“Sialan!” Ben memaki berulang kali sembari berusaha membuka pintu toilet.
Benar-benar di luar perkiraan Ben! Ella benar-benar meyebalkan dan sangat licik dengan mengunci Ben di dalam toilet agar dirinya bisa kabur. Bahkan sebelum benar-benar meninggalkannya, Ben sempat mendengar bagaimana gadis itu menertawakan kebodohannya, yang semakin membuat darah Ben mendidih.
Ben kembali memeriksa jendela ventilasi di dalam toilet, tapi tentu saja ukuran jendela itu terlalu kecil untuk tubuh berototnya. Bisa saja dirinya mendobrak pintu ini, tapi Ben masih waras, dia tidak ingin membuat keributan yang malah bisa membuatnya dipecat di hari pertamanya bekerja.
“Siapapun di luar sana! Buka pintunya! Hey! Apa kali—”
Teriakan Ben terputus, karena suara kunci pintu yang diputar, dan akhirnya pintu itu terbuka! Grace muncul di sana dengan napas terengah, lalu tanpa berbicara sepatah katapun, gadis itu langsung meraih tangan Ben.
“Lepaskan!” kesal Ben seraya menghentak lengannya lepas.
“Nona mudamu sedang dalam bahaya! Ayo!”
“Oh, sekarang kalian butuh aku?”
“Oh, kau benar-benar menyebalkan Max! Seperti yang Ella ceritakan!”
“Kalian yang memulai—”
“Sudahlah! Iya, kami memang salah. Tapi ini adalah keadaan hidup dan mati! Kau harus segera menyelamatkan Ella dari Oscar!”
“Oscar?”
“Ayo! Tidak ada waktu lagi!”
Ben tak lagi bertanya pada Grace, dia langsung mengikuti langkah lebar Grace. Gadis yang ukuran tubuhnya hampir sama dengan Ella ini kesulitan membelah kerumunan yang mulai memenuhi lorong kampus. Ben kemudian menarik lengan Grace hingga membuat gadis itu kini berada di belakang tubuhnya. Sedangkan Ben dengan tubuh tegapnya berhasil membelah lautan manusia itu tanpa kesulitan.
“Minggir!” teriak Ben seraya mempercepat langkahnya saat melihat tangan Oscar mengambang di udara dan bersiap mendarat di pipi Ella. “Aku bilang minggir kalian!”
“Namaku Prince. Prince Loshen.”
Setelah Prince memperkenalkan dirinya, tubuh Oscar seketika membeku. Bahkan tidak hanya Oscar, hampir seluruh siswa yang mendengar nama itu terdiam dan hanya saling pandang satu sama lain.
“P—Prince? Prince Loshen?” gagap Oscar. “Maksudmu kau adalah putra dari keluarga Loshen yang terkenal itu?”
“Apa ada keluarga lain yang bernama Loshen di Rotterfort?”
Oscar cepat-cepat menggeleng sebagai jawabannya.
Prince perlahan mengendurkan cekalannya di tangan Oscar, lalu menarik Ella, dan langsung mendekapnya.
“Radella Softucker adalah kekasihku, calon istriku. Jadi kalau ada di antara kalian yang mengganggunya, maka kalian akan berurusan denganku!”
Sama seperti yang lainnya, Ben pun turut terdiam di tempatnya berdiri saat ini. Di dalam otaknya muncul banyak pertanyaan tentang ucapan pemuda yang tersenyum lebar dan berhasil membuat seluruh penonton terdiam. Sejauh Ben mengingat, tidak ada nama keluarga Loshen di Rotterfort ini. Apa mungkin karena dirinya terlalu lama di penjara, sehingga tidak tahu kalau ada keluarga kaya dan sangat berpengaruh selain Softucker di Rotterfort ini?
“Apa kau mengerti?” tanya Prince memastikan pada Oscar yang mengelus pergelangan tangannya.
