Jika tidak mengingat alasan dia memohon bekerja pada James Softucker, Ben akan dengan senang hati meninggalkan gadis yang sedari tadi bermulut kasar ini. Tanpa memedulikan perasaan orang lain, mulutnya begitu mudah mengucap makian dan hinaan untuk orang-orang seperti Ben. Bagian terburuknya, gadis itu mengatai Ben adalah seorang gay! Darimana pikiran itu berasal?
Tatapan Ben tidak pernah meninggalkan sosok Ella yang keluar-masuk ruang ganti dan berkeliling toko, meskipun Grace begitu menggoda. Terlebih saat tubuh gadis belia ini berada di atas pangkuan Ben, tangan yang melingkar di leher Ben, pria itu bisa menghidu aroma wangi bunga yang menenangkan. Mungkin jika Grace bukan sahabat Ella dan sekarang mereka tidak di tempat umum, Ben akan langsung memeluk pinggang ramping itu, menelanjanginya, dan membuat gadis ini mendesah di pangkuannya.
Namun, yang terjadi adalah mimpi buruk Ben selanjutnya. Dihajar banyak orang, karena ucapan gadis manja dan angkuh yang kini berada di bawah perlindungannya. Ingin sekali Ben menghajar orang-orang berakal pendek yang tengah menendangnya dan meninjunya, tapi mengingat si pembuat masalah tersungkur jatuh bersamanya, Ben tidak punya pilihan lain selain melindungi Nona Mudanya.
“Kau tidak apa-apa?”
Ben menatap intens gadis yang berada di bawahnya dan ketika wajahnya mendongak, Ben bisa melihat ketakutan di kedua matanya. Ingin sekali Ben menertawakan ekspresi gadis ini.
“Kau bisa berdiri?”
Gadis itu selalu mengangguk cepat sebagai jawaban atas pertanyaan Ben.
“Pada hitungan ketiga, aku akan menarikmu. Kita harus lari dari sini.”
“Tapi—”
“Jangan banyak bertanya!”
“Satu …” Ben merangkul tubuh Ella.
“Dua …” Pelukan Ben semakin erat.
“Tiga!”
Dengan sebelah tangannya yang bebas, Ben mendorong kerumunan di sekitarnya. Lalu menarik paksa Ella, merangkulnya erat, mereka membelah kerumunan yang diciptakan Ella. Langkah lebar Ben, membuat Ella terseok, tapi Ben tidak peduli. Pria itu terus berjalan secepat mungkin menghindar.
“Tas belanjaku!” pekik Ella.
“Biarkan!”
“Tapi—”
Ben menatap bengis pada Ella yang masih terus berusaha peduli pada barang-barang belanjaannya, daripada nyawanya sendiri. Namun, tiba-tiba Ben menyelipkan tangannya di belakang lutut Ella dan berakhir menggendongnya. Ben berlari secepat mungkin menuju parkiran mobil, tidak memedulikan banyak pasang mata yang menatap mereka, apalagi teriakan makian dari orang-orang yang mengejarnya. Saat sampai di parkiran, Ben langsung memaksa Ella masuk ke mobil. Ben kemudian menginjak pedal gasnya dalam-dalam, sampai membuat ban mobil berderit dan memekakan telinga. Laju mobil sekami kencang, tatkala suara sirine mobil polisi terus mengejar mereka dari belakang!
Entah sudah berapa lama dan berapa jauh mereka melarikan diri, Ben tidak tahu pasti. Satu hal yang diyakini Ben saat ini adalah mereka tersesat! Laju mobil semakin pelan dan mulai menepi. Ben mematikan mesinnya, lalu keluar untuk melihat keadaan sekitar. Gelap! Di sekeliling mereka hanya ada pohon pinus yang menjulang tinggi, jalanan juga sangat sepi!
Ben melongok kembali ke dalam mobil, Ella masih terlelap di sana.
“Sialan!” makinya. Seolah keadaan belum terlalu buruk, saat Ben mengambil ponselnya dan hendak mencari arah pulang, baterai ponselnya habis! Ben menggeram kesal, lalu menendang ban mobil bagian depan untuk menyalurkan amarahnya.
“Hei, bangun!” perintah Ben sambil menampar pelan pipi Ella.
Perlahan Ella mulai membuka matanya, kemudian menggeliat untuk merenggangkan otot-otot tubuhnya. Matanya kemudian mengedar, memperhatikan keadaan sekelilingnya.
