Ella meluruh saat Oscar meninggalkannya. Ella bangkit, kemudian melangkah untuk mencari jalan keluar. Langkah sempoyongannya, membawa gadis itu sampai pada tepian jendela kamar. Meski mabuk, tapi satu sudut di otak Ella mengatakan bahwa dirinya harus segera lari dari bahaya ini. Ella membuka jendela, dan dengan sisa kesadarannya berusaha menaiki tepian jendela. Selanjutnya yang Ella tahu, tubuhnya terasa perih.
***
Ben baru sampai di rumahnya saat petang. Seharian ini, setelah urusannya dengan perempuan gila tadi selesai, Vernon mengajaknya ke rumah temannya yang menawari pekerjaan untuk membersihkan kebun-kebunnya.“Vernon, aku sangat berterima kasih soal pekerjaan itu.”“Hey, itu belum seberapa dibanding apa yang ayahmu lakukan untukku.” Vernon melongokkan kepalanya keluar jendela mobil. “Tetanggamu berisik sekali.”Ben menoleh ke rumah tetangganya, yang dia masih ingat adalah milik keluarga Oswald. “Kurasa anaknya sedang berpesta. Tuan dan Nyonya Oswald sedang menjenguk orang tuanya.”“Ah, anak muda,” ujar Vernon mengerti. “Dia akan dapat masalah kalau nanti orang tuanya pulang.”Ben terkekeh mendengar kalimat Vernon.“Kulihat, kau sudah membersihkan halaman rumahmu?”Ben mengangguk. “Tadi sebelum ke tempatmu.”“Mampirlah lagi ke kedai
Suara ketukan di pintu kamar, membuat Ella mengerang sakit, terlebih pening di kepalanya sangat menganggu. Namun, ketukan itu tidak mau juga berhenti sejak semenit yang lalu. Radella perlahan beranjak dari kasur dan dengan langkah sempoyongannya dia menuju pintu, lalu memutar kenopnya.“Kau sudah bangun?”Radella menggaruk kepalanya dan mencoba fokus pada sosok yang berdiri di hadapannya.“Kau mau apa?”“Kemari!” perintah sosok itu, lalu menarik Radella menuju kamar mandi dan menyiramnya dengan air dingin shower yang berhasil membuat Radella menjerit seraya gelagapan untuk mencari oksigen.“Apa kau sudah gila!?” pekik Ella tak terima. “Aku akan mengadukanmu pada nenek!”“Adukan saja! Aku tidak peduli! Kurasa dia juga tidak akan mendengarkanmu!” sahut sosok yang masih menyiram Radella. “Kau adalah tanggung jawabku! Jadi semua yang kau lakukan adalah a
Ben memaki dirinya sendiri berulang kali, menyesali kebodohannya yang turut campur urusan gadis yang ada di gendongannya ini. Kenapa dia harus repot-repot mengembalikannya ke rumah Oscar? Lebih baik dia tinggalkan saja di pinggir jalan! Namun, semuanya sudah terlanjur, dan kini Ben kembali memasuki pekarangan rumah keluarga Oswald. Diturunkannya gadis yang belum sadarkan diri itu di kursi teras, kemudian tangannya mulai sibuk menggedor pintu dengan keras.Tak berapa lama pintu itu terbuka dan seorang gadis lainnya menghambur memeluk Ben.“Cepat pergi! Oscar dan kawan-kawannya sudah gila!” teriaknya seraya mendorong tubuh Ben hingga tersungkur di lantai. “Ella?”Ben menoleh bergantian antara Ella dan gadis yang sedang menindihnya ini. “Kau mengenalnya?”“Tentu saja! Dia sahabatku!” sahut Grace yang langsung berdiri dan menghampiri Ella. “Apa yang terjadi padanya? Kau apakan dia?”“Aku
“Yang terkilir adalah kakiku, bukan tanganku,” ucap Ella seraya mengambil roti lapis dari tangan seorang maid yang hendak menyuapinya. Kemudian mengunyahnya dengan potongan besar-besar. “Apa dia akan berdiri di sini terus seperti anjing penjaga?” tambah Ella, kali ini melirik pada Max yang berdiri di sebelahnya.“Dia adalah pengawalmu,” sahut James. “Pengawal?” Ella memutar matanya malas mendengar jawaban dari James. “Lucas dan Dave belum cukup? Dan sekarang kau menambah seorang lagi?”“Kenapa? Kau tidak suka?”“James! Tarik semua pengawalmu atau aku bisa melakukan hal-hal nekat! Kali ini aku serius! Aku sudah muak dengan segala fasilitas pengawalan yang kau berikan ini!”“Ella—” “Oh, ayolah, James! Beri aku sedikit kepercayaan!”“Kepercayaan? Kemarin kau lupa sudah mengkhianatinya? Kau membuat