“Orang kaya selalu bertindak sesuka hatinya,” gerutu Oscar, kemudian berbalik dan menghilang bersama kerumunan yang mulai membubarkan diri.
“Kau tidak apa-apa?” Kali ini Prince bertanya pada Ella yang masih terpaku dalam dekapannya. Namun, sedetik kemudian, Ella mendapatkan kewarasannya dan langsung mendorong tubuh Prince.
“Apa yang kau lakukan?”
“Aku baru saja menyelamatkanmu, kan?”
“Bukan itu! Tapi setelahnya! Kau bilang calon istrimu? Kau sudah gila?”
“Ya, aku—”
“Jangan ganggu dia,” sela Ben yang tiba-tiba berdiri di antara Ella dan Prince. “Mewakili Ella, aku mengucapkan terima kasih karena sudah menolongnya. Tapi cukup sampai di sana, jangan buat gadis ini ketakutan dengan omong kosongmu itu.”
Prince mundur selangkah diiringi dengan tawa kecil saat matanya tidak berhenti memperhatikan Ben dari ujung kepala hingga kaki. Tubuhnya sungguh besar, sampai membuat Ella yang berada di belakangnya benar-benar tidak terlihat. Belum lagi jenggot yang menghiasi dagunya, rambut gondrong yang terlihat sedikit berantakan, dan jas yang kekecilan, sungguh membuat pria ini terlihat seperti gorilla yang salah kostum. Namun, itu semua tidak membuat Prince gentar. Setelah tawanya reda, Prince berusaha menghampiri Ella, tapi lagi-lagi Ben menghalaunya. Beberapa kali percobaan dan si gorilla itu benar-benar tidak berkutik.
“Kau siapa?”
“Aku pengawal Ella.”
“Setauku dia hanya punya dua pengawal. Aku melihat mereka di parkiran mobil tadi.”
Ben menampilan senyum penuh kemenangannya. “Aku adalah pengawal barunya. Mulai hari ini.”
“Ella?” panggil Prince lembut. “Apa benar pria ini adalah pengawalmu?”
Ben menoleh ke sisi kirinya, di sana dia mendapati kepala Ella menyembul untuk mengangguk sebagai jawaban. Namun, di sisinya yang lain, Ben bisa merasakan jari jemari yang mencengkeram lengan jasnya yang kekecilan. Sungguh, Ben merasa Ella yang sekarang mengintip di belakangnya, berbeda dengan Ella yang yang beberapa waktu lalu hampir celaka dan membuatnya terkunci di kamar mandi.
Melihat jawaban Ella, Prince mengangkat tangannya menyerah. “Baiklah. Maafkan aku kalau membuatmu takut, Ella. Tapi aku mengucapkan semua itu, hanya untuk melindungimu dari pria tadi. Aku tidak bersungguh-sungguh tentang ucapanku tadi.”
Ben melirik kembali ekspresi lega yang muncul di wajah Ella, tapi detik berikutnya mata gadis itu membulat saat Prince kembali berucap, “Tapi kalau suatu saat itu menjadi kenyataan, aku juga tidak keberatan.”
“Jangan mimpi! Kau pikir dirimu siapa? Berani—”
“Aku Prince. Prince Loshen, pewaris tunggal seluruh gurita bisnis keluarga Loshen.”
“Hah! Apalagi kau dari keluarga Loshen. Apa kau lupa? Kalau aku dari Softucker?”
Prince menggeleng, kemudian melangkah mendekati Ella. “Apa kau pernah membayangkan jika keluarga kita bersatu? Apa kau bisa membayangkan apa yang bisa kita lakukan jika—”
“Aku tidak berminat menikah karena politik bisnis. Cari saja gadis lain yang sangat menginginkan hidup nyaman, tapi tidak bernyawa seperti boneka!”
Prince kembali terkekeh. “Baiklah-baiklah. Kita sudahi perbincangan ini. Bagaimana kalau kita berteman? Aku baru di tempat ini, aku belum punya teman yang bisa menemaniku keliling kampus atau sekedar minum bir di bar.”