“Di mana ini?”
“Aku tidak tahu.”
“Tidak tahu?!” pekik Ella kaget, lalu turun dari mobil dan berjalan cepat menghampiri Ben. “Tidak tahu kau bilang?! Kau seharian ini menyetir dan berakhir di tengah hutan seperti ini, dan kau dengan mudahnya menjawab tidak tahu?!”
Ben kembali menendang ban mobil seraya menggebrak bagian atas mobil dengan tangannya. Ini bukan salahnya, kan? Apa yang bisa kau harapkan dari seorang mantan narapidana yang dipenjara selama 15 tahun? Kau berharap dia bisa tahu bagaimana perkembangan di dunia luar dari balik jeruji besi?
“Ponselku mati. Bagaimana dengan milikmu?”
Ella buru-buru merogoh tasnya dan menemukan ponselnya masih memiliki daya baterai, tapi hanya tinggal 10%.
“Ponselku tidak akan bertahan lebih dari 15 menit, jika digunakan untuk mencari jalan keluar dari sini.”
“Cari saja sekarang. Kita bisa hafalkan.”
Ella kembali sibuk dengan ponselnya, jemarinya bergerak lincah mencari jalan keluar dari tengah hutan ini.
“Tunggu! Aku tahu di mana kita saat ini!” seru Ella, kemudian melihat kembali ke sekelilingnya. “Kita di Canterly Woods!”
“Di mana kau bilang?”
“Lihat ini!” Ella menyodorkan ponselnya pada Ben. “Titik biru ini adalah titik di mana kita berada. Kita berada di hutan Canterly Woods! Kau paham sekarang?”
“Lalu ke mana arah pulang?” tanya Ben tergesa mencari topik lain, sebelum gadis di hadapannya ini lebih lama menatapnya. Ben tidak akan masalah jika tatapan itu adalah tatapan ramah, tapi tidak dengan yang satu ini. Tatapan yang diberikan adalah tatapan merendahkan. Ben tidak akan membiarkan satu pun keluarga Softucker untuk merendahkannya.
Penerus kerajaan Softucker itu tertawa sumbang saat mendengar pertanyaan Ben, lalu kembali menyimpan ponselnya.
“Pulang? Aku tidak mau pulang!”
“Jangan macam-macam! Kau masih ingin bermain denganku? Kau tidak lihat akibat dari perbuatanmu di mal tadi?” gusar Ben. “Kau tidak mau pulang, karena memang ingin aku dipecat oleh ayahmu, kan?”
“Bagus kalau kau paham. Tapi saat ini, bukan itu alasan utamaku.”
Ben menatap Ella tak suka. Terlebih saat seringai penuh kesombongan hadir di wajahnya.
“Masuklah! Aku tahu kita harus ke mana!”
“Aku tidak mau! Kau katakan dulu, ke mana arah pulang!”
“Ck! Aku sudah bilang, aku tidak mau pulang!”
“Baiklah. Kalau begitu lebih baik kita tetap di sini, sampai ada mobil lain lewat. Setidaknya aku punya alasan yang masuk akal untuk kujadikan alibi, jika ayahmu ingin memecatku!” jawab Ben yang membuat Nona Muda menggeram kesal dan langsung menampar pipi Ben, lalu memukuli tubuhnya.
“Kau sialan, Max! Dasar anjing jalanan!”
“Hentikan! Hentikan!” teriak Ben, berusaha menghentikan pukulan Ella. “Jika kau masih memukuliku, aku akan patahkan tanganmu!”
“Lepaskan!”
“Ke mana arah pulang?”
Bungkamnya Ella, membuat Ben geram. Ditariknya Ella ke dalam pelukannya, lalu menghimpit tubuh mungil itu di antara dirinya dan sisi mobil. Tentu saja gadis itu tidak diam saja, berulang kali dia berteriak memakin Ben dan berusaha melepaskan diri. Namun, semua perlawanan itu sia-sia, mengingat ukuran tubuh Ben hampir tiga kali tubuhnya. Ben semakin mendekatkan tubuhnya, tidak menyisakan sedikitpun ruang antara mereka.
“Katakan, Nona,” bisik Ben di telinga Ella. “Apakah ke utara atau ke selatan?”
Ella bergeming.
“Kau pikir aku tidak berani memaksamu?”