“Sialan!” Ben memaki berulang kali sembari berusaha membuka pintu toilet.Benar-benar di luar perkiraan Ben! Ella benar-benar meyebalkan dan sangat licik dengan mengunci Ben di dalam toilet agar dirinya bisa kabur. Bahkan sebelum benar-benar meninggalkannya, Ben sempat mendengar bagaimana gadis itu menertawakan kebodohannya, yang semakin membuat darah Ben mendidih.Ben kembali memeriksa jendela ventilasi di dalam toilet, tapi tentu saja ukuran jendela itu terlalu kecil untuk tubuh berototnya. Bisa saja dirinya mendobrak pintu ini, tapi Ben masih waras, dia tidak ingin membuat keributan yang malah bisa membuatnya dipecat di hari pertamanya bekerja.“Siapapun di luar sana! Buka pintunya! Hey! Apa kali—”Teriakan Ben terputus, karena suara kunci pintu yang diputar, dan akhirnya pintu itu terbuka! Grace muncul di sana dengan napas terengah, lalu tanpa berbicara sepatah katapun, gadis itu langsung meraih tangan Ben.“
“Bagaimana?” tanya Ella dengan kedua tangan terlipat di depan dadanya. “Apa kata James?”Lucas kembali memasukkan ponselnya, kemudian mengangguk hormat pada Ella. “Tuan James mengizinkan Nona pergi bersama Nona Grace, tapi dengan syarat.”“Oh, ayolah! Kali ini aku tidak akan pergi ke rumah Oscar. Aku sudah tidak ada urusan dengan pria kurang ajar itu. Kalian tenang saja, ok? Aku hanya pergi ke mal membeli baju untuk acara halloween di kampus.”“Maaf, Nona. Ini adalah syarat—”“Ya sudah! Katakan cepat, apa syarat dari si Tua James!” kesal Ella.“Anda harus ditemani oleh pengawal, lalu—”“Hanya satu di antara kalian! Kalau lebih dari itu, aku akan melakukan hal yang lebih gila dari kemarin!”Lucas mengangguk. “Tidak masalah. Tuan James memang menyarankan salah satu dari kami, yakni Max.”“Max?&rdq
Jika tidak mengingat alasan dia memohon bekerja pada James Softucker, Ben akan dengan senang hati meninggalkan gadis yang sedari tadi bermulut kasar ini. Tanpa memedulikan perasaan orang lain, mulutnya begitu mudah mengucap makian dan hinaan untuk orang-orang seperti Ben. Bagian terburuknya, gadis itu mengatai Ben adalah seorang gay! Darimana pikiran itu berasal?Tatapan Ben tidak pernah meninggalkan sosok Ella yang keluar-masuk ruang ganti dan berkeliling toko, meskipun Grace begitu menggoda. Terlebih saat tubuh gadis belia ini berada di atas pangkuan Ben, tangan yang melingkar di leher Ben, pria itu bisa menghidu aroma wangi bunga yang menenangkan. Mungkin jika Grace bukan sahabat Ella dan sekarang mereka tidak di tempat umum, Ben akan langsung memeluk pinggang ramping itu, menelanjanginya, dan membuat gadis ini mendesah di pangkuannya.Namun, yang terjadi adalah mimpi buruk Ben selanjutnya. Dihajar banyak orang, karena ucapan gadis manja dan angkuh yang kin
Ella menatap Max tajam, berusaha menunjukkan bahwa dirinya tidak akan bisa dikalahkan oleh Max begitu saja! Tidak akan takut dengan ancaman pria itu, meski Ella juga melihat kebencian di sana. Ella yakin 100%, bahwa tebakannya tidak pernah meleset, Max adalah seorang gay! Tidak mungkin pria normal akan membiarkan begitu saja wanita mabuk yang hampir telanjang, tertidur di ranjang kamarnya. Bukannya membiarkannya kedinginan di teras rumah! Kali ini, Ella benar-benar mempertaruhkan harga dirinya saat memutuskan membawa Max ke pondok keluarga Softucker. Di tempat ini, Ella akan membuat Max berakhir mengenaskan, dipecat! Ella merangkul leher Max, mendekatkan bibirnya ke telinganya, menggigit pelan cuping telinganya dan menjilatnya. “Bagaimana? Kau tergoda dengan apa yang aku lakukan?” bisik Ella, lalu kembali menjilat telinga Max. Ella menarik wajahnya, menatap kembali mata Max yang masih sama—tanpa ekspresi. Sial! Pria itu sama sekali tidak bereaksi, ta