“Aku tidak punya waktu untuk itu!” sahut Ella sambil lalu. “Ayo!” tambahnya lagi mengajak Ben dan Grace pergi dari lorong loker.
Ben mempersilakan Grace untuk melangkah lebih dulu bersama Ella. Kemudian dirinya dengan patuh berada di belakang dua gadis yang masih bergosip membahas tentang sosok Prince. Sekali lagi, Ben menoleh ke belakang, memperhatikan Prince yang masih berdiri di sana, menatap lurus pada Ella.
“Aduh!” pekik Ella, membuat Ben terkesiap. “Kau tidak punya mata, huh? Sakit!” keluh Ella sambil mengusap lengannya.
“Maaf, Nona. Salahmu sendiri kenapa berhenti tiba-tiba.”
Ella melotot marah pada Ben. “Kau berani menyalahkanku? Kau sendiri yang jalan tidak melihat jalan! Aku dan Grace sedang melihat papan pengumuman dan kau seperti motor tanpa rem langsung menerjang! Memangnya apa yang sedang kau lihat tadi?”
Ella melongok ke belakang tubuh Ben, dan hanya melihat punggung Prince menjauh pergi meninggalkan tempatnya semula.
“Max, kau sungguh pengawal yang tidak berguna. Di saat aku membutuhkan perlindunganmu, di mana kau berada? Malah pria manja yang menyombongkan kekayaannya yang muncul.”
“Oh, mungkin kau lupa dengan apa yang kau lakukan padaku di toilet.”
“Ah, itu. Kau saja yang lemah. Memangnya kau tidak kuat mendobrak pintu itu?” Ella menelusuri lekuk bisep Ben. “Apakah otot yang hampir membuat jahitan jas ini robek, tidak mampu—”
“Dengar, Nona Manja!” Ben menyambar jari telunjuk Ella, menyentaknya, membuat Ella terlonjak dan jatuh ke dalam dekapan Ben. Dengan sigap, Ben memeluk pinggang Ella, membuat gadis itu kesulitan melepaskan diri.
“Apa kau bilang? Nona Manja? Sebaiknya—Apa yang kau lakukan, Max?! Jangan kurang ajar! Dasar Anjing Jalanan tidak tahu diri! Aku akan melaporkanmu—kenapa semakin—”
“Semakin kau berontak dan terus mengoceh, maka pelukanku akan semakin kencang. Aku jamin, jika dalam waktu dua menit kau belum berhenti mengoceh, maka besok kau tidak akan bisa jalan.”
“Huh! Kau tidak mungkin berani!”
Tentu saja Ben dengan sangat berani dan yakin bahwa dia bisa membuktikan ucapannya. Namun, saat ini Ben memang belum berniat untuk membuat keluarga Softucker mendapatkan karmanya. Ben masih ingin bermain-main. Perlahan, dengan perlahan Ben akan memastikan seluruh anggota Softucker akan berlutut di hadapannya memohon ampunan!
Ben mengendurkan pelukannya di pinggang Ella. “Kau benar, Nona. Aku tidak berani. Aku masih sangat membutuhkan pekerjaan ini untuk membayar tagihan listrik rumahku. Tapi ingat satu hal Ella. Bersikap baiklah padaku, dan mungkin aku akan mengampunimu suatu saat nanti.”
“Hei, hentikan Max! Ini di kampus!” sela Grace, berusaha menarik lepas lengan Ben. “Sikap kalian berdua ini, akan menarik perhatian lagi. Hentikan!”
“Bukankah itu yang sangat diinginkan oleh Nona? Menjadi pusat perhatian?”
Ella dan Grace diselamatkan oleh dering ponsel Grace, sebuah telepon dari teman sekelasnya pagi ini yang menyampaikan bahwa kelas pagi sudah dimulai. Ben melepaskan pelukannya, membiarkan Ella yang masih bersungut marah bebas untuk kembali melangkah menuju kelasnya. Sedangkan Ben, masih di belakangnya, masih memikirkan satu hal yang mengganjal pikirannya.
