“Bagaimana?” tanya Ella dengan kedua tangan terlipat di depan dadanya. “Apa kata James?”
Lucas kembali memasukkan ponselnya, kemudian mengangguk hormat pada Ella. “Tuan James mengizinkan Nona pergi bersama Nona Grace, tapi dengan syarat.”
“Oh, ayolah! Kali ini aku tidak akan pergi ke rumah Oscar. Aku sudah tidak ada urusan dengan pria kurang ajar itu. Kalian tenang saja, ok? Aku hanya pergi ke mal membeli baju untuk acara halloween di kampus.”
“Maaf, Nona. Ini adalah syarat—”
“Ya sudah! Katakan cepat, apa syarat dari si Tua James!” kesal Ella.
“Anda harus ditemani oleh pengawal, lalu—”
“Hanya satu di antara kalian! Kalau lebih dari itu, aku akan melakukan hal yang lebih gila dari kemarin!”
Lucas mengangguk. “Tidak masalah. Tuan James memang menyarankan salah satu dari kami, yakni Max.”
“Max?” Ella melirik Max yang sedang bersandar di motor Ducati. “Bagaimana kalau kau saja?”
Lucas menggeleng. “Max atau tidak sama sekali.”
Baru saja Ella akan berteriak kesal pada Lucas, sebuah mobil Bugatti hitam berhenti di sebelah Ella dan Lucas. Kaca di bagian kemudi terbuka dan Ella memutar matanya malas saat tahu siapa yang ada di balik kemudi. Prince Loshen tersenyum menyapanya.
“Butuh tumpangan?”
Ella membuang muka, tak mengacuhkan Prince. Kemudian menggamit lengan Grace menuju mobilnya. Namun, langkahnya dicekal oleh Prince yang berdiri di hadapannya.
“Ayolah!”
“Kau lupa siapa dirimu? Siapa diriku?”
“Oh, ayolah! Itu urusan orang tua kita. Kenapa kita harus mengikuti jejak mereka untuk saling membenci? Aku lelah dengan semua drama di keluarga kita, kau sendiri tidak lelah?”
Ella terdiam mendengar kalimat Prince. Tidak ada yang salah dengan setiap katanya. Ella sendiri juga sudah muak dengan perseteruan antar keluarga-keluarga kaya di Softucker ini. Namun, Ella lebih muak lagi dengan slentingan rencana yang didengarnya kemarin. Para keluarga berkuasa di Softucker berencana melanggengkan kuasa mereka, dengan menyatukan keluarga melalui pernikahan anak-anak mereka. Itu sungguh menjijikan!
“Aku lelah, tapi kau lupa apa yang kubilang tadi pagi? Aku tidak mau mengikuti keinginan menjijikan para sosiopat itu!”
Ella berbalik dan langsung masuk ke mobil Grace. Keduanya kemudian melaju menuju Softmall, salah satu mal milik keluarga Softucker.
“Kau bisa bayangkan apa yang akan terjadi di Rotterfort jika kalian menikah?” kekeh Grace. “Kau tidak perlu bekerja seumur hidupmu lagi. Cukup duduk manis bersamaku di salon kecantikan untuk menghabiskan uang Prince.”
“Kau saja yang menikah dengannya,” kesal Ella. “Sudahlah tidak usah membicarakan tentang hal itu, membuat suasana hatiku buruk saja! Lebih baik sekarang kita pikirkan konsep apa yang mau kita pakai untuk pesta Halloween nanti.”
“Hm, tahun lalu kita menjadi putri, kan? Bagaimana kalau tahun ini sebagai malaikat?”
“Ah, itu hanya untuk anak kecil. Aku ingin yang lebih menantang, seksi, dan nakal.”
“Kalau begitu, pakai saja bikini!”
Ella memukul lengan Grace yang masih tertawa mengejek idenya. Tidak berapa lama kemudian, mereka sudah sampai di mal.
“Kau tunggu di sini!” perintah Ella pada Max.
“Bukan seperti itu perintah Tuan James.”
“James! James! James! Aku muak dengan semua peraturan James!” teriak Ella. “Max! Di sini tidak ada James, jadi kau tidak perlu mengikutiku terus-menerus! Lagipula aku bersama Grace.”