Ben pikir, setelah Ella mengatakan ya padanya, semuanya akan berjalan lancar hingga hari pernikahan—yang entah kapan akan mereka gelar. Nyatanya, dua hari setelah pulang dari pondok, Ella meminta waktu lebih lama untuk memikirkan kapan sebaiknya pernikahan mereka dilangsungkan. Jangan tanya bagaimana paniknya Ben saat itu, tapi sebisa mungkin berusaha ia sembunyikan. Ia tidak ingin membuat Ella merasa terpaksa menikahi Ben, meski sebenarnya Ben juga sudah tidak sabar ingin menjadikan Ella sebagai istrinya, karena ia sangat takut kehilangan Ella lagi.“Ella belum memutuskan kapan dia akan menikahimu?” tanya Jensen, saat ia menyempatkan diri mampir ke rumah Ben sebelum berangkat bertugas. “Kalian bertengkar lagi?”Ben menggeleng. “Aku juga tidak tahu. Sudah berhari-hari dia sulit dihubungi. Bahkan Prince juga kesulitan menemuinya di kantor. Kata sekretarisnya, Ella tiba-tiba saja ingin menyendiri,” jawab Ben.&ldq
“Kamar?!”Entah itu sebuah pertanyaan atau perintah. Ella tidak mengerti apa yang diucapkannya, karena saat ini tidak bisa berpikir jernih. Napasnya terengah, hampir habis, karena terlalu bergairah membalas ciuman Ben. Ya, Tuhan, ia tidak pernah menyangka kalau bisa merindukan sebuah ciuman seperti ini. Ini bukan perkara ciumannya, tapi siapa orang yang kau cium. Bagi Ella, orang itu adalah Benedict Cerg.Tak jauh berbeda dengan Ella, Ben pun mendadak bodoh dan hanya mampu mengangguk, tapi insiting liarnya menyuruhnya untuk mengangkat tubuh Ella, lalu berjalan tergesa menuju kamar. Ben tidak menyangka akan datang hari ini—lagi—untuknya, melakukan hal paling intim yang bisa dilakukan sepasang manusia yang sedang dilanda gairah.Ella merasakan tubuhnya terhempas menyentuh permukaan kasur, Ben langsung menindihnya, kembali menciumnya penuh tuntutan rindu yang harus segera tersalurkan. Bahayanya, tidak ada yang tahu berapa lama yang diperluka
Sudah lebih dari tiga jam sejak dokter meninggalkan ruang rawat Ben, tapi pria itu belum juga sadarkan diri. Jensen pun harus kembali ke kantor polisi untuk membuat laporan. Sedangkan Prince dan Grace juga pulang bersama anak-anak mereka. Martin belum terlihat lagi sejak satu jam yang lalu. Hanya ada Ella dan Aj yang tersisa menjaga Ben di ruangan itu.“Mommy, kapan Paman Ben akan bangun?”Ella yang sedang membaca majalah menoleh pada putranya yang ternyata sudah bangun dari tidur lelapnya di sofa. Ella menghampiri Aj dan langsung memangku bocah itu, sembari menepuk-nepuk punggungnya agar kembali tidur, mengingat tidur bocah itu pasti tidak nyaman di rumah sakit.“Sayang, kau sudah bangun? Jika masih mengantuk, tidur lagi saja.”Aj menggeleng. “Mom, kapan P
“Sayang, kau baik-baik saja?” tanya Martin khawatir, saat melihat Ella diam saja sejak masuk ke mobilnya. “Kau mau makan dulu sebelum kita menjemput Aj di rumah Prince?”“Tidak usah. Kita langsung ke sana.”“Kau yakin?”Ella mengangguk pasti, lalu kembali diam, menatap jalanan Rotterfort yang mulai ramai pagi ini.“Sialan!” maki si supir tiba-tiba?“Ada apa?” tanya Martin sambil mencoba melihat apa yang sedang terjadi di depan.“Orang-orang ini seperti tidak punya pekerjaan. Hampir setiap hari mereka turun ke jalan untuk berunjuk rasa,” gerutunya pada ratusan orang dengan spanduk dan poster-poster menuntut keadilan yang sedang lewat di depan mobilnya.“Tentang apa?”