Sosok pemuda dengan nama Prince Loshen yang terlihat tidak asing. Namun, Ben sama sekali tidak bisa mengingat apapun tentang keluarga Loshen, tapi wajah pemuda tadi benar-benar seperti kawan yang sudah lama tidak dijumpai Ben. Ben menggaruk kepalanya, mengencangkan kunciran rambutnya, mengambil posisi duduk di sebelah Ella.
“Kau mahasiswa baru di sini?” tanya Mrs. Torres.
“Bagaimana?” tanya Ella dengan kedua tangan terlipat di depan dadanya. “Apa kata James?”Lucas kembali memasukkan ponselnya, kemudian mengangguk hormat pada Ella. “Tuan James mengizinkan Nona pergi bersama Nona Grace, tapi dengan syarat.”“Oh, ayolah! Kali ini aku tidak akan pergi ke rumah Oscar. Aku sudah tidak ada urusan dengan pria kurang ajar itu. Kalian tenang saja, ok? Aku hanya pergi ke mal membeli baju untuk acara halloween di kampus.”“Maaf, Nona. Ini adalah syarat—”“Ya sudah! Katakan cepat, apa syarat dari si Tua James!” kesal Ella.“Anda harus ditemani oleh pengawal, lalu—”“Hanya satu di antara kalian! Kalau lebih dari itu, aku akan melakukan hal yang lebih gila dari kemarin!”Lucas mengangguk. “Tidak masalah. Tuan James memang menyarankan salah satu dari kami, yakni Max.”“Max?&rdq
Jika tidak mengingat alasan dia memohon bekerja pada James Softucker, Ben akan dengan senang hati meninggalkan gadis yang sedari tadi bermulut kasar ini. Tanpa memedulikan perasaan orang lain, mulutnya begitu mudah mengucap makian dan hinaan untuk orang-orang seperti Ben. Bagian terburuknya, gadis itu mengatai Ben adalah seorang gay! Darimana pikiran itu berasal?Tatapan Ben tidak pernah meninggalkan sosok Ella yang keluar-masuk ruang ganti dan berkeliling toko, meskipun Grace begitu menggoda. Terlebih saat tubuh gadis belia ini berada di atas pangkuan Ben, tangan yang melingkar di leher Ben, pria itu bisa menghidu aroma wangi bunga yang menenangkan. Mungkin jika Grace bukan sahabat Ella dan sekarang mereka tidak di tempat umum, Ben akan langsung memeluk pinggang ramping itu, menelanjanginya, dan membuat gadis ini mendesah di pangkuannya.Namun, yang terjadi adalah mimpi buruk Ben selanjutnya. Dihajar banyak orang, karena ucapan gadis manja dan angkuh yang kin
Ella menatap Max tajam, berusaha menunjukkan bahwa dirinya tidak akan bisa dikalahkan oleh Max begitu saja! Tidak akan takut dengan ancaman pria itu, meski Ella juga melihat kebencian di sana. Ella yakin 100%, bahwa tebakannya tidak pernah meleset, Max adalah seorang gay! Tidak mungkin pria normal akan membiarkan begitu saja wanita mabuk yang hampir telanjang, tertidur di ranjang kamarnya. Bukannya membiarkannya kedinginan di teras rumah! Kali ini, Ella benar-benar mempertaruhkan harga dirinya saat memutuskan membawa Max ke pondok keluarga Softucker. Di tempat ini, Ella akan membuat Max berakhir mengenaskan, dipecat! Ella merangkul leher Max, mendekatkan bibirnya ke telinganya, menggigit pelan cuping telinganya dan menjilatnya. “Bagaimana? Kau tergoda dengan apa yang aku lakukan?” bisik Ella, lalu kembali menjilat telinga Max. Ella menarik wajahnya, menatap kembali mata Max yang masih sama—tanpa ekspresi. Sial! Pria itu sama sekali tidak bereaksi, ta