Max bergeming, semakin membuat Ella kesal dan ingin menjambak rambut Max.
“Tunggu di sini!”
Max menggeleng.
“Ella, sudahlah. Biarkan dia ikut.”
“Aku tidak mau menarik perhatian di dalam sana, Grace! Apa yang akan dipikirkan orang-orang jika melihat diriku yang cantik ini harus berjalan bersama anjing jalanan yang kumuh seperti dia.”
Grace menghela napas. “Max, kau bisa menunggu di sini. Tidak akan hal buruk yang akan terjadi pada Ella di sini. Ini tempat umum. Lagipula mal ini milik keluarganya.”
Max masih menggeleng.
“Wah, ternyata kau lebih bodoh dari anjing ya? Bahkan anjing saja mengerti bahasa manusia, tapi kau begitu keras kepala—Hey! Apa yang kau lakukan! Turunkan aku!”
Ella berteriak kesal dan memberontak dalam gendongan Max. Pria itu tiba-tiba saja memanggul Ella di pundaknya dan membawanya ke mobil.
“Turunkan aku!”
“Lebih baik kita pulang, kalau Nona masih tidak mau menuruti perintah Tuan James.”
“Baiklah! Baiklah! Kau boleh ikut!”
Mendengar jawaban Ella, Max langsung menurunkan Ella dari gendongannya. Lalu gadis itu menampar pipi Max.
“Kurang ajar! Berani sekali kau menyentuhku!” geram Ella, lalu melangkah pergi bersama Grace.
Selama berbelanja, Ella sama sekali tak mengacuhkan keberadaan Max. Bahkan saat Grace iseng meminta pendapat pada Max, Ella memilih langsung ke toko lainnya.
“Bawa!” perintah Ella. “Setidaknya kau harus berguna, tidak hanya mengekoriku,” ujar Ella lagi, seraya menyerahkan tiga kantong belanja pada Max.
Tanpa banyak bicara, Max mengambil kantong belanja itu. Apakah Ella berhenti sampai di situ? Tentu saja tidak! Ella masih melanjutkan acara berbelanjanya dari satu toko ke toko lain. Bahkan gadis itu membeli barang-barang yang sebenarnya tidak dibutuhkannya. Dia sengaja melakukan hal itu, untuk memberi Max pelajaran. Terbukti tidak sampai setengah jam kemudian, dua lengan berotot milik Max sudah penuh dengan kantong belanjaan.
“Max, apa aku terlihat cantik memakai ini?”
Ella yang sedang di dalam kamar ganti, langsung melongok keluar untuk melihat apa yang sedang dilakukan Grace dan Max. Grace sedang sibuk menempelkan potongan lingerie di tubuhnya, bergerak genit di depan Max, sambil sesekali mengedipkan matanya untuk menggoda Max. Sedangkan pria itu, masih dengan wajah datar tanpa ekspresinya, duduk di kursi dan hanya menatap Grace tanpa ingin merespon.
Ella memutar matanya malas melihat tingkah sahabatnya itu. Tapi tidak bisa dipungkiri, diam-diam Ella juga ingin menjadi seperti Grace. Tidak dikekang, bebas melakukan apapun sesuai dengan keinginannya, bahkan menjalin hubungan dengan pria manapun yang disukainya. Sedangkan dirinya? Masih menjadi perawan sampai saat ini. Bahkan ntuk menjaga harga dirinya, Ella harus mengarang kebohongan bahwa dirinya sudah pernah tidur bersama banyak pria.
“Apa kau gila?” cibir Ella. “Sampai matipun, pria ini tidak akan tertarik padamu! Dia gay!”
Lingerie di tangan Grace hampir terjatuh saat mendengar ucapan Ella.
“Gay?” pekik Grace tak percaya. “Benarkah?” tanyanya lagi, lalu langsung melompat duduk di pangkuan Max.
“Grace! Apa kau gila?”
“Kenapa? Aku punya banyak teman gay dan aku senang duduk di pangkuan mereka.” Grace menoleh pada Max. “Kau mulai bergairah sekarang?”
“Menyingkir dari pangkuannya!” kesal Ella sambil menarik Grace.
“Ada apa denganmu? Kenapa begitu kesal? Kau cemburu?”