Ben bersorak dalam hati saat melihat ketakutan di dalam manik mata Nona Mudanya. Berulang kali putri Softucker membasahi bibirnya yang bergetar, karena kegugupan yang tiba-tiba menyergap. Satu hal yang tidak diantisipasi oleh Ben adalah godaan bibir tipis berwarna merah itu. Bibir yang merekah dan sedikit lebih tebal di bagian bawah, sungguh sempurna. Wajah Ben semakin mendekat, bahkan dirinya bisa merasakan hangat napas Ella yang memburu.
“Jangan macam-macam, Max!”
“Kau yang memulai, Nona,” bisik Ben tepat di atas bibir Ella. Pada akhirnya Ben takhluk pada satu dorongan tak kasat mata yang menyuruhnya untuk merasakan bibir itu. Satu kecupan singkat dan Ben langsung menarik wajahnya menjauh. “Aku bisa melakukan hal yang lebih daripada tadi, jika kau masih keras kepala.”
“Ba—Baiklah! Ke sana!” jawab Ella seraya mengangguk ke sebelah kanannya. “Kalau mau kembali ke kota lewat sana.”
“Kau tidak bohong?”
Ella buru-buru menggeleng.
“Baiklah, aku percaya padamu.” Ben melepaskan himpitannya, kemudian menggandeng Ella menuju pintu sisi penumpang. “Tapi kalau kau berbohong, aku tidak akan segan-segan melakukan hal yang lebih. Paham? Cepatlah masuk!”
Beberapa saat kemudian, Ben melaju sesuai arahan yang diberikan Ella. Dirinya tidak punya pilihan lain selain percaya pada ucapan gadis kaya yang manja ini. Jika nantinya semua ucapan Ella adalah kebohongan, Ben akan benar-benar membuktikan ancamannya. Dia akan membuat Ella tidak pernah melupakan malam ini.
***
“Kau!” geram Ben saat menyadari dirinya telah dipermainkan oleh Ella. Ben langsung turun dari mobil dan berjalan ke sisi lainnya, untuk menyeret Ella dan memberinya pelajaran.
Namun, Ella lebih cepat bergerak melarikan diri. Gadis itu berlari melewati jalan setapak di antara pepohonan.
“Ella!” teriak Ben. “Berhenti!”
Keadaan hutan yang gelap dan hanya ada sedikit cahaya dari bulan purnama, membuat Ben kesulitan melihat ke mana Ella berlari. Ben hanya mengandalkan suara gemerisik dahan dan daun kering yang patah saat dilewati oleh Ella. Suara gemerisik itu semakin dekat, Ben mempercepat larinya. Saat pengejaran itu berhenti, Ben mendapati Ella membungkuk, memegangi kedua lututnya, terengah tak jauh di hadapannya.
“Ella!”
Ben berjalan cepat mendekati Ella. Namun, tidak seperti saat di pinggir jalan tadi, gadis ini sama sekali tidak berusaha untuk kabur lagi. Bahkan tak acuh dengan amarah Ben, Ella berjalan menuju sebuah pondok yang ada di tepi danau. Ben terus mengawasi tingkah Ella, gadis itu sepertinya sudah terbiasa datang kemari, bahkan tahu di mana letak si pemilik pondok menyimpan kunci.
Ella membuka pintu depan, lalu menghilang di baliknya. Tak berapa lama kemudian, cahaya bulan purnama di sekitaran danau digantikan oleh semburat cahaya lampu-lampu dari dalam pondok. Semua ini, membuat kening Ben mengerut dan penasaran, mengapa Ella tahu tempat ini. Ben membiarkan pintu depan yang barus saja dilewatinya terbuka, dirinya melangkah masuk, menatap sekeliling, dan berakhir dengan Ella yang tiba-tiba muncul dari pintu bagian belakang.
“Kenapa melihatku seperti itu? Kau pikir aku tidak bisa melakukan ini semua?” tanyanya sambil melangkah menuju perapian yang berada di ruang tamu pondok. Ella melemparkan empat batang kayu yang diambilnya dari belakang ke dalam perapian, lalu pergi ke dapur untuk mengambil minyak dan korek api.
“Tempat apa ini?” tanya Ben, masih waspada dengan sekelilingnya.