Ben sepertinya harus segera menceburkan diri ke danau yang ada di luar untuk mendinginkan otak dan tubuhnya, yang seketika memanas akibat segala hal yang dilakukan Ella pada tubuhnya. Gadis itu menggesekkan dadanya ke tubuh Ben. Pria yang diam di penjara selama 15 tahun dan tidak dapat menyalurkan gairahnya dengan benar, selain dengan sabun dan tangannya—itu pun seringkali terganggu oleh tahanan lainnya yang sudah tidak sabar untuk memuaskan hasratnya. Lalu bagaimana bisa menahan godaan dari seorang Radella? Otak Ben berusaha waras, tapi tubuhnya memilih mengikuti permainan Ella. Ben bukanlah pria polos dan bodoh yang tidak tahu maksud dari segala tindakan Ella saat ini. Ben tahu benar, bahwa gadis yang sekarang berada di bawah kuasanya, sengaja menggoda, agar dia memiliki alasan untuk memecat Ben. Namun, Ben juga punya rencananya sendiri. Dia akan membuat Nona Muda yang suka memberontak ini, tergila-gila padanya. Ben akan membuat Ella tidak bisa hidup tanpanya. Persetan jik
Ella membuka mata dan mendapati sepi di hadapannya. Detik berikutnya, dia seperti tersadar dari hipnotis gairah yang semalam diciptakannya bersama Max. Ella terduduk, membuat selimut yang menutupi tubuhnya melorot hingga ke perutnya.“Apa yang semalam belum puas?”Suara serak Max yang berasal dari luar membuat Ella langsung menarik selimut itu untuk menutupi bagian atas tubuhnya yang polos. Sekali dia mengintip bagian bawah tubuhnya—celana dalamnya masih di sana—Ella langsung menghela napas lega.“Kenapa harus malu, Nona?” tanya Max yang menghampiri Ella, lalu mengecup bibirnya.“Kurang ajar!” maki Ella, lalu mendorong tubuh Max, beranjak memunguti seluruh pakaiannya, dan berlalu masuk ke kamar.Dari dalam kamar, Ella masih mendengar kekehan Max yang sedang menertawakan dirinya. Ella menggeram kesal dan buru-buru memakai kembali pakaiannya. Untuk beberapa saat dia menatap pantulan dirinya di cermin.
Ben menutup album foto yang ditemukannya beberapa saat yang lalu. Album foto keluarga Softucker yang terlihat sangat bahagia. Berbeda sekali dengan keluarganya. Ayah dan ibu Ben bercerai saat dirinya berusia 12 tahun. Sejak saat itu, Ben tidak pernah lagi melihat ibunya. Kabar terakhir yang dia dengar, ibunya sudah menikah lagi dengan pria berkebangsaan asing dan kini menetap di negaranya. Meninggalkan Ben dan ayahnya dalam keterpurukan.Ben menoleh sesaat, menatap majikannya yang masih terlelap di sofa. Tidak heran gadis itu begitu lelap, dia pasti lelah setelah melewati malam yang begitu menggairahkan. Terlebih saat tubuhnya menegang dang menjerit, karena kenikmatan yang diberikan oleh orang rendahan yang sanggup memuaskannya.Ben beranjak mendekati Ella, gadis itu menggeliat pelan seraya menggumam akan sesuatu. Ben sedikit lebih dekat dan Ben mendengar Ella menyebut nama seseorang berulang kali. Ben kembali menegakkan punggungnya, menarik selimut untuk menutupi tubu