“Cemburu? Padanya? Jangan membuatnya besar kepala, Grace! Menjijikan sekali kalau sampai harus berurusan dengannya. Kau tahu kalau aku terpaksa dengan semua peraturan James, kan?”
“Apa kalian sudah selesai?” potong Max. “Ayo pulang!”
“Kau pulangs aja sendiri! Aku lapar dan sekarang mau makan!”
Ella langsung melangkah keluar toko, menuju salah satu restoran. Dia memesan seporsi salad dan the lemon untuk makan malamnya. Sedangkan Grace yang berlari mengejarnya, langsung duduk di hadapannya memesan burger dan cola.
“Max, duduklah di sini,” tawar Grace sambil menepuk sebuah kursi kosong di sebelahnya.
“Pembantu tidak makan bersama majikan. Kau tunggu saja di luar.”
“Ella,” tegur Grace.
“Kau ini kenapa, Grace? Kenapa selalu membelanya?”
“Kau yang kenapa? Max berada di sini karena permintaan James. Aku sudah mencoba untuk membuatmu lepas dari Max, tapi sulit. Jadi lebih baik berdamai dengan keadaan, kan?”
“Terserah kau saja!” kesal Ella, lalu kembali memainkan ponselnya.
Sedangkan Grace masih sibuk berusaha mengajak Max mengobrol. Tidak peduli jika pria itu hanya mengucapkan kata ya dan tidak sebagai jawaban serta respon dari semua kalimat yang keluar dari mulut Grace. Tak berapa lama kemudian, pesanan mereka sudah datang. Ketiganya langsung menyantapnya.
“Ya, Mom? Aku sedang pergi dengan Ella. Baiklah, aku akan pulang sebentar lagi. Ok, tunggu.”
Grace memutuskan sambungan telepon dari ibunya, lalu buru-buru menghabiskan sisa makanan di piringnya.
“Kenapa dengan ibumu?”
“Aku harus pulang sekarang, El,” ujar Grace dengan mulut penuh makanan, lalu mengambil satu kantong belanja dari samping Max. “Adikku kembali berulah. Dia mencuri uangnya.”
“Tapi, bagaimana aku akan pulang?”
Grace menatap Ella dan Max bergantian.
“Tidak, Grace. Kau tahu aku tidak dekat dengan pria ini.”
“Kalau begitu naik taksi atau telepon Lucas.” Grace segera beranjak. “Aku pergi dulu. Bye!”
“Grace! Grace!” panggil Ella, tapi diabaikan oleh Grace.
Suasana hati Ella mendadak memburuk. Terlebih lagi saat dia mendapati Max tersenyum menertawakannya. Seketika muncul sebuah ide gila untuk memberi pelajaran pada pria menyebalkan yang kini sedang menikmati hidangan penutup.
“Aku ingin ke toilet,” pamit Ella. “Kau tidak perlu ikut,” lanjutnya saat melihat Max hendak turut beranjak dari duduknya.
“Kau ini mudah sekali dibaca, Nona.” Max berdiri dan mengambil seluruh kantong belanja Ella. “Aku tidak akan tertipu seperti Lucas dan Dave.”
Ella mencebik kesal, lalu pergi menuju toilet. Namun, rencana baru muncul di otak Ella, saat Max membuntutinya sampai di depan pintu toilet.
“Tolong! Tolong!” teriak Ella tiba-tiba.
Max menatap bingung pada Ella yang tiba-tiba berteriak minta tolong. Tak lama kemudian, orang-orang yang semula menikmati makanan mereka, mendadak berdiri dan menuju toilet.
“Ada apa?!”
“Dia! Pria ini sangat mesum! Dia membuntutiku hingga toilet!” jawab Ella sambil menunjuk wajah Max.
“Tunggu! Kalian jangan salah paham! Aku adalah—”
“Dia penjahat! Cepat panggil polisi!” potong Ella.