“Ini adalah rumah musim panas keluargaku. Kami menghabiskan waktu hampir sepanjang musim panas di sini,” jelas Ella, yang kini sudah membuka jaketnya. Lalu menutup pintu dan memadamkan lampu utama, membuat pencahayaan temaram. Ella lalu menepuk pelan sofa di dekatnya—untuk menyingkirkan debu—kemudian duduk untuk menikmati kehangatan dari kayu yang mulai terbakar.
Ben sama sekali tidak tertarik dengan ajakan Ella untuk duduk bersama, mengobrol di depan perapian. Mereka bukan sahabat, hubungan mereka adalah majikan dan budaknya. Atau mungkin bagi Ben lebih seperti predator dan mangsa, tentu saja Ben adalah predatornya!
“Kau lupa dengan ucapanku sebelum kita naik mobil tadi?”
Ella mendongak dan menatap lurus kedua mata Ben. “Yang mana?”
Di remang cahaya, Ben bisa melihat—lagi-lagi—seringai sombong dan ekspresi penuh kemenangan di wajah Ella. Namun, kali ini Ben tidak main-main dengan ancamannya!
Ben menarik paksa Ella untuk berdiri, kemudian mendekap erat pinggul Ella. Membuat tubuh keduanya merapat, tanpa menyisakan ruang di antaranya. Sebelah tangan Ben menarik rambut Ella untuk membuat wajah gadis itu tengadah. Ben memperhatikan sekali lagi, bagaimana kondisi Ella saat ini.
“Jangan terlalu memaksakan diri, Max.” Ella tersenyum. “Aku tahu itu hanya gertakanmu saja. Mana mungkin seorang gay bisa melakukannya pada wanita, kan? Aku tidak akan pernah bisa membuatmu bergairah.”
Tawa Ella semakin keras, membuat Ben mengetatkan pelukannya.
“Sakit,” rintih Ella berusaha melepaskan diri. “Apa sekarang kau sedang berusaha untuk bergairah? Kau tidak akan bisa, cobalah!” tantang Ella di tengah rontaannya. Namun, sesaat kemudian gadis itu melakukan sesuatu yang tidak pernah diduga Ben.
Ella merangkul leher Ben. Kemudian mengaitkan kaki kirinya di pinggang Ben, membuat tubuh mereka semakin merapat. Detik berikutnya, Ella bergerak naik turun secara perlahan, menggoda pusat gairah Ben.
“Bagaimana? Kau tergoda dengan apa yang aku lakukan?” bisik Ella, lalu menjilat telinga Ben. Kemudian menciumi leher Ben, mencoba menggodanya.
Gadis dalam pelukannya ini benar-benar menguji kesabaran dan gairah Ben. Dirinya adalah pria normal yang jika diperlakukan seperti ini, tentu saja bisa memicu gairahnya semakin meninggi. Namun, Ben tidak ingin kalah pada gairah dan keangkuhan Ella. Ben akan ikut bermain dalam permainan yang diciptakan Ella. Jika gadis itu menginginkan pembuktian akan ancaman Ben, maka Ben akan membuktikannya!
***
Ella menatap Max tajam, berusaha menunjukkan bahwa dirinya tidak akan bisa dikalahkan oleh Max begitu saja! Tidak akan takut dengan ancaman pria itu, meski Ella juga melihat kebencian di sana. Ella yakin 100%, bahwa tebakannya tidak pernah meleset, Max adalah seorang gay! Tidak mungkin pria normal akan membiarkan begitu saja wanita mabuk yang hampir telanjang, tertidur di ranjang kamarnya. Bukannya membiarkannya kedinginan di teras rumah! Kali ini, Ella benar-benar mempertaruhkan harga dirinya saat memutuskan membawa Max ke pondok keluarga Softucker. Di tempat ini, Ella akan membuat Max berakhir mengenaskan, dipecat! Ella merangkul leher Max, mendekatkan bibirnya ke telinganya, menggigit pelan cuping telinganya dan menjilatnya. “Bagaimana? Kau tergoda dengan apa yang aku lakukan?” bisik Ella, lalu kembali menjilat telinga Max. Ella menarik wajahnya, menatap kembali mata Max yang masih sama—tanpa ekspresi. Sial! Pria itu sama sekali tidak bereaksi, ta