“Aku yang terlalu perasa atau sedari tadi pengawalmu yang seperti papan berjalan itu selalu menatapku?”Ella menoleh ke arah anggukan Grace. “Maksudmu Dave?”“Iya.”“Dia memang sedang menatapmu. Dia menyukaimu.”Grace hampir saja memuntahkan jus apel di dalam mulutnya, saat mendengar ucapan Ella. “Menyukaiku?” Grace langsung buru-buru menyambar topeng di meja.Ella mengangguk. “Kau pikir topeng itu bisa menyembunyikan pesonamu yang telah membius Dave?” cibir Ella. “Kau terlalu sibuk dengan deretan kekasih tidak bergunamu itu, sehingga tidak bisa melihat ada seorang pria menantimu, menyukaimu dari sejak awal kau datang ke rumahku.”“Kau mengada-ada.”“Tidak. Kau saja yang buta. Aku bisa langsung mengetahui kalau Dave punya perasaan terhadapmu.” Ella menatap Grace yang tersenyum simpul dengan tatapan yang tidak lepas dari para pen
Sudah seminggu sejak kejadian di pondok dan James Softucker masih bersikap sama, seolah tidak terjadi apa-apa. Hanya satu yang berbeda, Ben tidak lagi ditugaskan menjadi pengawal Ella. Ben tidak akan protes dengan keputusan James yang menugaskan dirinya untuk menjadi satpam di rumah. Ini jauh lebih baik, Ben bisa mengawasi jadwal kegiatan seluruh orang rumah dengan baik.James setiap pagi—kecuali akhir pekan—di jam yang sama akan berangkat ke kantor bersama supirnya. Saat jam makan siang, James lebih senang menghabiskan waktu di kedai kopi dekat kantor agar tidak terlalu membuang banyak waktu di luar. Setelah itu dia akan kembali tenggelam dalam pekerjaannya dan baru pulang menjelang jam makan malam. Di akhir pekan, James lebih senang menghabiskan waktunya dengan membaca buku di halaman belakang atau memutar piringan hitam musik klasik di ruang kerja. Sedangkan untuk Ella, akan berangkat ke kampus setelah sarapan. Seharian dia akan menghabiskan waktu bersama Grace
Ben pikir, setelah Ella mengatakan ya padanya, semuanya akan berjalan lancar hingga hari pernikahan—yang entah kapan akan mereka gelar. Nyatanya, dua hari setelah pulang dari pondok, Ella meminta waktu lebih lama untuk memikirkan kapan sebaiknya pernikahan mereka dilangsungkan. Jangan tanya bagaimana paniknya Ben saat itu, tapi sebisa mungkin berusaha ia sembunyikan. Ia tidak ingin membuat Ella merasa terpaksa menikahi Ben, meski sebenarnya Ben juga sudah tidak sabar ingin menjadikan Ella sebagai istrinya, karena ia sangat takut kehilangan Ella lagi.“Ella belum memutuskan kapan dia akan menikahimu?” tanya Jensen, saat ia menyempatkan diri mampir ke rumah Ben sebelum berangkat bertugas. “Kalian bertengkar lagi?”Ben menggeleng. “Aku juga tidak tahu. Sudah berhari-hari dia sulit dihubungi. Bahkan Prince juga kesulitan menemuinya di kantor. Kata sekretarisnya, Ella tiba-tiba saja ingin menyendiri,” jawab Ben.&ldq
“Kamar?!”Entah itu sebuah pertanyaan atau perintah. Ella tidak mengerti apa yang diucapkannya, karena saat ini tidak bisa berpikir jernih. Napasnya terengah, hampir habis, karena terlalu bergairah membalas ciuman Ben. Ya, Tuhan, ia tidak pernah menyangka kalau bisa merindukan sebuah ciuman seperti ini. Ini bukan perkara ciumannya, tapi siapa orang yang kau cium. Bagi Ella, orang itu adalah Benedict Cerg.Tak jauh berbeda dengan Ella, Ben pun mendadak bodoh dan hanya mampu mengangguk, tapi insiting liarnya menyuruhnya untuk mengangkat tubuh Ella, lalu berjalan tergesa menuju kamar. Ben tidak menyangka akan datang hari ini—lagi—untuknya, melakukan hal paling intim yang bisa dilakukan sepasang manusia yang sedang dilanda gairah.Ella merasakan tubuhnya terhempas menyentuh permukaan kasur, Ben langsung menindihnya, kembali menciumnya penuh tuntutan rindu yang harus segera tersalurkan. Bahayanya, tidak ada yang tahu berapa lama yang diperluka