Lalu, seorang di antara mereka langsung mencengkeram kerah kemeja Max dan memukul wajahnya. Diikuti oleh para pengunjung lainnya yang langsung ikut memukul dan menendang. Ella melotot kaget melihat peristiwa yang terjadi di hadapannya saat ini. Dirinya tidak menyangka, bahwa orang-orang ini akan langsung menghajar Max. Bukan ini yang Ella inginkan. Ella hanya ingin Max dibawa ke kantor polisi, sehingga dirinya bisa kabur. Tapi ini semua sudah di luar kendali Ella! Keadaan saat ini sungguh di luar kendalinya. Kalau sampai Max mati, maka James sendiri yang akan menjebloskan Ella ke penjara!
“Hentikan!” teriak Ella, tapi orang-orang yang memukuli Max seolah tuli. Mereka tidak menghiraukan teriakan Ella. Hal ini membuat Ella tidak punya pilihan lain. Gadis itu langsung menyeruak ke tengah kerumunan, berusaha mendorong minggir orang-orang yang hendak memukul Max. “Hentikan! Aw!”
Tubuh Ella yang kecil terdorong jatuh. Ella memejamkan matanya, tidak sanggup melihat keberingasan yang telah diciptakannya sendiri. Namun, dirinya juga tidak memiliki tenaga untuk ini. Bahkan sekarang dirinya meringkuk tidak berdaya, berusaha menghindari pukulan. Di saat bersamaan, dia merasakan sesuatu melingkupi tubuhnya. Sesuatu yang besar yang mengiringi embusan napas di samping telinga Ella.
“Kau tidak apa-apa?”
Ella menoleh dan mendapati Max meringis. Ella mengangguk sebagai jawaban.
“Kau bisa berdiri?”
Ella kembali mengangguk.
“Pada hitungan ketiga, aku akan menarikmu. Kita harus lari dari sini.”
“Tapi—”
“Jangan banyak bertanya!”
Ella mengangguk. Saat ini dia tidak punya pilihan lain selain menuruti setiap ucapan dan perintah Max. Pilihannya adalah dia mati terinjak di sini atau kabur bersama Max. Meskipun Ella yakin, pada akhirnya nanti Max akan mengomel habis-habisan, karena membuat mereka dalam situasi seperti saat ini.
Jika tidak mengingat alasan dia memohon bekerja pada James Softucker, Ben akan dengan senang hati meninggalkan gadis yang sedari tadi bermulut kasar ini. Tanpa memedulikan perasaan orang lain, mulutnya begitu mudah mengucap makian dan hinaan untuk orang-orang seperti Ben. Bagian terburuknya, gadis itu mengatai Ben adalah seorang gay! Darimana pikiran itu berasal?Tatapan Ben tidak pernah meninggalkan sosok Ella yang keluar-masuk ruang ganti dan berkeliling toko, meskipun Grace begitu menggoda. Terlebih saat tubuh gadis belia ini berada di atas pangkuan Ben, tangan yang melingkar di leher Ben, pria itu bisa menghidu aroma wangi bunga yang menenangkan. Mungkin jika Grace bukan sahabat Ella dan sekarang mereka tidak di tempat umum, Ben akan langsung memeluk pinggang ramping itu, menelanjanginya, dan membuat gadis ini mendesah di pangkuannya.Namun, yang terjadi adalah mimpi buruk Ben selanjutnya. Dihajar banyak orang, karena ucapan gadis manja dan angkuh yang kin
Ella menatap Max tajam, berusaha menunjukkan bahwa dirinya tidak akan bisa dikalahkan oleh Max begitu saja! Tidak akan takut dengan ancaman pria itu, meski Ella juga melihat kebencian di sana. Ella yakin 100%, bahwa tebakannya tidak pernah meleset, Max adalah seorang gay! Tidak mungkin pria normal akan membiarkan begitu saja wanita mabuk yang hampir telanjang, tertidur di ranjang kamarnya. Bukannya membiarkannya kedinginan di teras rumah! Kali ini, Ella benar-benar mempertaruhkan harga dirinya saat memutuskan membawa Max ke pondok keluarga Softucker. Di tempat ini, Ella akan membuat Max berakhir mengenaskan, dipecat! Ella merangkul leher Max, mendekatkan bibirnya ke telinganya, menggigit pelan cuping telinganya dan menjilatnya. “Bagaimana? Kau tergoda dengan apa yang aku lakukan?” bisik Ella, lalu kembali menjilat telinga Max. Ella menarik wajahnya, menatap kembali mata Max yang masih sama—tanpa ekspresi. Sial! Pria itu sama sekali tidak bereaksi, ta