Ben sepertinya harus segera menceburkan diri ke danau yang ada di luar untuk mendinginkan otak dan tubuhnya, yang seketika memanas akibat segala hal yang dilakukan Ella pada tubuhnya. Gadis itu menggesekkan dadanya ke tubuh Ben. Pria yang diam di penjara selama 15 tahun dan tidak dapat menyalurkan gairahnya dengan benar, selain dengan sabun dan tangannya—itu pun seringkali terganggu oleh tahanan lainnya yang sudah tidak sabar untuk memuaskan hasratnya. Lalu bagaimana bisa menahan godaan dari seorang Radella? Otak Ben berusaha waras, tapi tubuhnya memilih mengikuti permainan Ella. Ben bukanlah pria polos dan bodoh yang tidak tahu maksud dari segala tindakan Ella saat ini. Ben tahu benar, bahwa gadis yang sekarang berada di bawah kuasanya, sengaja menggoda, agar dia memiliki alasan untuk memecat Ben. Namun, Ben juga punya rencananya sendiri. Dia akan membuat Nona Muda yang suka memberontak ini, tergila-gila padanya. Ben akan membuat Ella tidak bisa hidup tanpanya. Persetan jik
Ella membuka mata dan mendapati sepi di hadapannya. Detik berikutnya, dia seperti tersadar dari hipnotis gairah yang semalam diciptakannya bersama Max. Ella terduduk, membuat selimut yang menutupi tubuhnya melorot hingga ke perutnya.“Apa yang semalam belum puas?”Suara serak Max yang berasal dari luar membuat Ella langsung menarik selimut itu untuk menutupi bagian atas tubuhnya yang polos. Sekali dia mengintip bagian bawah tubuhnya—celana dalamnya masih di sana—Ella langsung menghela napas lega.“Kenapa harus malu, Nona?” tanya Max yang menghampiri Ella, lalu mengecup bibirnya.“Kurang ajar!” maki Ella, lalu mendorong tubuh Max, beranjak memunguti seluruh pakaiannya, dan berlalu masuk ke kamar.Dari dalam kamar, Ella masih mendengar kekehan Max yang sedang menertawakan dirinya. Ella menggeram kesal dan buru-buru memakai kembali pakaiannya. Untuk beberapa saat dia menatap pantulan dirinya di cermin.
Ben menutup album foto yang ditemukannya beberapa saat yang lalu. Album foto keluarga Softucker yang terlihat sangat bahagia. Berbeda sekali dengan keluarganya. Ayah dan ibu Ben bercerai saat dirinya berusia 12 tahun. Sejak saat itu, Ben tidak pernah lagi melihat ibunya. Kabar terakhir yang dia dengar, ibunya sudah menikah lagi dengan pria berkebangsaan asing dan kini menetap di negaranya. Meninggalkan Ben dan ayahnya dalam keterpurukan.Ben menoleh sesaat, menatap majikannya yang masih terlelap di sofa. Tidak heran gadis itu begitu lelap, dia pasti lelah setelah melewati malam yang begitu menggairahkan. Terlebih saat tubuhnya menegang dang menjerit, karena kenikmatan yang diberikan oleh orang rendahan yang sanggup memuaskannya.Ben beranjak mendekati Ella, gadis itu menggeliat pelan seraya menggumam akan sesuatu. Ben sedikit lebih dekat dan Ben mendengar Ella menyebut nama seseorang berulang kali. Ben kembali menegakkan punggungnya, menarik selimut untuk menutupi tubu