Sudah lebih dari tiga jam sejak dokter meninggalkan ruang rawat Ben, tapi pria itu belum juga sadarkan diri. Jensen pun harus kembali ke kantor polisi untuk membuat laporan. Sedangkan Prince dan Grace juga pulang bersama anak-anak mereka. Martin belum terlihat lagi sejak satu jam yang lalu. Hanya ada Ella dan Aj yang tersisa menjaga Ben di ruangan itu.“Mommy, kapan Paman Ben akan bangun?”Ella yang sedang membaca majalah menoleh pada putranya yang ternyata sudah bangun dari tidur lelapnya di sofa. Ella menghampiri Aj dan langsung memangku bocah itu, sembari menepuk-nepuk punggungnya agar kembali tidur, mengingat tidur bocah itu pasti tidak nyaman di rumah sakit.“Sayang, kau sudah bangun? Jika masih mengantuk, tidur lagi saja.”Aj menggeleng. “Mom, kapan P
“Sayang, kau baik-baik saja?” tanya Martin khawatir, saat melihat Ella diam saja sejak masuk ke mobilnya. “Kau mau makan dulu sebelum kita menjemput Aj di rumah Prince?”“Tidak usah. Kita langsung ke sana.”“Kau yakin?”Ella mengangguk pasti, lalu kembali diam, menatap jalanan Rotterfort yang mulai ramai pagi ini.“Sialan!” maki si supir tiba-tiba?“Ada apa?” tanya Martin sambil mencoba melihat apa yang sedang terjadi di depan.“Orang-orang ini seperti tidak punya pekerjaan. Hampir setiap hari mereka turun ke jalan untuk berunjuk rasa,” gerutunya pada ratusan orang dengan spanduk dan poster-poster menuntut keadilan yang sedang lewat di depan mobilnya.“Tentang apa?”
Entah sudah berapa kali Ben menghela napas dan berapa liter bensin yang dihabiskannya. Sepertinya ia sudah mengelilingi Rotterfort puluhan kali, hanya untuk menenangkan pikiran dan keinginan hatinya yang ingin bertemu dengan Aj. Ben menggunakan segala cara, dari mulai mencari kesibukan di bengkel, hingga berkeliling Rotterfort. Namun, rasa rindu pada putranya—juga Ella—benar-benar tidak terbendung.Motornya berhenti di tempat terjauh dari Rotterfort yang bisa ia jangkau. Ia kembali ke pemakaman di luar Rotterfort yang beberapa hari lalu ia kunjungi. Ben berjalan dengan seikat lili di tangannya, melewati nisan-nisan yang kusam, lalu langkahnya berhenti beberapa meter dari kuburan orang tuanya. Lili yang kemarin dibawanya sudah nampak layu, tapi ada lima tangkai lili yang masih terlihat segar. Bukan, itu bukan lili di tangan B
Sudah 15 menit Ben berdiri di dapur. Diam-diam ia mengawasi Martin dan Aj yang sedang bermain bersama Max di ruang tamu. Ia sudah menemukan jawaban dari semua pertanyaan di kepalanya atas teka-teki yang ia temukan beberapa saat lalu ketika mereka masih berdiri di halaman rumah.Tunangan Martin adalah Ella.Aj adalah putranya.Ingin rasanya Ben memeluk bocah itu dan mengatakan betapa ia sangat merindukannya. Namun, Ben kembali menyadari posisi dirinya yang bukanlah siapa-siapa jika dibandingkan dengan Martin. Untuk saat ini, Ben hanya bisa membuatkan putranya segelas cokelat hangat—seperti yang selalu ia sajikan untuk ibunya.Buku-buku jemari Ben mengepal erat nampan yang membawa secangkir teh dan cokelat hangat itu. Perlahan ia letakkan dua cangkir itu di atas meja, tanpa memutuskan tatapannya pada Aj yang kini berlari mengitari ruang tamunya bersama Max.Prince sialan! Mengapa ia tidak mengatakan pada Ben, kalau Aj adalah putranya?“Ben, apa hubunganmu dengan Ella?” tanya Martin, set