Ben sepertinya harus segera menceburkan diri ke danau yang ada di luar untuk mendinginkan otak dan tubuhnya, yang seketika memanas akibat segala hal yang dilakukan Ella pada tubuhnya. Gadis itu menggesekkan dadanya ke tubuh Ben. Pria yang diam di penjara selama 15 tahun dan tidak dapat menyalurkan gairahnya dengan benar, selain dengan sabun dan tangannya—itu pun seringkali terganggu oleh tahanan lainnya yang sudah tidak sabar untuk memuaskan hasratnya. Lalu bagaimana bisa menahan godaan dari seorang Radella? Otak Ben berusaha waras, tapi tubuhnya memilih mengikuti permainan Ella. Ben bukanlah pria polos dan bodoh yang tidak tahu maksud dari segala tindakan Ella saat ini. Ben tahu benar, bahwa gadis yang sekarang berada di bawah kuasanya, sengaja menggoda, agar dia memiliki alasan untuk memecat Ben. Namun, Ben juga punya rencananya sendiri. Dia akan membuat Nona Muda yang suka memberontak ini, tergila-gila padanya. Ben akan membuat Ella tidak bisa hidup tanpanya. Persetan jik
Ella membuka mata dan mendapati sepi di hadapannya. Detik berikutnya, dia seperti tersadar dari hipnotis gairah yang semalam diciptakannya bersama Max. Ella terduduk, membuat selimut yang menutupi tubuhnya melorot hingga ke perutnya.“Apa yang semalam belum puas?”Suara serak Max yang berasal dari luar membuat Ella langsung menarik selimut itu untuk menutupi bagian atas tubuhnya yang polos. Sekali dia mengintip bagian bawah tubuhnya—celana dalamnya masih di sana—Ella langsung menghela napas lega.“Kenapa harus malu, Nona?” tanya Max yang menghampiri Ella, lalu mengecup bibirnya.“Kurang ajar!” maki Ella, lalu mendorong tubuh Max, beranjak memunguti seluruh pakaiannya, dan berlalu masuk ke kamar.Dari dalam kamar, Ella masih mendengar kekehan Max yang sedang menertawakan dirinya. Ella menggeram kesal dan buru-buru memakai kembali pakaiannya. Untuk beberapa saat dia menatap pantulan dirinya di cermin.
Ben menutup album foto yang ditemukannya beberapa saat yang lalu. Album foto keluarga Softucker yang terlihat sangat bahagia. Berbeda sekali dengan keluarganya. Ayah dan ibu Ben bercerai saat dirinya berusia 12 tahun. Sejak saat itu, Ben tidak pernah lagi melihat ibunya. Kabar terakhir yang dia dengar, ibunya sudah menikah lagi dengan pria berkebangsaan asing dan kini menetap di negaranya. Meninggalkan Ben dan ayahnya dalam keterpurukan.Ben menoleh sesaat, menatap majikannya yang masih terlelap di sofa. Tidak heran gadis itu begitu lelap, dia pasti lelah setelah melewati malam yang begitu menggairahkan. Terlebih saat tubuhnya menegang dang menjerit, karena kenikmatan yang diberikan oleh orang rendahan yang sanggup memuaskannya.Ben beranjak mendekati Ella, gadis itu menggeliat pelan seraya menggumam akan sesuatu. Ben sedikit lebih dekat dan Ben mendengar Ella menyebut nama seseorang berulang kali. Ben kembali menegakkan punggungnya, menarik selimut untuk menutupi tubu