“Aku yang terlalu perasa atau sedari tadi pengawalmu yang seperti papan berjalan itu selalu menatapku?”Ella menoleh ke arah anggukan Grace. “Maksudmu Dave?”“Iya.”“Dia memang sedang menatapmu. Dia menyukaimu.”Grace hampir saja memuntahkan jus apel di dalam mulutnya, saat mendengar ucapan Ella. “Menyukaiku?” Grace langsung buru-buru menyambar topeng di meja.Ella mengangguk. “Kau pikir topeng itu bisa menyembunyikan pesonamu yang telah membius Dave?” cibir Ella. “Kau terlalu sibuk dengan deretan kekasih tidak bergunamu itu, sehingga tidak bisa melihat ada seorang pria menantimu, menyukaimu dari sejak awal kau datang ke rumahku.”“Kau mengada-ada.”“Tidak. Kau saja yang buta. Aku bisa langsung mengetahui kalau Dave punya perasaan terhadapmu.” Ella menatap Grace yang tersenyum simpul dengan tatapan yang tidak lepas dari para pen
Sudah seminggu sejak kejadian di pondok dan James Softucker masih bersikap sama, seolah tidak terjadi apa-apa. Hanya satu yang berbeda, Ben tidak lagi ditugaskan menjadi pengawal Ella. Ben tidak akan protes dengan keputusan James yang menugaskan dirinya untuk menjadi satpam di rumah. Ini jauh lebih baik, Ben bisa mengawasi jadwal kegiatan seluruh orang rumah dengan baik.James setiap pagi—kecuali akhir pekan—di jam yang sama akan berangkat ke kantor bersama supirnya. Saat jam makan siang, James lebih senang menghabiskan waktu di kedai kopi dekat kantor agar tidak terlalu membuang banyak waktu di luar. Setelah itu dia akan kembali tenggelam dalam pekerjaannya dan baru pulang menjelang jam makan malam. Di akhir pekan, James lebih senang menghabiskan waktunya dengan membaca buku di halaman belakang atau memutar piringan hitam musik klasik di ruang kerja. Sedangkan untuk Ella, akan berangkat ke kampus setelah sarapan. Seharian dia akan menghabiskan waktu bersama Grace
Ella pikir, hari-harinya akan kembali tenang setelah berhasil menyingkirkan Max dari kehidupannya. Namun, kenyataannya adalah sebaliknya. Hampir setiap malam pikiran Ella dipenuhi oleh Max. Ella tidak pernah menyangka, bahwa peristiwa satu malam di pondok musim panas Softucker, begitu menghantuinya. Berulang kali Ella berusaha mengenyahkan bayangan tubuh serta sentuhan Max, tapi yang terjadi adalah Ella malah merindukannya, menginginkan pria itu untuk kembali menyentuhnya. Hampir setiap malam pula, Ella bertanya-tanya, apakah Max juga merasakan hal sama? Belum lagi dengan tingkah Grace yang setiap hari seperti kaset rusak, merengek untuk bisa datang ke rumah—sekedar untuk bertemu Max.Hari-hari berlalu dan Ella menyadari, bahwa tidak hanya Grace yang ingin bertemu dengan Max, tapi juga dirinya sendiri. Seperti saat ini, Ella belum juga beranjak dari balik jendela kamarnya, karena hanya dari sanalah Ella bisa melihat Max yang sedang berada di pos jaga gerbang depan. Dari tempatnya itu,
Vernon tertawa lirih saat membaca tajuk berita yang terpampang di koran Rotter Daily. Kabar bahwa dua keluarga besar akan bersatu, menjadi berita panas hari ini. Setelah semalam acara pertunangan antara Radella Softucker dan Prince Loshen menjadi gambaran awal bagaimana bisnis keluarga mereka akan berjalan ke depannya nanti. Dalam semalam, harga saham Loshen Corp. langsung melejit, begitu pula dengan milik keluarga Softuckker, dan hampir seluruh orang di Rotterfort tidak berhenti membicarakan tentang hal itu. Vernon tidak sabar ingin melihat bagaimana reaksi Ben tentang berita ini. Pria itu pasti sangat kecewa, karena rencananya terganggu. Namun, sepertinya Vernon salah. Ben terlihat biasa saja saat melangkah masuk ke kedainya dan langsung menyambar satu gelas whiski yang baru dituangnya. Tidak nampak raut bingung, kecewa, atau apa pun di wajah pria itu. Bahkan saat matanya membaca tajuk koran, Ben hanya mendengus kecil, lalu kembali menandaskan whiskinya. “Kau baik-