Ben sedang dalam perjalanan pulang dari memperbaiki mobil milik temannya, saat ia melihat wajah yang tak asing sedang berdiri di halte bus. Sebagai tetangga yang baik, Ben berhenti dan menawarkan diri untuk membonceng tetangganya itu pulang.“Terima kasih, Ben.”“Tidak masalah. Kenapa kau berpakaian seperti ini?” tanya Ben penasaran.“Aku kalah taruhan dengan kawan-kawanku, jadi aku harus meminjam pakaian kakak perempuanku untuk pergi ke prom.”Ben terkekeh mendengar penjelasan tetangganya ini.“O, iya, Ben, kau mau membantuku sekali lagi?”“Apa itu?”“Sebagai tambahan hukuman kalah taruhan, aku juga harus mencium seorang pria. Kau bisa membantuku? Hanya satu kecupan saja. Kumohon. Kalau tidak, minggu depan aku harus memakai pakaian wanita dan berdandan untuk keluar rumah.”Ben menggeleng tak percaya mendengar ucapan tetangganya ini. “Kali ini aku aka
Sudah bertahun-tahun rumah megah di tengah kota itu sepi. Dulu sekali, si Tuan Rumah rutin mengadakan acara amal bersama koleganya. Namun, tidak jarang pula ia mengundang orang-orang kurang beruntung untuk turut hadir dan merasakan masakan dari tangan chef handal. Sejak beberapa tahun lalu rumah itu dilelang, hanya remang cahaya lampu taman yang sering dilihat dan dibicarakan penduduk Rotterfort.Hingga kini, si anak perempuan pembawa sial, tapi juga yang paling beruntung kembali ke rumahnya. Lampu-lampu di hampir seluruh sudut rumah itu diganti dengan lampu yang nyalanya lebih terang. Para tamu undangan yang jumlahnya tidak lebih dari sepuluh orang itu sudah datang dan duduk berdampingan di kursi makan. Sebastian sibuk mengobrol dengan Frederick—pengusaha muda yang sedang merintis usahanya di bidang nano teknologi—sambil menikmati lobster. Delapan orang lainnya pun sibuk membicarakan bisnis dan kerjasama yang barang kali bisa mereka bentuk.
“Jangan menertawakanku.”Ben menggeleng, tapi ia tidak sanggup menyembunyikan senyum di wajahnya.“Kondisimu juga tidak lebih baik dari aku.”Ben tertawa mendengar Sebastian yang bersungut-sungut sejak ia duduk di bangku itu. Sedangkan Ben, sibuk dengan kunci inggris, oli, dan mesin mobil Sebastian.“Lihat saja, kau lebih memilih kotor seperti ini, bekerja di ruang panas, daripada dengan setelan jas di kantorku.”Ben menjejakkan kakinya sebagai tumpuan untuk menarik diri dari bawah kolong mobil. Ia muncul dari sana dengan pakaian bengkelnya yang sudah kotor, berlumuran oli dari mobil-mobil yang diperbaikinya.Sejak bebas dari Blackford enam bulan lalu, Ben memilih memulai hidup barunya dengan menjadi montir. Berbekal pengetahuan dan pengalaman yang didapatnya selama lima tahun di Blackford, Ben bisa menyelesaikan—hampir—semua masalah mesin, khususnya mobil.“Jika kau bingung, kenap