“Aku yang terlalu perasa atau sedari tadi pengawalmu yang seperti papan berjalan itu selalu menatapku?”Ella menoleh ke arah anggukan Grace. “Maksudmu Dave?”“Iya.”“Dia memang sedang menatapmu. Dia menyukaimu.”Grace hampir saja memuntahkan jus apel di dalam mulutnya, saat mendengar ucapan Ella. “Menyukaiku?” Grace langsung buru-buru menyambar topeng di meja.Ella mengangguk. “Kau pikir topeng itu bisa menyembunyikan pesonamu yang telah membius Dave?” cibir Ella. “Kau terlalu sibuk dengan deretan kekasih tidak bergunamu itu, sehingga tidak bisa melihat ada seorang pria menantimu, menyukaimu dari sejak awal kau datang ke rumahku.”“Kau mengada-ada.”“Tidak. Kau saja yang buta. Aku bisa langsung mengetahui kalau Dave punya perasaan terhadapmu.” Ella menatap Grace yang tersenyum simpul dengan tatapan yang tidak lepas dari para pen
Sudah seminggu sejak kejadian di pondok dan James Softucker masih bersikap sama, seolah tidak terjadi apa-apa. Hanya satu yang berbeda, Ben tidak lagi ditugaskan menjadi pengawal Ella. Ben tidak akan protes dengan keputusan James yang menugaskan dirinya untuk menjadi satpam di rumah. Ini jauh lebih baik, Ben bisa mengawasi jadwal kegiatan seluruh orang rumah dengan baik.James setiap pagi—kecuali akhir pekan—di jam yang sama akan berangkat ke kantor bersama supirnya. Saat jam makan siang, James lebih senang menghabiskan waktu di kedai kopi dekat kantor agar tidak terlalu membuang banyak waktu di luar. Setelah itu dia akan kembali tenggelam dalam pekerjaannya dan baru pulang menjelang jam makan malam. Di akhir pekan, James lebih senang menghabiskan waktunya dengan membaca buku di halaman belakang atau memutar piringan hitam musik klasik di ruang kerja. Sedangkan untuk Ella, akan berangkat ke kampus setelah sarapan. Seharian dia akan menghabiskan waktu bersama Grace
Ella pikir, hari-harinya akan kembali tenang setelah berhasil menyingkirkan Max dari kehidupannya. Namun, kenyataannya adalah sebaliknya. Hampir setiap malam pikiran Ella dipenuhi oleh Max. Ella tidak pernah menyangka, bahwa peristiwa satu malam di pondok musim panas Softucker, begitu menghantuinya. Berulang kali Ella berusaha mengenyahkan bayangan tubuh serta sentuhan Max, tapi yang terjadi adalah Ella malah merindukannya, menginginkan pria itu untuk kembali menyentuhnya. Hampir setiap malam pula, Ella bertanya-tanya, apakah Max juga merasakan hal sama? Belum lagi dengan tingkah Grace yang setiap hari seperti kaset rusak, merengek untuk bisa datang ke rumah—sekedar untuk bertemu Max.Hari-hari berlalu dan Ella menyadari, bahwa tidak hanya Grace yang ingin bertemu dengan Max, tapi juga dirinya sendiri. Seperti saat ini, Ella belum juga beranjak dari balik jendela kamarnya, karena hanya dari sanalah Ella bisa melihat Max yang sedang berada di pos jaga gerbang depan. Dari tempatnya itu,
Ben pikir, setelah Ella mengatakan ya padanya, semuanya akan berjalan lancar hingga hari pernikahan—yang entah kapan akan mereka gelar. Nyatanya, dua hari setelah pulang dari pondok, Ella meminta waktu lebih lama untuk memikirkan kapan sebaiknya pernikahan mereka dilangsungkan. Jangan tanya bagaimana paniknya Ben saat itu, tapi sebisa mungkin berusaha ia sembunyikan. Ia tidak ingin membuat Ella merasa terpaksa menikahi Ben, meski sebenarnya Ben juga sudah tidak sabar ingin menjadikan Ella sebagai istrinya, karena ia sangat takut kehilangan Ella lagi.“Ella belum memutuskan kapan dia akan menikahimu?” tanya Jensen, saat ia menyempatkan diri mampir ke rumah Ben sebelum berangkat bertugas. “Kalian bertengkar lagi?”Ben menggeleng. “Aku juga tidak tahu. Sudah berhari-hari dia sulit dihubungi. Bahkan Prince juga kesulitan menemuinya di kantor. Kata sekretarisnya, Ella tiba-tiba saja ingin menyendiri,” jawab Ben.&ldq