Ben pikir, setelah Ella mengatakan ya padanya, semuanya akan berjalan lancar hingga hari pernikahan—yang entah kapan akan mereka gelar. Nyatanya, dua hari setelah pulang dari pondok, Ella meminta waktu lebih lama untuk memikirkan kapan sebaiknya pernikahan mereka dilangsungkan. Jangan tanya bagaimana paniknya Ben saat itu, tapi sebisa mungkin berusaha ia sembunyikan. Ia tidak ingin membuat Ella merasa terpaksa menikahi Ben, meski sebenarnya Ben juga sudah tidak sabar ingin menjadikan Ella sebagai istrinya, karena ia sangat takut kehilangan Ella lagi.“Ella belum memutuskan kapan dia akan menikahimu?” tanya Jensen, saat ia menyempatkan diri mampir ke rumah Ben sebelum berangkat bertugas. “Kalian bertengkar lagi?”Ben menggeleng. “Aku juga tidak tahu. Sudah berhari-hari dia sulit dihubungi. Bahkan Prince juga kesulitan menemuinya di kantor. Kata sekretarisnya, Ella tiba-tiba saja ingin menyendiri,” jawab Ben.&ldq
“Kamar?!”Entah itu sebuah pertanyaan atau perintah. Ella tidak mengerti apa yang diucapkannya, karena saat ini tidak bisa berpikir jernih. Napasnya terengah, hampir habis, karena terlalu bergairah membalas ciuman Ben. Ya, Tuhan, ia tidak pernah menyangka kalau bisa merindukan sebuah ciuman seperti ini. Ini bukan perkara ciumannya, tapi siapa orang yang kau cium. Bagi Ella, orang itu adalah Benedict Cerg.Tak jauh berbeda dengan Ella, Ben pun mendadak bodoh dan hanya mampu mengangguk, tapi insiting liarnya menyuruhnya untuk mengangkat tubuh Ella, lalu berjalan tergesa menuju kamar. Ben tidak menyangka akan datang hari ini—lagi—untuknya, melakukan hal paling intim yang bisa dilakukan sepasang manusia yang sedang dilanda gairah.Ella merasakan tubuhnya terhempas menyentuh permukaan kasur, Ben langsung menindihnya, kembali menciumnya penuh tuntutan rindu yang harus segera tersalurkan. Bahayanya, tidak ada yang tahu berapa lama yang diperluka
Sudah lebih dari tiga jam sejak dokter meninggalkan ruang rawat Ben, tapi pria itu belum juga sadarkan diri. Jensen pun harus kembali ke kantor polisi untuk membuat laporan. Sedangkan Prince dan Grace juga pulang bersama anak-anak mereka. Martin belum terlihat lagi sejak satu jam yang lalu. Hanya ada Ella dan Aj yang tersisa menjaga Ben di ruangan itu.“Mommy, kapan Paman Ben akan bangun?”Ella yang sedang membaca majalah menoleh pada putranya yang ternyata sudah bangun dari tidur lelapnya di sofa. Ella menghampiri Aj dan langsung memangku bocah itu, sembari menepuk-nepuk punggungnya agar kembali tidur, mengingat tidur bocah itu pasti tidak nyaman di rumah sakit.“Sayang, kau sudah bangun? Jika masih mengantuk, tidur lagi saja.”Aj menggeleng. “Mom, kapan P
“Sayang, kau baik-baik saja?” tanya Martin khawatir, saat melihat Ella diam saja sejak masuk ke mobilnya. “Kau mau makan dulu sebelum kita menjemput Aj di rumah Prince?”“Tidak usah. Kita langsung ke sana.”“Kau yakin?”Ella mengangguk pasti, lalu kembali diam, menatap jalanan Rotterfort yang mulai ramai pagi ini.“Sialan!” maki si supir tiba-tiba?“Ada apa?” tanya Martin sambil mencoba melihat apa yang sedang terjadi di depan.“Orang-orang ini seperti tidak punya pekerjaan. Hampir setiap hari mereka turun ke jalan untuk berunjuk rasa,” gerutunya pada ratusan orang dengan spanduk dan poster-poster menuntut keadilan yang sedang lewat di depan mobilnya.“Tentang apa?”