Entah sudah berapa kali Ben menghela napas dan berapa liter bensin yang dihabiskannya. Sepertinya ia sudah mengelilingi Rotterfort puluhan kali, hanya untuk menenangkan pikiran dan keinginan hatinya yang ingin bertemu dengan Aj. Ben menggunakan segala cara, dari mulai mencari kesibukan di bengkel, hingga berkeliling Rotterfort. Namun, rasa rindu pada putranya—juga Ella—benar-benar tidak terbendung.Motornya berhenti di tempat terjauh dari Rotterfort yang bisa ia jangkau. Ia kembali ke pemakaman di luar Rotterfort yang beberapa hari lalu ia kunjungi. Ben berjalan dengan seikat lili di tangannya, melewati nisan-nisan yang kusam, lalu langkahnya berhenti beberapa meter dari kuburan orang tuanya. Lili yang kemarin dibawanya sudah nampak layu, tapi ada lima tangkai lili yang masih terlihat segar. Bukan, itu bukan lili di tangan B
Sudah 15 menit Ben berdiri di dapur. Diam-diam ia mengawasi Martin dan Aj yang sedang bermain bersama Max di ruang tamu. Ia sudah menemukan jawaban dari semua pertanyaan di kepalanya atas teka-teki yang ia temukan beberapa saat lalu ketika mereka masih berdiri di halaman rumah.Tunangan Martin adalah Ella.Aj adalah putranya.Ingin rasanya Ben memeluk bocah itu dan mengatakan betapa ia sangat merindukannya. Namun, Ben kembali menyadari posisi dirinya yang bukanlah siapa-siapa jika dibandingkan dengan Martin. Untuk saat ini, Ben hanya bisa membuatkan putranya segelas cokelat hangat—seperti yang selalu ia sajikan untuk ibunya.Buku-buku jemari Ben mengepal erat nampan yang membawa secangkir teh dan cokelat hangat itu. Perlahan ia letakkan dua cangkir itu di atas meja, tanpa memutuskan tatapannya pada Aj yang kini berlari mengitari ruang tamunya bersama Max.Prince sialan! Mengapa ia tidak mengatakan pada Ben, kalau Aj adalah putranya?“Ben, apa hubunganmu dengan Ella?” tanya Martin, set
Ben sedang dalam perjalanan pulang dari memperbaiki mobil milik temannya, saat ia melihat wajah yang tak asing sedang berdiri di halte bus. Sebagai tetangga yang baik, Ben berhenti dan menawarkan diri untuk membonceng tetangganya itu pulang.“Terima kasih, Ben.”“Tidak masalah. Kenapa kau berpakaian seperti ini?” tanya Ben penasaran.“Aku kalah taruhan dengan kawan-kawanku, jadi aku harus meminjam pakaian kakak perempuanku untuk pergi ke prom.”Ben terkekeh mendengar penjelasan tetangganya ini.“O, iya, Ben, kau mau membantuku sekali lagi?”“Apa itu?”“Sebagai tambahan hukuman kalah taruhan, aku juga harus mencium seorang pria. Kau bisa membantuku? Hanya satu kecupan saja. Kumohon. Kalau tidak, minggu depan aku harus memakai pakaian wanita dan berdandan untuk keluar rumah.”Ben menggeleng tak percaya mendengar ucapan tetangganya ini. “Kali ini aku aka
Sudah bertahun-tahun rumah megah di tengah kota itu sepi. Dulu sekali, si Tuan Rumah rutin mengadakan acara amal bersama koleganya. Namun, tidak jarang pula ia mengundang orang-orang kurang beruntung untuk turut hadir dan merasakan masakan dari tangan chef handal. Sejak beberapa tahun lalu rumah itu dilelang, hanya remang cahaya lampu taman yang sering dilihat dan dibicarakan penduduk Rotterfort.Hingga kini, si anak perempuan pembawa sial, tapi juga yang paling beruntung kembali ke rumahnya. Lampu-lampu di hampir seluruh sudut rumah itu diganti dengan lampu yang nyalanya lebih terang. Para tamu undangan yang jumlahnya tidak lebih dari sepuluh orang itu sudah datang dan duduk berdampingan di kursi makan. Sebastian sibuk mengobrol dengan Frederick—pengusaha muda yang sedang merintis usahanya di bidang nano teknologi—sambil menikmati lobster. Delapan orang lainnya pun sibuk membicarakan bisnis dan kerjasama yang barang kali bisa mereka bentuk.
“Jangan menertawakanku.”Ben menggeleng, tapi ia tidak sanggup menyembunyikan senyum di wajahnya.“Kondisimu juga tidak lebih baik dari aku.”Ben tertawa mendengar Sebastian yang bersungut-sungut sejak ia duduk di bangku itu. Sedangkan Ben, sibuk dengan kunci inggris, oli, dan mesin mobil Sebastian.“Lihat saja, kau lebih memilih kotor seperti ini, bekerja di ruang panas, daripada dengan setelan jas di kantorku.”Ben menjejakkan kakinya sebagai tumpuan untuk menarik diri dari bawah kolong mobil. Ia muncul dari sana dengan pakaian bengkelnya yang sudah kotor, berlumuran oli dari mobil-mobil yang diperbaikinya.Sejak bebas dari Blackford enam bulan lalu, Ben memilih memulai hidup barunya dengan menjadi montir. Berbekal pengetahuan dan pengalaman yang didapatnya selama lima tahun di Blackford, Ben bisa menyelesaikan—hampir—semua masalah mesin, khususnya mobil.“Jika kau bingung, kenap