“Kamar?!”Entah itu sebuah pertanyaan atau perintah. Ella tidak mengerti apa yang diucapkannya, karena saat ini tidak bisa berpikir jernih. Napasnya terengah, hampir habis, karena terlalu bergairah membalas ciuman Ben. Ya, Tuhan, ia tidak pernah menyangka kalau bisa merindukan sebuah ciuman seperti ini. Ini bukan perkara ciumannya, tapi siapa orang yang kau cium. Bagi Ella, orang itu adalah Benedict Cerg.Tak jauh berbeda dengan Ella, Ben pun mendadak bodoh dan hanya mampu mengangguk, tapi insiting liarnya menyuruhnya untuk mengangkat tubuh Ella, lalu berjalan tergesa menuju kamar. Ben tidak menyangka akan datang hari ini—lagi—untuknya, melakukan hal paling intim yang bisa dilakukan sepasang manusia yang sedang dilanda gairah.Ella merasakan tubuhnya terhempas menyentuh permukaan kasur, Ben langsung menindihnya, kembali menciumnya penuh tuntutan rindu yang harus segera tersalurkan. Bahayanya, tidak ada yang tahu berapa lama yang diperluka
Sudah lebih dari tiga jam sejak dokter meninggalkan ruang rawat Ben, tapi pria itu belum juga sadarkan diri. Jensen pun harus kembali ke kantor polisi untuk membuat laporan. Sedangkan Prince dan Grace juga pulang bersama anak-anak mereka. Martin belum terlihat lagi sejak satu jam yang lalu. Hanya ada Ella dan Aj yang tersisa menjaga Ben di ruangan itu.“Mommy, kapan Paman Ben akan bangun?”Ella yang sedang membaca majalah menoleh pada putranya yang ternyata sudah bangun dari tidur lelapnya di sofa. Ella menghampiri Aj dan langsung memangku bocah itu, sembari menepuk-nepuk punggungnya agar kembali tidur, mengingat tidur bocah itu pasti tidak nyaman di rumah sakit.“Sayang, kau sudah bangun? Jika masih mengantuk, tidur lagi saja.”Aj menggeleng. “Mom, kapan P
“Sayang, kau baik-baik saja?” tanya Martin khawatir, saat melihat Ella diam saja sejak masuk ke mobilnya. “Kau mau makan dulu sebelum kita menjemput Aj di rumah Prince?”“Tidak usah. Kita langsung ke sana.”“Kau yakin?”Ella mengangguk pasti, lalu kembali diam, menatap jalanan Rotterfort yang mulai ramai pagi ini.“Sialan!” maki si supir tiba-tiba?“Ada apa?” tanya Martin sambil mencoba melihat apa yang sedang terjadi di depan.“Orang-orang ini seperti tidak punya pekerjaan. Hampir setiap hari mereka turun ke jalan untuk berunjuk rasa,” gerutunya pada ratusan orang dengan spanduk dan poster-poster menuntut keadilan yang sedang lewat di depan mobilnya.“Tentang apa?”
Entah sudah berapa kali Ben menghela napas dan berapa liter bensin yang dihabiskannya. Sepertinya ia sudah mengelilingi Rotterfort puluhan kali, hanya untuk menenangkan pikiran dan keinginan hatinya yang ingin bertemu dengan Aj. Ben menggunakan segala cara, dari mulai mencari kesibukan di bengkel, hingga berkeliling Rotterfort. Namun, rasa rindu pada putranya—juga Ella—benar-benar tidak terbendung.Motornya berhenti di tempat terjauh dari Rotterfort yang bisa ia jangkau. Ia kembali ke pemakaman di luar Rotterfort yang beberapa hari lalu ia kunjungi. Ben berjalan dengan seikat lili di tangannya, melewati nisan-nisan yang kusam, lalu langkahnya berhenti beberapa meter dari kuburan orang tuanya. Lili yang kemarin dibawanya sudah nampak layu, tapi ada lima tangkai lili yang masih terlihat segar. Bukan, itu bukan lili di tangan B