Entah sudah berapa kali Ben menghela napas dan berapa liter bensin yang dihabiskannya. Sepertinya ia sudah mengelilingi Rotterfort puluhan kali, hanya untuk menenangkan pikiran dan keinginan hatinya yang ingin bertemu dengan Aj. Ben menggunakan segala cara, dari mulai mencari kesibukan di bengkel, hingga berkeliling Rotterfort. Namun, rasa rindu pada putranya—juga Ella—benar-benar tidak terbendung.Motornya berhenti di tempat terjauh dari Rotterfort yang bisa ia jangkau. Ia kembali ke pemakaman di luar Rotterfort yang beberapa hari lalu ia kunjungi. Ben berjalan dengan seikat lili di tangannya, melewati nisan-nisan yang kusam, lalu langkahnya berhenti beberapa meter dari kuburan orang tuanya. Lili yang kemarin dibawanya sudah nampak layu, tapi ada lima tangkai lili yang masih terlihat segar. Bukan, itu bukan lili di tangan B
Sudah 15 menit Ben berdiri di dapur. Diam-diam ia mengawasi Martin dan Aj yang sedang bermain bersama Max di ruang tamu. Ia sudah menemukan jawaban dari semua pertanyaan di kepalanya atas teka-teki yang ia temukan beberapa saat lalu ketika mereka masih berdiri di halaman rumah.Tunangan Martin adalah Ella.Aj adalah putranya.Ingin rasanya Ben memeluk bocah itu dan mengatakan betapa ia sangat merindukannya. Namun, Ben kembali menyadari posisi dirinya yang bukanlah siapa-siapa jika dibandingkan dengan Martin. Untuk saat ini, Ben hanya bisa membuatkan putranya segelas cokelat hangat—seperti yang selalu ia sajikan untuk ibunya.Buku-buku jemari Ben mengepal erat nampan yang membawa secangkir teh dan cokelat hangat itu. Perlahan ia letakkan dua cangkir itu di atas meja, tanpa memutuskan tatapannya pada Aj yang kini berlari mengitari ruang tamunya bersama Max.Prince sialan! Mengapa ia tidak mengatakan pada Ben, kalau Aj adalah putranya?“Ben, apa hubunganmu dengan Ella?” tanya Martin, set
Ben sedang dalam perjalanan pulang dari memperbaiki mobil milik temannya, saat ia melihat wajah yang tak asing sedang berdiri di halte bus. Sebagai tetangga yang baik, Ben berhenti dan menawarkan diri untuk membonceng tetangganya itu pulang.“Terima kasih, Ben.”“Tidak masalah. Kenapa kau berpakaian seperti ini?” tanya Ben penasaran.“Aku kalah taruhan dengan kawan-kawanku, jadi aku harus meminjam pakaian kakak perempuanku untuk pergi ke prom.”Ben terkekeh mendengar penjelasan tetangganya ini.“O, iya, Ben, kau mau membantuku sekali lagi?”“Apa itu?”“Sebagai tambahan hukuman kalah taruhan, aku juga harus mencium seorang pria. Kau bisa membantuku? Hanya satu kecupan saja. Kumohon. Kalau tidak, minggu depan aku harus memakai pakaian wanita dan berdandan untuk keluar rumah.”Ben menggeleng tak percaya mendengar ucapan tetangganya ini. “Kali ini aku aka
Sudah bertahun-tahun rumah megah di tengah kota itu sepi. Dulu sekali, si Tuan Rumah rutin mengadakan acara amal bersama koleganya. Namun, tidak jarang pula ia mengundang orang-orang kurang beruntung untuk turut hadir dan merasakan masakan dari tangan chef handal. Sejak beberapa tahun lalu rumah itu dilelang, hanya remang cahaya lampu taman yang sering dilihat dan dibicarakan penduduk Rotterfort.Hingga kini, si anak perempuan pembawa sial, tapi juga yang paling beruntung kembali ke rumahnya. Lampu-lampu di hampir seluruh sudut rumah itu diganti dengan lampu yang nyalanya lebih terang. Para tamu undangan yang jumlahnya tidak lebih dari sepuluh orang itu sudah datang dan duduk berdampingan di kursi makan. Sebastian sibuk mengobrol dengan Frederick—pengusaha muda yang sedang merintis usahanya di bidang nano teknologi—sambil menikmati lobster. Delapan orang lainnya pun sibuk membicarakan bisnis dan kerjasama yang barang kali bisa mereka bentuk.
“Jangan menertawakanku.”Ben menggeleng, tapi ia tidak sanggup menyembunyikan senyum di wajahnya.“Kondisimu juga tidak lebih baik dari aku.”Ben tertawa mendengar Sebastian yang bersungut-sungut sejak ia duduk di bangku itu. Sedangkan Ben, sibuk dengan kunci inggris, oli, dan mesin mobil Sebastian.“Lihat saja, kau lebih memilih kotor seperti ini, bekerja di ruang panas, daripada dengan setelan jas di kantorku.”Ben menjejakkan kakinya sebagai tumpuan untuk menarik diri dari bawah kolong mobil. Ia muncul dari sana dengan pakaian bengkelnya yang sudah kotor, berlumuran oli dari mobil-mobil yang diperbaikinya.Sejak bebas dari Blackford enam bulan lalu, Ben memilih memulai hidup barunya dengan menjadi montir. Berbekal pengetahuan dan pengalaman yang didapatnya selama lima tahun di Blackford, Ben bisa menyelesaikan—hampir—semua masalah mesin, khususnya mobil.“Jika kau bingung, kenap