Sudah 15 menit Ben berdiri di dapur. Diam-diam ia mengawasi Martin dan Aj yang sedang bermain bersama Max di ruang tamu. Ia sudah menemukan jawaban dari semua pertanyaan di kepalanya atas teka-teki yang ia temukan beberapa saat lalu ketika mereka masih berdiri di halaman rumah.Tunangan Martin adalah Ella.Aj adalah putranya.Ingin rasanya Ben memeluk bocah itu dan mengatakan betapa ia sangat merindukannya. Namun, Ben kembali menyadari posisi dirinya yang bukanlah siapa-siapa jika dibandingkan dengan Martin. Untuk saat ini, Ben hanya bisa membuatkan putranya segelas cokelat hangat—seperti yang selalu ia sajikan untuk ibunya.Buku-buku jemari Ben mengepal erat nampan yang membawa secangkir teh dan cokelat hangat itu. Perlahan ia letakkan dua cangkir itu di atas meja, tanpa memutuskan tatapannya pada Aj yang kini berlari mengitari ruang tamunya bersama Max.Prince sialan! Mengapa ia tidak mengatakan pada Ben, kalau Aj adalah putranya?“Ben, apa hubunganmu dengan Ella?” tanya Martin, set
Ben sedang dalam perjalanan pulang dari memperbaiki mobil milik temannya, saat ia melihat wajah yang tak asing sedang berdiri di halte bus. Sebagai tetangga yang baik, Ben berhenti dan menawarkan diri untuk membonceng tetangganya itu pulang.“Terima kasih, Ben.”“Tidak masalah. Kenapa kau berpakaian seperti ini?” tanya Ben penasaran.“Aku kalah taruhan dengan kawan-kawanku, jadi aku harus meminjam pakaian kakak perempuanku untuk pergi ke prom.”Ben terkekeh mendengar penjelasan tetangganya ini.“O, iya, Ben, kau mau membantuku sekali lagi?”“Apa itu?”“Sebagai tambahan hukuman kalah taruhan, aku juga harus mencium seorang pria. Kau bisa membantuku? Hanya satu kecupan saja. Kumohon. Kalau tidak, minggu depan aku harus memakai pakaian wanita dan berdandan untuk keluar rumah.”Ben menggeleng tak percaya mendengar ucapan tetangganya ini. “Kali ini aku aka
Sudah bertahun-tahun rumah megah di tengah kota itu sepi. Dulu sekali, si Tuan Rumah rutin mengadakan acara amal bersama koleganya. Namun, tidak jarang pula ia mengundang orang-orang kurang beruntung untuk turut hadir dan merasakan masakan dari tangan chef handal. Sejak beberapa tahun lalu rumah itu dilelang, hanya remang cahaya lampu taman yang sering dilihat dan dibicarakan penduduk Rotterfort.Hingga kini, si anak perempuan pembawa sial, tapi juga yang paling beruntung kembali ke rumahnya. Lampu-lampu di hampir seluruh sudut rumah itu diganti dengan lampu yang nyalanya lebih terang. Para tamu undangan yang jumlahnya tidak lebih dari sepuluh orang itu sudah datang dan duduk berdampingan di kursi makan. Sebastian sibuk mengobrol dengan Frederick—pengusaha muda yang sedang merintis usahanya di bidang nano teknologi—sambil menikmati lobster. Delapan orang lainnya pun sibuk membicarakan bisnis dan kerjasama yang barang kali bisa mereka bentuk.
“Jangan menertawakanku.”Ben menggeleng, tapi ia tidak sanggup menyembunyikan senyum di wajahnya.“Kondisimu juga tidak lebih baik dari aku.”Ben tertawa mendengar Sebastian yang bersungut-sungut sejak ia duduk di bangku itu. Sedangkan Ben, sibuk dengan kunci inggris, oli, dan mesin mobil Sebastian.“Lihat saja, kau lebih memilih kotor seperti ini, bekerja di ruang panas, daripada dengan setelan jas di kantorku.”Ben menjejakkan kakinya sebagai tumpuan untuk menarik diri dari bawah kolong mobil. Ia muncul dari sana dengan pakaian bengkelnya yang sudah kotor, berlumuran oli dari mobil-mobil yang diperbaikinya.Sejak bebas dari Blackford enam bulan lalu, Ben memilih memulai hidup barunya dengan menjadi montir. Berbekal pengetahuan dan pengalaman yang didapatnya selama lima tahun di Blackford, Ben bisa menyelesaikan—hampir—semua masalah mesin, khususnya mobil.“Jika kau bingung, kenap